BULAN Juli lalu, media sosial kita sempat diramaikan dengan berita tentang silat lidah antara Noam Chomsky dan Slavoj Zizek. Chomsky, seorang filsuf, ahli tata bahasa sekaligus anarkis, menganggap Zizek tak punya teori dan hanya bermain kata-kata, sebagaimana Derrida dan Lacan. Zizek, seorang filsuf posmo, yang konon anti-posmo, membantah anggapan itu dan mengajukan gugatan balik atas Chomsky. Komentar Chomsky adalah ekspresi tipikal dari filsuf Analitik, sementara posisi Zizek adalah ekspresi tipikal dari filsuf Kontinental. Pada kesempatan kali ini, saya akan menganalisis interaksi kedua tradisi tersebut dan melihat implikasinya bagi Marxisme. Dalam artikel pertama ini, kita akan berfokus membedah—meminjam istilah C.P. Snow—‘dua kebudayaan’ filsafat kontemporer itu. Barulah kemudian dalam bagian kedua, kita akan memeriksa keterkaitan antara cekcok dua budaya ini dengan Marxisme.
Untuk memahami akar dari silat lidah Chomsky-Zizek, kita perlu membongkar sejarah pemikiran abad ke-20. Kejadian di muka hanyalah manifestasi terbaru dari rentetan kejadian-kejadian sejenis yang terjadi sejak lama. Berikut adalah daftar parsial dari berbagai benturan serupa antara filsuf Analitik dan Kontinental yang diurutkan berdasarkan kebaruannya:
- Pada tahun 1996, seorang fisikawan dan sosialis bernama Alan Sokal menimbulkan sensasi karena ia berhasil membuktikan bahwa jurnal-jurnal beraliran posmo sejatinya tidak tahu apa yang mereka terbitkan, dan implikasinya para filsuf posmo tak tahu apa yang mereka bicarakan sendiri. Sokal mengirimkan artikel berisi uraian ngawur tentang fisika dari perspektif posmo (judulnya ‘Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity’) ke jurnal cultural studies posmo, Social Text. (Lih.
http://www.physics.nyu.edu/faculty/sokal/transgress_v2/transgress_v2_singlefile.html). Pihak redaksi jurnal menerima artikel tersebut dan menerbitkannya! Dari situ kemudian Sokal menerbitkan artikel pengakuannya di majalah intelektual Amerika Serikat, Lingua Franca, dan menceritakan bahwa semua yang ia tulis dalam artikel di Social Text adalah omong kosong belaka dan fakta bahwa artikel itu lolos dan diterbitkan mencerminkan kekacauan intelektual yang luar biasa dari para pemikir posmo di jurnal itu dan jurnal-jurnal serupa. (Lih. http://www.physics.nyu.edu/faculty/sokal/lingua_franca_v4/lingua_franca_v4.html). Selepas kejadian itu, Sokal bersama Jean Bricmont menerbitkan buku berjudul Fashionable Nonsense yang menunjukkan bagaimana para filsuf Prancis ternama, sebetulnya menulis dengan cara yang sama seperti Sokal dalam artikelnya di Social Text: mencampur-adukkan sains, filsafat, sastra, kebudayaan secara umum, tanpa mengindahkan yurisdiksi metodologis masing-masing.
- Pada tahun 1992, sejumlah filsuf Analitik ternama (termasuk W.V. Quine, David Armstrong dan Ruth Barcan Marcus) menandatangani sebuah surat penolakan yang diterbitkan di The Times, ketika Derrida hendak diberi gelar doktor honoris causa oleh Universitas Cambridge. Mereka menyatakan bahwa karya-karya Derrida tidak memenuhi standar akademik demikian rupa, sehingga menganugerahinya gelar doktor honoris causa sama saja dengan mempromosikan kekacauan pemikiran sebagai ideal akademik yang patut diupayakan (Lih. http://courses.nus.edu.sg/course/elljwp/againstdsdegree.htm).
