INI aknedot yang pernah dimuat di majalah terbitan Amerika:
Dua babi hilang. Seorang opsir intel rezim Fulgencio Batista y Zaldivar—diktator Kuba—sibuk mencarinya. Dua babi itu sebetulnya akan disiapkan untuk pesta. Sang opsir berang karena pesta gagal. Kesana kemari sang pencuri dicari. Akhirnya, dua gelandangan ditangkap dan dituduh sebagai pencuri. Tanpa tetek bengek, keduanya ditembak mati. Ketika langit hendak meremang, kedua babi yang disangka hilang mendadak muncul dari semak-semak. Orang-orang pun bertanya kepada sang opsir intel, ‘Bagaimana nasib gelandangan yang sudah ditembak mati?’ Dengan santai, opsir itu menjawab, ‘Tak masalah. Gelandangan itu kuanggap komunis.’
Begitulah harga orang komunis: lebih murah daripada dua ekor babi.
Di Indonesia, serupa babi, orang-orang komunis ditembak dan disembelih untuk pesta kelahiran Orde Baru. Ini adalah pesta terbesar yang dirayakan dengan sukacita. Ada yang sambil mengucap takbir, merapal doa, bahkan berdansa-dansi. Tentu saja, semuanya disokong tentara. Pasukan berbedil itulah jagal utama. Mereka membagi kebengisan kepada laskar-laskar sipil.
Lantas, kata apa yang sering muncul setelah pesta itu usai berpuluh tahun-tahun kemudian? Hanya 4 huruf: MAAF. Kata ini seperti air terjun: meluncur dengan gampang. Semuanya hanyut dalam selantun kalimat yang dibijak-bijakkan, ‘Marilah kita saling memaafkan. Silakan berpelukan. Jangan lagi ada dendam. Kita tatap masa depan.’ Serupa jargon iklan televisi yang terlalu sering ditayangkan, siapapun bisa mengucapkan kalimat ini. Rangkaian kata-kata kosong yang tanpa makna, hambar dari sesal, kebas dari empati.
Ada tulisan manis dari Goenawan Mohamad berjudul Surat Terbuka untuk Pramoedya yang dimuat di Majalah Tempo. Tulisan ini berpokok pada penyesalan Goenawan terhadap sikap Pramoedya Ananta Toer. Penulis kecewa karena Pram tak mau menerima permintaan maaf dari Gus Dur— presiden kala itu. Harapannya, Pram bisa berlaku seperti Nelson Mandela di Afrika. Dengan kata yang memukau, Goenawan menulis: ‘Proses ini mirip ‘pengakuan dosa’ di depan publik. Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan bahwa pembebasan sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak.’
Tapi, Pram memang cerdas. Ia tak mudah terkecoh dengan yang manis-manis, yang seolah membela korban. Dalam majalah yang sama, Pram membalas tulisan itu dengan pembuka yang memukul: ‘Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan.’ Bagi Pram, permintaan maaf dan rekonsiliasi hanya basa-basi. ‘Gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu,’ tulis Pram. Lebih tajam lagi, Pram menulis: ‘Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim.’ Mungkin banyak yang mengira Pram seorang pendendam kelas satu.
Selain Pram, selama ini orang-orang memuji sikap Gus Dur yang bersedia minta maaf kepada korban peristiwa 30 September 1965. Baiklah, sikap Gus Dur memang perlu dihargai. Ia tokoh pertama yang berani meminta maaf secara terbuka. Tapi, sebagaimana kata Pram, permintaan maaf dan rekonsiliasi tanpa penegakan hukum dan keadilan hanyalah omong kosong. Pram berpikir lebih maju.
Peristiwa 1965 bukan serupa kasus tabrakan ringan antara dua pengedara sepeda motor di pinggir jalan. Yang bisa berdamai di pos polisi, itupun setelah menghitung kerugian masing-masing. Peristiwa 1965 merupakan pembantaian terorganisir terbesar setelah Perang Dunia II. Korbannya hampir tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah yang mati dan dipenjara sama-sama besarnya. Dampak ikutannya pun luar biasa.
Banyak yang mengira bahwa peristiwa itu hanya menghilangkan nyawa. Padahal, ada satu kosakata yang juga ikut hilang sejak peristiwa tersebut: KEBERANIAN. Tak heran, sejak itu orang-orang Indonesia menjadi jirih. Selama tiga puluh dua tahun, Orba bebas berlaku apa saja. Ada riak-riak kecil memang, tapi tak pernah mampu mencipta gempa. Hanya lewat sebentar, setelah itu hilang. Para intelektual mati kutu dan sibuk berbasa-basi. Kekerasan dibiarkan lewat begitu saja.
