Untuk: M di Kota Senja
SEPERTINYA matahari hampir lahir, ketika lagu Metallica, For Whom The Bell Tools, membentur dinding kamar. Konon, tepat 1 Juni 2012, lagu itu telah dinyanyikan sebanyak 1.232 kali oleh grup rock asal Los Angels itu—menjadi semacam lagu kebangsaan. Sang bassis, Cliff Burton, membuka lagu dengan petikan bass disertai distorsi dan wah-wah pedal; sebuah awalan musik yang dianggap langka pada masanya. Dengan nada menghentak dan lirik yang liris, kita diajak mundur ke Spanyol, sewaktu Perang Saudara masih membakar.
Mungkin bagian ini yang kau sukai dari lirik lagu itu—versi Indonesianya diterjemahkan dengan apik oleh ‘Wong Boja:’
‘orang berlima
masih hidup lewat semburat cahaya
menjadi gila
dari kepedihan yang mereka yakin ketahui’
Memang hampir fajar ketika itu, matahari mulai semburat dengen seleret warna coklat muda, saat salah satu dari lima orang itu, Robert Jordan—orang Kiri dari Amerika, pengajar bahasa Spanyol, dan sekaligus ahli bahan peledak—pada hari keempat, mengintai jembatan dari ceruk bukit. Ia tokoh protagonis dalam novel Ernest Hemingway, dengan judul yang sama dengan lagu Metallica: For Whom The Bell Tools. Memang, lagu itu mengambil ide dari novel Hemingway yang terbit Oktober 1940.
Pokok novel Hemingway tak jauh dari pertempuran antara kaum Republik vs kaum Fasis. Jordan terpanggil terlibat dalam Perang Saudara. Ia menuju Andalusia, bergabung dengan Kaum Republik. Sadar kalau fasisme ancaman bagi sosialisme, ia meleburkan diri dalam perang gerilya. Sebetulnya ia tak sendirian. Sastrawan Kiri seperti George Orwell dan Althur Koestler, juga ada dalam satu deret yang ikut bergabung dengan kaum Republik. Siapa yang tak gentar dengan fasisme yang menjarah ketika itu: ketika orang-orang Yahudi diambil satu persatu untuk dibawa ke kamp konsentrasi. Pada titik ini: sosialisme dan kapitalisme bersatu melawannya.
Hemingway menuliskan novelnya di Kuba. Ia tinggal di hotel Ambos Mundos yang sekarang bercat merah bata. Ia menulis dengan tangan lembar demi lembar. Kelak, puluhan tahun kemudian, Jordan menjelma menjadi Fidel Castro. Kau tahu, sewaktu mahasiswa, Castro memang menggandrungi For Whom The Bell Tools. Mungkin, novel itu telah memompa semangatnya untuk memimpin revolusi Kuba—lewat perang gerilya juga.
Sepertinya sengaja ketika Hemingway membuka novelnya dengan adegan Jordan yang didampingi oleh Anselmo, menyusuri tebing dan hutan pinus, menuju jembatan di pegunungan Sierra Guadarrama—wilayah antara Madrid dan Segovia. Jembatan itu rencananya hendak diledakkan. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Jordan mulai membuat gambar jembatan itu secara terperinci. Ia memastikan tidak ada tiang-tiang yang kelewatan, bentuk dan juga ceruknya.
Detail dalam gerakan Kiri memang perlu. Baik itu merumuskan strategi dan taktik maupun melakukan perlawanan. Hemingway sepertinya memang mengingatkan kita tentang hal itu. Tentu kau ingat, investigasi semacam itu sudah lama dikerjakan oleh kalangan Kiri. Friedrich Engels pun rela hidup di antara buruh ketika hendak menulis buku The Conditions of the Working Class In England, misalnya. Tapi, kini tradisi itu sepertinya telah menyingkir dari gerakan Kiri. Coba kau tanyakan hal sepele: berapa jumlah pemogakan buruh dan petani selama setahun, dan di teritori mana yang banyak terjadi? Pasti akan blingsatan menjawabnya.