- Pada tahun 1970-an, John Searle, seorang filsuf Analitik, terlibat tawuran tertulis dengan Derrida. Mulanya Derrida mengritik filsafat bahasa J.L. Austin, kemudian Searle membela Austin dengan mengritik bahwa Derrida tidak memahami konsep-konsep dasar yang diandaikan dalam filsafat Austin. (Lih. http://www.scribd.com/doc/29238861/Reiterating-the-Differences-A-Reply-to-Derrida-by-John-R-Searle). Lantas Derrida mengritik balik Searle sambil memparodikan nama ‘Searle’ sebagai ‘Sarl’ (yang merupakan padanan Prancis dari ‘Limited Inc.’). Dalam buku yang terbit jauh kemudian, The Social Construction of Reality, Searle mengungkit persoalannya dengan Derrida dan menyatakan bahwa Derrida sebenarnya hanya mengacung-acungkan jargon dan tidak punya argumen.
- Pada tahun 1930-an, salah seorang pendiri Lingkaran Wina, Rudolf Carnap, menggebuk Heidegger dengan menganggapnya tak paham tata bahasa. Pernyataan-pernyataan Heidegger, baginya, adalah contoh paling jelas dari malfungsi bahasa. Misalnya, pernyataan Heidegger bahwa ‘Ketiadaan meniada’ (Nothing noths), bagi Carnap, sama saja seperti pernyataan absurd ‘Caesar adalah dan’ (Caesar is and). (Silahkan unduh dan baca artikel Carnap berjudul ‘The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language:’ http://www.calstatela.edu/dept/phil/pdf/res/)
Inilah daftar tak lengkap dari perdebatan panjang di antara kedua tradisi besar filsafat kontemporer. Serentetan perdebatan ini menyentuh berbagai aspek dalam filsafat, mulai dari substansi pandangan sampai dengan metode berfilsafat itu sendiri. Walaupun tak mungkin menguraikan keseluruhan isi perdebatan itu di sini, kita setidaknya dapat memotret ciri-ciri umum dari kedua tradisi tersebut.
Pertama-tama, perbedaan antara filsafat Analitik dan Kontinental tak bisa direduksi ke perbedaan antara teh dan kopi, antara bir dan wine—artinya, perbedaan itu tak bisa diartikan sebagai perbedaan antara filsafat orang Inggris dan Amerika versus filsafat orang Prancis dan Jerman. Banyak orang Inggris dan Amerika Serikat yang khazanah filsafatnya Kontinental (misalnya Terry Eagleton dan Judith Butler), demikian pula banyak orang Eropa daratan yang wawasan filsafatnya Analitik (misalnya Carnap dan Wittgenstein). Distingsi antara keduanya bukanlah distingsi geografis.
Hal yang juga perlu dijernihkan adalah stereotipe tentang filsafat Analitik. Kita yang belajar filsafat di Indonesia, jarang sekali bersentuhan dengan filsafat Analitik. Di Indonesia, kita dilahirkan dan dibesarkan dalam tradisi Kontinental. Buktinya gampang saja: berapa dari kita yang tak tahu wajah Heidegger, dan berapa dari kita yang tahu wajah Willard van Orman Quine? Berapa dari kita yang tak tahu nama depan Derrida, dan berapa dari kita yang pernah dengar nama Saul Kripke? Konteks pembelajaran filsafat di negeri ini demikian bias Kontinental dan karenanya persepsi kita tentang filsafat Analitik pun cenderung karikatural, misalnya, menyamakan filsafat Analitik dengan positivisme, empirisisme, saintisme, dst. Karikaturisasi lain yang menyesatkan adalah bahwa para pemikir Analitik kerap dianggap apolitis dan konservatif, seakan-akan mengabaikan fakta bahwa Chomsky seorang anarkis, Rudolf Carnap seorang sosialis, Otto Neurath seorang Austro-Marxis, David Hillel-Ruben seorang Marxis, G.A. Cohen seorang Marxis, dsb. Bahkan seorang liberal seperti Bertrand Russell pun pernah berkata bahwa kehidupan di Uni Soviet jauh lebih baik daripada di Amerika Serikat.
Ciri-ciri umum dari kedua kebudayaan filsafat itu dapat dipilah berdasarkan empat aspek: (1) hubungannya dengan ilmu; (2) metode penelitian dan penjabarannya; (3) hubungan antara filsuf dan koleganya; serta (4) kecenderungan berpikirnya. Tentu saja, ciri-ciri berikut tidak definitif, tetapi setidaknya ini dapat berguna sebagai alat bantu untuk melihat orientasi dasarnya.
Pertama, filsafat Kontinental lebih dekat dengan kesenian dan kesusasteraan, sementara filsafat Analitik lebih dekat dengan ilmu-ilmu alam, matematika dan logika. Hal ini tercermin dalam posisi akademik jurusan filsafat di kedua tradisi tersebut: di Prancis, filsafat ditempatkan dalam fakultas sastra, sementara tidak demikian di Oxford atau Cambridge. Filsuf Analitik cenderung memahami dirinya layaknya seorang ilmuwan: mempreteli fenomena sampai ke konsep terkecilnya untuk kemudian dianalisis satu per satu dan merangkainya kembali—sebuah pekerjaan yang terkesan kering dan membosankan. Filsuf Kontinental cenderung memahami dirinya bak artiste dan écrivain: menuliskan tema-tema filsafat yang berdesir di hati, yang bergema dengan realitas faktisnya sebagai makhluk yang fana. Itulah sebabnya pada tahun 40-an, ketika Sartre sibuk menulis novel untuk menyampaikan gagasannya, Quine sibuk merumuskan filsafatnya dalam bahasa kalkulus predikat tatanan-pertama. Secara anekdotal: seorang filsuf Kontinental akan mengawali tulisannya dengan ‘Ketika musim semi tiba …,’ sementara seorang filsuf Analitik dengan ‘Untuk setiap x, ada y, demikian rupa sehingga ….’
Kedua, filsafat Kontinental cenderung mencampurkan metode pemaparan dan isi ajaran, sementara filsafat Analitik cenderung memisahkan metode pemaparan dan isi ajaran. Bagi seorang filsuf Analitik, sekalipun isi ajarannya adalah tentang kontradiksi dan paradoks yang ruwet, ia sebisa mungkin memaparkannya dengan terang dan menghindari keruwetan. Contohnya, analisis logis Graham Priest tentang kontradiksi. Bagi seorang filsuf Kontinental, oleh karena isi ajarannya adalah tentang kontradiksi dan paradoks, maka ia sebisa mungkin memaparkannya dengan cara yang lebih setia pada duduk perkara yang mau dibahasnya, yakni secara kontradiktif dan paradoksal pula. Contohnya, tulisan-tulisan Derrida.
Ketiga, hubungan antar filsuf dan koleganya dalam tradisi Analitik umumnya sepadan, sementara hubungan yang sama dalam tradisi Kontinental umumnya timpang. Hal ini nampak pada perbandingan jumlah filsuf orisinal (dalam arti, bukan sekadar komentator filsafat) antara mereka yang di tradisi Analitik dan Kontinental. Dalam ranah filsafat Analitik, nyaris sejauh mata kita memandang, kita menjumpai filsuf yang punya ajaran sendiri-sendiri. Selain itu, amat sangat langka ditemukan orang Analitik yang menghabiskan hidupnya hanya untuk memaparkan ajaran filsuf lain (misalnya, sangat jarang ditemukan spesialis Russell, komentator seumur hidup atas Quine, dst.). Tradisi ini cenderung memisahkan kerja ‘berfilsafat’ dan ‘menulis sejarah filsafat.’ Sebaliknya, dalam ranah filsafat Kontinental, jarang sekali ada seorang doktor filsafat yang membangun sistem pemikiran sendiri. Umumnya mereka berakhir menjadi spesialis: ahli Husserl, pakar Derrida, jenius dalam hal Lacan, dsb. Oleh karena itu, kemunculan seorang filsuf di tradisi Kontinental seringkali disambut dengan dirayakan dan dikanonisasi. Bagi orang yang sinis dengan tradisi Kontinental, dalam tradisi itu lebih banyak groupies daripada filsufnya.
