PADA artikel sebelumnya, kita telah memetakan perbedaan antara kedua kebudayaan filsafat dewasa ini: filsafat Kontinental dan filsafat Analitik. Filsafat Kontinental lebih dekat dengan tradisi kesenian dan kesusasteraan, lebih mencampurkan metode pemaparan dan isi ajaran, lebih banyak komentator ketimbang filsufnya, dan cenderung berpikir secara antinaturalis. Sementara filsafat Analitik lebih dekat dengan tradisi ilmu-ilmu alam, matematika dan logika, lebih memisahkan metode pemaparan dan isi ajaran, lebih banyak filsuf ketimbang komentatornya, serta cenderung berpikir secara naturalis. Dalam artikel ini, kita akan memeriksa implikasi dari pembelahan kedua kebudayaan itu pada diskursus Marxisme. Untuk itu, kita perlu memulainya dengan memetakan posisi intelektual Marx sendiri di antara kedua tradisi tersebut.
Marx, seperti kita ketahui, adalah seorang Jerman yang lebih banyak menghabiskan hidupnya di Inggris. Cara pandangnya terpengaruh oleh Hegel, tetapi ini ia artikulasikan secara bertanggung-jawab lewat studi empiris ekonomi-politik yang dipelajarinya di Inggris. Dalam arti itu, bisa dikatakan bahwa Marx adalah anak tradisi Kontinental sekaligus Analitik. Ia memiliki imajinasi Kontinental ditambah dengan kecermatan Analitik, ambisi menggelora khas Kontinental—untuk ‘menangkap hukum gerak masyarakat,’ begitu katanya—sekaligus ketekunan bak akuntan yang mencirikan tradisi Analitik. Ia melihat segala sesuatunya secara holistik dan dialektis layaknya seorang Kontinental, tetapi ia juga siap menganalisinya per bagian secara mendetail dan lebih dari sekadar bersedia mengintegrasikan gagasannya dalam koordinasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan seperti cara kerja tradisi Analitik. Das Kapital adalah buku yang menjadi saksi pertemuan dua kebudayaan itu. Dan materialisme historis adalah visi yang bercorak Kontinental sekaligus Analitik: holistik seperti layaknya filsafat Kontinental, tetapi juga naturalistik seperti layaknya filsafat Analitik. Karl Marx, dengan begitu, dapat dikatakan, merupakan sintesis Kontinental-Analitik pertama pasca-Kant.
Masalahnya kemudian, para pengikutnya di kemudian hari, sampai hari ini, seperti mengabaikan posisi strategis Marx terhadap dua kebudayaan tersebut. Akibatnya, Marxisme lalu cenderung diserap ke salah satu kebudayaan saja dan hasilnya tak pelak adalah Marxisme yang timpang. Seorang Marxis dari tradisi Analitik akan mencoba mengamputasi aspek-aspek pemikiran Marx yang problematis baginya: dialektika, holisme metodologis, dsb. Sebaliknya, seorang Marxis dari tradisi Kontinental akan mencoba menghalau aspek-aspek pemikiran Marx yang menjijikkan di hadapan suara hati Kontinentalnya: pengkondisian superstruktur oleh basis, kerangka baca ekonomi-politik, dsb. Lantas keduanya saling beradu mulut; yang satu menganggap yang lain tidak ilmiah, sementara yang lain menganggap yang satu tidak manusiawi atau tidak revolusioner. Kita akan lihat kekurangan dalam penyerapan Marxisme oleh kedua tradisi tersebut, mulai dari tradisi Analitik.
