Jawaban untuk Martin Surjajaya dan tidak hanya untuk Martin
I
APA YANG akan terjadi jika pada suatu hari, pemikiran saya dianggap demikian berpengaruh, atau setidaknya demikian utuh? Saya akan kaget. Bagi saya tak mengapa dianggap hanya sebagai desas-desus. Ini bukan untuk berendah-hati: saya tak pernah memandang diri saya seorang pemikir yang punya sistem, atau dalam sistem, apalagi sistem yang bisa dinamai. Bolak-balik saya orang yang lebih akrab dengan dunia sastra dan seni. Dunia itulah yang membuat saya sesekali ‘menukik lebih dalam’ (istilah Bung Hatta) ke percaturan teori dan filsafat, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pengalaman di sana.
Membangun sebuah pemikiran yang utuh, membangun satu sistem filsafat, tidak termasuk dalam keinginan dan kemampuan saya.
Mungkin sebab itu jika saya menerima Marxisme, (meskipun tanpa sertifikat dari Martin, Hilmar Farid dan lain-lain yang tampaknya berwewenang untuk memberikannya), saya tak akan membuatnya jadi iman yang mendongkrak kebanggaan diri dan membikin saya ‘tenang’. Bagi saya sikap terbaik adalah mengikuti apa yang saya gambarkan dari semangat Gus Dur: berjalan menjelajah dan memperlakukan keyakinan ideologis (atau ‘iman’) sebagai suluh. Bukan sebagai benteng.
Orang memperlakukan keyakinan ideologis sebagai benteng biasanya ketika ia merasa keyakinannya sedang diserang dan ia sendiri takut guyah. Dalam ‘posisi benteng’ inilah misalnya ide dari pihak yang –bukan-kita dianggap sebagai [peluru] pistol yang berbahaya karena bisa membunuh atau melumpuhkan ‘iman’. Meskipun sebagaimana tampak dalam sejarah percaturan pendapat, konfrontasi dengan sebuah ide – juga ide yang paling tak kita setujui sekalipun – justru bisa mematangkan kita.
Memperlakukan keyakinan sebagai benteng berarti menutup diri, merasa perlu menjaga kemurnian ajaran. Heterodoksi adalah musuh. Mereka yang tak punya ‘surat kepercayaan’ sebagai sekutu dijauhi, dan tafsir yang datang dari orang luar dicurigai – tentu saja apa dan siapa itu ‘luar’ ditentukan pada saat mundur ke dalam benteng.
Posisi seperti itu sebenarnya jauh dari ‘materialisme’ dan ‘dialektika’. Di luar benteng, dunia berubah, anasirnya bertabrakan, bergerak. ‘Kemurnian’ adalah makhluk di luar sejarah. ‘No one today is purely one thing’, saya ingat Edward Said berkata. Hidup tak pernah membiarkan ide-ide lewat tak tersentuh. Sejarah selamanya eklektik. Terutama ketika di luar tembok kita muncul pelbagai macam kondisi untuk gagasan yang belum pernah ada sebelumnya. Makin lama makin cepat.
Salah satu ciri ‘posisi benteng’ ialah apa yang saya sebut sebagai ‘involusi tekstual.’
‘Involusi tekstual’ adalah (1) menggunakan seperangkat teks sebagai satu-satunya sumber kebenaran, (2) menjelaskan ‘kebenaran’ teks itu dengan mengambil teks-teks lain yang sebenarnya mendapatkan kekuatannya dari teks awal itu, dan (3) menentukan lebih dahulu teks-teks mana yang boleh dibaca dan tidak untuk memahami teks sumber tadi.
Dengan kata lain, berpusar-pusar dalam satu lingkaran tafsir. Dalam hal penafsiran atas Marxisme, contohnya, seperti yang saya perhatikan dalam Facebook di sekitar jawaban saya kepada Martin: sejumlah orang ramai-ramai bersaing siapa-yang-paling-tahu bacaan yang paling ‘sahih.’ Adu pintar Marxisme.
