NAMANYA panjang: Salvador Isabelino del Sagrado Corazón de Jesús Allende Gossens. Ia satu-satunya yang bisa memenangkan sosialisme hanya dengan bermain catur. Hebatnya, sejak pertamakali membacakan teori-teori kirinya di rumah tukang sepatu anarkis di kota pelabuhan Valparaiso, Allende tak pernah berpaling dari sosialisme.
Ini sedikit lakonnya.
Dalam novel The House of the Spirit, dengan berkelakar Isabel Allende melukiskan detik-detik akhir kehidupan pamannya: Salvaldor Allende. Begini adegan-adegan itu:
Situasinya serba genting dan kacau. Dikepung pasukan yang akan mengudeta, dan ditawari untuk melarikan diri ke luar negeri, Allende berkata, ‘Kalian salah duga soal aku, hei pengkhianat. Aku di sini karena rakyat dan hanya pergi dengan mati.’ Pasukan kudeta pun mendobrak, masuk ke dalam La Moneda—kediaman resmi presiden. Mereka memaksa orang-orang yang ada di dalam keluar dengan meletakkan kedua tangan di kepala. Allende dengan enteng menjabat tangan pasukan itu sembari berkata, ‘Aku paling akhir.’ Itulah kata terakhir Allende.
Beberapa hari kemudian junta militer—dengan sponsor Amerika Serikat— mengumumkan di televisi: presiden mati bunuh diri. Mereka memaksa rakyat Chile percaya. Tapi tak ada yang peduli dengan omong kosong itu.
Benarkah Allende mati?
Ternyata tidak.
Tahun 1985, sutradara Miguel Littin, menyelinap ke Chile. Ia termasuk dalam daftar 5.000 orang pelarian Chile yang tak dibolehkan lagi masuk ke tanah leluhurnya. Tapi, Littin tak mau tunduk. Setelah 12 tahun sejak paman Isabel Allende dikudeta, selama enam minggu, ia menyusuri tempat-tempat di Chile, berhasil membuat 100.000 kaki film dokumenter. Pengalaman nan menegangkan, dengan berbagai penyamaran, diceritakan Littin kepada sastrawan Gabriel García Márquez. Lahirlah sebuah buku—Clandestine in Chile: The Adventures of Miguel Littin.
Littin sempat mengunjungi beberapa pablaciones—perkampungan miskin di Chile. Nama Allende ternyata tak mati. Rezim militer Jenderal Pinochet tak berhasil menghapus nama lawannya itu. Littin mewawancarai beberapa orang, dan jawabannya serupa: ‘Saya selalu memilih dia, tidak pernah memilih lawan politiknya.’ Orang-orang memanggil Allende: Bapak Presiden. Seolah ia menjadi presiden yang tak pernah mati, tak ada presiden lain selain dirinya—begitu simpul Littin.
Tentu ada sebab kenapa Allende melekat dibenak orang-orang Chile.
Allende bertarung dalam pemilu lewat partainya: Unidad Popular. Berseberangan dengan pendirian sebagian gerakan kiri di Indonesia saat ini, yang begitu mendengar kata pemilu atau parlemen langsung berseloroh: ‘Itu kerjaan borjuis. Lekas jauhi! Kalau tidak kau akan seperti kawan-kawanmu yang sekarang di parlemen, tak memunyai moral kiri lagi. Jangan dekat-dekat dengan mereka. Najis! Kalau pun tuntutan kita sama dengan mereka, jangan percaya. Mereka pasti ngibul. Pencitraan diri!’—Allende justru bertarung di dalamnya. Ia sadar, pemilu yang diselenggarakan borjuis bobrok sejak nenek moyangnya, tapi ia tak mau menghindar. Ia justru masuk ke dalamnya. Sekecil rambut yang dibelah tujuh celah yang diberikan demokrasi borjuis, ia berusaha berada di tengah-tengahnya. Baginya, jalan menuju sosialisme tak mesti seragam.
Allende memang tak sok-sokan revolusioner dengan selalu mengacungkan tangan kiri bila memulai orasi. Ia tak pernah terjebak dengan jargon, penampilan atau tingkah laku yang kekiri-kirian. Yang pasti, ia tak hidup dalam andaian, tapi dalam kenyataan politik negerinya.
