Kita hidup di dalam zaman keindahan yang instan, dan kapitalisme tahu bagaimana meracik seni cepat saji. Pertunjukan seni digelar di mana-mana. Setiap malam kita disuguhi kemewahan seni dalam konser musik melalui layar kaca—dan begitu dalam perjalanan, di lampu merah, kita bertemu dengan bangsa sesama kita, menyanyikan lagu yang mungkin juga pernah kita dengar di layar kaca.
Jumat siang di jalanan Jogja, seperti juga di kota-kota lain, roda menggelinding mengantar beragam karakter manusia melaksanakan kepentingannya masing-masing. Sementara itu, dua manusia berseragam coklat sedang berbincang dan hanya sesekali mengawasi puluhan kendaraan, bahkan mungkin sudah ratusan, yang telah berlalu-lalang melaluinya. Tampaknya, mereka lebih mencurahkan perhatiannya kepada pengendara sepeda motor. Mungkin karena jenis kendaraan itu memang lebih mudah kedapatan menerobos lampu merah atau garis marka daripada kendaraan besar, seperti mobil dan truk.
Di perempatan seberang pos jaga, di jalanan yang membujur dari utara ke selatan dan timur ke barat, dua orang tampak beraksi di depan mesin-mesin yang sedang berhenti menunggu lampu berubah warna. Barangkali jika kita melihat mereka, kata pertama yang terlintas dalam benak kita adalah “pengamen”. Ya, inilah ornamen jalanan yang tidak hanya dapat ditemukan di Jogja, tapi juga di berbagai kota lain, sisi lain dari gemerlap urban bagi mata yang mungkin melewatkannya.
Akan tetapi… Sebentar, barangkali ia bukan asal mengamen. Ada yang menampilkan kebolehan seni yang dikuasainya. Di sana, seorang perempuan dengan cemeti yang tergenggam di tangan kanan dan selendang warna jingga membelit pinggang sedang memperagakan tari Jathilan. Cemeti itu ia kebaskan berkali-kali ke aspal setiap lampu traffic-light menyala merah. Di sudut lain, tampak perempuan berumur sekitar setengah abad, mengenakan busana ala sinden, lengkap dengan kebaya dan sanggul di kepala bagian belakang, bedak tebal yang memoles kerutan wajah, gincu merah bergaris tepi hitam dengan marakas melekat di tangan. Sebentar ia duduk, sebentar berdiri, lalu turun lagi ke jalan mengikuti instruksi dari warna lampu.
Fenomena tersebut tentu menjadi pemandangan biasa bagi siapa saja yang tinggal di perkotaan. Bahkan, terlalu biasa hingga siapa pun akan memandangnya biasa saja. Ya, biasa saja. Pengamen bisa laki-laki, perempuan, waria, bahkan bisa juga anak-anak—yang sambil sesekali bermain, mereka mengelap badan kendaraan demi mengharap kemurahan hati pengendara. Ada beberapa yang hanya menadahkan tangan di bawah papan bertulis “Peduli Tidak Sama Dengan Memberi Uang“, sedangkan ada pula menjual seni yang dikuasainya, baik seni suara maupun gerak.
Suatu siang, saya sengaja meluangkan waktu untuk mendatangi lokasi sebentar. Siang itu lumayan macet. Siang itu cukup padat, badan jalan tak kuasa menampung jumlah kendaraan yang sebagian besar beroda empat. Selesai memarkir sepeda motor di depan sebuah warung, saya menyeberang ke perempatan jalan besar dan menuju ke dekat traffic-light tempat perempuan itu tampak sedang duduk memegangi marakas. Dari kejauhan, seorang wanita yang mengenakan kebaya dan bersanggul itu sudah memerhatikan tingkah saya. Ketika jarak kian dekat, sambil tersenyum datar, ia menyapa dengan bahasa Jawa, “Piye? (Bagaimana?)”
“Ora, mung pengen ndelok sampeyan nyanyi… (Tidak apa-apa, hanya ingin melihat kamu nyanyi…),” jawab saya ringan sambil mengamati wajah orang lalu-lalang.
“Dino iki sepi, ra koyo biasane (Hari ini sepi, tidak seperti biasanya),” tekasnya memecah perhatian.
