Judul: Socialism: Utopian and Scientific
Sumber: Collected Works, Jilid 24
Penulis: Frederick Engels
Penerbit: International Publishers, New York, 1989
Tebal: 44 hlm.
TIDAK mudah mendefinisikan sosialisme, karena ada begitu banyak variannya. Para pengguna istilah itu juga sering memakainya tanpa definisi yang jelas, seolah-olah istilah itu sudah jelas dengan sendirinya. Yang berbahaya dari membiarkan istilah itu tanpa definisi yang jelas adalah bahwa istilah tersebut kemudian bisa diklaim dan dijadikan justifikasi atas proyek politik tertentu yang belum tentu layak menyandang nama itu. Menjelang Pemilu 2009, misalnya, Partai Gerindra pernah diwacanakan sebagai partai yang membawa visi sosialis, meski kemudian dibantah oleh Prabowo sendiri. Menurutnya, Partai Gerindra tidak membawa visi sosialis murni, melainkan ekonomi kerakyatan yang bersifat campuran dan tidak mengharamkan kapitalisme.
Lalu, apa itu sosialisme? Definisi Michael Newman yang dilandaskan pada ciri mendasar dari berbagai varian sosialisme tampaknya bisa digunakan sebagai titik pijak dalam tulisan ini. Ciri mendasar yang pertama adalah bahwa sosialisme memiliki komitmen terhadap pembentukan masyarakat yang setara, dan relasi kepemilikan kapitalis dianggap sebagai hambatan struktural bagi penciptaan masyarakat yang setara itu. Dengan demikian, sekalipun dengan derajat yang berbeda-beda, semua varian sosialisme selalu menentang relasi kepemilikan kapitalis, dan memiliki aspirasi untuk membangun sebuah masyarakat yang egaliter, dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai pemenuhan dirinya tanpa hambatan yang bersifat struktural.[1]
Ciri yang kedua dari sosialisme adalah keyakinan atas kemungkinan untuk mewujudkan masyarakat yang setara berdasarkan nilai-nilai solidaritas dan kerjasama. Ini sangat terkait dengan ciri yang ketiga, yaitu optimisme terhadap manusia dan kemampuannya untuk bekerjasama satu sama lain. Sosialisme, dengan demikian, menolak pandangan yang menyatakan bahwa motivasi dari perilaku manusia hanyalah kepentingan pribadi dan kompetisi. Mereka menganggap dominannya kepentingan pribadi dan kompetisi dalam kehidupan manusia saat ini sebagai sebuah produk sosial yang bisa diubah. Adapun ciri keempat dari sosialisme adalah keyakinan akan kemungkinan untuk membuat perubahan yang signifikan melalui agensi manusia yang sadar. Meski ada beberapa varian dari sosialisme yang bersifat deterministik, tetapi tidak ada pemikiran sosialis yang mempromosikan kepasrahan atas situasi yang berlaku.[2]
Tulisan ini sendiri hendak membahas satu varian dari sosialisme, yaitu sosialisme ilmiah (scientific socialism) yang merupakan cita-cita politik dari Marxisme. Dan untuk itu, saya akan mendiskusikan pamflet Friedrich Engels, Socialism: Utopian and Scientific. Pamflet ini merupakan pamflet yang paling sering dibaca setelah Manifesto Komunis, dan menurut Karl Marx dalam kata pengantarnya untuk edisi Perancis, pamflet ini merupakan ’pengantar sosialisme ilmiah.’[3] Isi pamflet ini diambil―dengan revisi―dari tiga bab buku Anti-Dühring karya Engels, dan pertama kali diterbitkan dalam bentuk artikel di jurnal La Revue socialiste pada Maret-Mei 1880. Adapun isi pamflet ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, didedikasikan sebagai kritik atas sosialisme utopis. Bagian kedua, merupakan pembahasan atas dialektika dan konsepsi materialis tentang sejarah atau materialisme historis. Dan bagian ketiga, membahas berbagai kontradiksi dalam kapitalisme serta kemungkinan untuk mewujudkan sosialisme.
