PARIYEM bergeming saat tubuhnya dicumbu Raden Bagus Ario Atmojo—mahasiswa Filsafat UGM, anak bendoronya. Kejadiannya mengalir begitu saja. Waktunya pagi menjelang siang. Semua penghuni rumah plesir ke Gembira Loka menonton si Gombloh, kuda Nil dari Mesir. nDalem Suryomentaraman suwung. Saat itulah tubuh Pariyem digerayangi oleh Den Bagus Aryo. Ia tak mengelak. Ia menikmati:
Paha saya diraba-raba
diraba-raba paha saya
Alangkah bergidik bulu kuduk saya
alangkah mrinding urat saraf saya
Tapi saya pasrah saja, kok
saya lega lila
Persetubuhan itu terus terulang. Pariyem selalu lega lila—menerima apa adanya.
Pengakuan Pariyem—prosa liris karya Linus Suryadi AG—memang bukan sastra revolusioner semacam Ibunda karya Maxim Gorky. Prosa ini berkisah tentang perempuan biasa dari Wonosari; daerah yang tanahnya tak gembur. Hujan tak turun teratur. Ibu bumi pecah-pecah terpanggang kekeringan. Panen setengah tahun sekali. Warga desa bergantung pada padi yang menguning dan palawija. Wajar-wajar saja, tak ada yang heroik. Ketika tanah tak mencukupi untuk hidup, harus ada yang rela ke luar dari kampung. Pariyem salah satunya. Ia menuju ke kota menjadi babu.
Pariyem tak memunyai moral putri—memakai gaun panjang, pakaian dalam rapat, berkerudung, dan perawanan. Bukan pula Cinderella yang menunggu pangeran tampan datang berkuda menyelamatkan hidupnya. Pariyem perempuan ugal-ugalan. Ia tak perawan. Karena balela, ia tak pernah menyesal kehilangan keperawanan; tak pernah merasa berdosa. Dalam moralitas putri, keperawaan merupakan misteri—dan inilah yang selalu dikejar-kejar laki-laki—tapi Pariyem tak hirau soal itu; ia hanya babu dengan moralitasnya sendiri. Pun, Pariyem tanpa beban ketika bersetubuh dengan lelaki dari kelas yang lebih tinggi dari dirinya. Tak ada perasaan daif dalam dirinya.
Kata-kata Karl Marx ini—’Segala unsur moral dan kelembutan pada diri perempuan menjadi alat untuk memperbudak dan membuatnya menderita.’—membongkar dusta patriarkal dan kapitalisme. Perempuan ideal dalam dunia patriarki digambarkan bermoral tinggi dan bertingkah lembut. Sifat dan watak itulah yang digadang-gadang alam pikiran patriarki untuk—sebagaimana dikatakan Marx—memperbudak dan membuat perempuan menderita. Pariyem berusaha membetot dirinya dari jebakan itu. Ia tak pernah bertutur selembut buah delima, bertingkah seanggun perempuan gedongan. Ia tampil apa adanya.
Nama permandian Pariyem—Maria Magdalena—satir tentang perempuan itu sendiri; pelacur dalam kisah Injil.
Sejak lakon tentang manusia ada, pelacur adalah iblis, laknat, dan aib. Perempuan memang selalu dilihat yang lain oleh laki-laki; kutukan sejak Hawa menggoda Adam di Taman Firdaus. Pariyem hadir untuk mengejek itu. Tidak ada figur ibu, istri, kekasih, dan perempuan bermoral dalam diri Pariyem. Dengan kata lain, Pariyem tidak feminin sebagaimana yang diharapkan mitos patriarki. Secara telanjang ia mengatakan: inilah diriku, Maria Magdalena dari Wonosari.
Memang ada jarak antara Pariyem dengan ide.
Michel Foucault mengenalkan kembali istilah panopticum—menara pengawas penjara zaman dulu. Letaknya persis di tengah-tengah bui. Ada lampu mercusuarnya. Lampu itu terus berputar mengawasi setiap pojok penjara. Saat gerakan feminis berperan sebagai panopticum, Pariyem bertarung dengan kehidupan sesungguhnya. Berhadapan dengan sapu, kain pel, kemoceng, daun, pakain kotor, mendung, hujan, terik; bukan sibuk dengan retorika, istilah atau sekardus teori. Sejak lahir Pariyem sudah bertemu muka dengan kenyataan:
Saya lahir di atas amben bertikar
dengan ari-ari menyertai pula
Oleh mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya tujuh kali pisau cukur
Bersama telor ayam mentah, beras, uang logam
bawang merah dan bawag putih, gula, garam,
jahe, kencur, adik ari-ari jadi satu
Telor ayam, beras, uang logam, bawang merah, bawang putih, gula, garam, jahe, kencur—itulah yang dihadapi Pariyem. Perempuan menengah kota tak pernah bergaul dengan barang-barang itu, sehingga mereka galau dengan kehidupannya sendiri. Sudah menyatu dengan kebutuhan hidup, membuat Pariyem sadar, barang-barang itu akan ada kalau diusahakan dengan kerja. Sebagai babu pun ia lakoni. Ia hidup di alam nyata, bukan di dunia ide. Sebagai perempuan yang membumi, ia berproduksi.
Sepertinya memang ada yang luput….
Kala para feminis berkhutbah dari atas bukit, Pariyem yang ada di lembah tak mendengar madah-madah yang dilantunkan oleh pembela perempuan itu. Jarak keduanya terlalu renggang. Ketika gerakan feminis memperbincangkan berbagai teori sambil menyeruput kopi yang harganya jauh lebih mahal dari kutang Pariyem, si Iyem, lengkapnya Maria Magdalena Pariyem, tetap mengepel lantai sambil mendendangkan lagu-lagu Jawa.
Tak ada alasan untuk masgul. Pariyem tak mengerti istilah seperti sexual harassment. Ia hanya mengerti saresmi tanpo lila—persetubuhan tanpa keikhlasan. Bahasa yang ia mengerti bahasa bumi, bukan bahasa para dewi. Lingkungan Pariyem garu dan luku, bukan cafe dan twitter.
Apa boleh buat. Pengakuan Pariyem kisah tentang kepasrahan perempuan dalam melakoni hidup. Rela menjadi babu. Tulus menjadi selir. Tak pernah berteriak-teriak menuntut persamaan derajat. Bisa jadi Pariyem akan dianggap dungu, pandir atau bodoh oleh kaum feminis perkotaan. Tapi biarlah, toh ia hanya babu yang tak tamat SD. Yang jelas, ia berani membuat pengakuan. Dengan pengakuannya, Pariyem ingin menunjukkan: aku tak bisa dibungkam.
Itulah Pariyem. Yang pasti: di manapun tempat dan situasinya, perempuan seperti Pariyem akan melawan dengan caranya sendiri-sendiri. Tak perlu diseragamkan.
Maaf, saya—Pariyem—tak bisa ikut upacara tanggal 8 Maret; sebab harus membersihkan pelataran rumah bendoro saya. Sekali lagi, maaf diajeng-diajeng.***
Lereng Merapi. 01.03.2012