Payudara Besar & Ketua Besar

Print Friendly, PDF & Email

Oase-IPINI TENTANG Cina yang gigih mempertahankan Payudara Besarnya dari cerupan Barat—kapitalisme.

Sial bagi Shangguan Lu (Ibu), anak-anak yang keluar dari guagarbanya semua perempuan. Bagi tradisi, ia dianggap tak berguna karena tak menetaskan anak laki-laki. Tapi, keberuntungan belum menguap. Anak kedelapan lahir. Kembar: Jintong—bayi laki-laki—dan Yunu—bayi perempuan; hasil perselingkuhan Ibu dengan Pastor Malory. Sama. Ketujuh anak yang lahir sebelumnya, semua bukan berasal dari benih suaminya yang mandul.

Cerita mengayun. Ibu bersama kedelapan anaknya menjadi bagian Cina yang bertarung. Inilah yang dibentang oleh Mo Yan—sastrawan Cina—lewat novel Big Breasts and Wide Hips. Novel ini membuat kontroversi di negerinya. Ditulis dengan gaya satir dan surealis, mengajak pembaca berpikir tentang sejarah sebuah bangsa.

Tulisan ini tak merangkum sumuanya. Satu titik saja: semasa Ketua Besar  mengemudikan revolusi. Barat yang tak pernah suka pada komunisme, mentahbiskan masa Ketua Besar sebagai hari-hari penuh penjagalan manusia dan anti demokrasi.

Sejak Cina Komunis dimaklumatkan oleh Ketua Besar, semua bergegas berubah. Salah satunya, di desa tempat Ibu tinggal, perempuan tak lagi diikat kakinya. Kaum perempuan lepas dari sangkar patriarki. Bebas ke sana kemari. Berproduksi. Sebagai penanda zaman baru, lagu ini diajarkan di sekolah-sekolah—sebagaimana dikutip Mo Yan dalam novelnya:

‘Pada masyarakat baru, beginilah adanya,
Cerah, oh begitu cerah sinar matahari menyinari petani,
Perempuan telah dibebaskan untuk berdiri di tempat paling,

paling atas.’

Tapi semuanya tak mudah. Revolusi memang bukan kisah dalam kitab suci yang bisa diselesaikan berkat campur tangan Tuhan. Tak ada mukjizat. Revolusi urusan manusia.

Dalam sepenggal episode Big Breasts and Wide Hips ada penanda tentang resiko menjatuhkan pilihan. Seperti menebak isi dadu, kadang perlu keberuntungan, dan kalau salah bisa bangkrut di meja judi. Laidi—anak sulung Ibu—menikah dengan seorang prajurit Tentara Merah: Sun Gagu yang bisu dan cacat kakinya. Pernikahan tak dilandasi suka saling suka, melainkan atas instruksi partai. Laidi pun berpaling saat Han, si Manusia Burung, datang. Perselingkuhan dipilih. Ini terjadi persis ketika Ketua Besar memulai programnya: Lompatan Jauh ke Depan.

Ini tentang alegori yang tak enak. Sun Gagu cacat kakinya, memang tak bisa melompat jauh. Han yang segar bugar mampu melakukan. Laidi menyerahkan hatinya pada Han. Cinta Laidi dan Han terbakar saat tanur-tanur peleburan baja mulai merebus logam-logam yang terkumpul. Tujuannya hanya satu: agar Cina bisa memacu industrialisasi di tengah masyarakat agraris.

Mo Yan menggambarkan serupa: ‘bunga opium rawa-rawa—beracun tetapi ada keindahan yang liar.’

Tak terlalu berhasil terobosan Ketua Besar. Seperti cinta Laidi dan Han yang kandas. Setelah membunuh Sun Gagu, Laidi dihukum mati. Han memilih bunuh diri dalam perjalanan ke tempat pembuangan. Tapi, buah cinta Laidi dan Han melahirkan bayi: Han si Kakaktua. Artinya, ada penerus. Pun, Ketua Besar tak seluruhnya gagal. Ia melahirkan bayi bagi industrialisi Cina yang kelak akan tumbuh dewasa.