Kritik Atas Sosialisme Utopis
’Sosialisme modern,’ kata Engels, ’pada pokoknya, adalah produk langsung dari pengenalan atas, di satu sisi, antagonisme kelas yang ada dalam masyarakat sekarang, antara kaum berpunya dan tak berpunya, antara kapitalis dan pekerja-upahan; di sisi lain, atas anarki yang ada dalam produksi.’[4] Sosialisme modern, dengan demikian, adalah suatu produk sosial-historis. Ia bukanlah gagasan yang begitu saja ada tanpa ada situasi sosial yang mengondisikannya. Akar sosialnya terletak di ranah ekonomi dan perjuangan antara kelas pekerja dengan kaum berpunya. Namun demikian, sama seperti gagasan baru lainnya, ’Sosialisme modern, pada awalnya harus menghubungkan dirinya dengan bahan-bahan intelektual yang tersedia baginya, terlepas dari seberapa dalam akarnya terletak pada fakta-fakta ekonomi material.’[5]
Diskursus sosialis sebenarnya sudah muncul sejak lama. Pada saat perjuangan kaum borjuis melawan para bangsawan feodal, diskursus sosialis juga bertumbuhan. Meskipun ketika itu, para pekerja―yang belum menjadi proletariat modern―berada di bawah ’kepemimpinan’ kaum borjuis, tetapi terdapat momen-momen dimana gerakan mereka muncul secara independen. Misalnya, kaum Anabaptis, sebuah kelompok Protestan Radikal yang muncul pada masa Reformasi di abad ke-16 dan menyerukan kepemilikan bersama atas kekayaan. Kemudian, kaum Digger dan True Leveller yang muncul pada masa Revolusi Inggris di tahun 1640-an, dan berusaha menerapkan kepemilikan bersama atas tanah.[6] Seiring dengan munculnya gerakan-gerakan ini, tumbuh pula diskursus sosialis dan gambaran utopis tentang kondisi sosial yang ideal.
Tiga tokoh besar sosialis utopis yang menjadi fokus kritik Engels di pamflet ini, Saint Simon, Charles Fourier dan Robert Owen, hidup pada masa setelah kaum borjuis memenangkan pertarungannya dari para bangsawan feodal melalui revolusi demokratik di Eropa, terutama Revolusi Perancis. Mereka terpengaruh oleh bahan-bahan intelektual dari masa Revolusi Perancis yang menganggap Nalar (Reason) sebagai ukuran dari segalanya. Padahal, ’kerajaan nalar’ itu tidak lain adalah ’kerajaan borjuis’ yang diidealisasi. Sama seperti para pemikir di masa Revolusi Perancis, yang menganggap feodalisme sebagai irasional, ketiga tokoh sosialis utopis di atas juga melihat berbagai macam problem sosial dan penindasan di ’dunia borjuis’ yang baru sebagai irasional. Karenanya, mereka ingin membawa ’kerajaan nalar’ dan keadilan abadi ke dunia.
Namun, ketiganya hidup di masa ketika kapitalisme dan antagonisme kelas borjuis dengan proletariat belum berkembang penuh. Industri modern baru muncul di Inggris dan belum dikenal di Perancis. Kelas proletariat yang saat itu baru muncul juga belum memperlihatkan kapasitasnya untuk berpolitik secara mandiri. Artinya, ketiga tokoh sosialis utopis itu hidup di masa ketika solusi bagi berbagai problem sosial dan kontradiksi kapitalisme belum tersedia. Tetapi, karena pengaruh diskursus sebelumnya yang mengglorifikasi nalar, mereka menganggap bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan nalar. Karenanya, mereka berusaha ’menemukan sebuah sistem tatanan sosial yang baru dan lebih sempurna, serta memaksakannya ke masyarakat dari luar dengan propaganda, dan jika memungkinkan, dengan contoh dari eksperimen model-model komunitas.’[7]
Sekarang, mari kita lihat pemikiran mereka. Pemikir yang pertama, Saint-Simon, adalah anak kandung Revolusi Perancis. Ia berhasil menangkap adanya fakta perjuangan kelas dalam masyarakat. Namun, karena kelas proletariat pada saat itu belum berkembang penuh, ia melihat pertentangan kelas yang terjadi adalah antara ’pekerja’ dengan ’pemalas’ (idlers). Di sini, yang ia sebut sebagai ’pekerja’ bukan hanya buruh, tetapi juga pengusaha, pedagang dan bankir; sementara ’pemalas’ adalah kaum feodal yang memiliki privilese, tetapi tidak terlibat dalam produksi dan distribusi. Saint-Simon juga trauma dengan pengalaman pemerintahan sayap-kiri Jacobin yang melakukan ‘teror’ pada masa Revolusi Perancis, sehingga ia menganggap bahwa kelas-kelas yang tidak berpunya—yang direpresentasikan oleh pemerintahan Jacobin—tidak memiliki kapasitas memimpin. Ia lalu merumuskan sebuah ekonomi sosialis yang dipimpin oleh sains dan industri, yang personifikasinya adalah ilmuwan dan kaum borjuis. Ia berharap kaum borjuis bisa mentransformasikan diri mereka menjadi semacam pejabat publik yang baik atau wali amanat masyarakat.
