SEGERA setelah Capital Volume I terbit, Ludwig Kugelman, sahabat Marx yang tinggal di Hanover, Jerman, menulis surat kepada Marx, yang isinya menceritakan keluhan banyak orang mengenai kesulitan memahami Capital, khususnya tentang teori nilai (value theory). Merespon surat Kugelman, Marx dengan nada sedikit gusar mengatakan,
‘Setiap anak kecil tahu bahwa jika setiap bangsa berhenti bekerja, jangan bicara tahun, tapi katakanlah, hanya dalam beberapa minggu, maka bangsa tersebut akan mengalami kehancuran. Dan setiap anak kecil juga tahu, jumlah produk yang berkorespondensi dengan jumlah kebutuhan yang berbeda, menuntut sejumlah tertentu kerja agregat masyarakat yang berbeda.’[1]
Tetapi apa yang Marx maksud dengan kerja? Apakah semua kerja menciptakan nilai? Dalam bukunya Critique of the Gotha Programme, Marx melancarkan kritik yang sangat keras terhadap program-program dari Partai Buruh Jerman (The German Workers’ Party). Salah satu poin yang dikritiknya adalah paragraph ini: ‘Labour is the source of all wealth…’ (1938:3). Terhadap paragraf ini, Marx dengan tegas mengatakan bahwa ‘labour is not the source of all wealth.’ Baginya, paragraf itu merupakan frasenya kaum borjuis, dan kaum sosialis tidak pantas untuk mengadopsinya ke dalam program-program perjuangannya.
Tentu saja setelah kita mendiskusikan dua aspek dari komoditi dan selanjutnya teori nilai, kita bisa sedikit mengerti kritik tajam Marx tersebut. Pada bagian ini saya akan coba memberikan pendasaran lebih jauh terhadap kritik tersebut.
Setelah membahas konsepsi tentang Nilai, Marx mengajak kita untuk mendiskusikan topik tentang ‘karakter ganda dari kerja (the dual character of labor),’ yang dianggapnya sebagai salah satu poin terbaik dalam bukunya Capital, selain teori tentang nilai-lebih (surplus-value). Topik karakter ganda dari kerja ini, juga merupakan salah satu bagian yang paling rumit dipahami dalam bab pertama Capital. ‘Gagasannya tentang kerja abstrak (abstract labour),’ demikian tulis ekonom Duncan K. Foley, ‘merupakan gagasan yang paling sulit dimengerti’ (1986:15; lihat juga Sweezy, 1970:30). Karena itu, keliru dalam menafsirkan bagian ini, bisa menyebabkan kita ‘tersesat’ dalam pembacaan Capital selanjutnya.
Kerja Konkret (Concrete Labour)
Untuk memahami topik ini, jalan terbaik adalah dengan kembali pulang ke topik mengenai komoditi. Sebagaimana yang telah kita diskusikan, komoditi selalu dan pasti mengandung dua aspek ganda: aspek nilai-guna (use-value) dan aspek nilai-tukar (exchange-value). Nilai-guna eksis pada setiap bentuk sosial produksi, ia diproduksi untuk dikonsumsi. Sementara nilai-tukar hanya eksis dalam bentuk sosial produksi tertentu, yakni kapitalisme, dan ia diproduksi untuk dipertukarkan di pasar.
Selanjutnya, dalam pembahasan tentang Nilai, Marx mengatakan, pertukaran di antara komoditi hanya bisa terjadi jika ada sesuatu yang setara melekat pada komoditi tersebut, yang ia sebut Nilai. Dan sumber dari nilai itu tidak lain adalah kerja manusa.Tetapi karena komoditi pasti dan selalu mengandung dua aspek ganda, maka kerja yang melekat pada komoditi tersebut, ujar Marx, juga mengandung karakter ganda, yakni kerja konkret (concrete labour) dan kerja abstrak (abstract labour) .
