SORE yang istimewa. Hampir seratusan orang duduk melingkar di ruang tengah gedung IVAA, sebuah lembaga swadaya di Yogjakarta yang mengurus arsip seni visual. Mereka membicarakan buku yang ditulis seorang penari, menuturkan tubuh tari, dan penari-penari yang hilang pada 1965, saat terjadi pembunuhan massal di Indonesia. Buku istimewa ini terbit bulan Maret lalu.
Sang penulis buku The Dance that Makes You Vanish, Rachmi Diyah Larasati datang langsung dari Minneapolis, Amerika Serikat. Rachmi orang Indonesia, kulitnya sawo matang, rambutnya hitam panjang, dan berbahasa Indonesia. Ia lahir dan tumbuh di Banyuwangi Jawa Timur. Baru saja ia mendapat gelar Profesor di bidang Teori Kajian Budaya dan historiography di Jurusan Theatre Arts & Dance, University of Minnesota.
‘Buku ini merupakan sebuah pemikiran kesejarahan tentang saya, seorang penari, warga negara dan seorang anak dari sebuah keluarga,’ ujar Rachmi, memulai pembicaraan tentang bukunya.
The Dance that Makes You Vanish bertutur lewat paparan biografis penulisnya, yang tumbuh dalam lingkungan Islam NU di Banyuwangi. Orang-orang yang dicintainya dibunuh dengan tuduhan terlibat PKI. Meski belakangan diberitakan NU juga terlibat pembunuhan tersebut, masih banyak pertanyaan dalam kepala Rachmi. ‘Keluarga saya sangat NU, tapi juga dibunuh,’ ujarnya.
Menurut kabar, pembunuhan massal tersebut juga bertujuan membersihkan orang-orang terdidik agar tak melakukan pembangkangan. ‘Tapi tante saya hanya seorang pedagang ayam. Dia wajib lapor dua minggu sekali ke markas militer setempat,’ tambahnya. Belakangan dia tahu, tiap kali datang melapor, tantenya diwajibkan membersihkan kamar mandi dan kakus di markas itu.
Namun menurut Rachmi, buku ini lebih banyak mengulas ingatannya tentang tari, dan penarinya. Sejak kecil Rachmi diwajibkan mengenal dan menarikan tarian keraton, macam Bedoyo dan Serimpi. Tari-tari yang menurutnya memberikan pemahaman terhadap kelas-kelas di Indonesia. Keraton merupakan simbol kekuasaan, sementara tarian sendiri menunjukkan agar rakyat berbakti pada negara—tepatnya, pada penguasa.
Tak mudah menari Bedoyo dan Serimpi. Penari harus kelihatan elegan dan hati-hati membawaan nomor-nomor tarian yang penuh simbol penghormatan dan nilai-nilai adiluhung. Ia datang dengan membungkuk, menyembah—sebagai tanda penghormatan—lalu masuk ruangan dengan sedikit jongkok. Matanya tak boleh menatap langsung ke arah penonton. ‘Aturan menari itu berkaitan dengan kekuasaan raja, serta konsep yang mengatur hubungan antara raja dan rakyat. Di sinilah kekuasaan negara bisa dipahami, yaitu untuk mengatur pencitraan dan bakti dari rakyat.’
Tapi tari-tarian inilah yang dikenalkan secara nasional, bahkan global, sebagai identitas Indonesia. ‘Saat kecil, kami harus belajar tari-tarian itu,’ tambahnya. Kala itu, tari-tarian Keraton seolah menjadi alat untuk mendisiplinkan warga negara, khususnya perempuan, harus elegan, sopan, dan tunduk pada penguasa. Bedoyo dan Serimpi hanya ditarikan perempuan. Tari-tarian ini menempatkan tubuh perempuan sebagai sesuatu yang harus ditundukkan. Akibatnya, meski kekerasan hadir di depan kita, dialami perempuan dalam keseharian, ia tetap dianggap lumrah dan tak perlu diperkarakan. Salah satunya karena kita telah didisiplinkan oleh norma dan nilai dalam beragam bentuk, termasuk tari.