“Lha, biasane rame po? (Lah, biasanya rame ya?)” tanya saya.
“Yoo, lek rame ngono kae iso nyekel rongatus sewu (Ya, kalau pas ramai bisa dapat sampai dua ratus ribu).”
“Woh, ngeluwihi PNS lak’an? (Wah, melebihi gaji PNS?)”
“Haa iyo. Lek mung PNS wae. Luweh. (Iya, kalau hanya PNS, lebih.)”
Saya terkejut. Bagaimana tidak? Bila yang dikatakan benar, maka uang yang didapatkannya tidak kalah banyak dengan seorang pekerja dalam persepsi umum. Jika seseorang bekerja delapan jam sehari dengan upah, katakanlah satu juta rupiah sebulan, dengan “seniman” yang turun ke jalan dan bisa mendapatkan uang seratus ribu sehari, maka gaji seorang pekerja dalam hitungan kasar sebulan ialah sepertiga gaji orang yang mengekspresikan keseniannya di jalan. Hanya saja, mungkin yang membedakan keduanya adalah kesan, etika, dan nilai. Sebab, dalam suatu masyarakat, seorang pekerja (dalam pengertian umum) tentu dipandang lebih santun, lebih beradab daripada pengasong seni di jalan—meskipun tujuan keduanya sama: uang.
Lalu obrolan tentang fenomena jalanan lagi-lagi mesti kembali ke persoalan ekonomi. Manusia mungkin akan terus-menerus berdatangan turun ke jalan selama tempat tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi yang lebih daripada harus bekerja di suatu tempat dengan pendapatan yang tak sebesar di jalan. Di lain sisi, pihak pemerintah yang tentu berkewajiban memikirkannya. Perwakilan pihak pemerintah yang pernah saya ajak berbincang seputar hal tersebut mengatakan mereka sedang mengusahakan dikeluarkannya peraturan daerah yang dapat menekan maraknya jumlah orang jalanan. Solusi yang ditawarkan ketika itu, yang barangkali akrab di telinga kita, antara lain melakukan penertiban, memberi penyuluhan, dan keterampilan kepada mereka.
Akan tetapi, manusia tak selesai sebatas angka. Bagaimana mungkin jika jalanan yang selama ini menjadi ruang kerja mereka, yang menjanjikan keuntungan ekonomi lebih besar dan lebih praktis, dapat berubah total hanya dengan dikeluarkannya satu kebijakan sepihak? Maka, di tiap sudut jalanan di kota Jogja, saya jumpai papan-papan besar bertuliskan “Peduli Tidak Sama Dengan Memberi Uang” yang berarti mencoba memutus sumber hidup mereka secara praktis, tapi tak juga berhasil.
Sebenarnya, percakapan tersebut memancing saya untuk mengetahui latar belakang perempuan itu lebih dalam. Namun, sesuai dugaan, perempuan itu telah banyak berhadapan dengan beragam pertanyaan dari orang seperti saya yang barangkali hanya untuk memenuhi hasrat ingin tahu. Sang penanya tak jarang menerabas privasi orang yang dihadapinya, terlebih, jika hasil dari pertanyaan tersebut tidak dapat menghasilkan dampak positif terhadap orang yang sedang ditanyai—dalam konteks ini: nasib manusia. Seperti yang sedang tren di layar kaca akhir-akhir ini, nasib orang kecil dipermainkan dengan segepok uang lewat acara bernuansa sosial yang tak lain dari komodifikasi air mata. Nasib adalah tontonan.
Di Jalan
Siang itu, di tengah deru asap kendaraan, si penari Jathilan bergerak luwes tak kenal canggung seperti penari yang sering tampil di layar kaca. Tatapan mata manusia urban hanya melihatnya selintas, dan mungkin, jika ada perhatian, ia akan memberi uang dan kemudian berlalu, sebab traffic-light sudah berwarna hijau. Di atas tiang, terpasang papan bergambar kartun manusia yang sedang membuka kaca mobil dan mengeluarkan tangan untuk memberi uang kepada manusia lain yang diberi tanda silang berwarna merah.
