Daftar Isi Edisi Ini:
- Sebuah Perempatan Pukul Lima Petang
- Memahami Bali Melalui Pecalang
- Surat Untuk Samin: Musik Gratis di Studio Murah
- Tawar Menawar dengan Konvensi Realisme Teater
- Puisi di Tengah Kota (pengantar video puisi Saut Sitompul)
Selamat 2014.
Tak terasa, sudah satu tahun laman kebudayaan yang terlalu pede sehingga merasa dirinya begitu dicintai sidang pembaca ini hadir di hadapan Anda. Seperti juga ulang tahun yang datang setiap tahun, perayaan tahun baru pun lama-lama terasa hambar; menjadi pengulangan yang tak berarti. Sebaik-baiknya perayaan adalah perayaan atas hasil kerja. Dan untuk yang terakhir ini, LKIP belum bisa berbesar hati. Menyitir Chairil Anwar, ‘kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan apa-apa.’
Perlahan-lahan LKIP memang berusaha memperbaiki diri, terus membuka diri, dan berusaha jeli menangkap fenomena kebudayaan di sekitar kita. Bagaimana pun juga kebudayaan itu dinamis dan tangan kami memang tak mampu memeluk semuanya.
Baiklah. Di tengah berita naiknya harga gas elpiji yang mungkin akan membuat kantong kita cepat bocor ketika bahkan berada di Warteg (Warung Tegal) serta program sertifikasi seniman dari sebuah departemen yang tak jelas juga apa alasan keberadaannya, LKIP kembali hadir. Kami mencoba melihat seni sebagai sesuatu yang hidup dalam keramaian kita, seni sebagai sebuah laku di dalam keseharian. Maka, dengan sedikit meraba-raba, sebagai pembukaan, kami menghadirkan dokumentasi pembacaan puisi Saut Sitompul (Alm.). Saut adalah satu dari sedikit penyair yang langsung menyapa pemirsa puisinya dalam arti vulgar. Menyaksikan video dokumentasi tersebut di rubrik kliping LKIP kali ini, barangkali Anda bisa mengerti maksud kami.
Dalam rubrik catatan kawan, Mochammad Abdul Manan Rasudi kembali menyurati kawannya di kampung, Si Samin. Kali ini Manan berkisah tentang acara-acara musik yang murah, mandiri, bebas iklan, dan independen dari kepentingan lain selain kepentingan bersenang-senang. Samin-Samin yang lain bisa juga menikmati surat itu dalam Surat untuk Samin: Musik Gratis di Studio Murah. Barangkali setelah membacanya, Samin hanya tertawa dan berkata, ‘ah, panggung 17-an di kampung lebih murah kok.’
Selain Manan, rubrik catatan kawan juga menghadirkan tulisan Gede Indra Pramana yang bertajuk Memahami Bali Melalui Pecalang. Dalam tulisan tersebut, Gede membicarakan kebudayaan Bali dan pandangan umum tentang Bali saat ini dalam hubungannya dengan ‘profesi’ pecalang (satgas keamanan adat desa). Dalam tulisan tersebut kita diajak untuk melihat pecalang sebagai kontestasi kekuasaan masyarakat atas negara dalam bungkus industri pariwisata.
Rubrik Karya kali ini menghadirkan cerpen dari Berto Tukan bertajuk Sebuah Perempatan Pukul Lima Petang. Di sana kita diajak nongkrong di sebuah perempatan kota (semacam) Jakarta, pada puncak kesibukannya.
Selain itu, pada rubrik liputan kami menghadirkan perbincangan tentang teater realis antara Suluh Pamuji dari LKIP dengan Joned Suryatmoko, salah satu inisiator Teater Gardanalla. Perbincangan ini mengantar kita pada seluk beluk teater realis dan. berlanjut pada bagaimana Joned, bersama Gardanalla, melakukan tawar-menawar dengan konvensi realisme dalam teater.
Demikian LKIP di awal 2014 ini. Semoga cukup menyenangkan untuk Anda sekalian.