REVOLUSI di Rusia merupakan hal yang menarik untuk dilihat dan dicermati. Tidak hanya karena revolusi sering kali terjadi di sana, melainkan juga karena ideologi-ideologi[1] yang bermain di dalam revolusi tersebut. Tulisan ini hendak menunjukkan ideologi yang seringkali luput dalam melihat revolusi di Rusia, yaitu mesianisme. Sebagai sesuatu yang seringkali luput, mesianisme ini mau tidak mau harus dilihat sebagai ‘ideologi yang berada di bawah sadar.’ Ideologi bawah sadar, karena mesianisme tidak tampil layaknya ideologi Marxisme yang memang diusung secara terbuka sebagai acuan dari revolusi sosialis.
Pada tulisan ini pertama-tama saya akan memperlihatkan masuknya paham mesianisme di Rusia secara sangat singkat. Ini sangat perlu untuk memperlihatkan kaitan mesianisme dengan revolusi-revolusi yang terjadi di sana. Pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan memperlihatkan kronologi singkat Revolusi Bolshevik (Oktober 1917). Lalu akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang Lenin dan Revolusi. Tulisan akan memuncak pada bahasan mengenai mesianisme dalam Revolusi Bolshevik. Akhirnya saya akan menutupnya dengan menyimpulkan dan memberikan refleksi singkat.
Rusia dan cikal bakal revolusi
Rusia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik secara geografis maupun budaya. Secara geografis, wilayahnya membentang dari benua Eropa hingga Asia. Dari sisi budaya pun, Rusia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Dalam kaitannya dengan nasionalisme, tentu merupakan tantangan tersendiri untuk menyatukan beragam bangsa yang membentang dari Eropa dan Asia, yang memiliki budaya yang beragam itu dalam suatu kesatuan nasional. Tiga hal yang berpengaruh pada perjalanan sejarah bangsa rusia adalah kekristenan, reformasi dan akhirnya revolusi. Marilah kita telusuri satu per satu ketiga hal tersebut.
Kekristenan masuk ke Rusia sejak abad X. Berawal ketika Pangeran Vladimir I mengirimkan duta-dutanya untuk melihat dan mempelajari kehidupan masyarakat di berbagai negara. Di antara mereka ada yang ke negara Islam seperti Bolgaria, ke Kaganat yang mayoritas Yahudi, dan juga ke negara-negara Kristen di Eropa Barat. Dari laporan-laporan yang diperoleh dari para dutanya itu, ia sangat tertarik dengan ajaran Kristen.
Keputusan Vladimir untuk memeluk agama Kristen ini menjadi penting bagi perkembangan nasionalisme di Rusia. Apa yang menyebabkan kekristenan dan ‘pertobatan’ Vladimir menjadi penting ialah karena ‘pertobatan’ dan Kristenisasi yang dilakukannya itu kemudian menjadi hal yang menyamakan sekaligus membedakannya dari pergaulan bangsa-bangsa di Eropa Barat. Yang menyamakan adalah mereka tidak lagi dipandang sebagai bangsa pagan oleh tetangga-tetangganya di Eropa Barat, karena mereka telah menerima Kristus. Yang membedakan adalah arus kekristenan yang mereka terima tidak sama dengan bangsa-bangsa Eropa Barat yang menerima Kekristenan dari Roma, mereka menerimanya dari Bizantium. Pengaruh dari Bizantium ini kemudian memberikan corak baru dan khas bagi perkembangan kerusiaan mereka.[2]
Perjumpaan dengan kekristenan ini membuat agama menjadi hal yang begitu merasuk pada kehidupan politik negara. Berdyaev bahkan mengatakan bahwa Tsar sebagai pemerintah Rusia tidak hanya mengurusi kepentingan-kepentingan negara, melainkan juga urusan keselamatan jiwa.[3] Peran negara pada urusan spiritual tersebut sebenarnya berasal dari Doktrin Roma III yang mereka anut. Di dalam Doktrin tersebut, Rusia memiliki peran yang penting di dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Kristus.[4] Melalui doktrin tersebut, Rusia sebagai sebuah bangsa, merasa memiliki panggilan untuk berperan di dalam menyelamatkan jiwa-jiwa melalui kemurnian yang mereka percaya adalah milik mereka.