Problem Marxisme Analitik adalah fiksasinya pada individualisme metodologis, yakni keyakinan bahwa keseluruhan tidak lebih daripada jumlah bagian-bagiannya dan karenanya analisis atas keseluruhan dapat direduksi pada analisis atas bagian-bagian yang menyusunnya. G.A. Cohen, John Roemer dan Jon Elster sama-sama berpegang pada asas ini. Oleh karena itulah mereka menolak segala bentuk relasi internal yang mencirikan dialektika, dan akibatnya juga: menolak dialektika itu sendiri. Semua varian dari Marxisme yang masih percaya pada dialektika mereka sebut sebagai ‘Marxisme omong-kosong’ (bullshit Marxism). Mereka mengintegrasikan Marxisme ke dalam ilmu sosial pada umumnya, seperti sosiologi Max Weber dan Talcott Parsons. Menurut saya, masalahnya adalah bahwa mereka kurang radikal: semestinya tidak berhenti pada reduksi Marxisme ke ilmu sosial, tetapi reduksilah juga ilmu sosial itu pada ilmu alam. Mengapa demikian? Apakah itu tidak membuat kita jatuh pada determinisme alam? Tidak, sebab dalam kajian filsafat tentang ilmu alam dewasa ini justru berkembang pembacaan yang dapat diintegrasikan dengan konsep relasi internal yang diandaikan oleh dialektika. Kajian yang saya maksud adalah fisikalisme non-reduktif berbasis teori disposisional tentang sifat-sifat objek fisik. Fisikalisme jenis ini sanggup mempertahankan kesinambungan Marxisme dengan ilmu-ilmu, di satu sisi, dan mempertahankan daya emansipatorisnya, di sisi lain. (Mengenai ini, lihat artikel saya berjudul ‘Naturalisme Historis’ dalam buku antologi esai tentang warisan pemikiran Engels yang akan terbit nanti.)
Perlu dipahami juga, terutama bagi kita yang terbiasa dengan bias Kontinental dalam menyeragamkan ‘filsafat Analitik’ (entah sebagai positivisme, empirisisme, dsb.), bahwa Marxisme Analitik bukanlah satu-satunya cara mengintegrasikan filsafat Analitik dan Marxisme. Filsafat Analitik yang berkembang dewasa ini jauh lebih kaya daripada apa yang mengemuka dalam brand ‘Marxisme Analitik’-nya Cohen, Elster dan Roemer. ‘Marxisme Analitik’ yang kita kenal sebetulnya hanyalah pencampuran antara sebuah varian dari filsafat Analitik (yakni varian empirisis dan fungsionalis) dan Marxisme. Padahal ada banyak varian lain dari filsafat Analitik yang punya potensi dialog dengan Marxisme. Ada interaksi lain yang jarang dikenal, seperti misalnya Marxisme ‘esensialis’ yang diajukan Scott Meikle, Marxisme ‘realis’ yang dipromosikan David Hillel-Ruben, dsb.
Mengenai masalah Marxisme Kontinental, saya akan berbicara lebih banyak, sebab inilah tradisi kita di Indonesia selama ini. Problem utama Marxisme Kontinental adalah bahwa aspirasi emansipatorisnya, serta kecenderungan politisasi segala sesuatu, seringkali malah membuatnya terjungkal ke dalam obskurantisme yang kontra-emansipasi. Saya dengan senang hati akan menunjukkan beberapa contohnya.
Belakangan ini, misalnya, saya membaca buku karangan Levi Bryant (The Democracy of Objects, 2011), seorang filsuf Kontinental yang sedikit-banyak dipengaruhi, kendati secara kritis, oleh tradisi Marxisme Kontinental kontemporer. Penulis yang dipengaruhi oleh rekonstruksi filsafat Bruno Latour oleh Graham Harman ini mempromosikan suatu flat ontology, dimana semua objek (entah objek empiris, abstrak, riil, fiksional, mulai dari manusia, kursi, bilangan p, kata ‘kemarin,’ dsb.) sama-sama ada dalam posisi yang setara. Ini disebutnya sebagai ‘demokrasi objek-objek.’ Saya tak habis pikir; apa kegunaan dari spekulasi semacam ini bagi penjelasan keilmuan ataupun bagi proyek emansipasi? Penjelasan keilmuan bergerak dengan mencari hubungan kausal antar objek, dan karenanya relasi hirarkis (hirarki prakondisi kausal) antar objek (kendati relasi itu dapat berubah dalam kondisi tertentu), sehingga tidak mungkin ada ‘demokrasi objek-objek’ dimana semua objek ‘setara.’ Apa kegunaan, dari perspektif keilmuan, mempostulatkan keberadaan entitas tertentu yang tak punya status kausal sama sekali? Memasukkan objek-objek yang tak punya status kausal sama sekali ke dalam kerangka kerja penjelasan keilmuan, sama saja membebani ilmu tersebut dengan postulat-postulat ad hoc yang tak ekonomis. Apakah beban itu mesti ditempuh demi menjamin ‘demokrasi,’ dan karenanya emansipasi?