Dari sinilah Rachmi mulai membedah tari-tarian rakyat, yang hanya populer dalam lingkup desa—bahkan dusun—namun lebih egalitarian. ‘Tari-tarian itu lebih mengarah pada pemahaman akan lingkungan, cerita-cerita keseharian tentang tanah, air, angin dan pembagian daun-daun yang bisa dimasak, dan lainnya, merupakan simbol estetik,’ ujarnya.
Anna Mariana, sejarawan dari Etnohistori yang sore itu menjadi penanggap diskusi, menyepakati pendapat Rachmi, ‘Seperti saat mengikuti tari Jatilan, misalnya. Tarian rakyat mengekspresikan kebebasan dan keasyikan tersendiri.’ Selain Anna, penanggap lainnya adalah Leslie Dwyer, antropolog dari George Mason University.
Perbandingan itu mengarahkan Rahcmi pada serangkaian pertanyaan: mengapa tarian rakyat dilarang dan para kebanyakan penarinya hilang? Bahasa apa yang digunakan untuk melegitimasi kebijakan tersebut? Di Jawa Timur, ia menemukan fakta kolaborasi antara militer dan pemuka agama, yang telah membuat estetika tarian tertentu sedemikian mengancam bagi penguasa. Penari-penari itu dituduh memiliki hubungan dengan kaum komunis. Banyak dari mereka yang dibunuh, atau dipenjarakan tanpa pernah diadili.
Lebih jauh, buat Rachmi buku ini merupakan pergulatan pemikirannya sebagai warga negara yang menjadi saksi sekaligus korban kekerasan 1965. Sebagai warga negara, ia merasa memiliki kewajiban untuk mewacanakannya. Belakangan, hal ini menjadi misi pribadinya. Ia tak mau menyimpannya diam-diam, seperti dikehendaki para pelaku kekerasan.
Ia menggunakan tubuh dan ingatan sebagai arsip yang hidup.
‘Pertama, saya ingin mendudukkan ingatan dan tubuh sebagai sebuah arsip. Materiality of remembering—bagaimana mewujudkan ingatan, secara simbolis dan politik’, ujarnya. ‘Kedua, mendudukkan wacana kebijakan negara sebagai sebuah ranah sosial dan politik yang dikaitkan dengan keberadaan tubuh, yang dilahirkan sebagai nilai estetik dan dogma negara,’ tambahnya.
Anna Mariana menilai metode ini relatif baru dan penting dipopulerkan. ‘Jika orang atau keluarga hilang di sebuah desa, kita bisa mewawancari orang sekitarnya, tapi bagaimana dengan tarian yang hilang dalam satu generasi kebudayaan kita. Bagaimana kita menggalinya?’ Tubuh dan ingatan sebagai arsip salah satu jawabannya.
Belakangan tari-tarian yang hilang itu dihidupkan, diajarkan lagi, bahkan masuk ke dalam kurikulum beberapa sekolah seni. Misalnya tari Jejer yang diajarkan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Rachmi menggugat kehadiran kembali tari-tarian yang hilang itu, karena masih ada yang hilang, menurutnya. ‘Cerita kekerasan di balik menghilangnya penari beserta tariannya tak pernah diangkat.’
Menurut Rachmi, tari-tarian terlarang kembali diajarkan pada ruang berbeda, ruang proyek-proyek pembangunan budaya. Mereka menjadi program nasionalisasi semata, dihadirkan kembali di ranah akademisi dan publik tertentu. Kenyataan ini membawanya pada kritik terhadap makna partisipasi dalam pembangunan. ‘Inikah ukuran sukses partisipasi? Apakah kehadiran kembali sebuah tarian akan mengubah bahasa tubuh, atau mampu memenuhi nilai-nilai yang dihilangkan?’ gugatnya. Sebab, estetika bisa dimunculkan kembali, tapi makna dan pemahamannya bisa dipermainkan, sehingga jauh dari kenyataan.