Selain Doktrin Roma III yang begitu berpengaruh pada kehidupan orang Rusia, hal lain yang juga tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran mereka adalah reformasi yang dicanangkan oleh Tsar Peter Agung. Hal ini begitu penting karena lewat reformasi yang dicanangkan Tsar tersebut, cakrawala bepikir mereka menjadi berkembang. Tsar Peter merupakan seorang pemimpin yang gemar akan pengetahuan. Ketikaia mendengar bahwa dunia Barat telah mengalami perkembangan ilmu dan teknologi, maka ia juga mengirimkan para pelajarnya untuk menimba ilmu di Eropa Barat. Persentuhan dengan dunia Barat ini menyebabkan bangsa Rusia berkenalan dengan pemikiran para filsuf Barat, seperti Kant, Hegel, Schelling, Schopenhauer, dan juga pemikir politik seperti Fourier, Saint Simon, dan Proudhon. Kesadaran orang Rusia sebagai sebuah bangsa (dalam pengertian modern), kiranya tidak dapat dilepaskan dari peran Tsar Peter Agung (1672-1725).[5]
Pada abad ke-19, akibat kekecewaan yang terjadi, muncullah suatu kelompok yang menjadi cikal bakal perlawanan terhadap pemerintah saat itu. Antara 1838 dan 1848 terdapat sekumpulan pemuda yang mencoba mengkritik pemerintah. Orang-orang seperti Belinsky, Turgenev, Bakunin, dan Herzen dapat dikatakan sebagai cikal bakal dari gerakan yang disebut ‘Intelegensia.’[6] Wacana yang begitu mereka minati saat itu adalah bagaimana menemukan bentuk ‘manusia baru’ untuk bangsa Rusia. Maksudnya, bagaimana sistem sosial yang ada, baik itu pemerintah maupun sistem kemasyarakatan, dapat membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Pertanyaan ‘seperti apa sebenarnya ke-rusia-an orang Rusia’ tersebut kemudian menjadi pemikiran mereka.[7]
Perlawanan terhadap pemerintahan feodal Tsar, pada akhirnya membawa Rusia pada revolusi. Setidaknya tercatat tiga usaha revolusi untuk menggantikan pemerintahan Tsar dengan sosialisme. Revolusi pertama adalah revolusi 1905 – 1907 yang terbagi menjadi tiga tahapan: tahap pertama, pemogokan dan demonstrasi di berbagai kota yang terjadi tanggal 9 Januari sampai September 1905. Pada masa ini juga terbentuk Dewan Perwakilan Pekerja untuk pertama kalinya di kota Ivanovo – Voznesensk. Tahap kedua, ditandai dengan pemogokan nasional pada bulan Oktober 1905. Tahap ketiga ditandai dengan dua kali pergantian Duma (semacam Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 27 April – 3 Juni 1906 dan 20 Februari – 2 Juni 1907. Pada masa ini revolusi berhasil dibungkam
Revolusi selanjutnya adalah Revolusi Februari 1917 atau sering disebut sebagai Revolusi Borjuis Demokratis. Dalam revolusi ini Tsar Nikolas II berhasil diturunkan dari tahtanya pada tanggal 2 Maret 1917. Setelah kejatuhan Tsar dibentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo). Namun demikian, terdapat tarik menarik kekuasaan antara Pemerintah Sementara dengan Dewan Pekerja dan Prajurit Petrograd yang menganggap bahwa revolusi belum berakhir.
Revolusi terakhir adalah Revolusi Oktober 1917 atau lebih dikenal dengan sebutan Bolshevik[8]. Revolusi inilah yang kemudian membuat Rusia menjadi Uni Soviet pada tahun 1918. Kaum Bolshevik beranggapan bahwa pertentangan sosial yang tak terdamaikan selama ini merupakan hal yang tak dapat dihindari dan oleh karena itulah revolusi menjadi keniscayaan. Akhirnya, sebagaimana diketahui, revolusi Bolshevik inilah yang membawa Rusia menjadi negara adi daya dan negara komunis terbesar di dunia.