Lihat sikap pantang menyerahnya. Sepanjang karir politiknya, ia memerlukan empat kali kampanye yang alot—artinya empat kali pemilu—sebelum terpilih sebagai presiden beraliran Marxis pertama dalam pemilu yang diselenggaran oleh borjuasi.
Bisa dibilang, Allende bukan aktivis kiri musiman. Ia tak hanya muncul pada musim-musim tertentu: 8 Maret, 21 April, 1 Mei, 20 Mei, 10 November; atau hari-hari ritual dadakan: kenaikan BBM, penggusuran petani, dan lain sebagainya—Allende setiap waktu rajin bercengkrama dengan rakyat.
Apa yang dilakukan Allende ketika bersama rakyat? Melakukan agitasi dengan berapi-api sembari mengutuk kapitalisme sebagai sesuatu yang busuk? Atau, memuji-muji sosialisme sebagai sistem surgawi?
Mungkin banyak yang tak percaya. Masuk dari satu pintu ke pintu lainnya, Allende lebih sering mengajak bermain catur daripada orasi politik.
Hidup Allende ada dalam dua hal: sosialisme dan permainan catur. Kakeknya, Roman Allende, mendirikan klub catur Masonic. Di klub inilah Allende ditempa menjadi pemain catur yang tangguh. Peringkatnya selalu tertinggi di level Grand Master. Sembari bermain catur, ia tumbuh menjadi politikus kiri dengan mentornya Marmaduque Grove.
Bermain catur membutuhkan waktu yang tak sedikit. Laku bidak-bidak perlu diatur secermat mungkin agar tak diterkam lawan. Kecerobohan sedikit bisa fatal. Tak bisa serampangan. Sembari berpikir strategi apa yang perlu ditempuh supaya bisa memenangkan pertarungan di papan catur, Allende mengajak lawan bermainnya untuk berbicara. Lewat permainan catur, pada akhirnya, Allende berhasil menyesap kebiasaan, kekecewaaan, dan mimpi-mimpi rakyat Chile. Inilah bekalnya membawa Chile ke jalan sosialisme.
Turba Allende memang bukan untuk gagah-gagahan agar dikenal sebagai aktivis kiri yang heroik, tetapi sebagai sarana propaganda keliling, dan juga memperluas struktur partainya. Agaknya Allende sadar, memenangkan kesadaran rakyat tak bisa dilakukan dengan aksi sporadis seperti cowboy jalanan—melakukan serangan seperti geng motor, setelah membuat kehebohan membabat kiri-kanan, kemudian menghilang—melainkan mesti dilakukan dengan cara-cara yang wajar dan teratur.
Littin mencatat, tak ada upaya-upaya heroik yang dikerjakan Allende. Selain bermain catur, Allende dengan senang hati menjadi bapak baptis, menyalami setiap orang yang ditemui, menyembuhkan seseorang yang terkena penyakit batuk rejan, atau sekadar cangkrukan. Mungkin Allende lebih mirip seorang santo daripada seorang revolusioner. Silakan disebut mukjizat. Yang pasti, dengan cara yang jauh dari kesan revolusioner ini, Allende bisa memenangkan sosialisme di Chile.
Tepat malam tanggal 11 September 1973, jasad Allende dibawa ke kota saat ia pertamakali bermain catur: Valparaiso. Upacara pemakamannya tanpa tabur bunga. Pinochet berharap, penguburan secepat mungkin akan membuat rakyat Chile segera melupakan Allende. Sayang tak berhasil.
Mungkin potongan sajak Pablo Neruda ini bisa memungkas kisah Allende:
di antara gunung dan sungai,
menderita lapar dan nestapa,
mereka tak mampu berjuang sendiri,
mereka menantimu, Sahabat.
Salvador Allende dan sosialisme boleh dibunuh berkali-kali, tapi tak akan pernah mati. Keduanya akan terus hidup di antara orang-orang yang menderita lapar dan nestapa. Sahabat yang dinanti.***
Lereng Merapi. 26.04.2012