MUNGKIN tanggal itu sudah lama kisut: 14 Desember 1825.
Serombongan tentara—rata-rata masih muda—berdiri di lapangan St. Petersburg, Rusia. Konon jumlahnya 3.000 orang. Mereka hanya diam ketika tentara Tsar Aleksander memberondong dengan meriam. Terpancang seperti tonggak pohon jati. Bergeming. Tapi pada akhirnya mesti roboh satu persatu.
Peristiwa itu kemudian menandai kemunculan batu nisan bertuliskan: the Decembrists—kaum Desembris. Anak-anak belia dari keluarga berada—perwira-perwira yang masih seumur kencur—muak dengan kondisi Rusia. Oleh sebab itu, mereka ingin tampil sebagai pembebas—memanggul Salib Kristus—demi rakyat jelata.
Persis bangsawan-bangsawan Prancis yang menggabungkan diri dalam the third estate, kaum Desembris rela mengorbankan diri demi surga di bumi. Rela mati dengan berbagai cara: ditembak, bom bunuh diri, hingga tulus menjadi mangsa tiang gantungan. Mereka sadar pasti akan gagal. Tapi tak mau menarik mundur. Dengan kata yang tak mungkin dibengkokkan, Pavel Pestel [salah satu pimpinan Desembris]—seperti dikutip Albert Camus dalam The Rebel—berkata setengah berkhotbah: ‘Ya, kami pasti akan mati, tapi akan menjadikan kematian yang indah.’ Luar biasa: kematian yang indah.
Konon, 70 orang mati dalam peristiwa 14 Desember 1825 itu. Sebagian yang lain digantung keesokan harinya. Selebihnya dibuang dan menjalani kerja paksa di padang beku Siberia. Pahit. ‘Kematian yang sia-sia,’ tulis Camus.
Tapi ada yang unik. Setiap kematian para martir ada pengagungan. Doa-doa dipanjatkan. Orang-orang meratap, mencucurkan air mata, mengenang saat-saat kepahlawanan itu. Pun, kaum Desembris: didewakan oleh kaum revolusioner Rusia. Katanya, tindakan mereka perlu ditiru.
Ketika kaum Desembris dianggap oleh sebagian besar revolusioner Rusia sebagai aksi para hero, Lenin justru tak pernah membicarakan secara langsung. Lenin tak pernah menganggap ‘pengorbanan’ kaum Desembris sebagai pengorbanan terbaik manusia. Lenin tak pernah sesenggukkan di pojok kamarnya, menangisi para korban yang tak mengenal rasa takut itu. Mungkin terbiasa mencemooh, Lenin menjadi kehilangan empati terhadap para martir. Tapi alasan yang pasti bisa dibaca di bawah ini.
Penyebutan kata ‘Desembris’ oleh Lenin, hanya sekilas dalam ‘What Is to Be Done?’ (Apa Yang Harus Dilakukan?). Dan, entah kenapa penyebutan itu diletakkan pada sub judul: Pemujaan kepada Spontanitas. Rabochaya Mysl—ah, nama-nama arkaik seperti ‘Rabochaya Mysl,’ ‘Listok Rabotnika,’ ‘Rabocheye Dyelo,’ dan yang lain, kini tak pernah terdengar lagi disebut di linimasa maupun di dunia nyata aktivis kiri; sempat pada masanya, nama-nama itu sering berdengung dan didiskusikan, dipelajari tendensi-tendensi politiknya, perbedaannya, dan dijadikan bahan untuk membangun gerakan.
Spontanitas—Lenin juga menyebutnya ekonomisme—yakni perlawanan yang dilakukan tanpa pengorganisasian, tak terpimpin, dan lebih peduli pada persoalan ‘sekarang’ dibandingkan politik dan ideologi. Artinya, bergerak begitu saja yang penting tuntutan terdekat tercapai—persis gerakan yang sering digagas aktivis kiri di twitter dengan hastag #save…#petisi…[silakan isi sendiri titik-titiknya sesuai trend]. Perlawanan macam itu, kata Lenin: ‘…bagaimanapun juga lebih banyak merupakan bentuk rasa putus asa dan balas dendam daripada perjuangan.’
Mungkin Lenin memasukkan para martir Desembris—yang teguh menghadang gemuruh meriam Tsar dan rela mati di tiang gantungan—sebagai bentuk perlawanan ‘spontan’ yang terjadi karena ‘putus asa’ dan ‘balas dendam’ para perwira Rusia terhadap Tsar.
Namun Lenin tetap jujur menilai yang dikerjakan kaum Desembris dan gerakan lain sebelum 1905, sebagai rentetan sejarah perjuangan rakyat Rusia yang perlu dipelajari. Tapi ia dengan keras menampik metodenya. Kesalahan metode bisa disebabkan kekeliruan pondasi berpikir. Dan, Lenin meluruskan kekeliruan itu secara tandas dalam What Is To Be Done?.
Bila ditelusuri, gerakan kaum Desembris memang lebih banyak dipengaruhi ide-ide Hegelian. Kita tahu, pengaruh Kristianitas masih kental dalam pemikiran Hegel. Ia menyebutkan, untuk mencapai Ruh Absolut manusia mesti: sengsara, mati dan bangkit—persis yang dialami Yesus; inilah yang sering dikatakan sebagai dialektika Hegel. Oleh karena itu, kaum Desembris rela melakukan pengorbanan diri: sengsara, menuju kematian, dan bangkit lagi.
Namun, dengan nakal, Lenin menyebut tindakan para martir [termasuk teroris] sebagai: ‘…spontanitas amarah yang menanah dari kaum intelektual yang tak mampu atau tak mempunyai kesempatan untuk menyatukan pekerja revolusioner…’ Dengan kata lain, para martir merupakan orang-orang yang memungkiri kekuatan massa terorganisir sebagai energi perubahan. Berharap, ketika mereka telah melakukan tindakan heroik (bakar diri, misalnya), bisa menjadi picu ledak yang bisa memantik amarah spontan rakyat. Sayang, yang terjadi setelah itu, mereka dilupakan. Persis pemuda Werther dalam novel Goethe, yang setelah bunuh diri tak ada yang peduli kecuali orang-orang di sekitarnya—orang malah sibuk mengkhawatirkan Lotte.
Lenin tidak sendiri dalam menolak spontanitas sebagai metode membangun gerakan. Adalah Ho Chi Minh, pemimpin revolusioner Vietnam yang ditakuti pemerintahan Washington, yang juga menolak metode ini. Setelah 30 tahun hidup dirantau—Inggris, Prancis, Cina, Hongkong dan Thailand—Paman Ho memasuki Vietnam dengan menyusup melalui daerah pedesaan. Ia dikawal oleh gerilyawan komunis. Dalam perjalanan itu, ia mendapat laporan: seorang aktivis komunis meledakkan bom bunuh diri. Anehnya Paman Ho tak girang. Malah ia menyebut tindakan itu: ‘Bodoh!’
Mungkin Paman Ho sudah kehilangan urat suka citanya. Tapi Paman Ho tahu, cara masokis semacam itu tak tepat bagi perjuangan kaum kiri yang bersandar pada kekuatan massa dan organisasi. Ia tak membutuhkan pengorbanan para martir.***
Lereng Merapi. 14.12.2012