Kronologi singkat Revolusi Bolshevik (Oktober 1917)
Setelah pemerintahan Tsar digulingkan pada 2 Maret 1917, terbentuklah Pemerintahan Sementara (Vremennoye Pravitelstvo) yang beranggotakan para kadet, kaum menshevik, dan Partai Sosialis Revolusioner. Namun demikian, meskipun secara politis Pemerintahan Sementara ini memiliki legitimasi, saat itu terbentuk pula Soviet Petrograd atau Dewan Pekerja dan militer Petrograd. Soviet Petrograd ini memiliki dukungan kuat di masyarakat dan juga memiliki kekuatan senjata, yang tidak dimiliki oleh Pemerintahan Sementara.
Pada 10 Oktober 1917, Komite Sentral Bolshevik mengeluarkan resolusi pemberontakan bersenjata. Menyusul resolusi tersebut, dua hari kemudian dibentuklah Komite Militer – Revolusi yang diketuai oleh Pavel Lazimir. Meski demikian, pemegang kendali utama dari komisi ini adalah Leon Trotsky.[9]
Berdasarkan resolusi di atas, pada 25 Oktober terjadi Kudeta Petrogard di mana diumumkan bahwa telah terjadi pemindahan kekuasaan dari Pemerintahan Sementara ke tangan Komite Militer Revolusioner. Di situ juga diumumkan tuntutan rakyat yang menyatakan: Pembentukan perdamaian yang demokratis; penghapusan kepemilikian tanah; pengenalan kontrol pekerja atas produksi; dan pembentukan Pemerintahan Soviet. Pada tanggal 25 sampai 27 Oktober, juga berlangsung sidang yang membentuk Soviet Komisaris Rakyat dengan Lenin sebagai kepala negara.
Lenin dan revolusi
Lenin merupakan sosok penting dalam pengejawantahan Marxisme di Rusia dan juga pembentukan Rusia sebagai Negara komunis. Melalui dirinya ajaran Marx memperoleh bentuk kongkret dalam ranah politik. Melihat Kondisi Rusia, sebenaranya apa yag dilakukan Lenin dapat dilihat sebagai radikalisasi marxisme. Sebagai suatu bangsa, Rusia saat itu bukanlah negara industri. Apakah revolusi Rusia harus menunggu hingga negara menjadi negara industri atau revolusi tetap harus dilaksanakan tanpa menunggu terlalu lama untuk menjadi negara industri.
Melihat situasi negara yang demikian adanya, di Rusia sendiri terdapat perdebatan mengenai hal tersebut. Pertama, pandangan kaum Menshevik yang melihat bahwa yang harus dilakukan lebih dahulu adalah menjatuhkan pemerintahan feodal dan untuk itu maka kaum proletar harus bergandengan tangan dengan kaum borjuis. Kedua pandangan dari partai Sosial Demokrat (disebut juga kaum ekonomisme) yang memandang bahwa perjuangan politik dipegang oleh kaum borjuis, sementara kaum buruh lebih baik membatasi diri pada perjuangan ekonomi.[10]
Lenin tidak meyetujui dua pendapat di atas. Baginya, menjawab pandapat kaum Menshevik, jika harus bergandengan tangan dengan kaum borjuis, maka kaum buruh haruslah menjadi pemimpinnya. Lalu untuk menanggapi kaum ekonomisme, Lenin beranggapan bahwa kesadaran revolusioner kaum buruh tidak dapat terbentuk begitu saja melalui konsentrasi pada bidang ekonomi semata. Oleh karena itu perlu adanya tempat bagi perjuangan politik kaum buruh, yaitu melalui partai.
