MELANJUTKAN artikel sebelumnya, kita akan berbicara tentang ekonomi-politik suara. Politik suara bukanlah tatanan kodrati yang ada sejak manusia hidup di muka bumi. Politik suara adalah produk sejarah. Politik menjadi persoalan pengorganisasian suara manakala produsen politik, yakni massa, telah kehilangan aksesnya pada sarana produksi politik. Separasi historis antara produsen politik dan sarana produksi politik tak lain adalah penceraian antara massa dan kekuatan politiknya. Hasil dari separasi historis ini ialah munculnya suara, yakni kapasitas politik umum yang dihitung berdasarkan jumlah individu abstrak yang menyusunnya. Lebih tepat lagi, dengan diubah menjadi suara, kapasitas politik massa mengalami fragmentasi menjadi kapasitas politik individual. Formasi politik suara tak lain adalah formasi kepemilikan-privat atas kapasitas politik. Ketika massa direduksi menjadi suara, di saat itulah modus politik komoditas mengemuka. Semua kerja dan produk kerja politik bertransformasi menjadi komoditas politik yang seukur satu sama lain karena dilandasi oleh besaran homogen yang sama—suara.
1. K – U – K sebagai Paradigma Subsistensi Suara
Kini kita telah mengetahui mengapa proses produksi komoditas politik adalah proses produksi massa, bagaimana medium perantara komoditas politik mentransformasi massa menjadi suara dan bagaimana kemunculan transaksi politik secara historis mensyaratkan separasi antara produsen politik dan sarana produksi politik. Inilah esensi politik, sejauh modus politik yang ada adalah modus politik komoditas. Pelampauan atas modus politik komoditas, karenanya, tidak bisa diwujudkan dengan cara menjauhi dan mengutuki kenyataan adanya komoditas politik. Pelampauan atasnya tak bisa dilakukan dengan mengambil jarak dari transaksi politik karena menganggap bahwa realitas komoditas politik adalah realitas yang busuk, yang melenceng dari nilai-nilai ‘kepolitikan transcendental.’ Pelampauan atasnya hanya mungkin dilakukan dengan kembali pada politik pengorganisasian massa, menggali kembali proses produksi massa sebagai basis proses produksi dan sirkulasi komoditas politik. Dan itu artinya: kita mesti bisa membuktikan bagaimana pertukaran komoditas politik dapat menjadi basis bagi keberlanjutan gerak massa sehingga memungkinkan perluasan gerak dan akhirnya pengambil-alihan politik oleh massa. Kita belum akan membicarakan pengambil-alihan politik oleh massa. Di sini kita baru akan menguraikan anatomi ekonomi-politik suara dan mengidentifikasi jantung kontradiksinya.
Sebelum mempelajari jantung kontradiksi modus politik komoditas, kita mesti memahami terlebih dahulu model akumulasi politik suara dan untuk mengerti model akumulasi itu kita mesti memahami dulu bentuk sirkulasi komoditas politik yang paling elementer, yakni sirkuit K – U – K (komoditas – uang – komoditas). Dalam sirkuit itu termuat landasan bagi subsistensi politik. Yang paling penting adalah memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam momen penjualan politik dan momen pembelian politik. Momen penjualan politik (K – U) merupakan proses dimana massa yang terorganisasikan melalui aktivitas kerja bersama dan memiliki nilai-tukar politik yang tinggi (memiliki jumlah yang besar), mentransformasi-diri ke dalam kekuatan efektif. Transformasi ini tak mungkin berhasil apabila nilai-tukar politik massa rendah dan nilai-tukar tersebut rendah apabila jumlah massa kecil dan tak terorganisasikan dalam aktivitas kerja bersama. Dalam modus politik komoditas, tak ada seorang pun yang bisa berpolitik tanpa punya barang-dagangan. Memasuki parlemen tanpa basis massa yang kuat adalah sama seperti berdagang tanpa sungguh memiliki barang-dagangan. Dan kita tahu, calo adalah pihak yang dengan mudah digunting dalam setiap transaksi. Nilai komoditas politik ditentukan oleh jumlah massa riil dan pengalaman kerja kolektifnya, bukan oleh massa imajiner yang diklaim keberadaannya tanpa pernah terverifikasi. Transaksi penjualan hanya mungkin tercapai kalau ada sesuatu yang akan dijual.
