MARILAH kita bayangkan sebuah situasi yang tak jarang kita jumpai. Salah seorang kenalan lama yang baru saja bertemu kembali berdiskusi dengan kita tentang situasi politik dan ekonomi aktual. Dalam tahap tertentu pembicaraan itu, mengetahui bahwa kita adalah Marxis atau bersimpati pada Marxisme, ia kemudian melontarkan pertanyaan yang tipikal: ‘Tapi bukankah analisis Marxis tentang kapitalisme terbukti keliru? Nyatanya, kapitalisme tak niscaya runtuh seperti diprediksi Marx. Malah sebaliknya, sekarang kapitalisme tumbuh subur di mana-mana. Bukannya itu menunjukkan bahwa Marxisme gagal?’
Jawaban macam apa yang sebaiknya kita berikan pada kawan lama kita ini? Ia sepertinya bukanlah seorang yang membaca Marx, apalagi seorang Marxis yang taat. Karenanya, kita akan sulit meyakinkannya dengan sekadar menjawab (Model Jawaban I): ‘Percayalah pada Marx.’ Umumnya kita akan menjawab (Model Jawaban II) dengan mengajukan contoh pembanding: sekarang kapitalisme sedang krisis, lihatlah krisis kredit perumahan di Amerika, lihatlah apa yang terjadi di Eropa, dst. Jawaban yang juga umum diberikan (Model Jawaban III) adalah ‘walaupun kapitalisme belum tumbang sekarang, kita tidak bisa menyatakan bahwa kapitalisme tidak akan tumbang besok dan karenanya Marxisme belum terbukti keliru’—jawaban sama yang akan kita berikan sepuluh tahun kemudian ketika kapitalisme yang sama belum tumbang juga. Kita akan menganalisis dan memperlihatkan apa yang keliru dalam ketiga model jawaban itu.
Efektivitas model I—‘Percayalah pada Marx’—bertopang pada kekeliruan logis yang dikenal sebagai petitio principii alias begging the question. Tentu, kekeliruan logis yang paling mengemuka dari model jawaban ini adalah argumen berdasarkan otoritas Marx (argumentum auctoritatis). Tetapi kekeliruan ini hanya dimungkinkan, dalam kerangka efektivitas retorik, oleh jenis kekeliruan yang lain, yaitu petitio principii. Kita hanya akan menerima argumen berdasarkan otoritas Marx, jika pertama-tama sudah diandaikan bahwa kita adalah seorang Marxis yang taat. Namun, asumsi ini tidak berlaku pada kasus di muka, pada kawan lama kita itu. Jadi efektivitas jawaban kita begs the question. Selain itu, jika ditinjau dari isi jawaban itu (dan bukan dari efektivitasnya dalam meyakinkan lawan bicara), model jawaban ini jelas bermasalah secara logis karena sekadar bertumpu pada otoritas Marx tidak membuktikan benar/salahnya hal yang ditanyakan. Kita akan lihat bahwa kedua model jawaban lainnya, pada akhirnya dapat direduksi pada model jawaban obskurantis di muka.
Mari kita perhatikan model II—jawaban dengan menunjuk contoh pembanding. Ini model jawaban yang banyak kita jumpai dari kalangan Marxis dengan latar belakang ilmu-ilmu sosial. Namun model jawaban ini juga belum menjawab pertanyaan di muka, sebab asumsi pertanyaan itu adalah bahwa Marxisme hanya benar jika dan hanya jika prediksinya tentang keruntuhan kapitalisme terbukti. Dengan memberikan contoh pembanding tentang krisis ekonomi Amerika dan Eropa, kita hanya menunjukkan gejala yang mengarah pada instabilitas kapitalisme dan bukan keruntuhannya. Kapitalisme, dengan demikian, belum terbukti niscaya runtuh. Konsekuensinya, kawan kita tidak akan merasa pertanyaannya telah dijawab. Oleh karena tidak bisa menjawabnya, kita akhirnya terpaksa menanggapinya dengan parafrase tertentu dari model I: ‘Percayalah pada Marx.’