Keempat, filsuf Analitik cenderung berpikiran naturalis, sementara filsuf Kontinental cenderung berpikiran antinaturalis. Naturalisme adalah pandangan bahwa filsafat sejatinya sinambung dengan sains, dalam arti klaim-klaim filsafat mesti dapat dikoordinasikan dengan klaim-klaim yang dihasilkan sains. Itulah sebabnya, kita dapat menemukan banyak sekali materialis dalam tradisi filsafat Analitik dan banyak sekali pemikir yang terpengaruh varian tertentu dari idealisme dalam tradisi filsafat Kontinental. Itulah juga sebabnya, kita temukan banyak sekali realis dalam tradisi Analitik dan jarang sekali kita temukan realisme yang sama di tradisi Kontinental. Tentu ada pengecualian: Nelson Goodman adalah seorang antirealis dalam tradisi Analitik, sementara Quentin Meillassoux adalah seorang realis-materialis dalam tradisi Kontinental.
Empat aspek di muka mencirikan orientasi dasar kedua kebudayaan filsafat kontemporer. Perdebatan berkepanjangan yang belakangan memuncak pada debat Chomsky-Zizek dapat dilihat sebagai gema dari keempat aspek tersebut.
Dari manakah asal-muasal munculnya pembelahan di antara kedua kebudayaan ini? Menurut penelitian Dr. Karlina Supelli yang diterbitkan dalam Jurnal Driyarkara (XXXII no. 1/2011), pembelahan itu adalah fenonema pasca-Kant. Sampai dengan Immanuel Kant, nyaris semua filsuf di Eropa adalah sekaligus juga ilmuwan. Descartes adalah juga matematikawan, ahli biologi, pelopor psikologi, sementara Leibniz adalah juga matematikawan, fisikawan, ahli logika, dan Kant sendiri juga seorang astronom. Persis setelah Kant lah, dengan terbitnya idealisme Jerman, dengan Hegel pada puncaknya, mulai terbelah dua kebudayaan filsafat. Sejak Hegel, filsafat diceraikan dari ilmu-ilmu. Maka tidak kebetulan apabila pendirian filsafat Analitik, secara resmi oleh Bertrand Russell dan G.E. Moore, ditandai dengan proyek kritik total atas idealisme Inggris (Bradley dan McTaggart) yang mengimpor filsafat spekulatif Hegel ke Inggris.
Demikianlah garis-garis besar perbedaan antara dua kebudayaan itu. Pertanyaan yang secara wajar akan muncul kemudian: mana dari antara keduanya yang baik dan perlu dijadikan teladan? Saya tidak akan menjawab pertanyaan ini di sini, selain dengan menyitir ungkapan yang sudah jadi kuno: masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Untuk menangkap kelebihan dan kekurangan itu, sekaligus menutup bagian I artikel ini, ada baiknya kita mengutip sebuah anekdot. Dalam laporannya atas perbantahan Chomsky-Zizek baru-baru ini di koran The Guardian, Peter Thompson menyampaikan anekdot menggelitik yang menggambarkan perbedaan di antara kedua kebudayaan itu: ‘the analytical philosopher will accuse the continental philosopher of being insufficiently clear, while the continental philosopher accuses the analytical philosopher of being insufficiently.’
14 Agustus 2013
The Times (London), May 9, 1992. Sumber: http://courses.nus.edu.sg/course/elljwp/cartoon.htm