ARTIKEL saya sebelumnya berkait lawatan Irshad Manji ke Indonesia, rupanya telah memancing kontroversi yang luas. Banyak yang memberikan apresiasi positif terhadap kritik saya terhadapnya, ada pula yang memberikan respons negatif, dengan mengatakan bahwa artikel tersebut begitu simplistis dan sarat teori konspirasi.
Sebelum menanggapi tudingan bahwa saya sedang menyebarkan teori konspirasi, saya ingin terlebih dahulu mengatakan bahwa tudingan tersebut sangat tidak sebanding dengan apa yang dialami Irshad Manji: diskusinya dibubarkan oleh kepolisian Republik Indonesia, dilarang untuk tampil dalam mimbar akademik di salah satu universitas paling ternama di Indonesia, dan harus menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok fasis yang dibiarkan oleh pihak kepolisian. Sekali lagi saya tekankan, untuk perjuangan membuka ruang publik yang bebas di Indonesia, maka suara saya untuk Irshad Manji dan kalangan yang membelanya. Bukan untuk kelompok-kelompok fasis yang melakukan kekerasan atas kebebasan berekspresi dengan mengatasnamakan legitimasi agama.
Kini, saya akan memberikan jawaban atas beberapa kritik terhadap pandangan kritis yang terhadap Manji. Karena saya dtuduh menggunakan teori konspirasi dan simplistis, maka saya akan menguraikan terlebih dahulu perbedaan antara teori konspirasi dan metodologi yang saya gunakan, serta sedikit penjelasan tentang metode tersebut sebelum masuk pada substansi penjelasan tentang analisis saya atas wacana Irshad Manji. Dengan itu saya berharap, meskipun saya dan para pendukung gagasan Irshad Manji tetap tidak bersepakat dengan apa yang saya uraikan, namun ketidaksepakatan tersebut (hal yang wajar dalam setiap pergolakan pemikiran) tidak berdasar atas kesalahfahaman atas metode dan posisi yang saya ambil, namun ketidaksepakatan itu terletak pada argumentasi-argumentasi dalam perdebatan di ruang publik.
Saya pahami bahwa arah tulisan saya dengan meletakkan Irshad Manji dalam konteks ketegangan sosial antara jejaring kuasa imperium dengan tentakel-tentakelnya dalam konteks global seperti Amerika Serikat, Zionisme Israel dan elite-elite kekuasaan pendukungnya di Dunia Arab, akan segera memancing respons simplistik dan konspiratif. Mengingat ekspose utama dalam ruang publik di Indonesia terhadap sosok Irshad Manji, hanya terbatas pada orientasi seksual dan pandangan-pandangan Islam Liberal dari Irshad Manji. Sementara dalam konteks yang lebih luas, mengaitkan Irshad Manji dalam konteks jejaring sistem imperialisme dengan Amerika Serikat, juga merupakan hal yang tabu (meski perlahan-lahan telah mulai terkikis saat ini). Dalam ruang publik yang lebih luas seperti di Amerika Serikat, seperti diuraikan Alexander Cockburn dan Jeffrey St Clair (2003; 5) dalam The Politics of Anti-Semitism, bahwa siapa saja yang mempersoalkan Israel, maupun dukungan dan pengabaian terhadapnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan maupun operasi sistemik imperialisme global, maka mereka akan menghadapi tuduhan anti-Semitisme. Dan sekali Anda dituduh bersikap anti-Semitisme, maka seilmiah apapun argumen yang Anda kemukakan, tetap dianggap menggunakan teori konspirasi.