Tetapi nanti dulu: ‘demokrasi’ apa yang sedang kita bicarakan di sini? Bryant berbicara tentang ‘demokrasi’ pada level objek-objek, bukan spesifik tentang masyarakat, sehingga jangan sampai kita ikut membawa simpati kita sehari-hari, dan karenanya bias kita, atas ‘demokrasi’ dalam arti sosial ke dalam pembicaraan tentang ‘demokrasi’ pada level objek-objek ontologis. Belum tentu ciri emansipatoris dalam ‘demokrasi’ dalam arti sosialnya punya hubungan sama sekali dengan ‘demokrasi objek-objek.’ Kita mudah sekali tertipu dengan diksi ‘demokrasi’ ini karena secara tak sadar kita kerap mengasosiasikannya dengan ciri emansipatoris yang terkandung di dalamnya, sejauh dipahami dalam arti demokrasi di kalangan masyarakat manusia. Dengan menggunakan term ‘demokrasi’ dalam pembicaraan tentang objek-objek ontologis, Bryant hanya memperkeruh situasi (muddy the water) dengan fraseologi yang sugestif, tapi sejatinya tak punya hubungan apapun dengan konsep yang ditandai dengan frase tersebut. Dengan demikian, tidak ada hubungan apapun antara ‘demokrasi objek-objek’ dan cita-cita emansipatoris, kecuali hubungan asosiatif yang terbentuk dari fraseologi yang misleading. Yang seperti ini banyak sekali kita jumpai di khazanah filsafat kita. Kalau saja kita berkepala dingin dan tidak sekonyong-konyong hipster, kita sebetulnya dengan mudah dapat menghindari kesesatan macam itu.
Ilustrasi kedua berkaitan dengan ‘Sokal Hoax’ yang pernah kita singgung di artikel sebelumnya. Dalam buku Fashionable Nonsense: Postmodern Intellectuals’ Abuse of Science yang ditulisnya bersama Jean Bricmont selepas affaire tersebut, Alan Sokal berargumen bahwa obskurantisme filsafat Prancis kontemporer, yang bermain-main dengan idiom-idiom sains yang dicampur-baurkan dengan fraseologi seni dan sastra, justru berakibat buruk bagi cita-cita emansipasi mereka. Bagaimana emansipasi riil dapat dilaksanakan apabila sistematisasi rasional (meliputi pengajuan hipotesis, pembangunan kerangka penjelasan kausal dan pengujian empiris), justru terjegal oleh kecenderungan anti-sains yang terkandung dalam pikiran para filsuf itu? Sokal sendiri mengaku seorang sosialis dan karenanya kritiknya atas para filsuf itu bukanlah ‘reaksi borjuis’—seperti yang dipersepsi dalam prasangka umum Marxis Kontinental atas semua yang mengritiknya. Sokal justru prihatin terhadap para filsuf Prancis sebagai rekan-rekan sosialisnya. Dalam bukunya, ia mengutip pernyataan Vaclav Havel yang, menariknya, justru tak dapat dibedakan dari posisi para filsuf Prancis yang konon mengaku Marxis itu: ‘Kejatuhan Komunisme dapat dilihat sebagai tanda bahwa pemikiran Modern—yang dibasiskan pada premis bahwa dunia dapat diketahui secara objektif, dan bahwa pengetahuan yang didapat dari situ dapat dirampatkan secara mutlak—telah mencapai krisis penghabisannya’ (h. 192). Dengan demikian, menjadi benderang bahwa rehabilitasi Marxisme sebagai agenda politik riil (yang sama riilnya dengan Komunisme), mensyaratkan rehabilitasi, setidaknya sebagian dari premis keilmuan, bahwa dunia dapat (ingat: bukan selalu) diketahui secara objektif dan dengan teliti dapat dirampat berdasarkan kerangka kerja ilmu untuk memperoleh penjelasan umum tentang berbagai fenomena sosial untuk akhirnya mengindikasikan metode dan strategi-taktik yang mesti ditempuh untuk mengubah fenomena itu ke arah yang lebih baik.