Sesekali orang melempar pandang ke arah kami. Setiap lampu berubah merah, perempuan itu meninggalkan obrolan dan turun ke jalan, bernyanyi di zebra cross di hadapan pengendara yang sedang berhenti. Dari tepi jalan, saya dengar ia membawakan lagu Jawa yang mirip nyanyian sinden. Pada dirinya, dengan modal pita suara, busana kebaya dan polesan bedak yang menutupi kerutan wajah – juga alat musik marakas, kesenian Jawa itu mencukupi kebutuhan ekonominya.
Sudah 28 tahun ia melakukan kebiasaan tersebut. Dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, ia menghabiskan harinya untuk mencari peruntungan ekonomi di jalan. Dari sekian puluh tahun itu, dapat ditafsirkan bahwa sejak era pemerintahan Soeharto hingga SBY jalanan tak mendapat perhatian layak karena jika mereka diperhatikan, tentu tak akan ditemukan pemandangan seperti ini di jalan.
Sesuai julukan awam, ia menyebut pekerjannya sebagai “pengamen”. Selain mengamen, perempuan tersebut rupanya juga tergabung ke dalam grup kesenian tayub yang punya skala pertunjukan hingga ke luar kota. Beberapa kali, bersama grup tayubnya, ia pernah mendapat orderan manggung, katanya, ia pernah tampil sampai ke Banyumas dan Banjarnegara. Tak heran. Suaranya memang terdengar bagus seperti sinden-sinden yang mengiringi pertunjukan wayang.
Setidaknya, inilah sketsa seni di jalan-jalan—nasib seni yang kurang beruntung untuk mendapat apresiasi—baik dari penonton maupun kritikus seni. Tentu desakan ekonomilah yang membuat perempatan-perempatan besar di tangan mereka berubah jadi panggung seni satu menit. Panggung yang kita pun tak tahu pasti apakah ia jadi tumpuan hidup utama tanpa kita mendekatinya lebih dekat.
Dari hasil wawancara yang saya baca pada sebuah zine punk berjudul Seni Untuk Semua, seorang penggiat acara musik indie menyebutkan, “Untuk acara tanpa sponsor, pokok persoalan paling klasik yang amat sering menjadi kendala adalah uang. Kita tidak dapat menafikkan kalo peran uang memang menjamin meriah atau suksesnya acara. Usaha yang paling signifikan untuk mengatasi hal tersebut ialah dengan membuat benefit“.[i]
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa seni-seni pinggiran mencoba lepas dari agensi sponsor atau pendukung dana, meskipun tanpa kehadiran uang, pertunjukan sulit direalisasikan. Dalam seni-seni pinggiran, dikenal slogan Do It Yourself (DIY) yang menjadi simbol resistensi atas kapitalisasi, dalam konteks ini, seni, yang mencoba berdiri di atas kaki sendiri.
Tidak ada perbedaan antara kita dan mereka. Mereka punya mimpi, sama seperti kita, seperti juga para pembuat kebijakan yang punya mimpi tentang wajah kota yang asri, bersih, dan tanpa sampah yang berserakan di jalan. Alasannya, jalan adalah citra suatu kota, bahkan negara—dan citra diri yang baik adalah jalanan yang tertib, teratur, dan bersih.
Akan tetapi, siapakah sang pemilik jalan? Mengikuti istilah populer masa kini, jalanan adalah frontier, garda depan tempat ia menjadi arena bertemunya segala kepentingan; orang jualan, pengendara motor, pesepeda, papan iklan, tukang tambal ban, petugas parkir, tukang becak, pedagang kaki lima, orang gila, polantas, pejalan kaki, pemulung, demonstran, seniman, petugas ketertiban, pencopet, penjahat, dan orang-orang jalanan yang kena desakan ekonomi hingga mau tak mau menjadikan jalan sebagai tumpuan hidupnya. Jalan adalah milik bersama yang membuatnya tidak hanya diisi oleh kepentingan pemerintah untuk mendesain citra kota yang tertib, tetapi juga diisi oleh manusia yang punya kepentingan untuk mencukupi kebutuhan perut.