Untuk menjelaskan maksudnya, Marx menggunakan contoh dua komoditi: jaket dan 10 yards linan (linen). Berdasarkan observasinya, jaket dijual dengan harga dua kali lipat dari harga jual linan. Jadi, jika 10 yards linan = W maka jaket = 2W. Apa yang membuat harga jaket lebih mahal dua kali lipat dari harga linan? Inilah pertanyaan misterius yang coba diungkap Marx. Menurutnya, baik jaket maupun linan mengandung nilai-guna untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Agar supaya jaket ini bisa ada, maka sebuah aktivitas produktif yang khusus dibutuhkan untuk memproduksi jaket tersebut. Aktivitas ini ditentukan berdasarkan tujuannya, corak kerjanya, alat-alatnya, dan hasil tertentu.
Aktivitas produktif ini, ia sebut sebagai kerja berguna atau useful labor atau concrete labor, yakni kerja yang kegunaannya tercermin pada nilai-guna produk tersebut, atau oleh fakta bahwa produk tersebut memiliki nilai-guna (Capital, 132). Pada bagian lainnya, ia mengatakan, dalam nilai-guna setiap komoditi melekat kerja berguna, yakni bentuk aktivitas produktif yang pasti, yang menghasilkan tujuan yang jelas (Capital, 132-33). Berdasarkan tafsirannya pada Marx, Kenneth Morrison, mendefinisikan kerja berguna sebagai kapasitas kerja manusia untuk menghasilkan ‘kegunaan (usefulness)’ dan ‘keperluan (utility)’ dalam sebuah komoditi dan menghasilkan nilai-guna sederhana (2006:91).
Karena jaket dan linan secara kualitatif berbeda nilai-gunanya, demikian juga bentuk kerja dimana eksistensi keberadaannya adalah sebagai perantara – menjahit (tailoring) dan menenun (weaving). Jika nilai-guna secara kualitatif tidak berbeda, maka kerja berguna pun secara kualitatif tidak berbeda. Konsekuensinya, produk tersebut secara absolut tidak memiliki kapasitas untuk dipertukarkan satu dengan lainnya sebagai komoditi. Bagi Marx, hanya produk yang merupakan tindakan independen dari kerja bersama, yang keberadaannya terisolasi, yang bisa dikonfrontasikan satu sama lainnya sebagai komoditi.
‘Jaket tidak bisa ditukar untuk jaket, nilai-guna yang satu tidak bisa ditukar dengan nilai-guna lainnya yang sama’ (Capital,132).[2]
Dan layaknya nilai-guna yang melekat pada komoditi, kerja konkret juga eksis dalam seluruh bentuk sosial produksi (dari pra kapitalisme, kapitalisme, hingga pasca kapitalisme), yakni kerja yang didedikasikan untuk memproduksi barang yang berguna, barang yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia individu, keluarga, maupun komunitasnya secara langsung. Marx mengatakan, aktivitas manusia membuat baju telah berlangsung ribuan tahun lamanya di bawah tekanan akan keharusan untuk berpakaian, tanpa seorang pun menjadi penjahit, karena keberadaan jaket, linan, atau setiap elemen kekayaan material dalam wujud yang lebih canggih, tidak disediakan oleh alam. Keberadaannya selalu dimediasi oleh aktivitas produktif yang khusus.