Saya kira itulah akibat keinginan mati-hidup bersama satu sistem pemikiran. Ini diperciut lagi dengan anathema terhadap sikap yang berdiri di luar sistem apapun – sebuah pandangan yang tak akan memahami posisi Kiekergaard, misalnya, ketika ia membebaskan diri dari Hegel.
Tak jarang ‘involusi tekstual’ adalah cara bekerja para apologis – yang memilih teks yang pas untuk membebaskan sang doktrin dari inkonsistensi (atau ‘kesalahan’) yang terjadi dalam praktek. Di kalangan agama, para apologis ini tak sedikit jumlahnya. Tapi rupanya mereka juga bisa ditemukan di kalangan Marxis, yang menganggap agama sebagai kesalahan…
Secara tak langsung, involusi tekstual mengatakan bahwa satu proposisi benar jika, dan hanya jika, merupakan satu bagian (atau ‘anggota’) dari seperangkat proposisi yang secara maksimal koheren dan konsisten. Ini tak jauh jaraknya dari pemikiran Idealis Jerman dan Ingris abad ke-18.
Idealisme muncul tak terduga dari balik tembok, ketika kebenaran dianggap hanya bisa teguh dengan ide dan teori, dan ide dan teori diperlakukan sebagai sebagi hal-hal yang begitu ampuh dan kuasa.
Keterpelesetan ke dalam Idealisme juga yang terjadi ketika seorang yang menyatakan diri yakin akan Marxisme tapi melihat cacat Tjokrominoto dan Bung Karno dalam hal tak ‘khatam’-nya mereka mengaji ajaran. Praxis diabaikan: tak dilihat bahwa kedua pemimpin pergerakan nasional itu berhasil menjadi penyambung lidah pedih rakyat di bawah kolonialisme — yang menjelaskan kenapa pengikut mereka begitu luas.
Saya kira Bung Karno mampu demikian karena ia bebas dari ‘involusi tekstual’ ketika ia menegaskan, dalam sebuah pidato di ITB (Insitut Teknologi Bandung) di tahun 1963, bahwa teori revolusi penting, tapi tak ada teori revolusi yang ‘ready-for-use.’ Kita tak bisa menilai seorang ‘progresif revolusioner’ karena bacaan Marxismenya lengkap, dengan memajang sederet nama pemikir Marxis dan buku-bukunya. Atau mengatakan bahwa untuk memahami (atau sekedar mengutip) Marxisme orang harus memahami metode, logika, epistemologi, ontology, dan seterusnya dan seterusnya. Setahu saya Ho Chi-minh dan Ché Guevara tak pernah menunjukkan kedalamannya menelaah Das Kapital, juga mungkin tak pernah baca karya Lukács atau Ilmu Marxis (apalagi mempelajari ilmu kebidanan dalam majalah itu, andai benar ada).
Tapi mungkin ini gejala masa kini: Marxisme telah dibuat rumit dan sulit. Ini umum di kalangan intelektual yang membaca begitu banyak dan begitu sedikit terjun ke dalam pergulatan politik. Seperti di kalangan akademi di Amerika, Marxisme hanya jadi percaturan erudisi dan ide, baik yang cemerlang ataupun klise. ‘Marxisme kamar studi’ ini memang suatu kecenderungan yang berlangsung ketika perjuangan politik kaum kiri sedang merosot.
Yang akan jadi lucu ialah bila, dengan mengutamakan teori yang komplit dan mendesakkan ketaatan ideologis, Marxisme akan seperti doa dalam dongeng yang dikisahkan Leo Tolstoi: tiga kakek tua di sebuah pulau mencoba belajar membaca doa yang persis seperti ajaran yang diberikan seorang padri. Tapi umur lanjut membuat mereka mudah lupa. Mereka jadi ketakutan akan berdosa hanya karena tak bisa mengulangi teks itu secara lengkap. Syahdan, mereka pun, dalam keadaan lemah dan renta, berenang menempuh teluk untuk menemui lagi sang padri yang kapalnya telah mengangkat sauh. Mereka minta diajari sekali lagi. Seingat saya, di saat itu nasihat sang padri sangat tepat: tak usah sempurna; berdoalah sesuai dengan keadaan hidupmu dan kebutuhan hatimu. Teks itu hanya alat. Tak punya privilese atas subyektifitasmu.