Momen pembelian politik (U – K) merupakan proses dimana kekuatan parlemen diarahkan untuk menghasilkan komoditas-komoditas politik yang berguna untuk memenuhi kebutuhan massa. Membeli tidak sama dengan memborong segala sesuatu atau menguasai seluruh komoditas politik dalam satu tarikan transaksi. Basis dari pembelian adalah daya beli, yakni jumlah kekuatan parlemen yang berhasil diorganisasikan (U) yang pada akhirnya tergantung pada jumlah kekuatan massa (K terdahulu). Dengan kata lain, momen pembelian dikondisikan dan dibatasi oleh momen penjualan terdahulu yang pada gilirannya ditentukan oleh proses produksi politik: seberapa besar jumlah massa yang bisa dilibatkan dalam aktivitas kerja bersama.
Sirkuit K – U – K adalah sirkuit sirkulasi yang bercorak subsisten. Apa yang diperoleh di sini bukan akumulasi melainkan subsistensi, keberlanjutan gerak. Karenanya, kita di sini belum bicara tentang akumulasi politik, perluasan gerak, apalagi pengambil-alihan kekuasaan. Kendati begitu, sirkuit K – U – K tetaplah menjadi syarat minimal yang harus dipenuhi sebelum kita berpikir tentang tahap-tahap sesudahnya. Kekhasan dari sirkuit subsistensi politik ini terletak dalam fungsinya, yakni untuk memenuhi kebutuhan politik—meredistribusikan kerja-kerja politik dalam skema pembagian kerja politik masyarakat untuk menghasilkan produk politik yang dapat dinikmati secara langsung. Tujuannya adalah konsumsi nilai-pakai politik, yakni kegunaan langsung dari komoditas-komoditas politik yang dipertukarkan. Secara teoretis, proses sirkulasi subsisten ini dapat dipisahkan dari proses akumulasi. Namun, dalam kenyataan aktual, proses ini diserap ke dalam proses yang lebih besar sehingga dalam modus poilitik komoditas kita tak bisa membayangkan sirkuit subsistensi politik tanpa sekaligus juga membayangkan sirkuit akumulasi politik.
2. U – K – U` sebagai Paradigma Akumulasi Suara dan Formasi Legitimasi
Dalam modus politik komoditas aktual, subsistensi tak bisa dilakukan selain dengan jalan akumulasi. Dalam konteks ini, tak ada satu entitas politikpun yang dapat bertahan tanpa memperbesar-diri. Momen perluasan inilah yang tergambar dalam sirkuit U – K – U`. Artinya, terjadi akumulasi politik dalam proses pengalihan kekuatan palemen, via pengorganisasian massa sebagai pengorganisasian suara, ke kekuatan parlemen yang lebih besar. Apa yang terjadi di sini? Apa yang membedakannya dari sirkuit subsistensi politik (K – U – K)? Inilah yang perlu kita periksa, sebab di dalamnya terkandung mistifikasi fundamental dalam ekonomi-politik suara.
Dengan menguasai parlemen, suatu entitas politik mengendalikan potensialitas atau daya-daya politik umum yang dapat ditubuhkan ke dalam program politik apapun. Inilah yang kemudian menjadi sarana perluasan suara. Kepemilikan atas potensi politik memungkinkan entitas politik untuk menyiapkan segala infrastruktur yang diperlukan untuk memastikan akumulasi suara dalam proses penjualan politik selanjutnya (pemilu atau fase K – U`). Apa yang mengemuka di sini sejatinya adalah penceraian politik dari massa. Apa yang terjadi di sini tak lain adalah proses penciptaan suara melalui suara. Apabila dalam sirkuit politik subsisten, transaksi politik dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi politik, dalam sirkuit politik akumulatif, transaksi suara bertujuan untuk memperbesar suara itu sendiri terlepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan politik massa. Inilah yang secara aktual terjadi.
