PRIVATISASI. Para aktivis mengutuknya. Para pakar mengkritiknya, kerap disertai emosi yang meluap-luap. Para pegawai di instansi bersangkutan cemas dan tersayat-sayat ketika ia datang. Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa selepas reformasi sepotong kata ini, privatisasi, masuk dalam sepuluh besar perbendaharaan istilah yang paling menakutkan dalam konteks negara ini. Ketika dicetuskan, ia mengisyaratkan suatu tsunami swastanisasi yang dapat menggulung habis seluruh negeri.
Sari-pati sebuah negara, dalam imajinasi banyak orang, adalah kedaulatan. Anggaplah negara yang memilikinya selaku sosok lelaki dewasa yang berdiri di atas kakinya sendiri, maka privatisasi dapat dikatakan, oleh mereka yang terintimidasi dengannya, sebagai serbuan untuk menelanjangi, mengebiri, serta tak lupa melumpuhkan kaki-tangannya. Sebuah negara yang kalah dengan momok ini akan kehilangan segalanya, lumpuh, dan lagi terenggut maskulinitasnya.
Tetapi, sialnya, tak banyak yang melihat bahwa selagi musuh-musuh para nasionalis ekonomi masih terpaut beberapa langkah dari merenggut aset-aset negara, arus privatisasi telah berhasil menjerat hal penting yang malah sama sekali lupa untuk dilindungi. (Atau tak ada yang merasa cukup berkepentingan melindunginya?) Tubuh kita masing-masing. Wadah organik, di mana kita dilahirkan dan terikat di dalamnya untuk sisa hidup kita. Satu-satunya yang kita miliki dan tak akan pernah ada yang lain.
Memasuki abad ke-21, seiring merajalelanya sistem kerja kontrak dan tak terkendalinya biaya-biaya kesehatan yang mekanisme penentuannya dilepas kepada pasar, tiap-tiap kita dilempar ke sebuah era di mana tak ada lagi yang melindungi tubuh kita selain diri kita sendiri. Tanggung jawab atas korpus hunian kita ini diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing penghuninya. Atau dengan kata lain, sebenarnya: diprivatisasi. Tubuhmu, milikmu. Milikmu sepenuhnya.
Dan yang tak lupa membuntuti gelombang privatisasi tubuh, untuk menyempurnakan ironinya, adalah rezim pasar kerja yang vulgar. Pada saat yang sama tubuh mengalami swastanisasi, menjadi aset yang mesti dirawat oleh masing-masing pemiliknya agar ia tetap bisa lanjut bekerja dan mempertahankan kehidupannya, nilainya terjun bebas dalam kepungan tenaga kerja yang membeludak. Ia, akibatnya, hanyalah aset produksi yang tak seberapa bernilai namun, mirisnya, sangat berharga bagi pemiliknya.
Di satu sisi, apa pun yang dilakukan sang empunya jasad penghasil tenaga, tubuhnya adalah satu untuk selamanya. Apa yang bisa menggantikannya? Bagaimana menggantikannya? Cuma dari kedua matanya, kedua tangannya, kedua kakinya—serta perangkat-perangkat lainnya dari satu-satunya tubuhnya—ia akan mengalami segenap kehidupannya. Di sisi lain, di mata pasar, tubuh sang insan hanyalah satu butir pasir dari sekian banyak tubuh yang berani mempertukarkan tenaganya dengan upah tak masuk akal. Ia tak lebih dari satu variabel remeh dalam perhitungan keseluruhan biaya operasi sebuah pabrik.
Proses produksi, yang dituntut untuk kian dan kian efektif, tak akan pernah merasakan pengalaman ragawi insan buruhnya. Lelah, nyeri, sakit, derita, trauma—sensasi-sensasi tak menyenangkan yang mensinyalkan bahaya yang mendatangi tubuh—hanya akan dicecap semata oleh insan pemiliknya. Proses produksi dan tubuh, sejak awal keduanya berada di dunia yang sama sekali berbeda, dan kini semakin hilang dalam semestanya masing-masing selepas yang kedua diprivatisasi untuk menjadi urusan pribadi penghuninya.