Maka, mental gerombolan pun bermunculan. Tak pernah berani bertindak sendiri, apalagi maju satu lawan satu serupa yang dilakukan Laksamana Mahalayati ketika menghadapi Cornelis de Houtman di atas geladak kapal. Yang ringkih dikeroyok beramai-ramai, pun yang dianggap sesat dihajar secara bergerombol—semua ini terjadi hingga sekarang. Dan, di sepanjang masa itu, kata ‘tidak’ haram diucapkan oleh mulut, bahkan diniatkan dalam pikiran.
Atas semua dampak buruk itu, bisakah kejadian tersebut dibasuh dengan kata ‘maaf?’ Mungkinkah peristiwa 1965 diselesaikan hanya dengan perdamain ala kasus tabrakan ringan sepeda motor?
Yang terjadi sekarang sungguh menyakitkan. Paling tidak, setiap setahun sekali derita korban selalu dipaparkan secara terbuka. Segala macam bentuk penyiksaan dan metode pembunuhan ditampilkan. Korban-korban 1965 dijadikan obyek wisata kepedihan untuk mengeruk air mata orang-orang yang hidup sekarang. Persis acara reality show di televisi yang menjual kemiskinan dan kesengsaraan kaum miskin agar penonton ikut termehek-mehek. Ya, hanya sebatas itu. Orang-orang masa kini memang perlu tahu bagaimana rasanya bersedih itu—di tengah segala kemudahan dan kenyamanan hidup mereka sekarang—agar kemanusiaannya terasa lebih lengkap. Lantas, setelah itu apa? Tentu saja harus dilupakan. Serupa saran artikel kesehatan dalam majalah gaya hidup, bersedih terlalu lama tak baik bagi kesehatan jiwa, juga membuat rambut cepat rontok. Maka, mengikuti saran seorang motivator populer yang setiap kalimatnya dianggap sebijak isi kitab suci sehingga rajin di-retweet banyak orang, ‘Singkarkanlah masa lalu dan tataplah masa depan yang cerah,’ para korban yang sempat dimunculkan itu pun segera didepak ke tempatnya semula—begitu tanggal dan bulan bersejarah itu lewat.
Mereka kembali bergelung di pojok derita bersama laba-laba dan sawangnya.
Mungkin benar kata Pram: ‘Orang yang dipukul merasakan terus rasa sakitnya, sementara orang yang memukul sudah lupa.’ Kita sepertinya digiring hanya sebatas mengelus dada. Terhadap tentara-tentara dan orang-orang yang terlibat pembantaian, kita diajak hanya sampai pada kalimat: mereka itu biadab. Proses selanjutnya dianggap tidak perlu, melainkan cukup hanya bermaaf-maafan serupa saat hari Lebaran. ‘Membuka pengadilan untuk mengadili mereka hanya menghabiskan waktu saja. Bangsa ini sudah banyak masalah,’ kata para elit politik dan penganjur rekonsialisasi basa-basi.
Timor Leste yang lebih muda usianya dari kita mungkin lebih beradab. Negara itu membentuk Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi [CAVR] Timor Leste. Segala bentuk kekerasan, pembunuhan, perkosaan yang terjadi di negara tersebut sejak invansi tentara dan rezim Orba ditindaklanjuti. Mereka pun menghasilkan laporan berjudul Chega!. Tak main-main, laporan tersebut setebal 5.000 halaman lebih. Sebanyak 7.668 kesaksian korban, saksi, dan pelaku pelanggar kemanusiaan direkam. Sekarang, Chega! telah menjadi dokumen resmi negara. Itulah yang menjadi landasan untuk melakukan rekonsialiasi. Hukum dan keadilan ditegakkan. Itulah yang dihendaki Pram.
Dalam pidatonya, Aniceto Guterres Lopes, ketua CAVR, menyatakan: ‘Mengapa Timor Leste memilih menghadapi masa lalunya yang sulit? …bisa saja Timor Leste tidak melakukan apa-apa atau memilih memaafkan dan melupakan. Tetapi bangsa kita memilih bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia masa lalu…’ Itulah Timor Leste, lebih menghargai kemanusiaan daripada bangsa kita.
Tapi ah… memang demikianlah bangsa ini selalu bersikap jika dihadapkan pada kata ‘maaf’ dan kemauan rekonsiliasi omong kosong. Terhadap semua basa-basi itu: haruskah sambil koprol kita berteriak ‘wow’ gitu? ***
Lereng Merapi. 3 Oktober 2012