Dengan demikian, nilai-guna seperti jaket, linan, singkatnya, wujud fisik komoditi, merupakan kombinasi antara dua elemen, yakni alam dan kerja. Pohon di hutan, secara alamiah berguna untuk mencegah banjir atau mempertahankan kesuburan tanah. Melalui kerja berguna, pohon di hutan ini diubah menjadi meja, kursi, atau bahan baku untuk istana raja-raja. Di sini aktivitas produktif manusia adalah mengubah bentuk-bentuk material yang telah disediakan oleh alam, dan dari sana kerja lantas menjadi sumber kekayaan material, yakni nilai-guna yang diproduksinya, dan dengan demikian manusia mengubah dirinya sendiri. Inilah kata Marx:
Maka kerja, sebagai pencipta nilai-guna, sebagai kerja berguna, adalah sebuah kondisi keberadaan manusia yang terlepas dari seluruh bentuk masyarakat yang ada; ia adalah kebutuhan alamiah yang abadi, yang memperantarai metabolisme antara manusia dan alam dan lebih dari itu, kehidupan manusia itu sendiri (Capital,133).[3]
Kerja Abstrak (Abstract Labour)
Untuk mendiskusikan soal kerja abstrak ini, saya mau mengutip kembali pernyataan Marx dalam karyanya Value, Price, and Profit, yang telah saya kutip dalam artikel yang membahas soal teori nilai:
‘Dan aku mau bilang tidak hanya Kerja (Labor), tetapi Kerja Sosial (Social Labor). Manusia yang memproduksi sebuah barang untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya, untuk dikonsumsinya sendiri, maka ia menciptakan sebuah produk, tapi bukan sebuah komoditi. Sebagai produser yang mandiri ia tidak melakukan apa-apa yang berhubungan dengan masyarakat. Tetapi untuk memproduksi komoditi, maka manusia tidak hanya memproduksi barang untuk memenuhi kebutuhan sosial tertentu, tetapi kerjanya itu sendiri harus menjadi bagian dan paket dari keseluruhan total kerja yang dikeluarkan masyarakat. Kerja itu mesti disubordinasikan di bawah Pembagian kerja dalam masyarakat (Division of labor within society). Tetapi ini tak akan berarti apa-apa tanpa pembagian kerja yang lain, dan bagian itu dibutuhkan untuk menyatukan mereka’ (Zarembka, 2000:14; huruf miring dari Marx).
Berdasarkan kutipan ini kita temukan bahwa Marx tidak lagi berbicara tentang kerja sebagai substansi dari nilai dalam pengertian yang umum, melainkan lebih spesifik lagi. Selain kerja konkret, ia menyebut jenis kerja lain yaitu kerja sosial, yang dalam Capital disebutnya sebagai kerja abstrak. Jadi berbeda dengan kerja konkret, maka kerja abstrak adalah kerja manusia yang tidak ditujukan ‘untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya, untuk dikonsumsinya sendiri.’
Kini, mari kita kembali kepada pertanyaan Marx di atas, ‘mengapa harga jaket dua kali lipat dari harga linan?’
Saya mau mengikuti tafsiran Morrison untuk memahami penjelasan Marx, tentang kerja abstrak ini. Menurut Morrison pada poin ini kita mesti membedakan antara dua tipe kerja berguna (menjahit dan menenun), dua tipe aktivitas berdagang (penjahit dan penenun) dan dua tipe nilai (nilai linan dan nilai jaket). Dari pembedaan ini, Marx kemudian mengatakan, jika kita mengesampingkan kemampuan kerja berguna untuk menghasilkan tipe kegunaan yang berbeda dan nilai-guna yang berbeda, maka yang tersisa kemudian adalah bahwa aktivitas menjahit dan menenun tak lain adalah ‘energi manusia yang disalurkan, produk dari otak, otot, saraf, tangan, dsb.’ (Capital, 134). Jika kita melihat dari perspektif ini, maka seluruh kerja berguna, dalam kenyataannya, tidak lain adalah energi psikologis yang dikeluarkan yang bisa diukur dengan unit waktu-kerja.
Dari perspektif ini kemudian Marx mengatakan, adalah mungkin bagi kapital untuk mengabaikan kerja berguna dengan seluruh perbedaan kualitatifnya, dan hanya fokus pada energi yang dikeluarkan. Artinya, kapital sebetulnya hanya peduli pada kerja manusia, sejauh kerja itu (energi yang dikeluarkan) mendatangkan keuntungan baginya. Menurut Morrison, pergeseran esensial dari kerangka kerja kualitatif dimana kerja adalah berguna karena ia menghasilkan nilai-guna atau kegunaan, menjadi kerangka kerja kuantitatif dimana kerja diukur berdasarkan energi yang dikeluarkan yang dihitung berdasarkan waktu. Inilah yang oleh Marx disebut sebagai kerja abstrak (abstract labour) (op.cit:92).