Pemikir yang kedua, Charles Fourier, melontarkan kritik terhadap masyarakat borjuis dengan membandingkan kesengsaraan yang ada dengan janji-janji indah para ideolog borjuis di masa sebelum Revolusi Perancis, tentang masyarakat yang didominasi oleh nalar, sebuah peradaban dimana kebahagiaan menjadi universal. Ia juga mengritik relasi antar-jenis kelamin serta posisi perempuan dalam masyarakat borjuis. ’Ia adalah orang pertama yang menyatakan bahwa dalam masyarakat apapun, tingkat emansipasi perempuan adalah ukuran alamiah dari emansipasi secara umum.’[8] Fourier juga sudah menggunakan metode dialektika dan memiliki konsepsi tentang sejarah masyarakat yang bergerak dengan kontradiksi. Dalam kata-kata Engels, ’Fourier, seperti yang kita lihat, menggunakan metode dialektika dengan tingkat keahlian yang sama seperti Hegel yang hidup semasa dengannya.’[9]
Pemikir yang ketiga, Robert Owen, yang sekarang dikenal sebagai Bapak Koperasi Dunia, berasal dari Wales dan hidup di masa Revolusi Industri di Inggris. Hal ini membuatnya bisa melihat potensi emansipatif dari peningkatan produktivitas akibat perkembangan kekuatan-kekuatan produktif. Owen juga merupakan seorang pengusaha, sehingga ia memiliki pengetahuan praktis yang memadai tentang industri. Ia menjadi managing partner dari sebuah pabrik kapas di New Lanark, Sktolandia, pada 1800-1829. Selama periode ini, ia berhasil mengubah situasi di daerah yang berpenduduk 2.500 orang itu. Jam kerja yang saat itu masih 13-14 jam, dikuranginya menjadi 10,5 jam. Kemudian, di saat krisis kapas membuat pabriknya berhenti beroperasi selama 4 bulan, buruh-buruhnya tetap menerima upah penuh. Ia juga membangun sekolah balita di New Lanark. Dan ini semua tidak berpengaruh pada keuntungan pabriknya. Pabriknya tetap memperoleh untung besar.
Sekalipun sukses, ia tetap tidak puas. Ia melihat bahwa para buruhnya tetap menjadi budak yang berada di bawah belas kasihannya. Ia juga merefleksikan kenyataan bahwa 2.500 penduduk di New Lanark mampu memproduksi kekayaan yang sama banyaknya dengan kekayaan yang diproduksi oleh 600.000 orang satu setengah abad sebelumnya. Masalahnya, sebagian besar kekayaan ini jatuh ke tangan si pemilik pabrik. Apa yang kemudian berusaha dilakukan Owen adalah merekonstruksi sebuah masyarakat di mana kekayaan yang berlimpah ini bisa menjadi milik publik, untuk kemaslahatan umum. Pada tahun 1823, Owen mengusulkan pembentukan koloni-koloni Komunis untuk menyelesaikan penderitaan yang dialami masyarakat Irlandia. Ia membuat sebuah rancangan praktis yang sangat rinci, dengan perkiraan ongkos pendirian koloni-koloni itu, pengeluaran tahunannya dan pendapatan yang mungkin didapat. Ia juga mulai menyerang kepemilikan pribadi dan melakukan eksperimen-eksperimen pendirian koloni Komunis, seperti yang dilakukannya di Amerika.
Namun, kali ini eksperimennya berujung gagal dan ia kehilangan posisi sosial yang dimilikinya. Kalau sebelumnya Owen adalah orang terpandang di masyarakat dan pendapat-pendapatnya menjadi rujukan para negarawan serta bangsawan, maka setelah menjadi ’komunis,’ mereka mengucilkannya. Ia juga jatuh miskin, karena mengorbankan nyaris seluruh kekayaannya untuk melakukan eksperimen koloni komunis yang gagal di Amerika. Tetapi, Owen tak patah arang. Kali ini ia beralih ke kelas pekerja. Di sana, ia disambut dengan suka cita. Ia menjadi ketua Serikat Buruh Inggris dan Irlandia yang Terkonsolidasi Secara Nasional dan Besar, melalui kongres yang diikuti serikat-serikat buruh dan komunitas-komunitas koperasi pada Oktober 1833 di London. Ia mengusulkan agar serikat ini mengambilalih manajemen produksi dan mengorganisirnya dalam bentuk koperasi. Ia juga menggagas Bazar Pertukaran Kerja yang Setara untuk pertukaran produk kerja, dengan alat tukarnya berupa labor-notes yang satu unitnya adalah satu jam kerja. Dengan cara ini, Owen berharap transformasi masyarakat bisa dijalankan dengan cara damai. Tetapi, ia keliru. Para pengusaha dan negara menentang keras Owen dan serikatnya. Pada Agustus 1834, serikat yang dipimpin Owen ini pun terlikuidasi.
