Resensi Buku
Judul buku: Malapetaka di Indonesia: sebuah renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri
Penulis: Max Lane
Penerbit: Penerbit Djaman Baroe, 2012
Tebal: xiv + 144 halaman
PAGI ITU, saat menikmati sarapan di pematang sawah, saya membagi cerita soal kesuksesan kelompok tani sebuah desa di Kabupaten Gunung Kidul tempat saya menjalankan Kuliah Kerja Nyata pertengahan tahun lalu, kepada bapak. Saya mengatakan bahwa kesuksesan kelompok tani untuk mengkonsolidasikan petani dalam pembelajaran soal tanam-menanam, produksi pupuk organik sampai distribusinya hingga kontrol atas bantuan pertanian dari negara, tak lepas dari peran ketua pertamanya yang merupakan ex tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). ‘Padahal wong (orang) PKI, ya,’ sahut bapak enteng. ‘Justru itu, pak,’[1] saya langsung menimpali.
Sahutan bapak saya itu jelas-jelas mengesankan bahwa orang PKI itu negatif. Sebagai generasi yang dibesarkan di era Orde Baru, kesan itu saya rasa hidup di benak bawah sadar bapak. Sebaliknya, ibunya (nenek saya, 80-an tahun) malah menilai bahwa komunis telah membantunya untuk membuka wawasan: soal politik, kesenian, hingga konsep keadilan dalam kebijaksanaan hidup, melalui kegiatan-kegiatan Lekra dan Gerwani[2]–tanpa dengan tegas mengakui bahwa ia kader kedua organisasi underbow PKI tersebut.
Kontradiksi kesan antara bapak dan nenek terhadap orang PKI itu cukup mewakili proyek kebangsaan Indonesia yang berbalik arus dengan tahun penanda 1965. Pada tahun itu, proyek kebangsaan dengan cita-cita kemandirian bangsa menuju masyarakat sosialis-komunis yang dibangun oleh Soekarno dengan pendukung utama PKI selama pra dan paska revolusi kemerdekaan, diputar arah oleh militer—beserta para aktor di baliknya—menuju proyek pembangunan yang menghamba pada kapitalisme global. Lebih spesifik lagi, 1965 merupakan penanda di mana PKI dalam platform gerakan kiri runtuh.
Saya memang memaklumi kesan negatif bapak terhadap orang PKI, tapi saya tak akan memaklumi generasi sepantaran dan setelah saya nanti apabila berkesan serupa, apalagi setelah membaca buku Malapetakan di Indonesia: sebuah esai renungan tentang pengalaman sejarah gerakan kiri. Buku tipis (114 halaman) karya penulis Unfished Nation: Indonesia Before and After Soeharto (2008) Maxwell Rolland Lane (akrab disebut Max Lane). Pengajar politik dan sejarah di Universtiy of Sidney dan Victoria University, Australia ini memberikan analisis kritis terhadap gerakan kiri di Indonesia yang gagal total pada 1965.
Membaca buku ini, saya semakin yakin bahwa kontradiksi kesan terhadap orang PKI antara bapak dan nenek tadi bukan perkara sederhana, melainkan sebuah konsekuensi dari malapetaka 1965 yang hingga kini belumlah usai. Buktinya, meskipun pengungkapan kebenaran cerita sejarah 1965 telah diusahakan semenjak 1998, sepertiga usia bapak,[3] belum mampu menyadarkan benak bawah sadarnya. Artinya, peristiwa 30 September 1965 yang diikuti dengan pembantaian ratusan ribu manusia itu tak cukup sekadar, sebagaimana dikemukakan Max, disebut sebagai ‘tragedi kemanusiaan 1965.’ Max pun menegaskan, ‘Peristiwa 1965 bukanlah sebuah musibah yang jatuh dari langit begitu saja atau sekedar sebuah tragedi yang harus ditangisi. Dengan demikian, sebaiknya kata tragedi dibuang dari semua diskursus tentang peristiwa 1965 ini’ (hlm. viii). Max lantas menegaskan kata ‘malapetaka’ di judul bukunya.[4]
Gerakan Kiri yang Gagal (atau Digagalkan?) Total
Sebagai indonesianis yang menaruh perhatian pada gerakan kiri, di sini Max sedari awal menegaskan keberpihakannya kepada gerakan kiri. Ada dua asumsi yang mendasari keberpihakannya. Pertama, ia melihat penghancuran gerakan kiri di Indonesia dengan pembantaian, penyiksaan, penangkapan, pelarangan berpolitik terhadap ratusan ribu warga negara Indonesia, hingga pemutusan perkembangan keilmuannya, merupakan ‘kriminalitas yang tidak berperikemanusiaan atau perbuatan barbar’ (hlm. viii). Kedua, Max adalah orang yang berideologi kiri. Dalam artikel ‘Soekarno: Pemersatu atau Pembelah’ di Bagian II buku ini, ia menegaskan, ‘Baik sebagai seorang akademisi yang ‘indonesianis’ maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk orang yang sangat menghargai kepemimpinan Soekarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah’ (hlm. 83–84).