Revolusi Sosialis, bagi Lenin, justru sangat mungkin di negara prakapitalis seperti Rusia. Negara prakapitalis merupakan mata rantai terlemah dalam sistem kapitalisme internasional. Dengan demikian, yang paling logis adalah revolusi terjadi bukan di pusat kapitalisme melainkan justru di pinggirannya, di negara prakapitalis.[11]
Mesianisme dalam Revolusi Bolshevik
Apa itu mesianisme? Mesianisme merupakan konsep yang berisi suatu pengharapan akan hadirnya sosok pembebas atau penyelamat manusia di dalam penderitaannya. Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Ibrani Masyiakh yang berarti yang diurapi. Peran yang diemban oleh seorang mesias adalah sebagai pembebas manusia dari rasa ketertindasannya di dunia ini. Martin Kavka mendefinisikan mesias sebagai berikut:
Secara tradisional mesianisme yahudi tidak hanya merujuk pada penebusan umum Israel dan dunia dalam arti kongkret yaitu historis dan politis, melainkan juga merujuk pada harapan akan figur tertentu yang menjadi saluran dan perantara bagi Yang Ilahi. Figur yang diurapi, baik itu adalah raja, pendeta, atau orang suci, mengejawantahkan kerajaan ilahi dalam hubungannya dengan Bukit Zion (Mzm 2:6), Kediaman Allah (Yes 8:18). Dengan demikian, harapan akan figur mesianis yang membawa damai dan otonomi politik bagi Israel juga merupakan pengharapan akan kedekatan (nearness) Allah bagi bangsa tersebut, yang dicapainya melalui perantaraan figur manusiawi sang mesias.[12]
Konsep mesias ini masuk ke Rusia melalui kekristenan. Sebagaimana umat Kristen percaya diri mereka adalah umat pilihan Allah, maka orang Rusia pun mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah. Lebih lanjut, Revolusi yang terjadi di Rusia bukan hanya suatu cara menerapkan doktrin Marxisme melainkan juga bersifat eskatologis dan mesianis. Seperti yang diungkapkan oleh Duncan bahwa ‘mentalitas eskatologis’ masuk ke dalam Bolshevisme melalui gerakan membangun kerajaan Allah di dunia, diprakrasai oleh Anatoly V. Lunacharsky. Di sini Lunacharsky menyandingkan proletariat dengan Kristus.[13]
Hal-hal lain yang juga dapat dilihat sebagai jejak-jejak paham mesianisme dalam revolusi Rusia adalah pemikiran di luar politik yang ikut menyertai revolusi tersebut. Pemikir seperti Sergei Esenin, misalnya, menyebut Rusia sebagai Nazaret yang baru. Puisi dari Andrei Bely yang berjudul ‘Untuk Tanah Air’ (Rodine) di tahun 1917 menyebut bahwa masa tersebut adalah masa kedatangan Kristus yang kedua sebab keadilan sedang ditegakkan. Leon Trotsky sendiri menyebut puisi-puisi Bely sebagai yang sangat penting di masa itu.
Lenin dan Stalin sebagai Yohanes Pembabtis dan Kristus Revolusioner (?)
Sebagaimana orang Yahudi mempercayai bahwa mesias adalah pembebas manusia dari ketertindasan, dan sebagaimana orang Kristen memahami bahwa Yesus adalah pembebas, orang Rusia pada masa revolusi juga mempercayai bahwa pemimpin mereka, yakni Lenin, juga adalah pengemban misi Allah untuk membebaskan umatnya dari ketertindasan dan penderitaan. Partai Revolusioner Kiri dianggap sebagai perwujudan dari gerakan mesianis dan penderitaan rakyat saat revolusi merupakan hal yang harus dilalui sebagai sesuatu yang mirip dengan sengsara Kristus di kayu salib; Penebusan sendiri kemudian hadir melalui Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik.[14]Lenin sebagai pemimpin dari revolusi Bolshevik kemudian menjadi figur yang menentukan arah keselamatan setelah proses penebusan telah dilakukan lewat revolusi Bolshevik.
Namun demikian, klaim sebagai mesias tidak berhenti pada Lenin. Lebih jauh, Stalin-lah yang justru mendapat klaim yang lebih kuat sebagai figur Kristus masa itu. Lenin kemudian hanya seperti Yohanes Pembabtis yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus yaitu Stalin. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Jawabannya adalah taktis politis yang mereka jalankan. Pada masa Lenin, gereja diberangus dan para pemimpin gereja dipenjarakan. Sementara pada masa Stalin, yang terjadi justru sebaliknya. Stalin merangkul kekuatan-kekuatan lama (kekuatan religius) untuk mendapat klaim yang lebih besar guna melanggengkan kekuasaan.
Stalin mendukung gerakan ortodoksi sebagai bagian dari kebijakan ‘nasionalis – chauvinisnya.’ Di sini ia memberikan peran bagi gereja sebagai katalisator dan komponen perekat bangsa. [15] Sebagai balasan, Gereja Ortodoks Rusia mendukung penuh kekuasaan Stalin. Duncan mengatakan:
‘Sebagai balasan bagi apa yang telah diperbuat Stalin bagi gereja, maka gereja memberikan pujian yang begitu tinggi baginya. Kata-kata pujian itu sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang biasanya diberikan pada Yesus. Gereja menyebut Stalin sebagai “pembawa damai”, yang telah memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk menderita. Stalin adalah seorang yang dipilih oleh Penyelengaraan Ilahi dan ditempatkan untuk memimpin bangsa kita (Rusia) ke arah kemakmuran dan kejayaan.’ [16]
Penutup
Revolusi di Rusia tidak dapat dilepaskan begitu saja dari mesianisme. Paling tidak, bagi kebanyakan rakyat, penyelamatan dengan nuansa religius itu lebih mendarah daging dari pada teori-teori filsafat politik yang hanya dikuasai oleh kalangan yang terdidik saja. Kuatnya keberakaran agama Kristen, juga kiranya menjadi hal yang membuat mereka tidak dapat lepas dari ide mesianis di dalam mendukung revolusi yang terjadi di Rusia.
Dalam politik praktis, akan selalu ada unsur-unsur yang dikesampingkan. Namun demikian, unsur-unsur itu tidak hilang begitu saja. Ia dapat disusupkan kembali justru untuk menguatkan klaim politis tertentu. Dalam konteks revolusi Rusia, apa yang dikesampingkan adalah ‘mesianisme,’ namun demikian, seperti yang telah dilihat melalui pembahasan di atas, unsur ini justru adalah unsur yang tidak kalah penting dibanding dengan doktrin-doktrin Marxis yang paling revolusioner sekalipun.***
Henry S. Sabari, mahasiswa STF Drijarkara, Jakarta
Kepustakaan:
Copleston, Frederick. 1986. Philosophy in Rusia. Indiana: University of Notre Dame Press.
Berdyaev, Nikolai. 1979. The Russian Idea. Connecticut: Greenwood Press.
Berlin, Isaiah. 1978. The Rusian thinkers. New York: Penguin Books.
Duncan, Peter J.S. 2000. Russian Messianism: Third Rome, revolution, Communism and after. London: Routledge.
Fahrurozi, A. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia.
Kavka, Martin. 2004. Jewish Messianism and the Historyof Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Suseno, Franz magnis. 2001. Etika Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, F. Magnis. 2003. Dalam Bayangan Lenin. Jakarta: PT Gamedia Pustaka Utama.
[1] Ideologi merupakan kata yang tidak begitu mudah untuk dideskripsikan. Namun secara sangat sederhana kiranya kita dapat membedakannya ideologi menjadi dua, yaitu ideologi dalam pengertian yang luas dan ideologi dalam pengertian sempit. Dalam arti luas ideologi mencakup cita-cita kelompok, nilai-nilai dasar serta keyakinan-keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normatif. Dalam arti sempit ideologi adalah gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak. (Lih. Franz magnis Suseno. Etika Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001. H. 366 – 367.) Pada makalah ini, saya akan menunjukan mesianisme sebagai sebuah ideologi yang memiliki arti luas, namun berkaitan atau terpakai di dalam revolusi-revolusi di Rusia (yang sebenarnya memiliki ideologi dalam arti sempit)
[2] A. Fahrurozi. 2005. Rusia Baru Menuju Demokrasi: Pengantar Sejarah dan Latar Belakang Budayanya. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia. h 39 – 40.