Gagasan para tokoh sosialis utopis itu mendominasi pemikiran sosialis pada abad kesembilan belas. Seperti yang telah dinyatakan di atas, pemikiran mereka muncul ketika solusi bagi berbagai problem sosial dan kontradiksi kapitalisme belum tersedia. Gagasan dan eksperimen mereka mengalami kegagalan, karena prasyarat material untuk mewujudkan tatanan sosial yang mereka gagas belum terpenuhi. Mereka juga menganggap sosialisme sebagai ekspresi dari keadilan, nalar dan kebenaran absolut, yang terlepas dari sejarah. Yang diperlukan hanyalah menemukannya dan menerapkannya ke dunia. Pendekatan mereka, dengan demikian, bersifat ‘idealistik’ dan hasilnya adalah utopia. Bagi Engels, untuk bisa diwujudkan, sosialisme harus dijadikan ilmu pengetahuan: sosialisme ilmiah! Itu berarti menemukan kemungkinan untuk mewujudkan sosialisme pada kenyataan riil yang berlaku, yakni kenyataan kapitalisme.
Dialektika dan Materialisme Historis
Untuk bisa menemukan kemungkinan mewujudkan sosialisme pada kenyataan kapitalisme, diperlukan analisa atas kontradiksi internal kapitalisme dan kemungkinan pelampauannya. Analisa ini, pada gilirannya, hanya dimungkinkan dengan penemuan dialektika dan konsepsi materialis tentang sejarah. Metode penalaran dialektis sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Filsafat Yunani kuno lebih melihat dunia secara keseluruhan, sebagai suatu totalitas, sementara bagian-bagiannya tidak begitu dilihat. Karenanya, mereka tidak lagi melihat hal-hal yang bergerak, berubah, menyatu dan berkaitan, tetapi justru melihat pergerakan, perubahan, transisi dan keterhubungan itu sendiri. Segalanya, dengan demikian, terlihat cair, terus-menerus berubah, X bisa menjadi X dan bukan X. Ini adalah dialektika dalam bentuknya yang primitif dan naif.
Meski pandangan ini mengekspresikan karakter umum dari hal-ihwal sebagai sebuah totalitas, tetapi ia tidak memadai untuk menjelaskan komponen-komponen dari hal-ihwal tersebut secara rinci. Dan tanpa penjelasan ini, kita tidak akan memiliki pemahaman yang jernih tentang hal-ihwal tersebut sebagai sebuah totalitas. Karenanya, ilmu alam dan sejarah kemudian melepaskan komponen-komponen itu dari koneksi alamiah atau historis mereka, dan mengamatinya secara terpisah, wataknya, sebab-akibat khususnya, dan sebagainya. Hal ini berjalan ratusan tahun, sehingga metode kerja ini mewariskan kebiasaan untuk melihat suatu objek dan proses terlepas dari totalitasnya, sebagai sesuatu yang statis dan konstan. Ketika cara pandang ini ditransfer oleh Bacon dan Locke dari ilmu alam ke filsafat, muncullah cara pandang metafisika yang sempit.
Di sini, Engels membedakan antara pandangan dialektika dan metafisika. Bagi pandangan metafisika, hal-ihwal dan gagasan yang merefleksikan hal-ihwal tersebut, dianggap terpisah satu sama lain serta bersifat statis dan konstan, tidak berawal dan tidak berakhir. Pandangan metafisika, dengan demikian, berpikir dengan kerangka antitesa yang tak bisa dipecahkan, dimana X pasti akan selalu menjadi X yang berbeda dengan non-X dan tidak bisa berubah menjadi non-X. Positif dan negatif saling mengeksklusi satu sama lain secara absolut. Pandangan ini juga sulit berpikir tentang gerak dan ’transisi.’ Meski pandangan ini bisa dipakai di sejumlah bidang, tetapi cepat atau lambat, ia akan mencapai batas-batasnya, dimana di luar itu, ia akan menjadi bersatu-sisi, restriktif, abstrak, dan terjebak dalam kontradiksi yang tak bisa dipecahkan.
