SEBUAH kabar datang di sebuah sore yang murung, dari pelosok dusun Aramiah, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur. Kamis, 6 September 2012. Seorang gadis berusia 16 tahun, dengan tangan gemetar meraih seutas tali, mengalungkan ke lehernya. Dan wuts, dalam sekejap nyawanya terpisah dari raganya. Jasatnya ditemukan di pagi buta, di sebuah rumah sederhana berdinding anyaman bambu beratap daun nipah.
Putri Erlina, nama gadis itu.
Tiga hari sebelumnya, 3 September, adalah tanggal hitam yang jadi awal petaka. Bersama teman perempuannya, Putri asyik menonton pertunjukan organ tunggal. Malam itu riuh sekali. Ratusan anak muda memadati Lapangan Merdeka, lapangan terbesar di kota Langsa. Tenggelam dalam keramaian hingga larut malam, Putri tak juga pulang. Naas, petugas Wilayatul Hisbah (polisi syariah) melakukan razia. Ia digelandang Kantor Dinas Syariat Islam kota Langsa. Tuduhannya berat. Melanggar Perda Syariah, menjadi pelacur.
Hari-hari setelahnya adalah mimpi paling hitam dalam hidup Putri. Sebuah koran memuat berita: dua orang pelacur di bawah umur ditangkap di Lapangan Merdeka. ‘Bahkan, kepada penyidik, mereka secara gamblang menyatakan, selama ini kerap beraktivitas melayani lelaki hidung belang…’ Koran itu tak pernah bertanya kepada Putri.
Kabar segera menyebar ke pelosok Birem Bayeun. Orang-orang ramai menggunjingkan. Cap sebagai pelacur adalah petaka paling dahsyat di tanah Aceh. Putri nan belia, putus sekolah kelas 2 SMP, tak tahu lagi bagaimana harus membela diri. Ia malu dan terhina dengan tuduhan semena-mena ini. Harga dirinya diremuk paksa. Pada siapa mengadu? Ayahnya kalang-kabut menghadang gunjingan orang. Ibunya bekerja nun jauh di Malaysia. Putri hanya menangis di pundak temannya, sesama muda. Sama-sama hijau memahami sengkarut persoalan.
Saya membayangkan menit-menit terakhir dalam hidup Putri: duduk termangu di bilik sempitnya, menghela nafas dengan putus asa, menggenggam pulpen dengan jari-jari bergetar, menuliskan larik-larik keperihannya pada sang ayah.
‘Ayah…maafin Putri. Putri udah malu-maluin ayah sama semua orang. Tapi Putri berani sumpah kalau Putri gak pernah jual diri sama orang. Malam itu Putri cuma mau nonton keyboard di Langsa. Terus Putri duduk di lapangan begadang sama kawan-kawan Putri…’ Sepucuk surat itu ditemukan Yusrin, tak jauh dari jasat putrinya yang mulai membiru.
Putri terdiam sejenak, menghapus lelehan airmatanya. Membayangkan wajah orangtua dan kedua saudaranya. Membayangkan denting organ tunggal, keceriaan terakhir yang disesap dalam hidupnya, wajah-wajah dingin petugas yang menyeretnya. Lalu kantor Syariat Islam Langsa.
‘Sekarang Putri gak tau harus gimana lagi, biarlah Putri pigi cari hidup sendiri. Putri gak ada gunanya lagi sekarang. Ayah jangan cariin Putri ya. Maafin Putri, Ayah…’ pungkas suratnya. Barangkali setelah itu, ia lantas meraih seutas tali berwarna hitam, mengalungkan ke leher dengan mata terpejam dan tangis tercekat di kerongkongan.
Berbagai peraturan yang dibangun atas perda syariah di NAD makin menyudutkan perempuan dalam diskriminasi. Setelah berlaku peraturan tertib busana muslim, Qanun No. 11 Tahun 2002, petugas Wilayatul Hisbah makin gencar melakukan razia di setiap penjuru kota. Perempuan kerap menjadi sasarannya. Yang tak berbusana muslim diciduk. Celana atau rok yang dianggap ketat digunting. Lalu kasus-kasus salah tangkap. Perempuan dipermalukan di depan umum. Polisi syariat yang memperkosa tahanan perempuan yang ditangkapnya.
Para pembuat kebijakan ini, polisi-polisi moral yang bekerja berdasar selembar aturan ini, tidakkah memahami apa rasanya terhina dan dipermalukan? Apa rasanya dituduh sembarangan? Mereka, para penentu ukuran moral manusia di kolong langit ini, tak pernahkah sebentar saja melongok relung kehidupan Putri, gadis belia yang ingin menyesap keriaan masa muda, menonton pertunjukan bersama teman-temannya?
Aturan-aturan hukum dan moralitas telah meringkus usia ranumnya. Aturan-aturan itu tak mempertanyakan kenapa ia putus sekolah? Aturan-aturan tak pergi bertanya, kenapa Aceh yang kaya raya tapi rumahnya berdinding anyaman bambu dan beratap daun nipah? Kenapa angka kemiskinan di dusunnya begitu tinggi? Kenapa kematian ibu terus melambung? Aturan-aturan itu cuma peduli perilaku dan cara berpakaian.
Dan Putri tidaklah sendiri. Enam tahun berselang, 26 Februari 2006. Berjarak ribuan kilometer dari tanah kelahiran Putri, Lilis Lisdawati Mahmudah, malam itu tengah menunggu angkot di sebuah halte di Kota Tangerang. Sial mendekap Lilis. Serombongan petugas Satpol PP menangkapnya dan menuduhnya sebagai pelacur. Sebabnya, malam-malam masih berada di jalan. Sepenuh raga Lilis menjelaskan bahwa ia hendak pulang selepas bekerja sebagai pelayan restoran. Petugas bergeming. Bersikukuh pada Perda No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang. Lilis, ibu satu anak ini diseret ke markas Satpol PP, disidang dan dikenai denda 300 ribu perak. Lilis menolak membayar. Dengan itu ia menolak penghinaan atas dirinya.
Lilis belum berhenti melawan. Digugatnya walikota Tangerang atas kejadian salah tangkap itu. Tapi ia kalah di hadapan kekuasaan yang angker. Gugatannya ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Nasib Lilis semakin pahit. dipecat dari pekerjaan. Cap pelacur membuatnya terus dipergunjingkan. Depresi, keguguran, sakit berkepanjangan membalut tubuhnya. Agustus 2008, sang elmaut datang menjemputnya.
Tapi cerita belum usai. Perda yang sama juga meringkus nyawa Fifi Aryani. Sebuah malam di bulan Mei 2009, Satpol PP sedang melakukan razia. Ketakutan, Fifi belari sekencang-kencangnya. Satpol PP tak berhenti mengejarnya. Terdesak, nekat ia menceburkan diri ke Sungai Cisadane. Byuuurr….Fifi tak bisa berenang. Nyawanya lenyap ditelan arus sungai.
Putri, Lilis, Fifi, sudah usai kesakitanmu. Barangkali saat ini kalian tengah bercanda ria di ujung pelangi. Aku termangu, di sebuah sore yang murung, dengan berlaksa perih menampar-nampar hati. Rembesan luka-lukamu, masih kuyup di sini, di dada ini.***