Dari titik pandang ini, maka kerja menjahit dan menenun kini tidak lebih sebagai ekspresi kuantitatif dari apa apa yang secara kualitatif berbeda dari beragam kerja berguna. Selanjutnya Morrison mengatakan,
‘Apa yang membuat nilai jaket dua kali lipat dari linan, kini bisa kita lihat dengan lebih jelas. Marx percaya bahwa dalam sistem produksi kapitalis, kerja berguna yang melekat pada jaket diukur dalam pengertian kuantitatif, dan hanya dalam pengertian ini kerja yang sama, yang melekat pada linan, diberlakukan. Ketika kerja tersusun melalui cara ini, kata Marx, itulah kerja abstrak dan hal ini muncul hanya dalam masyarakat kapitalis, ketika kerja berguna itu diukur berdasarkan ‘lamanya waktu kerja sementara.’ Inilah poin kuncinya: dalam kenyataannya linen dan jaket sama-sama memiliki nilai-guna sejauh keduanya memiliki kerja berguna. Dalam makna ini, nilai dari jaket dan linen adalah sama, paling tidak ketika dipahami dalam terang kriteria kualitatif kerja berguna. Tetapi ketika diukur secara kuantitatif dalam pengertian lamanya waktu kerja, maka waktu kerja yang melekat pada jaket dua kali lebih banyak ketimbang waktu kerja yang melekat pada linan. Sementara dari titik pijak kerja beguna, jumlah kerja yang melekat pada linan dan jaket adalah sama; dari titik pijak produksi kapitalis, jaket dihargai dua kali lipat ketimbang linan, tepatnya, karena waktu kerja yang melekat padanya secara kuantitatif lebih banyak ketimbang pada linan’ (ibid:93).
Intinya, kerja abstrak adalah kerja yang menghasilkan komoditi, yakni barang yang diperjualbelikan di pasar untuk tujuan akumulasi keuntungan tanpa batas. Ekonom-cum filsuf Rusia I.I. Rubin, mengatakan kerja abstrak hanya muncul dan berkembang luas ketika pertukaran menjadi bentuk sosial dari proses produksi, sehingga mentransformasikan proses produksi tersebut ke dalam bentuk produksi komoditi. Dengan demikian, jika tidak ada pertukaran sebagai bentuk proses produksi, maka tidak ada kerja abstrak (1990:144). Konsekuensinya, semakin luas dan berkembang nilai-tukar dalam bentuk uang, dari tingkat lokal, nasional, hingga internasional, semakin kerja abstrak ini menjadi dominan. Perluasan nilai-tukar (pasar) dengan demikian tak lain merupakan bentuk lain dari perluasan kerja abstrak.
Tetapi, kesimpulan Rubin ini bukan tanpa kritik. Pertama, hubungan pertukaran sesungguhnya tidak menjadi penanda atau ciri utama dari kapitalisme. Jauh sebelum corak produksi kapitalis ada, hubungan pertukaran telah berlangsung baik antara produsen barang yang satu dengan produsen barang yang lain, atau antara pedagang di satu wilayah dengan pedagang di wilayah lainnya. Bahkan pertukaran untuk mengoleksi keuntungan (membeli dengan murah dan menjual dengan mahal, telah berlangsung di masa pra-kapitalisme); kedua, konsekuensinya jika kerja abstrak hanya eksis ketika ada pertukaran, maka sesungguhnya Rubin telah menggeser analisa Marx tentang kapitalisme dari hubungan produksi ke hubungan pertukaran. Padahal kita telah mendiskusikan pada bagian teori nilai bahwa pertukaran tidaklah menciptakan nilai, karena nilai adalah produk dari kerja. Di sini, ia terpelanting ke dalam analisa non-Marxis tentang kapitalisme; ketiga, dengan demikian, bagi Rubin, kerja yang eksis dalam hubungan produksi itu hanyalah kerja konkret (concrete labour) padahal kerja konkret tidak merujuk pada sebuah sistem sosial produksi tertentu.
