Kata pengantar
Setelah revolusi Oktober 1917 di Rusia, pergerakan politik di negeri-negeri jajahan terinspirasi untuk menjadi radikal, global, dan revolusioner. Di Hindia Belanda, lahir dari perkawinan antara partai sosialis ISDV (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) dan kaum merah partai Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia didirikan di Semarang pada Mei 1920. Pada tahun yang sama PKI bergabung dengan Komintern (Komunis International) yang berpusat di Rusia.
Sebagai organ penting PKI, harian Sinar Hindia yang dikeluarkan Sarekat Islam Semarang berperan penting dalam memobilisasi rakyat. Para pemimpin redaksi dan penulis-penulisnya juga aktif dalam pergerakan. Mereka mengorganisasi pemogokan, ikut rapat umum di desa-desa terpencil, dan juga menjalani hidup yang berisiko karena selalu keluar-masuk penjara. Di antara penulis Sinar Hindia yang sering kita dengar namanya adalah Semaoen (dibuang ke Belanda tahun 1923 setelah memimpin Sinar Hindia sejak tahun 1918), Darsono (diasingkan ke luar negeri tahun 1925), dan Marco Kartodikromo (dibuang ke Digoel tahun 1927).
Dalam sebuah rapat antara kamerad Darsono dengan Sub-Sekretariat Komintern untuk Hindia di Rusia, kamerad Darsono mengatakan, “Kami bekerja melalui organisasi-organisasi, bukan hanya organisasi politik tetapi juga organisasi artistik [seni] dan berbagai organisasi desa” (6 Mei 1926, sumber: IISG Amsterdam, arsip Komintern – Partai Komunis Indonesia, nomor panggil: 2). Ini menjelaskan mengapa, selain berisi laporan berita dan opini, Sinar Hindia juga memuat bentuk seni lainnya, seperti slogan dan karikatur.
Bagaimanakah isi karikatur pada masa pergerakan ini?
Pada umumnya, karikatur berisi gambar yang merepresentasikan seseorang atau suatu hal dengan disederhanakan atau dilebih-lebihkan. Tujuannya bisa untuk menghina atau memuji sehingga karikatur seringkali sarat dengan pesan politik. Karena bentuk gambarnya yang mudah diingat, karikatur menjadi media yang cocok untuk memobilisasi ide, bahasa, dan ideologi. Misalnya, dalam ketujuh karikatur di bawah ini yang diambil dari organ Sinar Hindia pada tahun 1924, kita bisa melihat bagaimana karikatur menjadi media untuk memobilisasi kosakata khas pergerakan saat itu yang memiliki semangat perjuangan kelas antikapitalisme dan dibangun berdasar solidaritas internasional: “kaoem boeroeh”, “revolutionair”, “kapitalisme”, “kaoem kapital”, “kaoem kerdja”, “Kommunisme”, “proletar”, “hantoe merah”, dan “kaoem–kerdja international”. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana bahasa penjajah pun dipinjam sebagai ekspresi emansipasi: “vrij” (bebas) dan “klassenstrijd” (perjuangan kelas).
Sebagai media yang sederhana dan menarik, karikatur juga dengan mudah membangun hubungan interaktif dengan pembaca terutama untuk menarik perhatian mereka pada isu-isu tertentu. Karikatur berjudul “Boeaja memboeat vergadering” misalnya, mengajak pembaca untuk menjawab teka-teki terkait pemberitaan terkini tentang rapat propaganda P.S.I. (Partai Sarekat Islam) yang diselenggarakan diam-diam di Bandung oleh Tjokroaminoto dan Agus Salim. Seperti yang kita sudah ketahui, P.S.I. dibawah pimpinan Tjokroaminoto tidak memiliki hubungan baik dengan PKI/Sarekat Islam Merah/Sarekat Rajat, terutama setelah terjadi disiplin partai di awal 1920-an ketika anggota Sarekat Islam yang simpatik pada agenda politik revolusioner komunisme memutuskan keluar dan mendirikan PKI. P.S.I. lebih beraliran reformis dan mengusung alat perjuangan yang sempit karena menggunakan agama, yaitu Islam, sebagai alat politik.
Karikatur juga sering menggunakan fabel, yaitu cerita rakyat dengan karakter binatang. Dalam karikatur tentang rapat P.S.I. di atas, misalnya, kaum Muslim reformis disimbolkan dengan buaya. Sementara dalam karikatur yang lain, kaum buruh diumpamakan sebagai kerbau yang memiliki tanduk, yang siap digunakan untuk menyerang kapitalisme yang di sini disimbolkan oleh harimau dan babi hutan (binatang yang sebenarnya jauh lebih kuat dan buas dari kerbau). Lalu, kaum kapital juga digambarkan sebagai monyet. Selain fabel, karikatur juga menggunakan pantun, seperti dalam karikatur tentang kerja sama rahasia antara pemerintah Hindia Belanda dan Filipina, dan juga slogan rakyat, “rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng”, yang artinya segala sesuatu yang merintangi (harfiahnya: tanaman yang menjulur-julur menghalangi jalan) harus disingkirkan.
Sayang sekali, karena pada masa ini, banyak sekali penangkapan atas nama persdelict (pelanggaran pers). Seringkali penulis menggunakan nama alias atau tidak mencantumkan namanya sama sekali sehingga belum diketahui siapa “toekang gambar” yang membuat karikatur-karikatur Sinar Hindia ini.
Karikatur 1 (sumber: Sinar Hindia, Saptoe 12 Januari 1924)
Teks:
“Kalau kaoem boeroeh bersatoe dan revolutionair, tidak sadja ia bisa mendapat nasib baik, akan tetapi ia bisa mengoesir kapitalisme, sebagai kerbau di atas jang menandoek harimau dan babi hoetan.
Karena itoe, kaoem boeroeh bersatoelah.”
Karikatur 2 (sumber: Sinar Hindia, Saptoe 12 Januari 1924)
Teks:
“Kalau kaoem boeroeh terlaloe sabar, kaoem kapital djadi koerangadjar,
sebagai mojet [monjet] jang mengentjingi kepalanja kerbau diatas ini.”
Karikatur 3 (sumber: Sinar Hindia, Saptoe 21 Juni 1924)
Teks:
“Kaoem boeroeh jang selagi diperas sebagai
kain jang habis ditjoetji.”
“Demikianlah kaoem kerdja selaloe mendjadi korban, selama
ia masih terpitjah-pitjah oleh kebangsaan dan keagamaan!
Ia tidak akan berenti diperas sebeloem kapitalisme hantjoer
Dan Kommunisme lahir.
Oleh karena itoe:
PROLETAR SELOEROEH DOENIA, DARI SEGALA
BANGSA DAN AGAMA BERSATOELAH!”
Karikatur 4 (sumber: Sinar Hindia, Djoemaat 6 Juni 1924)
Teks:
“Boeaja memboeat vergadering.”
“Gambar di atas ini meloekiskan bagaimana boeaja-boeaja jang
soedah kehilangan akal oentoek mentjari pengaroeh di moeka go-
longannja hingga riboet sekali pikirannja.
Dengan diam-diam sesoedah ia memboeka kongresnja di Garoet
dimana ia memboeat roepa-roepa voordracht laloe teroes ke Ban-
doeng oentoek memboeka poela vergadering jang kedoea kalinja.
Barang siapa bisa menebak teka teki itoe, siapakah boeaja itoe
akan dapat Sinar satoe minggoe vrij.
Kalau tebakan terlaloe banjak, akan di oendi.”
Karikatur 5 (sumber: Sinar Hindia, Saptoe 5 juli 1924)
Teks:
“BETAWI-MANILLA BISIK-BISIK”
“Hoedjan rintik-rintik
Katjang diperahoe
Sana bisik-bisik
Ra’jat soedah tahoe.”
Karikatur 6 (sumber: Sinar Hindia, Senen 14 Juli 1924)
Teks:
“TEKA-TEKI”
“ISLAM DITJOERI ISLAM!”
“HANTOE MERAH MEMEGANG PALOE:
‘Maoe kau bawa kemana oeang itoe?’
PENIPOE: ‘Ach toean, mengapa toean marah? Toh soedah selajaknja oeang Islam ditjoeri oleh bangsat jang berselimoet Islam!’”
Karikatur 7 (sumber: Sinar Hindia, Saptoe 19 Juli 1924)
Teks:
“RAWE-RAWE RANTAS,
MALANG-MALANG POETOENG”
“Lihatlah itoe Ra’jat, kaoem-kerdja international meng-
gogoelingkan doenia kapitalisme!
Meskipoen kaoem kapital dan sekalian jang reactionair
menghalang-halangi, tetapi …… lihat itoe! ……
mereka mesti tergilas dan di indjak-indjak.
Demikianlah toekang gambar kita meibaratkan perdjoe
Angan kaoem atau klassenstrijd itoe bagoes sekali!”
*Koleksi arsip dikumpulkan oleh Rianne Subijanto sebagai bagian dari penelitian disertasinya dan dipublikasikan di sini untuk tujuan pendidikan.