Ketua Besar dicemooh Barat—seperti Laidi dihujat penduduk kotanya karena membunuh Sun Gagu—atas tak berhasilnya program Lompatan Jauh ke Depan. Pengamat, jurnalis dan intelektual Barat, menjejer jumlah rakyat Cina yang mati akibat pilihan Ketua Besar. Tapi, Wim F. Wirtheim dalam bukunya Third Word Whence and Wither?—terjemahan Indonesia dikerjakan Oey Hay Djoen—mengejek halusinasi Barat dengan mengatakan: ‘…tiada gunanya mengajukan pendapat bahwa pada dasarwasa 1960-an sekitar 17 sampai 19 juta orang telah ‘hilang’…. sederhananya karena mereka itu memang tak pernah ada.’ Gampang kata: Barat hanya gembar-gembor saja karena modal mereka dicekik oleh Ketua Besar sehingga tak bisa menyesap puting Payudara Besar Negeri Naga.

Ketua Besar tak patah. Revolusi bukan soal lempar-lemparan batu dengan polisi dan merobohkan pagar DPR. Pendeknya, bukan kerja sesaat. Revolusi urusan kecerdasan mencari jalan keluar dari setiap celah yang tersedia. Seperti Ibu, Ketua Besar tak tunduk pada kekalahan. Belajar dari kekurangtepatan Lompatan Jauh ke Depan, Ketua Besar mengeluarkan jurus baru—‘Pertanian sebagai landasan ekonomi, dan industri sebagai faktor yang memimpin.’

Jintong—satu-satunya anak lelaki Ibu—dikirim ke tempat pertanian kolektif. Agak mujur, Jintong bertemu dengan kakak perempuannya yang ketujuh: Qiudi. Sejak kecil Qiudi dijual pada seorang perempuan Soviet. Pertemuan ini berakhir muram. Qiudi mati terserang penyakit. Sebuah metafora ketika Ketua Besar memutus konsep pembangunan a la ibu angkatnya: Soviet—untuk menempuh jalannya sendiri.

Ketua Besar tak lagi memacu industri berat, tapi mengembangkan industri sesuai kebutuhan pertanian kolektif. Industri pemotong padi, traktor dan pompa listrik dibangun. Hasilnya: kelimpahan hasil pertanian. Tak pelak, Revolusi Hijau andalan Barat terseok-seok menandingi Revolusi Merah besutan Ketua Besar. Barloug, direktur FAO yang mengunjungi Cina tahun 1970-an—sebagaimana dikutip Wim F. Wirtheim—membeberkan dengan jujur: ‘India jelas paling maju dalam penelitian pertanian, tetapi Cina bermil-mil di depan India dalam penerapan pengetahuan yang diperoleh.’

Walaupun tetap membenci Ketua Besar, Barat tak bisa berbohong lagi.

Barat, sebagaimana Jintong dalam novel Mo Yan, tak pernah tumbuh dewasa. Jintong sampai tua tetap tergantung pada Payudara Besar, dan Barat menyusu pada negara-negara kaya tapi bodoh untuk bisa hidup.

Cina beda dengan kita. Payudara Besar negara kita ratusan tahun telah diperah air susunya oleh Barat. Dulu kita pernah memiliki Bung Besar sahabat Ketua Besar. Kini tak ada lagi. Para aktivis progresif yang sedang nangkring di lingkar kekuasaan justru ikut memegang Ibu, agar Payudara Besarnya tak bergeser dari hisapan Barat. Sementara, yang lebih muda sibuk lempar-lemparan batu di tengah jalan sembari mencari eksitensi diri.

Tak bisa memungkirinya.

Cina dalam Big Breasts and Wide Hips berhasil menutup rapat-rapat Payudara Besarnya dengan kutang Kuda Bertanduk—ideologi dan politik. Kebalikannya, di negara kita, Payudara Besarnya justru dibiarkan bebas menggelantung—merelakan siapa saja mencucupnya.

Tak salah petuah kuno: Belajar sampai ke Cina.

Lereng Merapi. 12.04.2012

 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.