Untuk mengatasi kesimpulan Rubin ini, maka hal pertama yang mesti ditegaskan bahwa kerja abstrak hanya eksis dalam sistem produksi kapitalisme, yang dicirikan oleh produksi komoditi. Dengan demikian, kerja abstrak ini sesungguhnya telah eksis sejak komoditi itu mulai diproduksi hingga kemudian dipertukarkan di pasar. Mengikuti Carchedi (2009:152-53), kerja abstrak telah eksis sejak:
- jika proses produksi telah dimulai tetapi belum selesai, maka kerja yang dilakukan tersebut merupakan kerja abstrak dan dengan demikian menciptakan komoditi yang padanya melekat nilai. Memang, pada tahap ini kerja abstrak tidak bisa disebut nilai; lebih tepatnya nilai yang sedang dalam pembentukan, masih bersifat potensial, melekat, karena komoditi itu sendiri belum selesai diproduksi, tapi sudah diciptakan dan karena itu hanya bersifat potensial;
- jika proses produksi telah lengkap dan dengan demikian komoditi telah jadi (tapi belum dijual), maka kerja abstrak telah menjadi nilai yang terkandung atau melekat di dalam komoditi tersebut, nilai tersebut adalah nilai individual dimana substansi materialnya tidak berbeda dengan energi manusia, kerja abstrak. Karena komoditi harus dijual guna merealisasikan nilainya, maka nilai individual ini juga masih bersifat potensial untuk direalisasikan sebagai nilai;
- jika dan ketika komoditi itu telah dijual, maka nilai yang melekat atau individual atau nilai potensial berubah menjadi nilai yang direalisasikan secara aktual, dimana substansinya adalah nilai individual;
- semenjak komoditi diproduksi untuk dijual guna mendapatkan uang, maka nilai yang direalisasikan secara aktual tersebut menjadi substansi itu sendiri yang mengambil bentuk nilai yang dibutuhkan. Karena uang adalah bentuk eksistensi dari nilai yang direalisasikan, dengan demikian (dimodifikasi secara kuantitatif) nilai terkandung di dalamnya, demikian juga kerja abstrak kapitalis (huruf miring dari Carchedi).
Dialektika kerja konkret dan kerja abstrak
Sampai sejauh ini, saya ingin memberikan contoh sekali lagi perbedaan antara kerja konkret dan kerja abstrak. Ketika saya, misalnya, menulis (kerja) artikel ini tidak untuk dijual (Anda bisa mengaksesnya secara gratis) maka kerja saya adalah kerja konkret. Tetapi begitu saya memberi pengumuman bahwa ‘untuk bisa mengakses artikel ini Anda harus membayar sekian rupiah,’ maka kerja saya telah menjadi kerja abstrak.