Gerak akumulasi-diri suara inilah yang secara empirik kita sebut sebagai legitimasi dan secara metafisis kita sebut sebagai kedaulatan. Di sinilah terletak mistifikasi dasar yang kerap mengemuka dalam kajian-kajian politik. Sering dibayangkan bahwa negara tercipta melalui ‘momen keputusan’ yang dibuat oleh para pendiri negara dan perancang undang-undang yang paling awal. Kita membayangkan seolah-olah ada kekuatan supranatural yang bekerja dalam pendirian negara—kekuatan yang secara sakral disebut sebagai kedaulatan. Konon, kekuatan supranatural ini ditegakkan melalui keputusan (Entscheidung) dari luar tatanan politiko-legal yang melalui pengambilannya terciptalah tatanan politiko-legal. ‘Yang berdaulat adalah ia yang mengambil keputusan dalam situasi darurat,’ demikian Carl Schmitt. Kedaulatan inilah yang menjelma secara empiris dalam rutinitas politik sehari-hari sebagai legitimasi. Itulah juga pengandaian awal dari pemikiran Giorgio Agamben yang kritis terhadap Schmitt: politik sebagai hal yang berakar pada potensialitas murni. Kedaulatan, keputusan supra-legal, potensialitas murni—ketiganya tak lain daripada mistifikasi atas problematik akumulasi primitif dalam politik.
Problematik kedaulatan, tak seperti dibayangkan para penulis itu, sesungguhnya justru muncul belakangan. Kedaulatan dan situasi darurat yang menyituasikannya adalah produk historis pembagian kerja politik, yakni produk dari separasi antara produsen politik dan sarana produksi politiknya—dengan kata lain, produk dari modus politik yang bertopang pada suara. Kedaulatan bukanlah rahim primordial yang melahirkan politik. Kedaulatan merupakan hasil mistifikasi sama seperti halo atau pendaran aura yang digambarkan dalam riwayat tentang tokoh-tokoh suci. Diskursus tentang kedaulatan suatu tatanan politik mengandaikan homogenisasi kerja politik massa ke dalam satu besaran yang sama, ke dalam suara. Hanya ketika politik massa telah direduksi menjadi politik suara, barulah di situ menjadi sentral perdebatan tentang legitimasi sebuah tata pemerintahan untuk melangsungkan tindakan politiknya. Diskursus tentang legitimasi, tentang apa yang secara primordial dibayangkan sebagai kedaulatan, tak lain adalah mistifikasi pertama terhadap politik representasi, terhadap modus politik komoditas. Apa yang secara historis mengemuka sebagai penceraian paksa antara produsen politik dan sarana produksinya dinarasikan secara nyaris hagiografis dalam rupa kisah kuasa mistik kedaulatan. Yang berdaulat, memparafrasekan Schmitt, adalah ia yang pertama kali menceraikan suara dari massa, yang memberlakukan kepemilkan privat atas kapasitas politik. U – K – U`, dengan demikian, merupakan formula umum kedaulatan dan legitimasi sebagai inkarnasi rutin kedaulatan, yakni sebagai self-valorization suara.
3. Massa-Hidup, Massa-Mati dan Asal-Muasal Laba-Politik
Formula umum kedaulatan di muka menyimpan sebuah kontradiksi laten. Kontradiksi ini dapat dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan: apabila setiap transaksi politik mensyaratkan kesetaraan suara (sebagaimana setiap transaksi komoditas mengandaikan kesetaraan nilai), mengapa dalam transaksi politik yang menandai U – K – U` bisa diperoleh jumlah suara yang lebih besar di akhir proses? Bagaimana menjelaskan adanya DU (selisih U` – U)? Dari manakah asal-muasal ekses suara ini? Singkatnya: dari manakah asal-usul laba-politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membongkar komponen kedaulatan dan memahami anatominya.