Model jawaban III—‘walaupun kapitalisme belum runtuh sekarang, tetapi belum tentu tidak akan runtuh besok sehingga Marxisme tidak bisa disebut keliru’—adalah jenis jawaban yang banyak kita jumpai dari kalangan Marxis dengan latar belakang kajian filsafat. Jawaban ini berhasil menghalau kesimpulan penanya bahwa Marxisme keliru karena kapitalisme tidak tumbang. Kendati hari ini kapitalisme belum runtuh, siapa tahu di suatu hari nanti kapitalisme runtuh sehingga Marxisme terbukti benar. Namun, dihadapkan pada jawaban macam ini, kawan kita dapat bertanya lebih lanjut: ‘Kalau Marxisme belum terbukti benar sekarang, kalau Marxisme hanya mungkin benar suatu hari nanti, maka apa yang membuatmu percaya Marxisme hari ini?’ Di sini terlihat bahwa model jawaban ini bersifat agnostik (a-gnosis: tidak tahu) dan karenanya dapat direduksi menjadi sejenisme fideisme (hanya iman semata)—dengan kata lain, model I: ‘Percayalah pada Marx.’
Landasan kekeliruan dari ketiga jawaban di muka adalah bahwa ketiganya sama-sama bertopang pada asumsi yang keliru, yang juga terdapat dalam pertanyaaannya. Semuanya berdiri di atas kerancuan konseptual: apakah yang dimaksud dengan ‘niscaya?’ Semuanya—baik pertanyaan maupun ketiga model jawaban di muka—telah menyempitkan apa yang dimaksud ‘keniscayaan.’ Dalam kerangka yang sempit, keniscayaan kausal dipahami sebagai suksesi peristiwa: y niscaya disebabkan x jika dan hanya jika x selalu disusul oleh y. Konsekuensinya, apabila y suatu kali tidak muncul sehabis x, maka disimpulkan bahwa tak ada hubungan keniscayaan kausal antara x dan y. Konsepsi tentang keniscayaan kausal macam inilah yang diasumsikan dalam pertanyaan maupun ketiga model jawaban tadi. Penalaran konkretnya adalah sebagai berikut. Apabila tingkat nilai-lebih dasumsikan tetap, kenaikan ‘komposisi organik kapital’ (rasio antara kapital konstan dan total kapital) niscaya menyebabkan turunnya tingkat laba, dan dengan itu krisis kapitalisme dan kejatuhannya. Inilah yang diajarkan Marx. Lalu andaikan kita dapat menunjukkan fakta empirik bahwa kenaikan komposisi organik kapital tidak diikuti dengan turunnya tingkat laba. Dari situ disimpulkan bahwa teori Marx keliru, bahwa Marxisme gagal.
Mengapa konsepsi keniscayaan yang digunakan untuk membaca teori Marx di muka bermasalah? Problemnya terletak dalam reduksi atas keniscayaan menjadi regularitas. Sesuatu disebut niscaya apabila sesuatu itu selalu terjadi. Dalam kerangka ini, keniscayaan kausal direduksi menjadi—dalam kosakata Roy Bhaskar—konjungsi konstan antar peristiwa: ‘A disusul B’ merupakan hukum kausal yang niscaya apabila ‘A disusul B’ selalu terjadi. Inilah model kausalitas yang dianut para pengikut David Hume: kausalitas yang direduksi menjadi suksesi reguler di antara peristiwa. Dalam model ini, tak dijelaskan alasan yang niscaya mengapa A menyebabkan B; yang dijelaskan hanyalah seberapa sering A disusul oleh B. Cacat model ini terletak dalam ketakberhasilannya membuktikan keidentikan antara yang suksesif dan yang kausal. Mengapa berdasarkan fakta bahwa A selalu disusul oleh B kita mesti menyimpulkan bahwa A menyebabkan B? Ada lompatan yang tak terjustifikasi secara logis di sini. Semacam lompatan iman.
(Inilah juga yang dinyatakan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah: tak ada hubungan kausal di antara benda-benda; yang ada hanya suksesi peristiwa; satu-satunya agen kausal adalah Tuhan. Ibn Rushd menyadari konsekuensinya: kalau al-Ghazali benar, maka seluruh pengetahuan tentang apapun mensyaratkan iman—lompatan iman. Akibatnya, pengetahuan tidak dimungkinkan sama sekali. Ibn Rushd, dalam tradisi Aristotelian yang merentang hingga Marx, menolak al-Ghazali dalam Tahafut al-Tahafut dengan menunjukkan bahwa pengetahuan rasional dimungkinkan dan keniscayaan kausal sungguh terjadi di dalam alam material).