Sebaliknya, pandangan dialektika melihat bahwa hal-ihwal dan gagasan yang merefleksikan hal-ihwal tersebut, terkait satu sama lain, merupakan bagian dari suatu totalitas, memiliki awal dan akhir, serta mengalami perubahan. Dalam proses perubahan atau transisi, X masih bisa merupakan X, tetapi sekaligus juga sudah menjadi non-X. Dalam pandangan dialektika, dua kutub antitesis, positif dan negatif, sekalipun berkontradiksi, tetapi juga bisa saling mempenetrasi atau saling mensyaratkan―biasa disebut juga sebagai ’relasi internal.’ Misalnya, kapital dan kerja-upahan saling berkontradiksi, tetapi juga saling mensyaratkan.[10]
Penalaran dialektis, yang sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, digunakan lagi oleh filsafat Jerman yang muncul di abad ke-18 dan berpuncak pada Hegel. Namun, Hegel adalah seorang idealis. Baginya, gagasan bukan cerminan dari kenyataan dan proses riil, tetapi sebaliknya, kenyataan dan perkembangannya adalah perwujudan dari ’Ide’ yang sudah ada sejak dulu. Akibatnya, sistem dialektika Hegelian terjatuh ke dalam kontradiksi yang tak bisa dipecahkan. Di satu sisi, ia memiliki proposisi pokok bahwa sejarah manusia merupakan sebuah proses perkembangan, yang karena wataknya, tidak bisa mencapai finalitas dalam sebuah ’kebenaran absolut,’ tetapi di sisi lain, ia mengklaim pemikirannya sebagai esensi dari kebenaran absolut itu. Dialektika, walau bagaimanapun, harus memberi ruang bagi perkembangan pengetahuan dan tidak bisa menutupnya.
Kontradiksi yang ada dalam idealisme Jerman, membawa kita kembali ke ’materialisme modern’ yang pada dasarnya sudah dialektis, karena merupakan refleksi dari alam yang juga dialektis. Engels optimis bahwa jika tiap cabang ilmu memperjelas posisinya dalam totalitas hal-ihwal, maka suatu ilmu khusus tentang totalitas, yakni filsafat, tidak lagi diperlukan. Apa yang tersisa dari filsafat hanyalah ilmu tentang pikiran dan hukum-hukumnya, yaitu logika formal dan dialektika. Sementara itu, terkait dengan konsepsi sejarah, fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa semua sejarah―dengan pengecualian fase primitif―adalah sejarah perjuangan kelas. Dan kelas-kelas yang bertarung merupakan hasil dari cara produksi dan pertukaran yang berlaku. Struktur ekonomi adalah basis yang mengondisikan keseluruhan suprastruktur hukum, politik, agama, filsafat dan berbagai gagasan manusia. Gagasan manusia dikondisikan oleh keberadaannya, dan bukan keberadaan manusia yang dikondisikan oleh gagasannya. Inilah konsepsi materialis tentang sejarah.
Sejak adanya konsepsi materialis tentang sejarah, sosialisme tidak lagi dianggap hanya sebagai temuan pikiran, tetapi merupakan hasil dari perjuangan kelas proletariat dengan borjuis. Tugas sosialisme, dengan demikian, bukan merumuskan sebuah sistem kemasyarakatan yang sesempurna mungkin, tetapi mengamati kondisi sosial-historis yang memunculkan kelas-kelas tersebut beserta antagonisme mereka, dan menemukan dalam kondisi ekonomi masyarakat, solusi untuk mengakhiri antagonisme tersebut.
Kontradiksi Internal Kapitalisme dan Sosialisme Ilmiah
Dalam konsepsi materialis tentang sejarah, sebab utama dari perubahan sosial dan revolusi politik bukanlah gagasan manusia tentang kebenaran dan keadilan, tetapi perubahan pada cara produksi dan pertukaran. Tumbuhnya persepsi bahwa organisasi sosial yang berlaku itu tidak adil, irasional dan salah, merupakan tanda dari adanya perubahan secara diam-diam di cara produksi dan pertukaran, yang membuatnya berkontradiksi dengan organisasi sosial yang berlaku. Cara-cara untuk menghilangkan kontradiksi inipun ada dalam cara produksi yang berubah itu. Karenanya, cara-cara ini tidak bisa dirumuskan dengan deduksi dari prinsip-prinsip dasar tertentu, tetapi harus ditemukan dalam sistem produksi yang berlaku. Sosialisme, dengan demikian, merupakan ’refleksi ideal’ dari kontradiksi internal kapitalisme di pikiran kelas yang paling tertindas di bawah kapitalisme, yaitu kelas pekerja.
