Mengenang Umar Said
SAYA TIDAK ingat dengan pasti, kapan pertama kali bertemu dengan pak Umar (panggilan akrab saya terhadap Umar Said). Di tahun 2003, saat menghadiri pertemuan sebuah acara diskusi dengan orang-orang Indonesia di Jerman, saya bersama dengan dua kawan menumpang sebuah mobil dan menempuh perjalanan antara Paris hingga Jerman yang memakan waktu sekitar 5-6 jam perjalanan. Saat itu, sebagai seorang yang baru pertama kali ke luar negeri (dan ke luar Perancis), perjalanan yang nyasar-nyasar beberapa kali tersebut tidak bisa dikatakan dekat. Setelah sampai di tujuan, sekitar jam 4 subuh, dengan badan letih, saya mendapat kabar bahwa rupanya rombongan kami bukan satu-satunya yang datang dari Paris. Pak Umar sudah tiba lebih dulu seorang diri dengan kereta!
Bagi yang belum pernah bertemu dengan Pak Umar, jangan membayangkan dia seorang yang memiliki tubuh tinggi besar dan bugar. Tubuhnya kecil dan terkesan ringkih. Jalannya tidak begitu lancar. Namun, bagi seorang yang lahir ditahun 1928, dia memiliki semangat yang luar biasa. Dia memimpin koran Ekonomi Nasional pada tahun 1960. Sejak tahun 1965, akibat peristiwa politik pada saat itu, dia tidak bisa pulang ke Indonesia, dan di tahun 1974, Pak Umar mengungsi di Perancis.
Sebagai sesama warga kota Paris dan setiap kesempatan berkunjung ke restoran Indonesia di jalan Vaugirard, saya beberapa kali bertemu dengan pak Umar. Kesan yan diberikan saat bertemunya selalu sama: hangat dan penuh semangat.
Kota Paris sendiri adalah kota yang indah dan cantik untuk ditelusuri bagi anak muda yang memiliki fisik kuat dan bugar. Namun untuk seorang manula dan ringkih, ceritanya menjadi lain. Transportasi kota itu memang lebih baik jika dibandingkan dengan Jakarta. Sudut-sudut kota bisa dicapai dengan menggunakan Metro (kereta bawah tanah) atau pun bus. Namun tidak semua fasilitas publik itu dilengkapi eskalator. Tangga-tangga menuju Metro sering kali menukik jauh ke bawah tanah atau menanjak curam.
Letak restoran Indonesia di pusat kota Paris, dekat dengan Jardin du Luxembourg, dapat dicapai dengan RER B (sebuah kereta yang relatif lebih besar dari Metro dan digunakan untuk mencapai kota-kota sekitar kota Paris). Stasiunnya cukup bagus karena dilengkapi dengan eksalator. Letak rumah Pak Umar sendiri di daerah pinggiran sebelah timur kota Paris. Untuk mencapai ke restoran, dia harus berganti kereta di Les Halles. Stasiun ini mirip dengan Blok M dalam bentuk yang terbalik, stasiun di bawah dan pusat perbelanjaan di atasnya. Penumpang dari pinggiran kota harus berganti kereta disini jika ingin ke dalam kota Paris. Bisa dibayangkan tempat ini sangat ramai dan rawan kriminalitas. Di sinilah Pak Umar dengan tubuhnya yang ringkih harus berdesak-desakkan dengan warga kota Paris dan selalu terburu-buru. Situasi semakin buruk saat musim dingin. Salju dan hujan membuat jalan-jalan di tengah kota menjadi licin dan mudah membuat seorang tergelincir.
Dalam satu kesempatan, saya berkunjung dengan seorang teman dari Chile ke restoran Indonesia untuk mencicipi masakan Nusantara. Saat itu, di sana ada Pak Umar dan Bung Sobron sedang mengobrol. Setelah memberikan salam, saya bersama teman segera mengambil meja. Tidak lama kemudian, Bung Sobron datang menghampiri kami, sambil memberikan kartu nama dan membuka sebotol anggur kecil! Sebagai seorang mahasiswa miskin, sebotol anggur berkelas tentu menjadi pelengkap sempurna untuk makan malam saat itu. Mengapa Bung Sobron tahu saya mahasiswa miskin dan tahu-tahu membukakan sebotol anggur? Tentu informasi dari Pak Umar.
Di tahun 2004, saya ikut membantu bekerja di stand Indonesia di sebuah acara festival di pinggir kota Paris. Jalan menuju tempat acara ini juga tidak mudah. Pengunjung harus menambil kereta menuju La courneuve, satu daerah yang banyak dihuni penduduk menengah ke bawah, lalu disambung dengan bis shuttle yang selalu penuh dan khusus disediakan untuk menuju tempat festival yang terletak disebuah lapangan luas.
Stand Indonesia berjualan makanan-makanan Indonesia termasuk sate dan gorengan seperti bakwan yang menjadi menu andalan saat itu. Satu porsi makanan dipatok harga 5 euro. Termasuk murah untuk ukuran Paris. Dengan harga yang sedemikian miring, kami kewalahan melayani pembeli. Persoalan beratnya pekerjaan tidak sampai disitu. Hujan di musim gugur dan lumpur melengkapi penderitaan kami. Stand kami tidak memiliki tempat cuci piring. Jadi kami harus ke di stand lain, membawa piring-piring kotor untuk menumpang mencuci. Kami yang sedang bekerja keras, penuh dengan peluh keringat dan lumpur di tengah hujan gerimis, tiba-tiba melihat pak Umar datang, lengkap dengan langkah tertatih-tatih, khas seorang yang sudah berumur 80an lebih. Kami tidak habis pikir bagaimana dengan tubuh ringkihnya itu Pak Umar menembus hujan, sesak penumpang bis dan lumpur untuk datang mengunjungi stand kami?
Pertemuan terakhir dengan Pak Umar di musim semi tahun ini, dalam sebuah acara makan malam dengan seorang tokoh wartawan dari Indonesia, di Restoran Indonesia di Paris. Seperti biasa, setiap kali bertemu di restoran Pak Umar menyambut dengan hangat ‘heiii… apakabar… ?’ lalu dilanjutkan dengan menepuk-nepuk bahu. Ucapan Pak Umar sudah tidak begitu lancar, karena usianya yang sudah lanjut. Apakah saya begitu spesial sehingga mendapat sambutan begitu hangat dari Pak Umar? Tidak. Pak Umar lah yang spesial, dia menyambut hangat setiap orang.
Hari sabtu lalu, membaca info di sosial media, Pak Umar telah pergi. Setelah terjadi sedikit kesalahpahaman, akhirnya saya mendapatkan konfirmasi kebenaran informasi tersebut. Di Paris tidak ada lagi sosok tertatih-tatih yang berjalan dari kejauhan yang penuh semangat dan enerji, yang matanya selalu berbinar-binar menanyakan kabar kita….
Selamat jalan Pak Umar…. Hati-hati di jalan…***
Jakarta, 10.10.2011
Yeri Wirawan, meraih gelar PhD Sejarah dari EHESS, Paris, Perancis