Yang pertama, yang materiil, dalam tatanan yang sudah disempurnakan untuk mengejar pertumbuhan dengan gelap mata ini, karenanya, tak akan kenal ampun untuk menggilas yang kedua, yang hidup. Bahan baku yang tak bernafas dan berdenyut itu, dalam banyak kasus, diasuransikan sementara para pekerjanya, yang akan menjerit mengenaskan seandainya mengalami insiden di pabrik, tidak. Kesakitan atau bahkan kematian, yang menggentayangi para buruh migran, menjadi peristiwa yang terjadi di kamar kecil kedap suara, jauh dari dynamo yang menggerakkan kehidupan kontemporer.
Dan sebagai sesama insan yang menyadari betapa berharganya jasad penadah kehidupannya, setiap kita punya daya empati yang cukup untuk tersayat-sayat dengan hukum rimba modern ini. Walhasil, situasi paradoks bagaimana bentuk kehidupan yang diciptakan oleh manusia berlaku kejam terhadap kehidupan manusia itu sendiri tersebut, menjadi bumbu dasar begitu banyak kisah populer yang berpretensi menyentuh sisi-sisi kemanusiaan para pembacanya.
Satu setengah abad yang lalu, sewaktu buruh di Inggris belum mempunyai hak-hak yang dimilikinya sekarang untuk menjauhkannya dari keserakahan telanjang majikannya, negeri ini punya kisah Christmas Carol Charles Dickens. Ebenezer Scrooge, pengusaha nan tamak yang memperlakukan pegawainya dengan begitu buruk, di malam Natal, didatangi oleh hantu-hantu yang memperlihatkan bagaimana setelah meninggal kuburannya akan terbengkalai. Ia akan meninggal tanpa ditangisi dan dikasihi oleh siapapun.
Merasa tak asing dengan kisah semacam ini? Saya tak akan heran. Kesampingkan sementara nilai kesusastraannya dan kita akan menjumpai betapa karya Dickens menyerupai kisah-kisah yang berkembang populer di sekeliling kita tentang majikan yang terkena azab lantaran mengeksploitasi pekerjanya. Hidayah, majalah yang banyak dicintai itu, ambillah, pernah mengangkat kisah majikan yang meninggal lantaran menganiaya pembantunya.
Bagaimana alur dari kisah-kisah ini bertumpu nyaris seutuhnya pada pembalasan ajaib yang akhirnya datang dari kekuatan ilahiah sebenarnya memperlihatkan kehausan akan tubuh yang diperlakukan setara namun terantuk di tembok keras realitas. Hasrat itu pun, lantas, beranjak membentuk angan-angan supranaturalistis di mana semua representasi realitas hidup yang ganas ada di sana—sang atasan yang kejam dan pekerjaan yang tak manusiawi—kecuali, kali ini, hukum baja kenyataan tersebut dibobol oleh kekuatan pengadil yang otoritasnya ada di atasnya. Mereka yang berusaha menyantet atasannya, yang saya yakin tak sedikit jumlahnya, juga dapat dikatakan terkuasai oleh obsesi khayali ini.
Kalau beralih kepada angan-angan semacam ini dibilang sebagai upaya membius diri dari kenyataan, sebenarnya semua yang dilakukan tubuh-tubuh yang diprivatisasi agar ia tetap kuat menghadapi kesehariannya pun dapat dikatakan hal yang sama. Mereka yang jatuh sakit, taruhlah, namun nilai kerjanya dipatok begitu rendah sehingga tak dapat memperoleh libur atau perawatan medis yang baik, akhirnya menenggak obat warung murahan yang sebatas meredakan gejala penyakitnya. Dengan kata lain, insan bersangkutan dipaksa mematikan indra-indra pencerap kenyataan yang menyakitinya dan menjalankan fungsinya selayaknya mesin.
Jadi, kini, sekali lagi, lihatlah semua hingar-bingar pertumbuhan ini. Ketika orang-orang di atas sana merayakan perekonomian melesat negeri ini sebenarnya mereka juga sedang merayakan kesakitan para warganya, fondasi dari pertumbuhan tersebut. Dan dengannya, kita bisa mengatakan, negara ini cinta kesakitan warganya. Negara ini, maaf, masokhis.***
Geger Riyanto Pustakawan Penerbit Kepik