Jalanan menjadi toko, menjadi sirkuit, medan iklan, lahan parkir, dan panggung yang mementaskan kehidupan yang sebenarnya—yang mungkin tak begitu dilirik oleh media, atau justru sebaliknya, diekspos sedemikian rupa untuk menarik simpati penonton, sebab simpati bernilai ekonomi dalam praktik kapitalisme. Mungkin saja penyanyi dan penari yang saya temui itu telah berlatih sedari kecil. Dan hal tersebut mengingatkan saya pada peristiwa masa kecil yang dapat menjadi refleksi lebih umum untuk melihat seperti apa wajah pertunjukan seni di desa-desa sebelum terlempar ke jalanan yang jauh dari apresiasi penonton.
Sudah lima belas tahun lewat sejak terakhir saya menikmati Remong, sejenis tarian yang biasanya dipentaskan oleh perempuan muda sebagai pemeriah di tengah pertunjukan Jaranan.[ii] Tarian Remong tak berbeda jauh dari tari klasik Jawa, hanya saja dengan gerak yang lebih luwes. Ketika tari itu berlangsung, seorang laki-laki yang punya hajatan atau juga penonton biasanya akan turun ke panggung dan menemani perempuan itu menari. Semua mata tersita pada pertunjukan dan lekuk tubuh penari muda. Tak jarang penonton bersorak dan bersiul menggoda jika penari kebetulan punya paras yang cantik dan menawan bagi para laki-laki. Cantik. Siapa yang terpesona dengan kecantikan? Di abad visual, kecantikan adalah modal. Ekonomi kecantikan. Menanggapi modal kecantikan yang ditawarkan, para laki-laki akan turun ke panggung bergantian, mengiringi gerakan penari hingga beberapa tembang, lalu dengan wajah sumringah menyelipkan lembaran uang ke kain kemben yang menutupi dada penari. Sang penari pun masih menari sambil memasang senyum, dengan tatap mata menebar, membalas sorot mata para penonton.
Formasi Diskursif Seni
“Kling,“ bunyi lemparan koin membentur aspal.
Selama ini, kritik seni pertunjukan hampir selalu dibayangkan sebagai seni dalam konstruksi masyarakat konsumer. Maka tak jarang tema yang menjadi subjek pengamatan pun akan selalu berkutat pada seni dalam tanda kutip, formal, eksklusif dan mainstream. Kesenian yang berlangsung di gedung pertunjukan atau di panggung yang telah dipersiapkan oleh event-organizer adalah seni yang memberi kesan bahwa pertunjukan menjadi hasil dari proses kreatif yang mesti diapresiasi dengan mendesain panggung seindah mungkin. Akibatnya, di jalan-jalan, di panggung kehidupan marjinal, seni manusia yang menawarkan suara dan gerak sederhana, yang tidak berbeda dengan seni pertunjukan yang berlangsung dalam gedung karena sama-sama mencari untung, tereleminasi dari mata. Begitulah wacana menormalisasi mata kita ketika menatap sesuatu sebagai seni.
Alih-alih menyalin ulasan tentang pengertian “seni”, saya akan mengajak pembaca menelusuri jejak diskursif seni yang menyublim ke dalam teks. Saya ambilkan beberapa kalimat dari para pemikir ilmu sosial, seniman, dan kritikus seni yang saya temukan ketika mereka berwacana seni—yang selanjutnya mungkin dapat mengidentifikasi posisi perspektif kita ketika berwacana tentang seni. Pertama, Lyotard dalam Kondisi Posmodern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan mengemukakan perspektifnya berikut ini.
