SEPTEMBER ceria itu cuma milik penyanyi bersuara merdu, Vina Panduwinata. Yang benar, dalam sejarah Indonesia, September tak ubahnya sehitam jelaga. September adalah Munir diracun. September adalah Yun Hap, seorang mahasiswa Universitas Indonesia ditembak dalam peristiwa Semanggi II. September adalah puluhan nyawa terkapar diterjang peluru dalam peristiwa Tanjung Priok. September pula, sebuah awal episode hitam bangunan kekuasaan rezim Orde Baru.
Siapa bisa melupakan frase ‘Darah itu merah, Jenderal!’ yang sejak 1985 hingga 1998, wajib terhidang di kotak ajaib televisi lewat film Pengkhianatan G 30 S/PKI ? Siapa bisa menumpas ingatan akan detil-detil adegan : close up gerak bibir dan semburan asap rokok di sebuah meja rapat, lolongan gadis membelah langit sambil meraupkan ceceran darah sang ayah ke wajahnya, serta raut-raut beringas menggoreskan silet ke pipi seorang jendral? Lengkap sudah propaganda pongah itu menambatkan imaji mengerikan tentang sebuah kudeta politik berlumur darah di tahun 1965.
Semua berkesiur pada bulan September.
Dan September tahun 2012, sebuah kabar menohok dari Festival Film Internasional di Toronto, Kanada. Sebuah film berjudul The Act of Killing, garapan sutradara Joshua Oppenheimer, film maker yang antropolog lulusan Universitas Harvard itu menang dalam festival. Diikuti beragam pujian dan juga kehebohan di berbagai media. Film itu menyajikan sebentuk kebengisan serupa, bedanya, lakon ini berpangkal dari salah satu pelaku, Anwar Congo.
Saya belum menonton The Act of Killing. Joshua bilang, filmnya akan diputar di Indonesia, tapi ia belum memastikan waktunya. Namun saya menonton versi panjangnya, sekitar empat jam, yang enam bulan lalu diputar Joshua dan didiskusikan di kalangan terbatas.
Saya bergidik menyaksikan Anwar Congo, si tokoh utama yang meniru gaya gangster Hollywood, sembari tersenyum memegang sebuah kawat, melilitkan ke leher seorang korban, yang tanpa daya, dengan kedua tangan ditekuk ke belakang. Dengan cepat kawat ditarik, sssttt…..sekali hembusan nafas, nyawanya pun terbang. Tak ada simbah darah. Congo menyebutnya sebagai cara termudah penumpasan orang-orang PKI dengan halus dan tanpa darah.
Jagal, begitu Joshua melabeli film dokumenter yang mengambil latar kisah pembantaian anggota dan simpatisan PKI di Medan, Sumatra Utara ini dalam versi Indonesia. Sebuah penjagalan yang dilakukan dengan dada membusung, riang dan gagah perkasa.
Jika Pengkhianatan G 30 S/PKI sukses menjejali kepala kita dengan fiksi Gerwani menyilet-nyilet penis jendral, dalam Jagal, seorang pelaku dengan bangga memperagakan cara menumpas nyawa. Kali ini bukanlah sebuah lakon fiksi.
Jadi, bangunan negeri ini dimulai dari proses penjagalan. Tak hanya menjagal jutaan fisik, ia lebih tepat menjagal sebuah keyakinan, sebuah cita-cita. Ia meringkus ideologi kiri.
Februari silam, sebuah malam di pelosok hutan di Sragen, Jawa Timur, Rustanti mendedah kisah yang cukup lama disimpan. Ia, hampir 70 tahun, pada 1965 adalah Ketua ranting, yakni setingkat kecamatan dari organisasi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) di kabupaten Sragen. Ia ingat dengan baik aktivitas-aktivitas yang membuatnya ditangkap sebuah siang di kantornya, dan ditahan 9 tahun di Plantungan, Jawa Tengah. Setiap minggu, selepas Shubuh ia berjalan kaki menyusuri jalanan berbatu, naik turun, menerabas lebat hutan jati, untuk mengajar kursus baca tulis.
Ia menyebutnya turba, turun ke bawah. Turba adalah cara mereka menyerap persoalan perempuan dan persoalan masyarakat di lingkungannya. Lebih dari itu, turba juga merupakan ruang menyatu dengan rakyat. Mendekatkan kelas menangah terdidik dan rakyat jelata. Gerwani juga menyelenggarakan kursus-kursus politik, keterampilan, dan diskusi membahas aturan-aturan agraria sesuai kepentingan kaum tani.
Program Gerwani adalah menuntaskan akar dari kebodohan dan kemiskinan perempuan, yakni feodalisme dan sisa kolonialisme. Perempuan harus melek politik. Sebagai langkah awal, dilakukan pemberantasan buta huruf. TK Melati dan penitipan anak, juga dibangun massif, agar perempuan bisa belajar politik, tak terperangkap urusan domestic belaka. Dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia yang ditulis Saskia E. Wieringa, tercatat hingga tahun 1964 berdiri 1.478 TK Melati di berbagai pelosok Indonesia. Gerwani juga bicara tentang anti poligami, anti pernikahan di bawah umur dan menggelorakan perempuan untuk bersama berjuang melawan imperialisme.
Mulai awal 1960, Soekarno mengirim ribuan putra–putri terbaik ke beberapa Negara Eropa dan Rusia, bernama Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas). Mereka belajar beragam ilmu seperti ekonomi, teknologi maritim, kedokteran. Dalam pidato pelepasan mereka yang dikirim secara bergelombang, Soekarno kuat-kuat berpesan agar putra-putra terbaik ini harus kembali untuk bersama-sama membangun negeri. Apa daya, kudeta 1965 membuat para Mahid ini sebagian besar tak bisa pulang dan menjadi buangan di negeri orang. Impian membangun negeri kandas dengan ilmu dan keahlian maju kandas sudah.
Di negerinya, ribuan orang terdidik, berani, berpikiran maju, para anggota dan simpatisan PKI berikut ormas-ormasnya ditangkapi, dihempaskan ke Pulau Buru, Pulau Kemarau di Sumatra Selatan, Pulau Nanga-nanga di Sulawesi Tenggara, Plantungan di Jawa Tengah, beberapa dari sejumlah kamp pembuangan paska 1965. Cita-cita membangun negeri diluluh lantakkan.
Baiklah, mari menapak lagi ke masa kini. Organisasi perempuan beranggota 1,5 juta orang dengan gagasan progresif tak ada lagi. Karya-karya sastra yang dihasilkan dari pembacaan seksama atas problem–problem masyarakat telah melenyap. Pelajar, mahasiswa, anak muda, kaum buruh dan petani berpadu dalam genta semangat perjuangan anti imperialisme telah ditumpas habis. Beginilah Soeharto menyusun bangunan Orde Baru, sebagai pembebek Amerika. Tekuk lutut di haribaan kapital internasional.
September datang dan pergi. Kemahsyuran tinggal kepingan kisah yang dikenang dengan haru biru. Tinggal hikayat sebuah negeri kaya dengan alam mempesona, yang hutan, tambang, sumber air, hingga jiwa, gagasan dan daya juangnya telah lapuk digerogoti. Inilah The Act of Killing yang senyatanya. ***