Mempertanggungjawabkan Metodologi
Dalam artikel sebelumnya itu, saya menggunakan mentode embedded social conflict (konflik sosial yang menubuh), untuk melihat posisi teoritik dan politik Manji. Metode inilah yang dituduh sebagai teori konspirasi dan simplistis. Tuduhan ini, menurut saya, tergesa-gesa, karena terdapat perbedaan yang sangat jauh di antara keduanya. Sebuah analisis disebut berdasarkan atas teori konspirasi ketika tulisan tersebut berusaha meyakinkan khalayak pembaca bahwa ada persekongkolan yang secara rapi dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok yang didasarkan atas sebuah niat jahat untuk menjatuhkan atau menghancurkan suatu kelompok atau seseorang. Sementara analisis embedded social conflict, memahami bahwa sebuah wacana yang dilontarkan tidaklah bebas nilai. Wacana tidak dapat dinilai kualitasnya secara instrinsik hanya berdasarkan bentuk dan kedalaman ilmiah dari gagasannya. Melakukan analisis terhadap suatu wacana adalah meletakkannya dalam konstruksi sosial yang lebih luas, yaitu dalam pertarungan kuasa antara kekuatan-kekuatan sosial untuk memperebutkan, tidak saja sumber-sumber otoritas sosial namun juga sumber-sumber sosial ekonomi di suatu wilayah yang terkait dengan konteks yang lebih luas.
Kembali mengutip Fred Halliday dalam Nation and Religion in the Middle East (2003), ketika menjelaskan Timur Tengah dengan segenap dinamikanya, maka mempertimbangkan pendekatan kultural adalah tidak dengan menempatkan pendekatan kultural sebagai satu-satunya yang mendeterminasi analisis untuk melihat Timur-Tengah. Pendekatan budaya harus diletakkan – dan tidak terisolasi-dalam relasinya dengan konteks ketegangan relasi kuasa di internal dan eksternal Timur Tengah, pertarungan kekuatan sosial relasinya dengan tarikan pertarungan kekuatan sosial dominan dan sublatern di tingkat global. Dengan demikian, ketika kita meletakkan analisis perlawanan kultural dari Irshad Manji dalam konteks dunia Islam, maka kita tidak hanya meletakkannya semata-mata dari perlawanan budaya. Lebih dari itu, kita mesti meletakkan aktivitas budaya tersebut dalam narasi konteks struktural, dalam kaitannya dengan perebutan sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan politik dunia Islam dan global dalam konteks sistem kapitalisme global.
Untuk membaca Irshad Manji dalam analisis struktural konflik di atas, di sini meminjam analisis William I Robinson dalam Transnational Conflicts: Central America, Social Change and Globalization (2003;4). Di sini, Robinson menggunakan pendekatan dialektik antara agensi-struktur dan dimensi subyektif dan obyektif dalam realitas sosial. Dalam studi ini, kekuatan-kekuatan sosial saling berinteraksi dengan struktur yang menyejarah. Konflik di antara kekuatan-kekuatan sosial dibentuk oleh struktur historis, juga sebaliknya aktivitas agensi dalam konflik antara kekuatan-kekuatan sosial juga akan mempengaruhi dan membentuk ulang struktur sosio-historis tersebut.
Sehingga dalam konteks pergulatan antara aktivitas budaya agensi dan struktur sosial yang menjadi arena di dalamnya, kita akan melakukan analisis mendalam pada tiga level arena. Pada arena budaya kita akan masuk pada analisis hubungan antara bahasa dan relasi kuasa. Terkait dengan wacana Irshad Manji, kita akan melihat bagaimana tehnik dan strategi penulisan dari karya-karyanya ketika menyerukan pentingnya reformasi di dalam tubuh Islam, dan bagaimana ia memetakan pertarungan sosial yang berlangsung beserta posisi dari agensi-agensi di dalamnya. Analisis ini akan terkait dengan bagaimana strategi penulisan Irshad Manji terkait dengan pola-pola struktur sosial beserta aktivitas eksploitasi, marjinalisasi beserta perlawanannya yang menjadi fondasi bagi struktur dalam sistem kapitalisme global. Melalui pembahasan akan wacana Irshad Manji, saya mengharapkan kita akan mendapatkan baik sapuan makro dan mikro terkait analisis cultural studies yang ingin melihat efek politik dan kuasa dari setiap wacana maupun analisis structural studies yang ingin memotret bagaimana setiap aktivitas agensi tidak dapat dilepaskan dari struktur sosial dan pertarungan antara kekuatan sosial untuk memperebutkan sumber-sumber daya yang menentukan bagi kehidupan ummat manusia.