Max tak menghindarkan kritiknya atas ragam kontradiksi yang diidap oleh gerakan kiri itu sendiri. Bisa dibilang, sebagian besar ulasan buku ini berisi kritik tajam terhadap strategi-strategi politik Soekarno dan PKI yang kontrapoduktif. Ada dua poin utama yang dicacat Max Lane di sini: taktik demokrasi terpimpin beserta jebakan retuling. Keduanya berkaitan. Kegagalan Badan Konstituante untuk memperoleh dukungan penuh parlemen dalam membahas undang-undang baru dimanfaatkan Soekarno untuk memberlakukan demokrasi terpimpin melalui dekritnya 5 Juli 1959. Dengan strategi ‘sentralistik’ ini, Soekarno memang berhasil mengkompromikan pelbagai partai politik di parlemen sekaligus memobilisasi kekuatan-kekuatan massa dengan tujuan organisasi politik, nasional dan tunggal dalam platform sosialisme bisa cepat terbangun.
Namun, ada tragedi dalam strategi ini. Pertama, langkah ini harus membayar ongkos diakuinya militer untuk terlibat langsung dalam politik. Padahal sebagaimana diketahui, militer kerap menjadi alat kapitalisme (dan negara) untuk mengganyang sosialis-komunisme. Soekarno seolah melupakan usaha militer untuk membunuhnya beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga Aidit sebagai pimpinan PKI yang masih mempercayai bahwa anasir dari kekuasaan negara masih didominasi oleh kekuatan-kekuatan anti-rakyat, bukan militer sebagaimana diyakini Karl Marx.
Kedua, demokrasi terpimpin menggiring Soekarno dan PKI mengingkari prinsip demokrasi yang inheren dalam sosialis-komunisme yang relevan dengan lanskap politik Indonesia, yakni dilupakannya tuntutan penggelaran pemilu setahun setelah demokrasi terpimpin; pelarangan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Padahal, melihat mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam paket Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) di bawah koalisi Soekarno-PNI-PKI, Max menilai antara proses elektoral dan demokrasi terpimpin tak perlu dikontradiksikan. Karena kalau pemilu digelar, bisa dipastikan koalisi akan menang sehingga cita-cita marxisme bisa lebih mudah dicapai.
Dengan demokrasi termpimpin sekaligus melupakan pemilu, Soekarno lantas memilih retuling sebagai strategi memenangi kekuasaan. Retuling adalah kebijakan penggantian para aparatur negara yang dinilai reaksioner dan merugikan (mungkin juga anti-komunis) dengan pengganti yang lebih progressif. Max Lane menyangka usul retuling datang dari Angakatan Darat (bersamaan dengan ini, semakin banyak perwira Angkatan Darat yang masuk ke PKI dan koalisi setelah direkrut oleh Biro Khusus). Terlepas dari itu, yang jelas retuling bersifat top down; segala penunjukan aparatur negara dilakukan oleh Soekarno, bukan atas partisipasi rakyat.
Sebagai intelektual yang memihak gerakan kiri, secara tegas kritik Max atas strategi-strategi yang kontraproduktif itu bisa dibilang konstruktif. Secara dialektis, ia tetap mengemukakan keberhasilan-keberhasilan gerakan kiri di tengah strategi-strategi yang kontraproduktif. Meski tak demokratis, Max tetap mencatat, selama demokrasi terpimpin terjadi mobilisasi massa dan radikalisasi kaum intelektual dalam Front Nasional yang efektif. ‘Sejumlah kampanye nasional paling penting adalah kampanye melawan keberlanjutan kolonialisme Belanda di Papua Barat, kampanye penyatuan Papua Barat ke Indonesia dan kampanye melawan pembentukan negara bagian Malaysia serta kampanye melawan pengaruh-pengaruh budaya Amerika. Bahkan, ada sejumlah kampanye yang menyerukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris, dan Belgia’ (hlm. 35–36). Selain itu, perjuangan reforma agraria dan kenaikan upah buruh juga massif.