Tapi, perhatikan, seperti pada komoditi, kerja konkret dan kerja abstrak ini keberadaannya menyatu dan sekaligus saling berkontradiksi dalam sebuah komoditi, dalam contoh tadi adalah artikel ini. Komoditi tidak bisa dipertukarkan tanpa adanya nilai-guna (dalam contoh artikel ini adalah pengetahuan) yang melekat padanya, yang merupakan produk dari kerja konkret. Sebaliknya, nilai-tukar sebuah komoditi hanya eksis sejauh ia diperjualbelikan, yang merupakan produk dari kerja abstrak. Perhatikan pernyataan Marx berikut:
‘…..pada satu sisi komoditi mesti masuk dalam proses pertukaran sebagai materialisasi waktu-kerja universal, pada sisi lainnya, waktu-kerja individual termaterialisasi sebagai waktu-kerja universal hanya sebagai hasil dari proses pertukaran’ (Critique, 45).[4]
Tetapi, bagaimana menjelaskan hubungan antara kerja berguna dan kerja abstrak yang bekerjasama sekaligus berkontradiksi dalam komoditi? Dari contoh penulisan artikel ini, terlihat bahwa kerja konkret sebenarnya juga memiliki fungsi ganda: pertama, kerja konkret ini memproduksi nilai-guna untuk memenuhi kebutuhan manusia tertentu, yang memiliki nilai berbeda di antara masing-masing pemiliknya; kedua, kerja konkret juga menjadi sumber bagi nilai-tukar untuk memenuhi kebutuhan manusia universal melalui proses pertukaran itu sendiri, dan memiliki nilai yang sama bagi semua orang. Dengan demikian, kerja konkret ini bertransformasi menjadi kerja abstrak ketika barang yang diproduksi itu menjadi komoditi. Inilah dasarnya kenapa Marx mengatakan bahwa fungsi ganda kerja konkret ini terpecahkan dalam satu komoditi:
‘Dengan demikian, kontradiksi inheren dalam komoditi, katakalah keberadaan nilai-guna tertentu dan keberlanjutannya menjadi kebutuhan universal, dan konsekuensinya menjadi nilai-guna bagi setiap orang atau nilai-guna universal, terpecahkan dalam kasus satu komoditi ini (Critique, 48).’[5]
Tetapi jika solusi Marx ini kita terima apa adanya, maka kita akan kesulitan keluar dari, apa yang disebut Martin Suryajaya sebagai ‘jebakan sirkulasionis Rubin: kerja abstrak ada karena ada barang yang diperdagangkan.’ Karenanya untuk menghindari jebakan itu, Martin mengatakan ‘barang yang diproduksi menjadi komoditi ketika kerja konkret menjadi kerja abstrak.’ Selain itu, posisi sirkulasionis Rubin ini mengandaikan bahwa kerja abstrak lahir dari kerja konkret, suatu posisi teoritik yang keliru. Seperti dikemukakan Milios et.al., ‘kerja abstrak merupakan ‘kepemilikan’ atas seluruh tindakan kerja konkret di bawah corak produksi kapitalis, yakni sebuah ekspresi dari bentuk tertentu pengaturan sosial yang dikarakterisasi (dan hanya dengannya) oleh corak produksi tertentu, terlepas apakah kerja itu adalah kerja sederhana atau kerja yang lebih kompleks dan membutuhkan derajat spesialisasi yang tinggi’ (2002:20). Singkatnya, kerja yang dominan dalam kapitalisme adalah kerja abstrak.
Untuk mengerti lebih jauh tentang dominasi kerja abstrak ini, kita mesti melompat sedikit ke pembahasan Marx tentang Rahasia Akumulasi Primitif (the Primitive Accumulation) pada bab 4 dari bukunya Capital Volume I. Menurut Marx, kapitalisme yang muncul dari reruntuhan corak produksi feodal tidak akan bisa berkembang tanpa adanya buruh upahan yang bebas dalam pengertian ganda: bebas dari cengkeraman tuan feodal dan bebas dari kepemilikan atas alat-alat produksi. Nah keberadaan buruh bebas ini hanya mungkin ada karena mereka dipisahkan secara paksa dari kepemilikannya atas alat-alat produksi, khususnya kepemilikan atas tanah. Inilah yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif, yang diibaratkannya seperti konsepsi dosa asal dalam Kekristenan.