Mempertautkan kedua metodologi ini bukanlah hal yang mudah, karena basis pendasaran dari mazhab cultural studies terutama dari pandangan neo-foucauldian, yang melihat relasi bahasa, pengetahuan dan kekuasaan dalam memahami kontestasi wacana sebagai sebuah ketegangan relasi kuasa, sebagai benturan atas nama relasi kuasa itu sendiri. Artinya, pengetahuan dan kebenaran yang diproduksinya adalah sesuatu yang bersifat subyektif sebagai efek dari kehendak untuk berkuasa. Di sini persimpangan saya dengan mazhab cultural studies, karena bagi saya penggelaran kontestasi diskursus di antara kekuatan-kekuatan sosial mesti berpijak pada realitas ekonomi politik yang konkret, yaitu konflik sosial yang menubuh dalam aturan, pola dan dinamika dalam sistem ekonomi politik yang saat ini eksis, yaitu kapitalisme. Sebuah perlombaan dan penguasaan atas akses-akses proses produksi untuk melakukan penghisapan dan pencarian nilai lebih dari satu kekuatan sosial atas kekuatan sosial lainnya.
Pada perdebatan inilah kemudian saya akan menyinggung pandangan yang menganggap bahwa analisis saya penuh dengan simplifikasi (yang anehnya tanpa argumentasi) dimana letak simplistisnya. Apabila tekanan simplistis argumen saya dikaitkan dengan analisis strukturalis yang saya gunakan, karena melihat determinasi ekonomi atas analisis sosial budaya, maka keberatan ini akan saya jawab. Pihak yang memahami analisis strukturalis sebagai analisis yang simplistis dan menekankan determinasi ekonomi, mereka sesungguhnya melihat wilayah ekonomi, politik dan sosial budaya sebagai sesuatu yang terpisah satu sama lain. Bagi mereka, wacana tentang gagasan Irshad Manji dalam arena kebudayaan tidak dapat dihubungkan dalam analisis ekonomi politik. Sementara pandangan saya justru sebaliknya, bahwa kita tidak dapat mengurung aktivitas sosial budaya dari ekonomi politik, demikian sebaliknya, kita juga tidak dapat mengisolasi proses-proses sosial yang berlangsung dalam wilayah ekonomi dari hubungan-hubungan sosial maupun konflik politik. Sampai di sini, saya harapkan pembaca dapat mengambil kesimpulan siapakah yang tengah menggunakan analisis simplistis dalam analisis tentang Irshad Manji.
Setelah sekilas mempertanggungjawabkan analisis metodologi saya, mari kita masuk pada analisis studi kultural terkait dengan strategi penulisan yang dijalankan Irshad Manji dan implikasinya pada politik dan relasi kekuasaan. Dalam karyanya yang berjudul The Trouble With Islam Today: A Wake Up Call for Honesty and Change (2003), yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berjudul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini, Manji memulai lontaran ‘revolusinernya’ dengan kalimat ‘Kenapa pikiran kita semua terpaku pada kejadian yang menimpa orang-orang Palestina dan Israel? Kenapa orang Islam begitu sulit untuk mengubah pandangannya tentang anti-Semitisme? Siapa penjajah kaum muslim yang sesungguhnya-Amerika atau bangsa Arab? Kenapa kita menyia-nyiakan potensi kaum perempuan yang merupakan separuh dari jumlah makhluk Tuhan? Bagaimana kita bisa begitu yakin bahwa kaum homoseksual patut diasingkan-atau dibunuh-jika Al-Qur’an menyatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan bersifat ‘sempurna?’
