DITENGAH-TENGAH pertarungan ideologi yang lagi mendidih, sosiolog Daniel Bell berujar, ‘…For ideology, which once was a road to action, has come to be dead end’ (The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in the Fifties, 1966). Maksud Bell, tatkala dimasukkan ke ranah aksi, maka ideologi pun mati. Pragmatisme lebih penting, karena praktek bicara detail yang sering tidak sesuai dengan konsep yang diidealkan.Benarkah demikian?
Saya berpendapat, asumsi ini tak sesuai fakta, karena terbukti sosialisme masih hidup di abad 21 ini. Almarhum Hugo Rafael Chávez Frías, adalah salah satu tokoh karismatik yang menganut sosialisme. Dalam aksinya, ideologi yang dianut Chávez tetap hidup: tak sekadar berkutat pada tataran teoritis semata, tetapi menjelma pula dalam ranah praksis.
Ideologi memang sesuatu yang abstrak, tetapi menjadi spirit untuk melahirkan benda-benda nyata. Rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, rumah ibadah, atau bedil, adalah beberapa produk yang dihasilkan karena ideologi mengharuskannya ada. Program-program sosial Chávez menjadi bukti konsistensinya dalam berideologi. Misalnya, pada tahun 2003, Chávez dengan resmi meluncurkan Mission Mercal, sebuah program sosial yang menyediakan makanan murah bersubsidi bagi rakyat Venezuela. Pada tahun yang sama dirilis pula Mission Robinson, program pendidikan yang menggunakan tenaga sukarelawan untuk mengajarkan membaca, berhitung, dan menulis. Inti program ini untuk memberantas buta huruf.
Kebijakan ekonomi sosialistik pun berhasil menciutkan kesenjangan ekonomi. Indeks Gini Ratio (ukuran ketimpangan kekayaan dan pendapatan) tahun 1998 sebesar 47,02, menjadi 42,11 pada 2007. Rumah tangga miskin dengan kategori ‘extreme poverty’ juga menurun: pada 1998 sebesar 17,06 persen, menurun di 2007 menjadi 7,90 persen (Weisbrot, Ray, dan Sandoval, The Chavez Administration at 10 Years: The Social and Economy Indicators, Center for Economy and Policy Research, 2009).
Lokus sosialisme adalah rakyat. Maka segala kebutuhan rakyat mesti dipenuhi: pendidikan dan kesehatan gratis, perumahan rakyat, perlindungan atas kaum papa, buruh yang bebas dari penindasan kaum pemodal, dan seterusnya. Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa ideologi yang dianut Chávez tak mati ketika diaksikan.
Nafas Ideologi
Walaupun kapitalisme menjadi pemenang dalam pertarungan ideologi global, sosialisme nyatanya belum mati. Kemenangan suatu ideologi yang berhasil membangun kekuatan hegemoni global tak lantas membuat ideologi tandingannya mati. Keliru pula bila disimpulkan perbincangan atas ideologi dinyatakan telah ditutup.
Suatu ideologi tak serta merta mati ketika institusi atau superstruktur yang menjadi representasi atasnya hancur. Keruntuhan institusi representasi ideologi tak mematikan ideologi, sebab individu-individu yang mengidentifikasikan diri sebagai penganut ideologi masih konsisten menganut dan mengaplikasikannya dalam aksi-aksi nyata. Mereka yang berada di luar institusi ideologi juga berperan terus menghidupi ideologi. Loyalitas rakyat atas ideologi belum tentu tereduksi ketika negara mereka beralih ideologi. Ideologi tak terkurung dalam sekat-sekat administrasi institusi, tetapi terikat pula di dalam benak individu-individu yang otonom atas institusi.
Ini yang menjelaskan mengapa masih ada penganut sosialisme walaupun Uni Soviet telah hancur. Islam sebagai ideologi politik masih hidup walaupun parpol-parpol Islam berpolitik dengan tidak Islami. Intinya, ideologi menjadi milik siapa saja, meski ia tak berafiliasi pada institusi representasi ideologi.
Ideologi bekerja dalam lima fase. Pertama, fase pembangunan ideologi. Di sini ideologi dibentuk menjadi sebuah bangunan pikir atau suatu kepercayaan. Penggagasnya menuliskan landasan-landasan aksi yang menjadi tuntutan ideologi sebagai sebuah manifesto. Literaturalisasi ideologi penting untuk menjadikannya tetap bisa diakses ketika tak ada lagi individu atau lembaga yang menyiarkannya secara lisan.