Meski dinilai sebagai jebakan, retuling pun tidak sepenuhnya dituduhkan sebagai kesalahan Soekarno dan PKI, yang menyebabkan gerakannya gagal total. Di luar itu, Max tetap menekankan latennya usaha militer dan kelompok kanan dalam memanfaatkan jebakan itu untuk melawan politik kiri. Dalam bab ‘Jebakan Retuling,’ Max mengatakan, ‘Satu rintangan penting yang dihadapi PKI adala keberadaan angkatan bersenjata yang sudah siap secara fisik untuk menyingkirkan PKI dan Soekarno dari alur politik’ (hlm. 45). Dan, ‘Strategi retuling dari atas ke bawah ini, khususnya di kabinet, tidak bisa membantu menghindari isu konfrontasi dengan tentara’ (hlm. 46).
Menghindari pemilu sekaligus membuka lebar partisipasi militer dalam politik adalah jebakan bagi Soekarno dan PKI, sehingga penculikan beberapa perwira pada 30 September 1965 bak senjata makan tuan.
Membicarakan pergolakan gerakan kiri tentu saja tak bisa lepas dari kancah perpolitikan internasional. Max pun menyodorkan fakta intervensi poros kapitalis, terutama Amerika, dalam usaha kup 1965. Dengan mengutip Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin (Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia, 1995), Max mengungkapkan, ‘pada 1950-an, pemerintahan Eisenhower bahkan memutuskan bahwa, jika diperlukan, mereka akan mendukung terbelahnya Indonesia dan terpisahnya Jawa (yang merupakan basis golongan kiri) dari wilayah lain di negara ini’ (hlm. 60). Max juga mengutip John Roosa yang banyak menyodorkan bukti pembicaraan di lingkaran-lingkaran diplomatik Amerika Serikat, Inggris, dan Sekutu sebagai poros yang membenci perkembangan politik di Indonesia beserta solusinya. ‘Menurut sudut pandang kami, tentu saja, upaya kup PKI yang gagal kiranya merupakan perkembangan paling efektif untuk membalikkan kecenderungan politik di Indonesia,’ demikian kata Howard P. Jones, Duta Besar AS untuk Indonesia, Maret 1995 yang dikutip Roosa (2006) dalam Pretext for Mass Murder (hlm. 61).[5]
Sebagai esai, tentu saja buku ini tidak memaparkan analisis mendalam berbasiskan data tentang latar belakang, momen, dan akibat dari hancurnya gerakan kiri di Indonesia (semua itu tentu saja tak cukup diulas dalam 114 halaman). Hanya saja, titik-titik penting perlawanan militer dan kelompok kanan terhadap Soekarno dan PKI yang konspiratif tidak disertai dengan data-data kecil seperti di atas. Ketika menyinggung soal pembentukan Biro Khusus oleh Aidit dan kemudian dipimpin oleh Sjam untuk menculik para perwira militer pada 30 September 1965, misalnya. Max hanya menduga langkah gegabah Aidit karena dua hal: ‘pertama, mungkin dia terlalu yakin dengan perhitungan Sjam mengenai kesuksesan rekrutmen Biro Khusus terhadap angkatan bersenjata, khususnya angkatan laut dan angkatan udara. Kedua, bisa jadi dia percaya bahwa keseluruhan operasi—dengan cara menahan para petinggi tentara dan menghadapkan mereka ke Soekarno—akan menjadi aksi sederhana, cepat dan berjalan mulus’ (hlm. 62).
Kedua kata ‘menduga’ dan ‘bisa jadi’ itu saya cetak miring untuk menekankan bahwa analisis Max dalam hal ini bersifat dugaan saja. Padahal dugaan itu bisa lebih skeptis ketika membaca Roosa dalam bab ‘Sjam dan Biro Chusus.’ Dengan wawancara mendalam dengan para aktor PKI dan militer, sepanjang 30 halaman (hlm. 169–199), Roosa banyak menyodorkan fakta tentang posisi Sjam di PKI yang dekat dengan kalangan militer dan sangat mungkin menjadi agen ganda.