Pertanyaan-pertanyaan dahsyat dari Manji di atas, dimulai oleh untaian kalimat yang benar-benar membuat saya tertegun: ‘Kenapa pikiran kita semua terpaku pada kejadian yang menimpa orang-orang Palestina dan Israel? Kenapa orang Islam begitu sulit untuk mengubah pandangannya tentang anti-Semitisme? Siapa penjajah kaum muslim yang sesungguhnya-Amerika atau bangsa Arab?’ Dari kalimat ini, disadari atau tidak, Manji telah menempatkan problema okupasi di Tanah Palestina oleh Israel sebagai semata-mata problema persepsi kebudayaan, lebih spesifik lagi sebagai problema penafsiran keagamaan yang mandek, beku, dan terbelakang. Dalam bingkai demikian, maka umat Islamlah yang harus melihat ke dalam dirinya, bahwa yang melakukan eksploitasi atas diri mereka adalah bagian dari umat Islam itu sendiri, yaitu mereka yang memegang otoritas politik dan agama di dunia Arab. Pandangan ini ia tekankan kembali dalam karyanya yang terbaru dan langsung diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 2012 berjudul Allah, Love and Liberty: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan. Pada halaman 217 buku tersebut, ia menguraikan ‘Suara-suara kontra-budaya menyingkap wajah-wajah keberanian moral di dalam Islam: Kalangan Islam yang mengakui disfungsi dalam komunitas mereka ketimbang secara refleks menyalahkan Amerika Serikat, Israel, misionaris, materialisme, MTV. KFC dan musuh lama ‘Yahudi.’
Menurut saya, apa yang diutarakan Manji hanya separuh benar. Opresi otoritas agama dan politik di dunia Islam, memang memberikan andil besar bagi penindasan kebebasan dan akal pikiran yang merdeka bagi tumbuhnya kesadaran kritis di dunia Islam. Sayang Manji berhenti di situ. Ia tidak memetakan secara lengkap konfigurasi politik yang menghubungkan penindasan oleh otoritas politik Islam (Dinasti Ibn Saud, kaum Wahabbi, dan aliansi kekuasaan Islam lainnya) dan otoritas politik di Tel Aviv dan Washington DC. Ketika Manji melihat persoalan konflik Israel dan Palestina sebagai problema internal penafsiran keagamaan yang sempit dalam dunia Islam, maka Manji mendiamkan persoalan ini sebagai sebuah fokus bersama.
Perhatikan kata-kata yang saya cetak miring dalam pernyataan Manji di atas tentang konflik Israel Palestina dan strategi penulisan yang menghubungkannya dengan klaim anti–semitisme. Apakah setiap analisis yang melihat persoalan Israel dan Palestina dalam konstruksi proses penjajahan terhadap warga Palestina, selalu terkait dengan analisis serampangan anti-semitisme? Apakah Irshad Manji tidak pernah mendengar suara-suara kaum Yahudi refusenik, seperti Professor Norman Finkelstein (ia lahir dari keluarga korban holocaust Nazi), yang menolak reproduksi dari kekejaman Holocaust sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan untuk mengukuhkan dominasi Israel atas Palestina? Suara Manji juga menepis pandangan intelektual revolusioner keturunan Yahudi seperti Noam Chomsky, yang menyerukan perlawanan terhadap dukungan Amerika Serikat atas Israel; musisi Jazz keturunan Israel yang eks tentara Zionis Gilad Atzmon, yang menyatakan bahwa pada tahun 1969 Perdana Menteri Israel Golda Meir menyatakan bahwa orang Palestina itu tidak ada, sebuah kecongkakan rasis yang tidak dapat dimaafkan menurutnya. Maupun Professor Hak Azazi Manusia seperti Richard Falk, yang menuduh Zionisme telah melakukan hukuman kolektif dengan membom warga Palestina pada tahun 2008 (Toha 2012; Maarif 2012). Sekali lagi, apakah nama-nama keturunan Yahudi yang telah saya sebutkan di atas adalah kalangan yang berpandangan anti-semitisme?