Ilustrasi lain adalah upaya Meera Nanda, seorang Marxis dan ahli filsafat ilmu asal India, dalam melawan pengaruh Marxis-obskurantis yang tersebar di India selepas pemikiran-pemikiran Marxis Kontinental diimpor ke negeri itu. Nanda prihatin melihat bagaimana intelektual India disesaki dengan gagasan absurd bahwa Hinduisme, yang telah jadi identitas nasional India, sebenarnya merupakan sebuah sains, lengkap dengan metodenya sendiri yang incommensurable terhadap kriteria sains Barat yang imperialis. Para pendukung ‘sains Hindu’ semacam itu mengambil inspirasinya dari para penulis pasca-kolonial, science studies dan pasca-modernis. Antara lain, mereka mengadvokasi sistem kasta karena menurut mereka sistem tersebut sebetulnya memiliki ‘rasionalitas’-nya sendiri yang berbeda dari ‘rasionalitas’ Barat yang kapitalis. Nanda melawan cara pandang mengerikan semacam ini. Ia berargumen bahwa penerimaan atas fakta pasca-kolonial India, tidak mengimplikasikan bahwa India mesti membuang pola pikir ilmiah. Ia berargumen, dengan sangat tepat saya pikir, bahwa kita perlu membedakan antara fakta bahwa sains dapat digunakan untuk kepentingan imperialis-kapitalis dan kesimpulan ngawur bahwa sains adalah (tidak lain dan tidak bukan selain) manifestasi imperialisme dan kapitalisme. Nanda mengakui fakta pertama dan menolak penyimpulan kedua. Dalam karya-karyanya seperti Postmodernism And Religious Fundamentalism: A Scientific Rebuttal To Hindu Science (2000), Prophets Facing Backward: Postmodern Critiques of Science and the Hindu Nationalism in India (2003) dan The God Market: How Globalization is making India More Hindu (2011), Nanda berjuang memperbaiki aspirasi emansipatoris pasca-kolonial, yang sayangnya, salah jurusan semacam itu.
Sebagai anak tradisi Kontinental, kita perlu menimba pelajaran dari filsafat Analitik agar lebih tajam dalam memandang persoalan, sehingga lebih jernih juga dalam merancang proyek emansipasi. Saya tidak berargumen bahwa Marxisme Kontinental mesti kita buang sepenuhnya, melainkan imajinasi revolusioner yang kita peroleh darinya mesti kita artikulasikan secara tertib. Dan tertib berpikir ini dapat kita pelajari dari filsafat Analitik. Dengan kata lain, kita mesti kembali menimba ilmu dari Marx: belajar menemukan sintesis terbaik dari dua kebudayaan filsafat yang membentuknya.
Kita akan tutup artikel ini dengan pengakuan seorang Marxis Analitik, G.A. Cohen, dalam kata pengantar bukunya, Karl Marx’s Theory of History: A Defense. Cohen mengisahkan bagaimana ia, seorang yang lahir dan dibesarkan di lingkungan komunis Kanada, namun memperoleh pendidikan filsafat secara Analitik di Oxford. Terlepas dari latar pendidikan ini, selulusnya dari Oxford ia lebih melihat dirinya sebagai seorang Althusserian ketimbang filsuf Analitik. Namun, sesuatu terjadi di sekitar tahun 1966-67. Kala itu, ia mempresentasikan makalah bertajuk ‘Kaum Borjuis dan Proletar’ di University of London. Cohen berargumen bahwa wanita simpanan si kapitalis ‘tidak mencintainya karena uangnya, melainkan mencintai uang itu sendiri.’ Pada saat itu, hadir seorang filsuf Analitik asal Amerika Serikat. Ia menanyakan pada Cohen: ‘apa persisnya perbedaan antara mencintai seseorang hanya karena uangnya dan mencintai uang itu sendiri?’ Ketika itu, Cohen menganggap sang filsuf itu bermaksud mempersulitnya saja. Selepas acara, si filsuf dari Amerika Serikat itu datang menghampiri Cohen dan berkata dengan ramah: ‘Begini, saya tidak mempersoalkan bahwa setiap orang punya caranya masing-masing. Saya hanya ingin tahu apa aturan dasarnya.’
Pernyataan ini membuat Cohen demikian terpukul. Sejak saat itu, seperti diakuinya sendiri, ‘saya berhenti menulis dengan gaya bak penyair yang menuliskan apapun yang kedengaran bagus baginya.’ Semenjak itu pula, Cohen selalu menginterogasi ulang apapun yang hendak ia tuliskan. ‘Anda menjadi analitis ketika Anda mempraktikkan oto-kritik yang kerapkali menyakitkan semacam ini,’ demikian akunya.***
15 Agustus 2013