[3] . Nikolai Berdyaev, 1979. The Russian Idea. Connecticut: Greenwood Press. h. 9.
[4] Istilah atau Doktrin Roma ke tiga ini berasal dari biarawan bernama Filofei atau Philotheus di tahun 1511. Saat itu ia menulis surat kepada Tsar Vasilly III yang berbunyi: “Gereja Roma jatuh karena ketidakhormatan dan penyimpangan Apollinarian; Roma kedua, yaitu Konstantinopel, telah hancur karena pertempuran; Namun Gereja ketiga, Roma yang baru, yang kekaisarannya berdaulat: Gereja Katolik Apostolik yang kudus … menyinari seluruh dunia dengan cahaya yang melebihi matahari. Hendaklah engkau tahu, O Tsar yang saleh, bahwa semua kekaisaran dari iman Kristen ortodoks telah bersatu di dalam kekaisaranmu. Engkaulah satu-satunya kaisar bagi semua umat Kristen di dunia… Karena dua Roma telah jatuh, dan yang ketiga ini akan terus berdiri. Tidak akan pernah ada yang keempat, karena kekaisaran kristianimu tidak akan berpindah ke tangan (kekaisaran) lain.” Seperti dikutib oleh Peter J.S.Duncan dalam Peter J.S.Duncan, 2000. Russian Messianism: Third Rome, revolution, Communism and after. London: Routledge. h. 11
[5] Sebelum masa pemerintahan Peter Agung, Rusia tidak memiliki universitas umum sebagai sumber intelektual dan pada saat itu filsafat hanya ada pada institusi-institusi keagamaan. Oleh karena itu, modernitas di sana dimulai dari reformasi di bidang intelektual. Bdk. Frederick Copleston. 1986. Philosophy in Rusia. Indiana: University of Notre Dame Press. h. 2.
[6] Intelegensia merupakan istilah khas Rusia yang timbul pada abad ke-19. Istilah ini tidak sama artinya dengan intelektual, intelegensia lebih bernuansa “propetik”. Para intelegensia beranggapan bahwa mereka memiliki ikatan yang sama, melebihi ide pemikiran yang mereka miliki masing-masing. Mereka yakin memiliki tugas khusus untuk “mewartakan” pembaruan sosial. Tugas mereka seperti seorang pendeta atau pastor namun dalam bentuk sekular. Jadi para intelegensia dapat dikatakan sebagai pendeta atau pastor sekular (secular priest). Lih. Isaiah Berlin. 1978. The Rusian thinkers. New York: Penguin books. h. 117. Mereka juga dikenal sebagai sebuah “kelas” yang siap untuk dipenjara, menjalani kerja paksa bahkan kematian sebagai upah dari pemikiran mereka. Nikolai Berdyaev. 1979. The Russian Idea. h. 26.
[7] Hampir semua pemikir Rusia abad ke-19 dapat dikatakan sebagai jawaban dari reformasi yang dicanangkan Peter Agung. Lih. Nikolai Berdyaev. 1979. Op., Cit. . h. 4.
[8] Bolshevik merupakan faksi mayoritas dalam Partai Pekerja Sosial Demokrat Rusia. Faksi yang minoritas disebut sebagai menshevik. Mayoritas di sini tidak bermakna kuantitas keanggotaan, melainkan cerminan dari hasil pemungutan suara.
[9] A. Fahrurozi, 2005. h. 127.
[10] Lih. F. Magnis Suseno, 2003. Dalam Bayangan Lenin. Jakarta: PT Gamedia Pustaka Utama. h. 10 – 13.
[11] Lih. F. Magnis Suseno, 2003. h. 10.
[12] Martin Kavka. 2004. Jewish Messianism and the Historyof Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press. h. 7.
[13] Peter J.S.Duncan, 2000. Op., Cit. h. 52.
[14] Ibid.
[15] Ibid. h. 59.
[16] Ibid,