Inilah yang saya maksud pernyataan saya pada artikel sebelumnya tentang Irshad Manji, ‘Posisi ini sungguh aneh bagi saya sebagai seorang reformer Islam yang menempatkan diri sebagai kaum Islam refusenik, sepertinya Manji menempatkan konflik Israel-Palestina dalam kacamata keagamaan yang harus ia reformasi, dan dengan itu ia mengingkari prinsip-prinsip kemerdekaan dalam humanisme universal untuk menolak penjajahan di atas dunia. Hal ini membuatnya tidak bersimpati atas penindasan warga Muslim dan Kristen Palestina di dalamnya. Di sini Irshad Manji gagal melihat persoalan Palestina dalam kacamata problem profan duniawi, sebagai problem penjajahan. Radar sekularisme Irshad Manji tidak menangkap problem sekular imperialisme Zionis Israel atas Palestina sebagai problem kemanusiaan bersama.’
Sedikit memberi tambahan atas analisis terdahulu, maka dalam wacana Manji, selain ia melihat problema konflik Israel-Palestina sebagai persoalan keagamaan, di sisi lain ia membidik dengan kritis problema korup dan opresifnya otoritas politik Islam, dan pada saat yang sama memotret persoalan penindasan dan masalah struktural imperialisme sebagai problem struktural objektif secara karikatural. Bagi saya, ada pernyataan yang lebih fair daripada yang dikemukakan oleh Irshad Manji, yaitu pandangan Professor cultural studies asal Pakistan yang bermukim di Inggris, Ziauddin Zardar, ketika ia mengutarakan bahwa ‘kerapkali imperialisme di dunia Islam tidaklah dipaksakan kehadirannya, namun ia datang karena diundang oleh kondisi internal di dalam masyarakat Islam itu sendiri.’
Salah satu serangan mengagumkan dari Irshad Manji untuk menetralisir konflik Israel dan Palestina, khususnya kritik terhadap Israel tampak dalam karyanya Beriman Tanpa Rasa Takut, terutama pada bab mengenai Gerbang dan Korset. Di bagian tersebut ia menguraikan betapa persepsi awalnya tentang Israel dan dominasinya atas Palestina, hancur luluh lantak setelah menyaksikan sendiri realitas demokrasi parlementer maupun ruang publik yang bebas di dalamnya. Tidak ada perubahan apapun terkait tentang kekaguman atas eksisnya demokrasi liberal di Israel pada karyanya yang kedua, Allah, Love and Liberty. Bagi Manji, demokrasi liberal dan kebebasan pers lebih utama ketimbang masalah imperialisme Israel atas Palestina.
Dengan meletakkan demokrasi dan kebebasan pers sebagai sabun pembersih bagi tindakan imperialisme Israel, Manji sama sekali abai akan fakta yang terang benderang dikemukakan oleh akademisi Yahudi asal Israel sendiri, bahwa rakyat Palestina di bawah pendudukan militer Israel di Tepi Barat, hidup di bawah kondisi apartheid, tersandera, terkunci, dan terkepung oleh koneksi infrastruktur jalan (hanya untuk kaum Yahudi), dan dibatasi seputar Gaza dan tepi Barat, meskipun Israel sudah mengeluarkan tentaranya dari Gaza sejak 2005 (Baylis, 2009; 169). Satu lagi, ketika Irshad Manji membanggakan kondisi demokratik dari Israel, ia juga melupakan kenyataan bahwa dalam struktur politik demokrasi Israel sangat sedikit kaum Arab-Israel yang menjadi elite politik, karena sistem pemilihan yang berdasarkan partai bukan individu (kecuali untuk Perdana Menteri), mengharuskan mereka untuk bersumpah di hadapan hukum bahwa Israel adalah negara Yahudi dan sebuah negara demokratik. Sebuah sumpah yang mencerabut identitas rakyat Palestina, sekaligus menegasikan kenyataan yang ada (Baylis 2009; 173).