Seniman, pemilik galeri, kritikus, dan masyarakat ramai-ramai berkubang dalam mentalitas “apa saja boleh”, dan suasana zaman ini adalah suasana kemerosotan. Namun, kenyataan yang mendasari sikap “apa saja boleh” ini sesungguhnya adalah uang. Dengan tiadanya kriteria-kriteria estetik, satu-satunya cara yang mungkin dan berguna untuk menilai karya seni adalah berdasarkan laba yang dihasilkannya. Paradigma seperti itu mengakomodasi semua aliran, sebagaimana modal mengakomodasi semua “kebutuhan”, dengan syarat aliran dan kebutuhan tersebut harus punya daya beli. Sedangkan mengenai selera, orang tak perlu berselera tinggi ketika sedang mengadu nasib atau menghibur dirinya sendiri”.[iii]
Trotsky, dalam tulisannya mengenai Seni dan Politik (Surat kepada Dewan Redaksi Partisan Review) menyampaikan “Secara umum, seni adalah ekspresi dari kebutuhan manusia untuk memperoleh kehidupan yang selaras dan lengkap, yaitu, untuk memperoleh hak-haknya yang telah dirampas oleh masyarakat berkelas“.[iv]
Sedang pada bagian pengantar buku Seni, Politik, Pemberontakan, Joseph Boeys mengatakan bahwa “setiap orang pada esensinya adalah seniman“, dan “segala sesuatu adalah seni” tambah Andy Warhol”.[v]
Pramoedya Ananta Toer juga pernah membicarakan seni, yang mungkin dapat kita tilik perspektifnya lewat sastra berikut ini
“Melayani pesanan-pesanan hanya untuk menyambung hidup begini, dengan seni ini tak ada bedanya aku dengan Maiko. Memalukan,” kata seorang pelukis Perancis yang coba membandingkan dirinya dengan pelacur bernama Maiko. “Coba, mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan kata hati sendiri, kan itu di dalam seni namanya pelacuran?”[vi]
Namun, hari ini, barangkali sebagian besar seni hidup melacur, dan pelacuran adalah tanda ketabrak nasib. Seni menjadi satu-satunya jalan untuk mendapat penghidupan, menghidupi seninya, dan jika beruntung, beroleh ketenaran. Bisa saja motivator atau pengamat akan berkomentar, selalu ada jalan selagi ada kemauan. Optimisme memang diperlukan tetapi suara itu terlontar dari atas podium, di depan lensa yang segalanya dapat diatur oleh kamera—bukan di atas retakan paving dan di tengah deru kendaraan yang melintasinya. Saya kurang tahu apakah kita juga pernah membayangkan bagaimana wajah seni jika ia menjadi satu-satunya jalan untuk menyambung napas, mencukupi kebutuhan ekonomi kita, dan bukan untuk tujuan memuaskan hasrat akan keindahan seperti dalam diskursus-diskursus seni pada umumnya—akankah perspektif kita tentang seni juga akan lain dari sekarang?
Dalam puisi yang muram, dan barangkali juga karena geram, Rendra pernah bertanya, tapi pertanyaan itu “membentur jidat penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak-adilan terjadi disampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian”.[vii] Tentu bait ini adalah metafor yang mencoba mengusik sisi kemanusiaan kita, bahwa tak semua seni dikerubuti keindahan. Kerapkali keindahan hanya tudung yang menyilapkan mata, sebab seni mengeram dalam hangat selimut modal dan puluhan deret nama sponsor. Seni menyangkut penghidupan banyak manusia—dan jika yang menyangkut napas banyak orang, segala jalan mesti ditempuh, walaupun barangkali tidak jalan selain melacurkan seni itu sendiri.
Pada awalnya, seni jalanan itu, yang barangkali saja tak sanggup mencuri perhatian kita karena cara kita mengidentifikasi sesuatu sebagai seni telah distandardisasi oleh media, adalah pantulan dari wajah kita, wajah masyarakat tempat kita menjadi bagian darinya, wajah kompleksitas sosial yang membuat kita diam-diam mengamini pelacuran seni.
Refleksi
Apakah itu seni? Setiap orang yang berkubang dalam diskursus seni tentu punya jawaban yang tak mesti seragam. Kini, izinkan saya berbagi pertanyaan kepada pembaca. Pertanyaan yang bukan ditujukan untuk mengidentifikasi apa itu seni sebenarnya, melainkan mengapa sesuatu bisa dikatakan sebagai seni, sedangkan yang lain bukan seni? Telah banyak pemaknaan seni hadir dengan beragam perspektif. Tapi apa yang membuat orang tergerak untuk berwacana tentang seni? Berbicara tentang seni? Menulis tentang seni? Mungkinkah seni dapat bertutur tentang dirinya sendiri tanpa kehadiran Liyan?