Penduduk yang kehilangan alat-alat produksinya ini kemudian menjelma sebagai buruh yang menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis untuk bisa hidup. Dan sejak saat itulah kerja abstrak muncul dan mendominasi kerja. Maka di sini Martin benar bahwa ‘transisi dari kerja konkret ke kerja abstrak, dengan demikian, merupakan transisi menuju modus produksi kapitalis yang bertumpu pada relasi kerja-upahan.’[6]
Apa konsekuensi politik dari konsepsi kerja konkret dan kerja abstrak ini? Untuk menjawab soal ini, mari kita ikuti terlebih dahulu rangkaian argumentasi Marx sejak ia membicarakan topik tentang komoditi. Dalam kalimat pertama Capital , Marx mengatakan, ‘kemakmuran masyarakat dalam corak produksi kapitalis menampakkan dirinya sebagai ‘tumpukan komoditi yang sangat banyak.’ Lalu karena komoditi tersebut hanya bisa dipertukarkan jika pada dirinya melekat ukuran yang sama, yang disebutnya Nilai yang bersumber dari kerja manusia yang melekat padanya, maka kerja manusia tersebut, tidak lain adalah kerja abstrak.
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa esensi kapitalisme tidak lain adalah ‘penumpukkan kerja abstrak tanpa batas.’ Maka, secara politik, menurut Harry Cleaver (2000:129), ketika Marx membedakan kerja konkret dari kerja abstrak, ia sedang membedakan dua sudut pandang kelas: kerja konkret mewakili sudut pandang kelas pekerja (working class), sementara kerja abstrak mencerminkan sudut pandangnya kelas kapitalis (capitalis class). Kepentingan kelas pekerja adalah menuntut agar kerja konkret ini semakin kuat dan dominan di hadapan kerja abstrak; sementara kepentingan kelas kapitalis adalah mengontrol dan memaksimalkan kerja abstrak agar posisinya semakin dominan terhadap kerja konkret. Kemenangan kerja konkret atas kerja abstrak itulah yang semestinya menjadi tujuan dari perjuangan gerakan anti kapitalis.
Tetapi solusi politik ini tidak dengan sendirinya benar. Ada dua alasannya: pertama, kalau kita perhatikan lagi argumentasi Marx di atas, ia mengatakan bahwa solusi dari kerja konkret dan kerja abstrak ini ada pada komoditi. Sementara, produksi komoditi merupakan penanda dari corak produksi kapitalis. Dengan demikian, solusi memperkuat sisi kerja konkret dan memperlemah sisi kerja abstrak, tak lain adalah mempromosikan sisi baik dari kapitalisme dan meninggalkan sisi buruknya. Jelas sekali bahwa solusi ini adalah solusi Hegelian, solusi yang metafisik dan reaksioner yang telah dikritik Marx dengan sangat tajam dalam karya polemisnya terhadap Joseph P. Proudhon, The Poverty of Philosophy.
Alasan kedua, kerja konkret dan kerja abstrak tidak lain adalah kerja yang melekat pada pada satu tubuh kelas pekerja. Ketika si A bekerja sebagai tukang cuci di restoran, ia mengeluarkan sekaligus kerja berguna dan kerja abstrak. Sehingga, ketika kelas buruh hendak memperjuangkan kerja konkret, sejatinya ia tengah memperjuangkan posisi kelasnya di hadapan kelas kapitalis. Sebaliknya, ketika kelas kapitalis ingin mengontrol dan mengeksploitasi kerja abstrak, ia sejatinya sedang mengontrol dan mengekploitasi kelas buruh yang sama, yang sedang memperjuangkan kerja konkret tadi. Maka esensi dari perjuangan antara kerja konkret berhadapan dengan kerja abstrak, bukanlah perjuangan di antara dua jenis kerja itu sendiri, melainkan perjuangan antara kelas buruh melawan kelas kapitalis.
Inilah titik berangkat Marx ketika ia berbicara tentang kelas dan perjuangan kelas. Itu pula sebabnya, ‘perjuangan kelas merupakan inti dari Marxisme, karena dua hal yang tak terpisahkan: (1) perjuangan kelas bagi Marxisme adalah untuk menjelaskan dinamika sejarah; dan (2) penghapusan kelas-kelas, yakni hasil akhir dari perjuangan kelas, merupakan tujuan tertinggi dari proses revolusioner (Wood, 1998:12).
Jika kita kembali pada Critique of the Gotha Programme, kini kita memperoleh pemahaman yang lebih jernih dan komprehensif, mengapa Marx mengatakan bahwa ‘labour is not the source of wealth’ sebagai antitesa terhadap rumusan program dari Partai Buruh Jerman, ‘labour is the source of all wealth..’ Pertama, frasa labour (kerja) di sini sangat umum dan menyesatkan karena ia tidak membedakan antara kerja konkret dan kerja abstrak, dan karena itu kedua, program ini gagal menunjukkan adanya kontradiksi kelas, yakni antara mereka yang mengontrol dan menguasai alat-alat produksi (borjuasi) dengan mereka yang hanya memiliki tenaga kerja (proletariat), yang muncul dalam kapitalisme.
Dengan demikian, esensi dari penjelasan Marx soal karakter ganda dari kerja adalah untuk menunjukkan akar dari ketertindasan kelas pekerja di bawah sistem produksi kapitalis, sekaligus menunjukkan bahwa proposisinya tentang kelas pekerja sebagai kelas yang potensial menjadi kelas revolusioner bukanlah hasil dari abstraksi metafisik (ibid:14).
¶
Kepustakaan:
Duncan K. Foley, Understanding Capital Marx’s economic theory, Harvard University Press, 1986.
Ellen Meiksins Wood: The Retreat from Class A New ‘True’ Socialism, Verso, London, 1998.
Guglielmo Carchedi, The Fallacies of ‘New Dialectics’ and Value-Form Theory, Historical Materialism 17, Brill, 2009.
Harry Cleaver, Reading Capital Politically, AK Press, 2000.
John Milios, Dimitri Dimoulis and George Economakis, Karl Marx and the Classics An Essay on Value, Crises and the Capitalist Mode of Production, Ashgate Publishing Limited, 2002.
Karl Marx, Capital Volume I, Penguin Classic, 1990.
————-, A Contribution to The Critique of Political Economy, International Publishers, New York, 1989.
————-. Critique of the Gotha Progamme, International Publisher, NY, 1938.
Kenneth Morrision, Marx, Durkheim, Weber: Formations of Modern Social Thought, Sage Publications Ltd; 2nd edition, July 21, 2006.
I.I. Rubin, Essays on Marx’s Theory of Value, Black Rose Books, 1990.
Letter of Marx to Engels, 24 August, 1867, http://www.marxists.org/archive/marx/works/1867/letters/67_08_24.htm
Lettter of Marx to Ludwig Kugelman, 11 July 1868, http://www.marxists.org/archive/marx/works/1868/letters/68_07_11.htm
Paul M. Sweezy, The Theory of Capitalist Development, Monthly Review Press, 1970.
Paul Zarembka (ed.), Value, Capitalist Dynamics, and Money, Emerald Group Publishing, 2000.
[1] Kutipan aslinya: ‘Every child knows that any nation that stopped working, not for a year, but let us say, just for a few weeks, would perish. And every child knows, too, that the amounts of products corresponding to the differing amounts of needs demand differing and quantitatively determined amounts of society’s aggregate labour.’
[2] Kutipan aslinya: ‘Coat cannot be exchanged for coats, one use-values cannot be exchanged for another of the same kind.’
[3] Kutipan aslinya: ‘Labour, then, as a creator of use-values, as useful labour, is a condition of human existence which is independent of all forms of society; it is an eternal natural necessity which mediates the metabolism between man and nature, and therefore human life itself.’
[4] Kutipan aslinya: ‘…..on the one hand commodities must enter the exchange process as a materialized universal labour-time, on the other hand, the labobur-time of individuals become materialized universal labour time only as a result of the exchange process.’
[5] Kutipan aslinya: ‘Thus the contradiction inherent in the commodity as such, namely that of being a particular use-value and simultaneously universal equivalent, and hence a use-value for everybody or universal use-value, has been solved in the case of this one commodity.”
[6] Kutipan dari Martin ini berdasarkan atas komentarnya terhadap artikel ini dan dikutip ulang di sini atas sepengetahuannya.