Pada saat cara produksi kapitalis muncul, ia berkontradiksi dengan organisasi sosial feodal, seperti sistem privilese dan ikatan keturunan. Kaum borjuis menghancurkan sistem feodal ini dan membangun organisasi sosial kapitalis, seperti persaingan bebas, kebebasan individu, dan sebagainya. Adapun peran historis kapitalisme adalah mengonsentrasikan alat-alat produksi yang sebelumnya tersebar, dan menjadikannya kekuatan produktif yang besar. Sebelum kapitalisme muncul, ’industri’ yang ada hanya berupa bengkel-bengkel berskala kecil, seperti pandai besi desa, yang pekerjanya hanya si pandai besi dengan beberapa orang asistennya. Di antara bengkel-bengkel ini, ada yang saling berjaringan, dengan satu-dua orang pedagang sebagai koordinator atau perantara sekaligus penyedia bahan baku.[11] Alat-alat produksinya pun sederhana dan bersifat individual, satu alat hanya bisa digunakan oleh satu orang pekerja. Lalu, muncul kapitalisme yang mengonsentrasikan alat-alat produksi yang tersebar ini di bawah kepemilikan pribadi segelintir orang yang menjadi kelas borjuis.
Untuk mengubah alat-alat produksi ini menjadi kekuatan produktif yang besar, kelas borjuis harus mengubah alat-alat produksi individual ini menjadi alat-alat produksi yang berwatak sosial. Muncul mesin-mesin yang hanya bisa dioperasikan oleh sekelompok orang, tidak bisa lagi hanya oleh satu-dua orang. Produksi pun tidak lagi dilakukan di bengkel-bengkel kecil, tetapi di pabrik-pabrik dengan jumlah pekerja yang banyak dan pembagian kerja yang terencana. Apa yang kemudian terbentuk di sini adalah produksi yang tersosialisasi. Sebuah produk tidak lagi bisa dikatakan sebagai hasil kerja individual, karena merupakan hasil kerja bersama. Implikasi dari produksi yang tersosialisasi dan termekanisasi ini adalah meningkatnya produktivitas dan dimungkinkannya produksi berskala massal. Namun, karena yang memiliki alat-alat produksi adalah kelas borjuis, hasil dari kerja bersama ini tetap merupakan milik kelas borjuis. Di sini, kita dapatkan kontradiksi pokok dari kapitalisme, yaitu kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalis.
Kemudian, implikasi dari konsentrasi alat-alat produksi di tangan segelintir kelas borjuis adalah bahwa sebagian besar anggota masyarakat menjadi tidak memiliki alat-alat produksi. Akibatnya, untuk bertahan hidup, mereka harus menjual tenaga kerja mereka kepada kelas kapitalis. Mereka inilah yang menjadi pekerja-upahan atau proletariat modern. Konsentrasi alat-alat produksi ini terjadi, misalnya, melalui penghancuran sistem feodal, yang salah satu akibatnya adalah pengusiran petani dari tanah-tanah tempat mereka bekerja sebelumnya. Para produsen komoditi kecil pun tersapu oleh produksi kapitalis melalui persaingan, sehingga mereka juga kehilangan alat-alat produksi mereka. Para kapitalis memang membutuhkan pekerja-upahan untuk menjalankan produksi mereka, dan mereka mendapatkan pekerja-upahan melalui proses ini. Dengan demikian, kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalis mengemuka dalam kontradiksi antara kelas proletariat dengan borjuis.
Produksi kapitalis juga merupakan produksi komoditi. Artinya, hasil produksi mereka harus dijual di pasar. Di sini, kita temukan kontradiksi lain dari kapitalisme. Kalau di tingkat unit produksi atau perusahaan, terdapat produksi yang terorganisir dan terencana, maka di tingkat masyarakat, berbagai unit produksi yang ada diikat oleh pasar yang penuh dengan persaingan dan anarkis. Jadi, terdapat kontradiksi antara organisasi produksi dalam unit-unit produksi individual dengan persaingan antar unit produksi di tingkat masyarakat secara keseluruhan. Karena tekanan persaingan, tiap individu borjuis harus selalu berupaya menjual komoditinya dengan harga lebih murah dari para pesaingnya. Cara yang mereka tempuh adalah dengan meningkatkan produktivitas melalui mekanisasi agar mereka bisa memproduksi lebih banyak komoditi dengan ongkos produksi lebih murah per satu unit komoditi.
Implikasi dari hal ini adalah mulai digantikannya tenaga manusia dengan mesin, yang berakibat pada bertambahnya pengangguran. Upah juga menjadi semakin murah, karena supply pekerja-upahan yang semakin banyak tidak sebanding dengan permintaan industri. Pendapatan dan daya beli masyarakat pun menurun, sehingga pasar menyusut. Pada akhirnya, pasar yang ada tidak mampu lagi menyerap komoditi yang semakin melimpah, sehingga terjadilah krisis overproduksi. ’Cara produksi yang ada sedang memberontak terhadap cara pertukaran yang berlaku,’[12] ungkap Engels. Krisis merupakan momen dimana kekuatan-kekuatan produktif yang ada menegaskan karakter sosialnya dan ketidaksesuaiannya dengan cara produksi kapitalis, serta ketidakmampuan kelas borjuis untuk mengelola kekuatan-kekuatan produktif yang sudah demikian besar.
Solusi dari krisis cuma satu: mengakui secara praktis watak sosial dari kekuatan-kekuatan produktif yang ada, dan mengharmonisasi cara produksi, apropriasi dan pertukaran dengan karakter sosial dari alat-alat produksi yang ada. ’Dan ini hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang secara langsung dan terbuka mengambilalih kepemilikan atas kekuatan-kekuatan produktif yang telah tumbuh di luar kontrol siapapun, kecuali masyarakat secara keseluruhan itu sendiri.’[13] Dengan cara ini, anarki produksi akan diganti dengan regulasi produksi berbasis kebutuhan masyarakat dan tiap individu. Modus apropriasi kapitalis akan diganti dengan kombinasi antara modus apropriasi sosial secara langsung sebagai cara untuk memelihara dan memperluas produksi, dan modus apropriasi individual secara langsung sebagai alat subsistensi dan pemuasan kebutuhan.
Lapisan sosial yang sanggup menuntaskan revolusi di atas adalah kelas proletariat. Pasalnya, hanya kelas inilah yang berkontradiksi sekaligus memiliki relasi saling mensyaratkan dengan kapital. Kapital tidak bisa hidup tanpa penghisapan proletariat dan proletariat akan berhenti menjadi proletariat ketika kapital tidak ada. Kecenderungan kapitalisme untuk mendorong perpindahan kepemilikan alat-alat produksi dari swasta ke Negara di saat krisis, juga menunjukkan cara untuk menuntaskan revolusi ini, yakni dengan pengambilalihan kekuasaan politik oleh kaum proletariat dan peletakan kepemilikan alat-alat produksi di bawah Negara. Dengan menghancurkan kapital yang menjadi syarat keberadaan dirinya, proletariat juga menghapuskan kelasnya sendiri sebagai proletariat, dan dengan demikian, menghapuskan perbedaan dan antagonisme kelas serta menghapuskan Negara sebagai alat dari kelas yang berkuasa. ’Pemerintahan atas orang-orang akan diganti dengan tata laksana hal-hal yang diarahkan oleh proses produksi.’[14]
Gagasan tentang kepemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat hanya mungkin diwujudkan jika kondisi riil untuk mewujudkannya memang sudah ada. Selama kerja sosial secara total hanya menghasilkan produk yang sedikit berlebih dari yang diperlukan oleh semua orang untuk bertahan hidup, dan selama kerja yang diperlukan memakan seluruh atau hampir seluruh waktu sebagian besar anggota masyarakat, maka selama itu masyarakat berkelas akan terus ada. Hanya jika kekuatan-kekuatan produktif yang ada sudah memadai, maka perwujudan sosialisme menjadi mungkin. Dan sekarang, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kemungkinan itu ada. Yang diperlukan saat ini adalah memberikan kelas proletariat pengetahuan akan kemungkinan ini dan tugas sejarahnya sebagai subyek revolusioner. Inilah tugas dari ekspresi teoritik gerakan proletariat: sosialisme ilmiah!
Catatan Penutup
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa lihat bahwa sosialisme ilmiah bukanlah sebuah proyek politik yang diturunkan secara deduktif dari prinsip-prinsip normatif tertentu. Ia adalah sebuah proyek politik yang dibasiskan pada analisa atas kontradiksi internal kapitalisme dan kemungkinan untuk melampauinya. Adapun kontradiksi internal kapitalisme dan kemungkinan untuk melampauinya itu, bisa diketahui dengan analisa yang menggunakan metode materialisme dialektis dan materialisme historis. Mengingat perkembangan kapitalisme tidak selalu sama di setiap tempat, program politik sosialisme ilmiah bisa berbeda-beda di negara yang berbeda-beda, tergantung dari kontradiksi dan kemungkinan pelampauan yang spesifik ada di negara yang bersangkutan. Dan ini hanya bisa diketahui dengan analisa atas kapitalisme di negara tersebut, tidak bisa dirumuskan secara deduktif. Inilah yang sekarang penting untuk dilakukan oleh gerakan sosialis di Indonesia. Apa program politik sosialisme ilmiah untuk konteks Indonesia yang saat ini dicengkeram oleh kapitalisme-neoliberal?