Kita akan memeriksa penubuhan empirik kedaulatan dalam realitas politik sehari-hari, yakni legitimasi suatu tata pemerintahan. Apabila kita membedah suatu pemerintahan yang dikatakan legitim, kita akan menemukan dua komponen utama yang menyusunnya. Pertama, totalitas institusi politiko-legal yang merupakan penubuhan dari kedaulatan negara. Inilah yang disebut Marx dan Engels sebagai ‘mesin negara’ (machinery of the state). Di dalamnya tercakup fungsi-fungsi politiko-legal seperti pengesahan undang-undang, penegakan hukum dan fungsi-fungsi kekuasaan lainnya. Totalitas fungsi ini dapat disebut sebagai komponen konstan legitimasi. Disebut demikian karena totalitas fungsi politiko-legal ini tak lain merupakan sarana produksi politik yang pada-dirinya tidak pernah menghasilkan suara apa-apa. Komponen kedua adalah totalitas massa yang umumnya dikategorikan sebagai warganegara. Ini dapat disebut sebagai komponen variabel legitimasi. Alasannya, karena totalitas massa ini adalah produsen politik yang menghasilkan suara. Pemahaman lebih lanjut atas komponen konstan dan variabel dari legitimasi dapat dicapai lewat klarifikasi atas relasi keduanya.
Hubungan antara komponen konstan dan aspek variabel dari legitimasi mengemuka sebagai berikut. Distingsi tersebut ditentukan oleh kaitannya dengan produksi suara. Apa yang disebut sebagai mesin negara, atau komponen konstan legitimasi, tidaklah menghasilkan suara. Sebagaimana mesin pabrik, ia menghasilkan sesuatu karena sejumlah kerja tertentu telah ditubuhkan ke dalamnya. Kerja apakah itu? Tak lain adalah kerja politik massa sebagai komponen variabel legitimasi. Relasi penubuhan komponen variabel legitimasi ke dalam komponen konstannya mengemuka dalam dua bentuk. Pertama, komponen konstan legitimasi dapat menghasilkan suara sejauh komponen variabel ditubuhkan secara reguler ke dalamnya setiap beberapa waktu sekali. Relasi penubuhan reguler inilah yang kita jumpai dalam pemilihan umum. Melalui pemilihan umum, kerja-kerja politik massa ditransformasi menjadi suara dan dengan demikian meremajakan serta menggerakkan-kembali mesin negara. Kedua, keberadaan totalitas komponen konstan legitimasi itu sendiri merupakan wujud nyata dari penubuhan sejumlah kerja politik massa di masa lalu. Relasi penubuhan dalam bentuk ini dapat ditarik asal-muasalnya pada fase akumulasi primitif dalam politik, yakni fase penceraian produsen politik dari sarana produksi politiknya. Melalui relasi penubuhan ini kita memperoleh distingsi penting antara komponen konstan legitimasi sebagai massa yang mati dan komponen variabel legitimasi sebagai massa yang hidup.
Distingsi antara ‘massa-hidup’ dan ‘massa-mati’ adalah distingsi penting yang menstruktur keseluruhan modus politik komoditas. Komponen konstan legitimasi dapat disebut sebagai massa-mati karena ia tak lain daripada kerja politik massa yang ditubuhkan dalam institusi politiko-legal. Sementara komponen variabel legitimasi disebut sebagai massa-hidup karena ia tak lain adalah kerja politik massa yang menubuh dalam institusi politiko-legal. Oleh karenanya, distingsi tersebut dapat juga dirumuskan ke dalam sederet distingsi yang sebangun: antara massa yang ditubuhkan dan massa yang menubuhkan, antara massa yang pasif dan massa yang aktif, antara massa yang diobjektifikasi dan massa yang mengobjektifikasi, antara mesin suara dan pekerja suara, antara sarana produksi legitimasi dan produsen legitimasi, dst. Mistifikasi paling fundamental dalam ekonomi-politik suara terjadi dalam konsepsi terbalik atas massa-hidup dan massa-mati.
Distingsi antara massa-hidup dan massa-mati inilah yang terletak di belakang sirkuit U – K – U`. Distingsi itulah yang menjelaskan mengapa akumulasi politik dimungkinkan dalam kondisi dimana setiap transaksi politik diandaikan berlangsung di atas pertukuran komoditas yang setara. Akumulasi politik dapat terjadi bahkan dalam kondisi dimana suara komoditas yang dipertukarkan dianggap setara (exchange of equivalents) persis karena terdapat selisih antara suara massa dan suara yang dihasilkan massa. Selisih ini terjadi karena adanya jurang antara yang-aktual dan yang-mungkin: kerja massa adalah sesuatu yang aktual sementara produknya, yakni fungsi politiko-legal dari institusi yang merupakan penubuhan kerja massa, adalah sesuatu yang mungkin. Sementara yang-aktual merupakan hasil realisasi terbatas dan tertentu, yang-mungkin merupakan sesuatu yang dapat direalisasikan secara hampir tak terbatas dan tak tentu. Yang-mungkin mencakup sesuatu yang lebih luas ketimbang yang-aktual. Hal ini sebetulnya lebih mudah dipahami ketika kita menempatkannya dalam konteks transaksi politik sehari-hari.
Marilah kita bayangkan situasi di salah satu TPU pada hari pemilihan umum. Warga kampung A memiliki keprihatinan bersama untuk memperoleh pendidikan murah dan karenanya mereka memilih partai XYZ, yang dalam program politiknya dinyatakan akan merealisasikan pendidikan murah bagi semua rakyat. Andaikan bahwa partai XYZ kemudian memperoleh suara mayoritas dan andaikan bahwa perwakilan partai itu berhasil mengesahkan undang-undang subsidi pendidikan sehingga keprihatinan warga kampung A betul-betul terealisasikan dalam program kerja partai tersebut di pemerintahan.
Secara aktual kondisi ini, tentu saja, sulit dibayangkan karena umumnya yang terpilih tidak memenuhi janjinya ketika pemilu. Namun, kita tetap perlu membuat pengandaian itu—pengandaian serupa yang juga dibuat Marx dalam Das Kapital mengenai exchange of equivalents—agar kita dapat melokalisir akar permasalahannya di seberang problematik moral tentang ingkar janji dan sebagainya. Oleh karena itu, for the sake of analysis, andaikan bahwa partai XYZ memenuhi janjinya pada para pemilih dari kampung A dengan menyelenggarakan pendidikan murah. Apakah partai XYZ yang kini menempati posisi fungsional dalam pemerintahan ini lantas berhenti dan pemilihan umum berlangsung kembali dengan proses yang serupa? Tidak. Dengan suara yang diperolehnya dari kerja politik massa di waktu pemilu, partai XYZ tidak hanya mungkin merealisasikan program pendidikan murah, tetapi juga sederet program lain yang mungkin seperti perancangan dan penerapan kurikulum pendidikan dasar umum berbasis agama, legalisasi pemberangusan serikat pekerja (union busting), militerisasi rakyat sipil melalui program mempersenjatai Satpol PP, liberalisasi perekonomian nasional melalui paket undang-undang deregulasi, dsb.
Kerja politik warga kampung A bergerak pada aras aktualitas, sementara manifestasi politik partai XYZ bergerak pada aras kemungkinan-kemungkinan yang jauh lebih besar daripada apa yang aktual. Di sinilah kita menemukan kunci persoalannya: representasi lebih besar daripada presentasi. Inilah yang dimaksud sebagai selisih antara suara massa dan suara yang dihasilkan massa. Suara warga kampung A diartikulasikan dalam satu keprihatinan umum tentang mahalnya pendidikan, sementara suara yang mereka hasilkan—yakni suara yang menubuh dalam legitimasi partai XYZ di pemerintahan—dapat diartikulasikan secara luas untuk merancang dan menerapkan program-program politik di luar persoalan pendidikan murah. Suara massa bergerak dalam koordinat actualia, sementara suara yang dihasilkan massa bergerak dalam koordinat possibilia. Kerja politik massa diartikulasikan untuk memperoleh nilai-pakai politik yang tertentu, sementara penubuhan kerja politik itu diartikulasikan tidak demi nilai-pakai, melainkan demi akumulai nilai-tukar yang lebih besar.
Dengan demikian, terdapat ekses suara yang dihasilkan dalam setiap proses produksi suara melalui pemilihan umum. Ekses suara ini dapat kita sebut, mengikuti Marx, sebagai ‘suara-lebih.’ Siapakah pemilik sah dari suara-lebih ini? Bahkan dalam kerangka perhitungan ekonomi-politik suara kita bisa menjawabnya: milik para produsen politik, yakni massa yang hidup. Namun mistifikasi ekonomi-politik suara membuat apa yang sesungguhnya berasal dari massa yang hidup ini justru nampak dihasilkan oleh massa yang mati—totalitas fungsi politiko-legal. Para kontrolir mesin negara lah yang kemudian mengapropriasi suara-lebih ini. Secara fungsional mereka perlu mengapropriasi suara-lebih ini agar kemudian dapat mereka transformasi, melalui transaksi dengan para donaturnya, menjadi nilai-lebih: dengan melegalisasi paket undang-undang deregulasi, para kontrolir mesin negara ini membayar kredit yang diperoleh pada masa pemilu dari para pemodal besar yang memerlukan deregulasi pasar. Di situlah terletak salah satu titik transformasi antara suara-lebih dalam politik dan nilai-lebih dalam ekonomi.
Melalui proses produksi suara-lebih inilah sirkuit akumulasi politik U – K – U` dimungkinkan. Suara-lebih tidak diperoleh dari pengingkaran janji partai politik terhadap para pemilihnya, tidak pula diperoleh dari kecurangan di masa pemilu. Suara-lebih dihasilkan melalui cacat inheren dalam sistem politik suara itu sendiri: ekses representasi atas presentasi, selisih antara yang-mungkin dan yang-aktual. Namun, alih-alih dilihat sebagai produk dari kontradiksi politik suara, suara-lebih justru dipandang oleh para pendukung ekonomi-politik suara sebagai sesuatu yang bersumber pada komponen konstan legitimasi, yakni totalitas fungsi politiko-legal negara. Lebih tepatnya, mereka tidak melihat adanya suara-lebih; yang mereka lihat adalah laba-politik yang merupakan hak legitim pemerintah. Di sinilah kita jumpai efek camera obscura yang membuat kita seakan-akan menyaksikan yang hidup sebagai yang mati dan memandang yang mati sebagai yang hidup. Mistifikasi inilah yang secara fundamental disebut sebagai ideologi.
Kritik atas suara-lebih dan ideologi yang menjustifikasinya hanya dapat dilakukan dengan menjalankan kritik atas sistem politik suara itu sendiri. Seperti telah kita lihat, modus politik komoditas yang bertopang pada mekanisme ekonomi-politik suara bukanlah tatanan kodrati yang sudah ada sejak awal mula sejarah. Modus politik komoditas adalah produk sejarah pembagian kerja politik. Karenanya, modus politik itu dapat diubah melalui kerja politik massa yang merupakan landasan sesungguhnya dari tatanan politik yang ada. Penghapusan modus politik komoditas hanya mungkin dijalankan dengan menghapuskan kepemilikan-privat atas kapasitas politik. Hasilnya adalah asosiasi massa sebagai produsen politik yang bebas, suatu komunisme di lapangan politik. ***
4 April 2013