Dalam perspektif moralitas kaum liberal yang menjunjung tinggi fairness, maka ada paradoks dalam sika Manji yang memuja praktek demokrasi dan kebebasan media di Israel, sembari membenamkan ke permukaan praktik diskriminasi, opresi dan apartheid yang terjadi terhadap rakyat Palestina. Namun demikian, tulisan ini mau melampaui argumentasi moralitas untuk masuk pada pertautan analisis struktural dengan melihat institusi demokrasi parlementer telah dijadikan sumber legitimasi bagi praktek imperialisme. Sesuatu yang tidak hanya terjadi di Israel, namun juga di kawasan lain seperti Amerika Latin pada masa neoliberalisme sejak era 80-90an, dan wilayah Asia seperti Indonesia kini.
Analisis Struktural Konflik
Untuk memahami hal ini, ada baiknya kita menengok sekilas (karena keterbatasan tempat dalam artikel ini) pandangan Samir Amin dalam bukunya The Liberal Virus: Permanent War and the Americanization of the World (2004; 47-49), mengenai relasi antara demokrasi dan pasar bebas dalam konstruksi sistem kapitalisme Global. Ketika Irshad Manji menggunakan argumen-argumen tentang demokrasi dan kebebasan media sebagai dalih untuk menutupi realitas opresi dan penindasan terhadap rakyat Palestina oleh rezime Zionis, maka Amin mengutarakan bahwa dalam konteks politik kontemporer, demokrasi yang dimaknai sebagai low intensity democracy, ditampilkan sebagai atribut untuk menyembunyikan logika sistemik yang ada di dalamnya.
Di era demokrasi seperti ini, kita boleh memiliki pilihan politik sekehendak hati kita, bersuara sekencang-kencangnya, namun dalam skala lebih luas, hal itu tidak berkorelasi positif yang kuat dengan perubahan nasib hidup warganya. Nasib hidup warganegara, dalam konteks demokrasi berintensitas rendah, terletak pada relasi pasar dan penguasaan atas proses produksi yang menentukan hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, ketika ruang politik ditampilkan secara bebas, sementara sistem ekonomi politiknya dibangun di atas pondasi hubungan produksi kapitalisme yang eksploitatif, maka demokrasi yang berintensitas rendah gagal berdaya membela hak-hak sosial-ekonomi dan budaya warga negaranya.
Pada akhirnya, satu pertanyaan masih tersisa dalam diskusi soal Irshad Manji: bukankah Manji juga menulis tentang okupasi Israel atas Palestina, bukankah Irshad Manji juga mencabut pernyataan dukungan atas invasi AS ke Irak (dukungan yang kontras dengan demo jutaan manusia turun ke jalan di seluruh dunia untuk menolak invasi tersebut). Jawaban atas hal ini adalah, dimana kita dapatkan argumentasi turunan yang memberikan wacana penguat atas pernyataan tersebut? Mengapa tidak ada kritik tajam yang menyusul pernyataan di atas?
Bagi saya, pandangan seperti ini mirip dengan pandangan para intelektual di Bank Dunia yang merumuskan Post Washington Consensus seperti Joseph Stiglitz. Kita tahu, Stiglitz adalah kritikus globalisasi, karena dianggapnya gagal dalam mengentaskan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga. Tapi, kritik Stiglitz tidak menghantam struktur dalam yang menjadi penyebab utama opresi dan eksploitasi ummat manusia, yakni hubungan produksi kapitalis yang eksploitatif itu. Ia malah menawarkan sebuah strategi baru yang justru memperdalam ekspansi kapitalisme di wilayah-wilayah tersebut dan mengkomodifikasi seluruh hubungan sosial yang ada.
Dari perbandingan ini, kita dapat meletakkan posisi wacana Irshad Manji, yang terhubung dalam proses pembentukan pola-pola dan aturan main yang berlaku yang melayani tujuan yang lebih dalam yaitu bertahannya sistem kapitalisme global yang memiliki telos untuk melakukan proses akumulasi kapital melalui praktik-praktik perampasan kelompok di bawahnya (dispossessive accumulation).
Atas dasar inilah, meski saya membela hak Irshad Manji untuk menyatakan pendapatnya, namun saya tidak akan memberikan dukungan atas suara Irshad Manji.***
Airlangga Pribadi, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga