Para pembaca rubrik Lembar Kebudayaan Indoprogress yang budiman,
Belakangan ini ada sekelumit persoalan tentang kesusastraan yang terus menghantui saya setiap kali membaca karya sastra. Maklum saya sendiri tak fasih dalam sastra, juga agak kurang berbudaya. Oleh karena itu, saya mohon kepada para pembaca sekalian agar sudi mencerahi budi saya perihal sastra dengan menjawab persoalan yang disebut di muka.
Beberapa persoalan yang dimaksud baru akan mengemuka setelah sedikit kerja praktikum berikut. Pertama-tama, saya akan sekenanya mengambil salah satu karya sastra. Nah, karya yang terambil adalah sajak “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi” buah karya Goenawan Mohamad. Berikut saya tik ulang teksnya.
Teks Asli
Setelah kita memperoleh sampel karya sastra yang dipilih sekenanya macam yang tertuang di muka, berikutnya saya akan mencoba menunjukkan persoalan yang menghantui saya. Persoalan ini akan segera tampil sehabis kita menerjemahkan puisi di muka. Namun, apa yang saya maksudkan bukanlah penerjemahan ke dalam bahasa Inggris atau Jawa atau bahasa-bahasa lain pada umumnya, melainkan ke dalam bahasa kalkulus predikat tatanan-pertama (first-order predicate calculus). Bahasa ini, sebatas pengetahuan saya, tidak pernah digunakan untuk menerjemahkan karya sastra sebab lazimnya hanya digunakan secara terbatas di lingkungan para matematikawan, ilmuwan komputer, dan filsuf Analitik. Kalkulus predikat adalah bahasa dasar dari semua varian bahasa pemrograman komputer—serumpun bahasa yang dapat dipahami oleh entitas yang paling tak berbudaya sekalipun, misalnya robot. Saya akan coba terjemahkan puisi di muka ke dalam bahasa ini.
Terjemahan dalam Kalkulus Predikat
Penomoran pada sisi kanan, (1), (2), dst., bersesuaian dengan penomoran pada baris puisi aslinya. Deretan kode di muka, kendati terasa asing, sejatinya dapat diucapkan dalam bahasa Indonesia biasa. Berikut ini, saya akan mengucapkannya secara literal.
Pengucapan Terjemahan Versi Kalkulus Predikat
Inilah pengucapan literal dari deretan kode sebelumnya. Tentu, ada perubahan susunan dalam terjemahan ini. Namun, hal ini lebih disebabkan karena kekurangahlian saya dalam berbahasa kalkulus predikat. Artinya, bukan berarti bahwa kalkulus predikat itu sendiri tidak mampu menerjemahkan karya sastra secara akurat. Terjemahan kalkulus predikat yang akurat atas karya sastra, secara prinsipil, mungkin. Oleh karena itu, demi tujuan pernyataan persoalan yang saya maksud, kita dapat mengandaikan bahwa terjemahan kalkulus predikat yang akurat itu dimungkinkan. Tentu persoalan kemudian adalah bahwa kita tidak akan mengetahui maknanya apabila kita tidak mengerti arti simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Untuk itu, berikut saya hadirkan kamus kecil bahasa kalkulus predikat.
Setelah mengetahui arti dari setiap simbol yang digunakan, kita dapat menangkap makna dari terjemahan logis atas puisi “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi”. Silakan mencoba membaca ulang terjemahan kalkulus predikat yang saya berikan berdasarkan kamus kecil yang disertakan itu. Nah, sesudahnya kita baru bisa masuk ke dalam sekelumit persoalan yang saya resahkan di muka.
Empat Persoalan
- Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?
- Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?
- Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan karya aslinya?
- Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?
Keempat persoalan ini sesungguhnya bermuara pada satu pertanyaan pokok yang implisit dalam keempatnya, yakni: Apakah yang sebenarnya dimaksud dengan ‘karya sastra’? Inilah pertanyaan yang membuat saya penasaran setiap kali membaca karya sastra. Namun, mengapa keempat pertanyaan itu seolah-olah sulit dijawab? Berikut saya akan menunjukkan empat pasang kemungkinan jawaban (karena pertanyaannya dirumuskan dalam format ya/tidak). Ingat, bahwa kita mengasumsikan terjemahan kalkulus predikat kita akurat.
Delapan Kemungkinan Jawaban
- Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra?
- Kalau tidak, berarti sastra itu murni soal bentuk. Implikasinya, begitu kita mengubah atau menghilangkan satu iota pun dari sebuah karya sastra (satu kata, satu tanda baca, dst.), karya sastra tersebut akan lenyap seketika itu juga. Namun, kalau memang sastra itu tak lain adalah soal bentuk dan bentuk semata, lalu bagaimana terjemahan karya sastra dimungkinkan? Tidakkah menerjemahkan Shakespeare ke dalam bahasa India atau Indonesia sama dengan menghancurkannya kalau begini? Konsekuensi lanjutannya, karya sastra tidak dapat dikomunikasikan ke orang di luar pengarangnya sendiri, sebab komunikasi mengandaikan penerjemahan ke dalam kesadaran dan pengalaman yang berbeda, yang mau tak mau akan sedikit mengubah bentuknya. Karya sastra sepenuhnya berstatus privat.
- Kalau ya, berarti sastra itu soal substansi atau isi yang mau dinyatakan oleh karya. Implikasinya, karya sastra dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun juga (termasuk kalkulus predikat) dan dapat dikomunikasikan dengan orang di luar pengarang. Karya sastra bersifat publik.
- Apakah terjemahan logis di muka adalah juga karya sastra yang sama?
- Kalau tidak, berarti terjemahan kalkulus predikat niscaya memelintir makna karya sastra sehingga hasil terjemahannya sama sekali tidak berkaitan dengan teks aslinya, melainkan memproduksi karya sastra baru. Namun, muncul persoalan: lalu apa bedanya terjemahan ini dengan terjemahan ke dalam bahasa asing lainnya? Dengan mengasumsikan bahwa terjemahan kalkulus predikat kita akurat, lantas bagaimana menjelaskan perbedaan terjemahan kita yang akurat itu dengan hasil terjemahan seorang profesor sastra Spanyol, misalnya, yang menerjemahkan karya yang sama? Tidakkah jawaban negatif kita ini lebih disebabkan karena bias prasangka kita saja terhadap bahasa logika?
- Kalau ya, berarti terjemahan kalkulus predikat dapat setia mereproduksi makna karya sastra. Artinya, tidak ada perbedaan esensial antara proses terjemahan dari puisi berbahasa Indonesia ke bahasa kalkulus predikat dan terjemahan ke dalam bahasa Spanyol atau Inggris.
- Apakah terjemahan logis di muka memiliki nilai estetis yang sama dengan karya sastra aslinya?
- Kalau pertanyaan no. 2 dijawab tidak, maka pertanyaan no. 3 ini harusnya juga dijawab tidak. Sebab bagaimana mungkin karya sastra yang berbeda memiliki nilai estetis yang sama?
- Kalau pertanyaan no. 2 dijawab ya, maka pertanyaan no. 3 ini harusnya juga dijawab ya. Sebab bagaimana mungkin, karya sastra yang sama memiliki nilai estetis yang berbeda?
- Mungkinkah kita menciptakan karya sastra melalui kalkulus predikat?
- Kalau tidak, berarti kita kembali ke jawaban 1.a., yakni bahwa sastra melulu soal bentuk dan bahwa bahasa kalkulus predikat tidak mungkin menciptakan bentuk sastrawi, dan karenanya tidak mungkin menciptakan karya sastra. Namun, seperti sudah kita lihat, jawaban 1.a. ini sangat problematis sebab dengan begitu terjemahan apapun jadi tak mungkin dan karya sastra sepenuhnya bersifat privat. Jadi, semua orang yang berdiskusi tentang sastra atau menuliskan kritik sastra sebenarnya berbicara tentang hal lain yang hanya diketahui oleh masing-masing. Karena jawaban 1.a. problematis, maka jawaban 4.a. juga sama problematisnya.
- Kalau ya, berarti kita kembali ke jawaban 1.b., yakni bahwa sastra berurusan dengan substansi dan bahwa bahasa kalkulus predikat dapat digunakan untuk menciptakan substansi sejenis, dan karenanya, dapat menciptakan karya sastra yang baru. Jawaban 4.b. ini juga didukung, atau setidaknya tidak ditolak mentah-mentah, oleh jawaban 2.a., 2.b., 3.a., dan 3.b.
Artinya, hanya ada dua kemungkinan jawaban yang paling bertentangan: memilih jalur 1.a.-4.a. dan tidak bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 sama sekali, atau memilih jalur 1.b.-4.b. dan bisa menjawab pertanyaan 2 dan 3 dengan jawaban afirmatif maupun negatif. Pilihan yang masuk akal adalah rute kedua, yakni 1.b.-4.b. Saya rasa inilah pilihan yang wajar diambil oleh sebagian besar sastrawan dan penikmat sastra. Sebabnya, dengan pilihan ini, sastra jadi mungkin dibicarakan secara sosial, tidak tinggal diam dalam lubuk hati pengarang masing-masing, dan karenanya disiplin kritik sastra itu sendiri dimungkinkan.
Permasalahannya, jawaban yang masuk akal terhadap keempat pertanyaan tersebut—rute 1.b.-4.b.—mendesak kita ke arah yang kurang nyaman. Sebab apa? Sebab dengan jawaban-jawaban itu kita didorong untuk berkesimpulan bahwa kesusastraan adalah cabang dari logika (dari matematika, ilmu komputer, dan filsafat Analitik). Artinya, pada dasarnya, kesusastraan adalah bentuk aplikasi tertentu dari teknologi. Dengan menggunakan bahasa logika yang mendasari segala bentuk aplikasi mekanika komputer dan sains pada umumnya, kita dapat menciptakan sastra. Karya sastra apapun dapat dihasilkan dengan cara diturunkan dari kalkulus predikat, sama seperti kita menurunkan hukum gravitasi Newton untuk menjelaskan pergerakan benda jatuh di bumi. Dan kesimpulan ini bukannya tak mungkin diperluas lagi: kesenian itu sendiri adalah bagian dari sains. Implikasi dari semua ini adalah bahwa kesenian dapat direduksi pada logika, khususnya kalkulus predikat tatanan pertama—bahasa universal dari entitas-entitas yang paling tak berbudaya, robot dan mainboard komputer. Inilah yang meresahkan kepercayaan sehari-hari saya—dan orang-orang pada umumnya juga saya kira—yang menganggap bahwa sastra berseberangan dengan kalkulasi logis yang dingin.
Apakah di antara para pembaca budiman ada yang bisa memberikan solusi yang lebih memuaskan terhadap keempat pertanyaan di muka? Saya akan dengan senang hati mendengarkannya.