Kedua, fase doktrinasi. Penggagas ideologi menyuntik doktrin-doktrin ideologi kepada individu-individu sebagai ‘sasaran ideologi.’ Terdapat pula individu-individu yang tak mengalami doktrinasi ideologi bukan lewat aktor-aktor ideologi, namun berinisiatif mengidentifikasikan diri menjadi penganut ideologi setelah mempelajarinya dari literatur yang tersedia.
Ketiga, fase pengaksian atau aplikasi. Ideologi yang telah terpatri lalu mendorong individu-individu membentuk sebuah kekuatan kolektif berdasar pada kesamaan ideologi. Kemudian aksi dilakukan berlandaskan pada ajaran ideologi. Ideologi bukan cuma ‘mainan’ akademisi, tetapi panduan aksi di medan artikulasi. Keempat, fase rekonstruksi. Koreksi atau kritikan atas ideologi yang mengalami krisis mengharuskannya masuk ke dalam fase ini. Berbagai cacat-cacat ideologi terkuak dari berbagai kritikan.
Perubahan lingkungan penerapan ideologi mengharuskan kaum koreksionis merekonstruksi sosialisme. Globalisasi mempengaruhi perkembangan masyarakat. Leon Trotsky, seorang revolusioner Rusia berdalil, ‘Masyarakat terus berganti kulit.’ Maka kemudian di abad 21 muncullah neososialisme. Chávez pun beraksi sesuai landasan neososialisme. Kelima, setelah dikoreksi, lalu ideologi diaplikasikan ulang (reaplikasi). Di sini ideologi akan melalui siklus yang tak ada garis finisnya.
Neososialisme Chávez
Saya berpendapat, jalan menuju kesejahteraan yang ditempuh Chávez adalah neososialisme, dan capaiannya terbukti berhasil. Dedikasinya pada rakyat adalah yang utama. Satu waktu Chávez pernah bersumpah: ‘Aku bersumpah untuk rakyat dan tanah air bahwa aku tak akan mengistirahatkan lenganku dan jiwaku; bahwa aku akan merelakan hari-hari dan malam-malamku atau segenap hidupku untuk membangun sosialisme Venezuela, sebuah sistem politik baru, sebuah sistem sosial baru, sebuah sistem ekonomi baru.’ Chávez telah membuktikan sumpahnya.
Tentu sebagai konsekuensi dari komitmennya itu, saya berani mengatakan bahwa rasa kemanusiaan Chávez begitu tinggi. Ia sosok yang dicintai rakyat. Demi mendekatkan diri pada rakyat, Chávez mengadakan talk show rutin bertajuk Allo Presidente di televisi. Melalaui acara ini rakyat dapat menyampaikan aspirasi langsung lewat telepon kepada pemimpinnya.
Chávez juga bukan sekadar presiden, tetapi pahlawan dan pembebas sejati. Itulah yang membuat sosialisme ala Chávez berbeda dengan yang pernah diterapkan oleh Uni Soviet. Negara yang telah menjadi bangkai itu pernah menginvasi negara lain. Soviet yang awalnya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap Amerika Serikat malah menjelma pula menjadi kekuatan imperialisme.
Maka, tak tepat bila Chávez disebut seorang diktator, sebagaimana selama ini sering dituduhkan para borjuis. Chávez memang keras, tetapi kepada musuh-musuh rakyat. Ia humanis dan mencintai rakyatnya. Mahmoud Ahmadinejad berujar, ‘Chávez… mengingatkan kita atas kesucian, kebajikan, keberanian, kepahlawanan, cinta, dedikasi, dan usaha tak kenal lelah melayani rakyat, terutama rakyat miskin dan yang dilukai oleh kolonialisme dan imperialisme.’
Bagaimana mungkin seorang pemimpin pro-Palestina yang penuh cinta dan kasih sayang itu dituduh sebagai seorang diktator? Chávez memang mengutuk Israel yang menjajah rakyat Palestina dan Lebanon dengan alasan Holocaust. Chavez menyebut kekejian Israel sebagai ‘a new Holocaust.’ Tapi jika ini yang membuatnya disebut diktator, kita tentu mengerti bahwa ini hanyalah bagian dari propaganda hitam musuh-musuhnya.
Kini Chávez telah tiada. Namun neosialismenya akan tetap hidup. Chávez sosok inspiratif yang aksi-aksinya menjadi referensi akurat bahwa neososialisme bisa tetap hidup di abad ke-21, yang dikuasai neoliberalisme. Mereka yang bisa melihat sisi manusiawi seorang Chávez tentu akan sangat berduka atas kepergiannya. Selamat jalan, comrade. Viva Chávez!!***
Bisma Yadhi Putra, fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe, Aceh