Saya jadi teringat Sarah Agustiorini tentang Pek Bubun di Long Anai, desa budaya Dayak Kenyah Lepoq Jalan, Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar). Pek Bubun, perempuan Dayak Kenyah, sudah usia kepala delapan. Ia satu-satunya perempuan yang berkuping panjang di sana. Cerita Pek Bubun, biar tak dibilang kafir, tak beragama, dulu perempuan-perempuan di kampungnya terpaksa memotong kuping panjangnya.
Padahal memanjangkan kuping bagi perempuan Kenyah tak hanya identitas, tapi juga bagian dari ritual agama bumi mereka, Bungan Malang Paselan Luang. Saat perempuan Kenyah memasuki usia baligh, sebuah upacara adat akan digelar untuk menandai kesiapan mereka memilih jalan hidupnya sendiri, menikah dan membangun keluarga. Ini ditandai dengan mentato tangan dan kaki, serta mulai memanjangkan kuping.
Tapi kini berbeda. ‘Pemerintah bersikap seenaknya kepada kami orang dayak, yang tiba-tiba menginginkan kami memelihara kuping panjang untuk memperlihatkan tradisi kami orang dayak,’ ujar Pek Bubun. Ia mempertanyakan kenapa dulu pemerintah mengharuskan kuping panjang mereka dipotong, jika sekarang harus dipanjangkan lagi. ‘Dulu kami tak boleh melakukan upacara Hudoq karena bertentangan dengan agama, sekarang kami diminta bikin Hudoq lagi, tapi kami masih disuruh ke gereja juga,’ ujarnya. Hudoq adalah ritual persembahan kepada penguasa alam diawal musim tanam padi.
Pemerintah yang dimaksud Pek Bubun adalah pemerintahan Kukar, Kalimantan Timur. Kini Kalimantan Timur menggalakkan upaya wisata budaya, salah satunya lewat penetapan ‘desa-desa budaya’. Long Anai di kecamatan Loakulu salah satunya, ditetapkan menjadi desa Budaya pada 2005. Desa-desa budaya ini adalah potret kekuasaan, dan Long Anai dipaksa mengikuti agenda kekuasaan yang tak berubah sejak masa Orde Baru, bahkan sejak masa Soekarno.
Saat Soekarno meluncurkan operasi ‘Ganyang Malaysia’ pada 1963-1966, orang Dayak Kenyah dipaksa berhadapan dengan saudara sepulau. Akibatnya, mereka harus bermigrasi dari perbatasan dua negara. Di bawah Soeharto, mereka dipaksa memutuskan ikatannya dengan adat dan alam karena diharuskan meninggalkan agama asli, dilarang menggelar Hudoq, dan harus pergi ke gereja. Namun di masa desentralisasi, semua yang dilarang lebih 40 tahun lalu itu ‘diputar ulang.’
Namun, masalahnya bukan pada lahirnya desa-desa budaya itu. Masalahnya, kelahiran kembali budaya tersebut tidak untuk disertai dengan wacana hak-hak masyarakat adat yang dilanggar sejak lama. Desa-desa budaya ini sebenarnya merupakan sarana kamuflase kekuasaan. Wajah ‘partisipasi’ masyarakat adat dibuat sedemikian rupa untuk membungkus wajah sejati pemerintah, wajah eksploitasi sumber daya alam, wajah perusakan alam. Hingga 2013, setelah masa keemasan industri kayu berlalu, sedikitnya 1400 ijin pertambangan batubara dikeluarkan Pemerintah Kalimantan Timur, setelah masa keemasan industri kayu berlalu. Tambang-tambang itu tak hanya menggusur lahan, mencemari sumber-sumber air dan memiskinkan orang dayak dan Kutai, tapi juga mengusir para transmigran yang telah puluhan tahun hidup di sana.
Hal ini pula yang dirasakan Rachmi ketika tari-tarian yang hilang kembali dipentaskan. Tentu, ia tak tak melarang kita memainkan tari-tarian itu. Sebaliknya, ia berharap tari-tarian tersebut mendorong lahirnya karya-karya baru yang memberikan kritik, untuk mengingatkan kembali apa yang telah kita lupakan. ‘Karya yang mengeksperesikan resilience, karya perlawanan’, harapnya.