Dalam acara ceramah ilmiah sekaligus peluncuran bukunya ini di Fakultas Filsafat UGM 16 April lalu, Max berkali-kali mengatakan bahwa ‘gerakan kiri di Indonesia gagal total.’ Itu sesuai dengan analisis kritisnya terhadap strategi gerakan kiri yang ternyata kontradiktif di sana-sini. Namun, karena memihak gerakan kiri, Max tetap memaparkan bahwa ada pihak yang memang berusaha menggagalkan gerakan kiri itu. Saya rasa, keberpihakan Max bisa kian tegas ketika mengganti kata ‘gagal’ dengan ‘digagalkan’ sembari memberikan pembabakan lebih komprehensif tentang usaha penggagalan total itu. Dengan begitu, kegagalan total gerakan kiri yang bukan lantaran kesalahan strategi di dalamnya semata tetapi memang ada usaha penggagalan dari pihak lain, tidak terkesan spekulatif dan desas-desus. Bahwa kegagalan total gerakan kiri bukan sebuah ketaksengajaan, melainkan ada pihak yang sengaja menggagalkannya.
Buku ini pun rasa rasakan sebagai peta sederhana saja atas kegagalan gerakan kiri di Indonesia. Membaca buku ini cukup memprovokasi saya untuk menelusuri lebih dalam gerakan kiri, kegagalannya di Indonesia pada 1965 berikut ideologi marxisme yang diusungnya di buku dan artikel-artikel yang memang mengulasnya secara terperinci. Sebagai pembaca pemula gerakan kiri, saya pun sangat berharap, ke depannya bakal semakin banyak penerjemahan karya-karya indonesianis lain, baik buku maupun artikel tentang sejarah 1965, macam karya Benedict Anderson misalnya. Tentunya itu akan sangat membantu warga macam bapak saya untuk perlahan mau merenungi bahwa PKI itu tak bengis sebagaimana diyakininya, justru memihak kaumnya (tani!). Karena, sebagaimana bangsa ini yang dinilai Max Lane belum selesai, malapetaka 1965 memang belum usai.***
Achmad Choirudin, Pegiat Komunitas Kembang Merak, Yogyakarta
[1] Ungkapan serupa pernah saya dengar dari seorang tokoh Dewan Kehutanan Nasional. Saat ngobrol santai di Yogyakarta pertengahan tahun lalu, sang tokoh menceritakan obrolannya dengan seorang pejabat Departemen Kehutanan tentang kesan pejabat teresebut terhadap pengelolaan hutan di Cina setelah berkunjung ke sana. Pejabat Dephut itu mengungkapkan strategi pengelolaan hutan di China cukup bagus. ‘Padahal mereka kan negara komunis,’ kata pejabat Dephut ditirukan sang tokoh. ‘Dalam hati saya bilang, justru itu, hahaha,’ kata sang tokoh kepada saya.
[2] Meskipun terjadi perdebatan bahwa Lekra dan Gerwani bukan PKI, nenek saya mengisahkan bahwa kader PKI banyak yang aktif di kedua organisasi itu.
[3] Bapak saya lahir 1962. Dan usaha pengungkapan kebenaran itu telah dilakukan selama 14 tahun.
[4] Kata ‘malapetaka’ dipilih sebagai terjemahan dari ‘catastrophe.’ Buku kecil yang isinya dibagi dalam dua bagian ini merupakan terjemahan dari Catastrophe in Indonesia (2010) yang telah diterbitkan oleh Seagul Books untuk Bagian I; sementara Bagian II berisi empat artikel Max Lane yang pernah dimuat oleh majalah online Historia. Catastrophe in Indonesia merupakan sebuah esai dari seri esai ‘What Was Communism?’ Max mengaku telah diminta oleh aktivis cum penulis Tariq Ali—sebagai editor seri esai tersebut—untuk menyumbangkan esai tentang sejarah komunisme di Indonesia. Proyek seri esai yang digawangi Tariq Ali dan penerbit Seagul Books ini berhasil menerbitkan lima buku lain, yaitu The Idea of Communism (Tariq Ali), Two Underdogs and a Cat: Three Reflections on Communism (Slavenka Drakulic), The Cuban Drumbeat (Piero Gleijeses), Change (Mo Yan, Translated by Howard Goldblatt), dan Back in the USSR (Boris Kagarlitsky). Semua buku tersebut terbit pada November 2009.
[5] Buku berjudul lengkap Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto dan diterbitkan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia bekerja sama dengan Hasta Mitra, Januari 2008. Buku ini sempat dicap terlarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009.