Dalam paradigma eksistensialisme, seni, barangkali seperti yang dikemukakan Camus, “menyerupai pemberontakan, sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari”[viii]—seni adalah subjek yang otonom. Dalam kacamata strukturalisme, kedudukan sesuatu sebagai seni dianggap bergantung pada struktur yang ada di luar diri seni itu sendiri, seperti misalnya, kompleksitas relasi yang terjalin antara pelaku seni, penikmat seni, media—dan tentunya bahasa. Dalam perspektif poststrukturalisme, seni dianggap sebagai narasi, reproduksi narasi yang membikin otentisitas seni tak mungkin lagi dipertahankan, begitu juga hubungannya dengan struktur di luar dirinya, yang tak sestabil yang dibayangkan dalam strukturalisme. Pada Marxisme, mungkin seni akan dikaitkan dengan posisi subjek dan usaha pembebasan. Tapi, apa itu seni? Dapatkah ia bertutur tentang dirinya sendiri tanpa kehadiran beragam perspektif di atas, misalnya?
Sejalan dengan yang dikemukakan Arvon dalam pemetaannya mengenai diskursus seni, bahwa “ada kalanya seni dilihat bergantung sepenuhnya pada situasi sosial, ada kalanya sebagai sesuatu yang sama sekali otonom, dan, ada kalanya sebagai instrumen aksi politik“,[ix] seperti itu jugalah formasi diskursif seni dalam teks-teks yang saya lampirkan di atas—begitu juga dengan narasi ini—yang dapat dilihat ke mana diskursusnya bermuara: ‘kerja’.
Rio Heykhal Belvage, Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Budaya UGM dan Anggota Kelompok Diskusi Spektrumologi yang Beralamat di http://manusiaakhirpekan.wordpress.com/
Daftar Pustaka
Ahimsa, Putra. “Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di Indonesia?” dalam Jurnal Jerat Budaya, (No. 1/1/1997). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
___________, dkk. Ketika Orang Jawa Nyeni. Yogyakarta: Galang Printika, 2000.
Camus, Albert, dkk. Seni, Politik, Pemberontakan. Yogyakarta: Bentang, 1998.
Foucault, Michel. “Nietzsche, Freud, Marx” dalam Pengetahuan dan Metode: Karya-karya Penting Foucault. Jalasutra: Yogyakarta, 2002.
Laksono, PM. “Jalanan Tanda Hampa Makna” dalam Jerat Budaya, (No. 2/VII/1999). Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Lubis, Mochtar. Manusia Indonnesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012.
Lyotard, Jean-Francois. Kondisi Posmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. Surabaya: Selasar Publishing, 2009.
Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini. Praksis Seni: Marx dan Gramsci. Yogyakarta: Alinea, 2003.
Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Anak Semua Bangsa (Cetakan ke-12). Jakarta: Lentera Dipantara.
Zine Punk. ANEKDOT ISSUE 4, (Mei, 2010).
Laman
https://indoprogress.com/menuju-estetika-marxis/ dikunjungi pada 18 Februari 2013, pukul 10.30.
http://www.puisi.org/2006/07/03/sajak-sebatang-lisong/ dikunjungi pada 19 Februari 2013, pukul 11.00.
[i] “Seni untuk Semua” ANEKDOT, ISSUE 4, (Mei, 2010).
[ii] Jaranan adalah istiah Jawa Timur yang di Jawa Tengah biasa dikenal dengan Jathilan. Keduanya, memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan detail dari pertunjukannya.
[iii] J. F. Lyotard, 2009, Kondisi Posmodern: Suatu Laporan mengenai Pengetahuan. (Surabaya: Selasar Publishing, 2009), 202-203.
[iv] L. Trotsky, “Seni dan Politik (Surat Kepada Dewan Redaksi Partisan Review)” dalam Seni, Politik, Pemberontakan. (Yogyakarta: Bentang, 1998), 27.
[v] ibid, xxviii.
[vi] Percakapan Minke dan Jean dalam Pramoedya Anantatoer, Anak Semua Bangsa (Cetakan ke-12). (Jakarta: Lentera Dipantara, 2010), 78.
[vii] W. S. Rendra, “Sajak Sebatang Lisong”, http://www.puisi.org/2006/07/03/sajak-sebatang-lisong/ dikunjungi pada 19 Februari 2013, pukul 11.00.