Sekarang kita akan menjalankan eksperimen-pikiran sederhana yang akan membuktikan bahwa konsep keniscayaan dapat diceraikan dari konsep regularitas. Andaikan sebuah apel yang tergantung di pohon. Kita tahu bahwa hukum gravitasi yang dirumuskan Newton menunjukkan bahwa benda-benda yang memiliki massa akan tertarik ke pusat gravitasi. Kita tahu bahwa bumi merupakan pusat gravitasi yang menarik objek seperti apel. Namun, apel itu faktanya tidak jatuh ke bumi; apel itu tetap nangkring di tangkai pohon. Apakah dengan demikian kita mesti menyimpulkan bahwa gaya gravitasi tidak hadir dalam sebuah apel di pohon? Apakah kita akan menyimpulkan bahwa tak ada keniscayaan gravitasional yang membuat apel itu jatuh ke bumi? Tidak. Apel itu bisa saja tidak jatuh ke bumi karena ada hubungan metabolis antara buah apel dan pohonnya. Kendati gaya gravitasi bekerja dalam buah apel, tetapi gaya tersebut tidak mengemuka secara empirik dalam peristiwa jatuhnya buah apel ke bumi karena ada daya kausal lain yang bekerja mengintervensinya, yakni relasi metabolis antara buah dan pohon. Jadi keberadaan gaya gravitasi (sebagai sifat kausal objek fisik) mesti dibedakan dari aktualisasi empiriknya. Di sini kita lihat bahwa apa yang ada mesti dibedakan dari apa yang aktual. Sesuatu dapat ada secara non-aktual, secara laten. Konsekuensinya, keniscayaan kausal tidak identik dengan regularitas empirik. Sesuatu dapat memiliki keniscayaan kausal tanpa relasi kausal itu perlu mengemuka secara reguler.
Tidakkah dengan cara yang sama kita juga dapat membaca teori Marx tentang keruntuhan kapitalisme? Ketidakruntuhan kapitalisme hari ini atau kapanpun juga tidak membuktikan bahwa teori Marx keliru. Secara eksplisit ia menunjuk adanya sederet counteracting causes (misalnya, penurunan nilai kapital konstan, kenaikan tingkat nilai-lebih, ledakan populasi, fenomena pasar internasional, dsb.) yang dapat membuat kenaikan komposisi organik kapital tidak menjatuhkan tingkat laba. Artinya, hukum kejatuhan kapitalisme mengandaikan semua counteracting causes itu tidak berlaku. Dengan kata lain, hukum tersebut berlaku dalam batasan ceteris paribus (maksudnya: dengan mengasumsikan semua faktor lain konstan). Jika semua faktor itu diposisikan ceteris paribus, maka kejatuhan kapitalisme akan mengemuka secara empirik. Karenanya, ketidakjatuhan empirik kapitalisme tidak membuat hukum kejatuhan kapitalisme yang dirumuskan menjadi keliru. Dalam kondisi aktual-empirik, hukum itu tetap berlaku. Sama seperti hukum gravitasi yang berlaku secara laten dalam fenomena apel di pohon tadi, hukum kejatuhan kapitalisme—penurunan tingkat laba akibat kenaikan komposisi organik kapital—tetap berlaku kendati tidak secara aktual akibat intervensi faktor-faktor lain (yang dalam teori diposisikan dalam klausa ceteris paribus). Jadi, bahkan dalam kasus di mana kapitalisme secara empirik tak tumbang sampai kapanpun juga, Marx tetap benar. Kapitalisme niscaya jatuh—ceteris paribus.
Marx bukan Tuhan atau dukun kaum proletar sedunia yang menujumkan hari kiamat dan menjanjikan kehidupan kekal bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Ia adalah seorang ilmuwan. Dan lebih mudah membantah seorang dukun ketimbang seorang ilmuwan. Nujuman hari kiamat 2012 dengan mudah dibantah dengan menunjukkan fakta empirik bahwa kita masih hidup di tahun 2013 ini. Analisis tentang keniscayaan kejatuhan kapitalisme, seperti telah kita lihat, jauh lebih sulit disangkal. Hanya mereka yang menyamakan kausalitas dengan suksesi peristiwalah yang merasa dapat dengan mudah menyangkalnya. Mereka ini—yang jumlahnya banyak, baik dari yang pro-, non-, maupun anti-Marxis—hanya perlu sedikit lebih berpikir lagi.***
7 Januari 2013