Ia juga berharap bukunya mampu merekonstruksi dan memberi ruang untuk mendiskusikan bagaimana Negara menggunakan pelbagai cara untuk mendisiplinkan warganya. ‘Misalnya lewat kegiatan baris berbaris dan upacara bendera tiap senin, atau kewajiban menyaksikan film tentang perempuan yang aktif, yang digambarkan sebagai Gerwani,’ tambahnya.
Maka Rachmi pun memetakan secara sederhana apa yang sedang terjadi di masa lalu dan masa kini. Bagaimana negara merekonstruksi sesuatu, bagaimana politik memainkah tubuh tari, mengingatkan siapa yang penjahat, siapa yang pahlawan. Ia menggunakan apa yang dilihatnya, yang dialami pikiran dan tubuhnya sebagai alat refleksi. Tapi sebagai bagian refleksi, ia tak mau mendudukkan dirinya semata korban tragedi 1965 yang tak berdaya dan harus dikasihani. Ia ingin mendorong korban sebagai agen perubahan, yang harus mengingatkan dan mengubah pandangan masyaakat melalui produk-produk yang kreatif.
Mungkin itu pula yang mendorong Rachmi menuturkan kekerasan dengan cara yang lain, tidak vulgar. ‘Biasanya narasi kekerasan 1965 menghadirkan memori kekerasannya, cara-cara kekerasan itu terjadi, misalnya. Tapi buku ini memperlihatkan kekerasan tanpa menunjukkan vulgaritas,’ komentar Anna. Biasanya pembaca selalu ingin tahu cerita kekerasan, namun buku ini tak hanya menuturkan dengan cara yang lain, tapi juga mengajak mengetahui apa yang dilakukan korban pasca-peristiwa kekerasan.
Tak berhenti di situ, sebagai orang Indonesia yang tinggal dan berkeluarga di luar Negeri, Rachmi tak ingin menggunakan bukunya hanya untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan negara. Tapi ia juga mengkritik Barat. Ia mengingatkan bahwa apa yang terjadi di kampungnya, dalam skala lokal hingga nasional juga dipengaruhi oleh kepentingan global, kepentingan Barat.
Kekerasan 1965 juga berkait dengan kepentingan politik dan ekonomi negeri-negeri adikuasa di masa perang dingin, blok Sekutu serta blok Uni sovyet yang komunis, seperti yang dituturkan Bradley R. Simpson (2008) dalam bukunya Economists with Gun.
Rachmi juga membuat perbandingan yang menarik antara Indonesia dan Kamboja. Kedua negara sama-sama mengalami sejarah kekerasan melalui pembunuhan massal dan penghilangan warga. Bedanya, kekerasan di Kamboja berhasil dinarasikan dan diwacanakan kesejarahannya hingga taraf global dengan beragam cara, mulai dari pembangunan museum pembantaian hingga pertukaran kebudayaan lewat wisata dan tari. Rachmi sempat tinggal di Kamboja selama setahun untuk memahaminya. Di sana, orang bisa terus terang menyatakan diri sebagai korban. Di ranah global, Kamboja berkolaborasi dengan sejumlah organisasi internasional untuk mereproduksi karya tari dan kesenian lainnya yang menunjukkan bahwa merekalah korban pembunuhan masal. Sementara di Indonesia, yang tercipta hanya pengingkaran belaka. Akibatnya, orang tak mau kenal lagi keluarga yang tersangkut peristiwa 1965, takut kehilangan masa depan.
Buku ini menjadi pengingat kita bahwa negara belum mengambil tindakan yang diperlakukan untuk korban 1965, demikian komentar Leslie Dwyer. Kontribusi penting The Dance that Makes You Vanish adalah memberikan pemahaman baru tentang kekerasan 1965—sebuah kekerasan yang tak mudah dilupakan namun terus ditanggapi dingin oleh Negara.***
Siti Maimunah, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)