Engels sendiri menganalisa kemungkinan untuk mewujudkan sosialisme berdasarkan perkembangan kekuatan produktif yang ada dan tiga macam kontradiksi dalam kapitalisme: (1) kontradiksi antara produksi yang tersosialisasi dengan modus apropriasi kapitalis; (2) kontradiksi antara kelas proletariat dengan borjuis; (3) kontradiksi antara organisasi produksi dalam unit-unit produksi individual dengan persaingan antar unit produksi di tingkat masyarakat secara keseluruhan. Kontradiksi ini kemudian akan pecah dalam bentuk krisis, yang merupakan tanda dari ketidaksesuaian kekuatan-kekuatan produktif yang sudah berwatak sosial dengan cara produksi kapitalis. Pertanyaannya, bagaimana dengan negara-negara yang perkembangan kekuatan produktifnya belum memadai? Apakah sosialisme tidak mungkin diwujudkan di negara-negara tersebut? Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tampaknya penting untuk dipikirkan oleh gerakan sosialis di Indonesia.
¶
Mohamad Zaki Hussein, Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), Redaktur Pelaksana Left Book Review (LBR). Penulis beredar di Twitterland dengan id @mzakih
Pustaka Tambahan
Braudel, Fernand. Civilization and Capitalism 15th-18th Century: The Wheels of Commerce. Jilid II. Diterjemahkan oleh Siân Reynolds. London: Book Club Associates dan William Collins & Co, 1983.
Hussein, Mohamad Zaki. “Kontradiksi Kerja-Upahan dan Kapital.” Left Book Review IndoProgress, Edisi VIII/2013. Diakses 11 Juni 2013 dari https://indoprogress.com/lbr/?p=1010.
Mandel, Ernest. The Place of Marxism in History. New Jersey: Humanities Press International, 1994.
Marx, Karl. “Introduction to the French Edition of Engels’ Socialism: Utopian and Scientific,” dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works, Jilid 24. New York: International Publishers, 1989.
Newman, Michael. Socialism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press, 2005.
[1] Lihat Michael Newman, Socialism: A Very Short Introduction (New York: Oxford University Press), 2005, hlm. 1-3.
[2] Ibid., hlm. 3-4.
[3] Karl Marx, ‘Introduction to the French Edition of Engels’ Socialism: Utopian and Scientific,’ dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works, Jilid 24 (New York: International Publishers), 1989, hlm. 339.
[4] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: ”Modern Socialism is, in its essence, the direct product of the recognition, on the one hand, of the class antagonisms, existing in the society of to-day, between proprietors and non-proprietors, between capitalists and wage-workers; on the other hand, of the anarchy existing in production.“ (hlm. 285). Semua terjemahan Indonesia dalam kutipan adalah oleh saya sendiri.
[5] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “…modern Socialism had, at first, to connect itself with the intellectual stock-in-trade ready to its hand, however deeply its roots lay in material economic facts.” (hlm. 285).
[6] Lihat Ernest Mandel, The Place of Marxism in History (New Jersey: Humanities Press International, 1994), hlm. 87 dan 90.
[7] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “…to discover a new and more perfect system of social order and to impose this upon society from without by propaganda, and, wherever it was possible, by the example of model experiments.” (hlm. 290).
[8] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “He was the first to declare that in any given society the degree of woman’s emancipation is the natural measure of the general emancipation.” (hlm. 292-293).
[9] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “Fourier, as we see, uses the dialectic method in the same masterly way as his contemporary, Hegel.” (hlm. 293).
[10] Untuk penjelasan mengenai ’relasi internal’ antara kapital dan pekerja-upahan, lihat Mohamad Zaki Hussein, “Kontradiksi Kerja-Upahan dan Kapital,” Left Book Review IndoProgress, Edisi VIII/2013, https://indoprogress.com/lbr/?p=1010.
[11] Lihat Fernand Braudel, Civilization and Capitalism 15th-18th Century: The Wheels of Commerce, Jilid II, diterjemahkan oleh Siân Reynolds (London: Book Club Associates dan William Collins & Co, 1983), hlm. 298-300.
[12] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: ‘The mode of production is in rebellion against the mode of exchange.’ (hlm. 316).
[13] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “And this can only come about by society openly and directly taking possession of the productive forces which have outgrown all control except that of society as a whole.” (hlm. 319).
[14] Kata-kata dalam versi Inggrisnya: “the government of persons is replaced by the administration of things, and by the conduct of processes of production.” (hlm. 321).