Tapi biarlah, lebih baik kembali ke novel dan Metallica. Tak tahu kenapa kau juga menyukai lirik yang ini:
‘karena sebuah bukit orang-orang akan membunuh
kenapa?
mereka tak tahu
luka-luka akan menguji kebanggan mereka’
Mungkin itu tentang keteguhan. Jordan, Pablo, Pilar, Golz dan yang lain sebelumnya tak saling kenal. Pablo, Pilar dan gerilyawan yang lain, memang orang Spanyol. Tujuan mereka jelas: membebaskan tanah airnya dari fasisme. Tapi, apa yang dicari oleh Jordan yang orang Amerika dan Golz yang datang jauh-jauh dari Soviet?
Orang-orang itu dengan pakain compang-camping, wajah berdebu, rambut tak pernah tersisir, mengangkat senjata, keluar masuk hutan, dan ditingkahi turunnya salju. Mereka mengikat diri untuk menghadapi apa yang disebut ‘musuh rakyat.’ Mengorbankan satu hal yang tak akan kembali: nyawa. Pada akhirnya ini memang tentang kenyakinan:
‘Untuk berkeras pada pendirian kau mesti benar-benar yakin bahwa pilihanmu benar,’ kata Jordan, ‘dan tak ada yang membuat kepastian dan kebenaran itu seperti tarak.’ Tarak bisa berarti pengekang hawa nafsu. Semacam puasa untuk mengendalikan hasrat duniawi. Kepastian dan kebenaran tak seperti itu: ia bukan pengekang; ia tak seperti puasa.
Ada ‘pengorbanan’ dan persahabatan dalam For Whom The Bell Tools. Jordan memang kurang bahagia. Ayahnya mati bunuh diri. Pilihan sang ayah ia anggap sebagai kepengecutan. Orang bisa mati kapan dan di mana saja, tapi tak melalui jalan bunuh diri. Ia memahami gerilyawan yang bunuh diri untuk menghindari penangkapan dan penyikasaan, tapi sebaiknya itu tak dilakukan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi segala kesulitan, persahabatan diperlukan.
Ada adegan ini: ketika mendengar keluarga Joaquín dibantai pasukan fasis, teman-temannya memeluk sembari berbisik: sekarang kau adalah keluarga kami. Keluarga, dalam novel Hemingway bukan semata-mata terlahir dari rahim dan benih yang sama, tapi bisa juga karena tujuan yang sama. Mungkin karena itu sesama Kiri memakai paggilan kamerad: kawan.
Pada hari keempat, Jembatan itu pada akhirnya memang berhasil diledakkan. Ia merupakan penghubung pasukan fasis untuk menggempur lawan-lawannya yang berada di seberang. Ia mesti dirobohkan agar tak ada lagi tempat kuda dan tank melintas. Fasisme cukup berhenti di ujung yang lain, agar kekuatan Republik bisa menata kekuatan melakukan pukulan terakhir. Usaha itu berhasil, tapi tak begitu dengan Jordan.
Dalam perjalan pungkas melintasi perbukitan untuk kembali ke basis gerilya, Jordan tertembak bersama kudanya. Ia terjerembab. Kawan-kawannya menolongnya. Tapi ia memilih tinggal di situ, menunggu pasukan musuh lewat untuk menembakkan pelurunya, dan memberikan kesempatan pada kawan-kawannya untuk menyelamatkan diri. Dalam keadaan luka parah, tentu ia merasa akan menjadi beban kalau ikut serta. Pilihan ini memang mengharuskan dirinya berpisah dengan Maria—kekasihnya—yang juga ada dalam rombongan itu. Alegori ini memang memilukan. Maria tak lain Spanyol itu sendiri. Pada akhirnya, Jordan tetap bagian dari ‘orang asing,’ yang mesti berpisah dengan tanah air orang lain. Pengorbanannya memang cukup sampai di situ.
Ketika rentetan suara tembakan Jordan menyalak, tepat saat matahari dengan lembut menyapu tanah, lonceng berdentang. Dan, Metallica menutup liriknya:
‘kepada siapa lonceng berdentang rutin
waktu berarak
kepada siapa lonceng berdentang rutin’
Kepada siapa lonceng berdentang rutin—For whom the bell tools? Mungkin kepada kita. Lonceng itu pengingat: penindasan itu masih ada di mana saja kita menoleh. Lonceng itu berdentang agar kita terbangun dari mimpi di pagi hari, menatap kenyataan: kapitalisme masih mengangkangi bumi manusia.
Tapi kita tak tahu kapan lonceng itu berhenti berdentang. ***
Lereng Merapi. 11.01.2013