Tapi ada sikap yang memperlakukan teks sebagai daya yang membebaskan dan murah hati: sikap mereka yang memperlakukan ideologi atau keyakinan sebagai suluh. Dengan suluh itulah mereka menempuh wilayah yang mungkin sama sekali lain, menemui apa yang tak terduga.
Mereka yang menjelajah dan memperlakukan teks sebagai daya yang membebaskan dan murah hati – mereka yang memperlakukan ideologi sebagai suluh dalam penjelajahan — memang punya risiko akan tampak sebagai seorang yang tak konsisten. Jangan-jangan akan jadi ‘revisionis.’ Atau ‘liberalis.’ Atau ‘murtad.’ Atau masuk ‘aliran sesat.’
Bagi penjaga ketertiban ajaran, itu semua harus disingkirkan jauh-jauh. Dalam lakon Shakespeare, Polonius, sang pelayan tahta dan pendukung tata, melihat perilaku Hamlet sebagai ‘gila’: tak tertib, dan mungkin juga karena seperti selalu ragu. Para Polonius — yang hanya berpikir dengan ajaran — akan menganggap kacau, lembek, berbahaya tiap sikap berpikir yang dimulai dengan ragu (misalnya dengan memakai motto De omnibus dubitandum, ‘ragukan segalanya!’ seperti Marx). Bagi penjaga ajaran, yang kacau atau mengacau itu harus dijauhi atau dihentikan.
Berlebihan, tentu. Sebab menjelalah dengan suluh jelas tak sama artinya dengan membuang ideologi atau keyakinan ke tempat sampah. Suluh tetap dipegang dan diperlukan, namun seberapa besar nyalanya ditentukan oleh ruang dan waktu perjalanan. Suluh itu tak akan lepas jika ideologi atau keyakinan itu sesuatu yang sudah meresap bagaikan garam tanpa kelihatan ke dalam hidup, jika ideologi atau keyakinan itu hadir sebagai kesadaran yang datang dari perjalanan hidup dan membentuk kita untuk menghadapi hidup.
Contoh yang baik yang saya ketahui adalah telaah-telah dalam jurnal Rethinking MARXISM, atau sebuah blog bernama Open Marxism, atau buku seperti Regaining Marxism dari Ken Post. Di situ orang mengkui kekurangan Marxisme dalam masa kini, tapi dengan analisa Marxis pula menemui dan berkonfrontasi dengan beberapa teori lain (Post menyebutnya, dengan humor, ‘our uncanny guest’). Yang dari ‘luar’ tak ditolak mentah-mentah. Dengan analisa Marxis, kritik para ‘tamu’ itu diterima, atau dibalas kritik, dan pada gilirannya kemampuan analisis tumbuh kian tajam untuk menghadapi persoalan-persoalan yang tak dihadapi Marx dan Engels di abad ke-19.
II
Salah satu persoalan yang tak dihadapi Marx dan Engels di abad ke-19 adalah perubahan agency atau subyek dalam perjuangan emansipasi. Karena soal ini disebut dalam serangan Martin kepada saya, baiklah saya akan membahasnya dan mengemukakan pikiran saya sejauh saya bisa.
Jika teori dapat privilese, bila ajaran ideologis demikian luhur, satu pertanyaan dasar muncul meminta dijawab: haruskah hanya subyek yang memegang teori tertentu, dengan ‘kesadaran’ tertentu, yang bisa menjalankan tugas pembebasan dalam sejarah?
Marxisme, sejak Marx apalagi Lenin, memang meletakkan ‘proletariat’ yang sadar akan kelasnya (proletariat pour-soi) dalam posisi sebagai pembebas. Tak ada revolusi tanpa teori revolusi. Buruh yang hanya mengadakan aksi tanpa keadaran kelas akan mudah jatuh ke dalam ‘ekonomisme.’ Ide ‘partai pelopor’ (yang kemudian bergema dalam pemikiran Said Qutb dalam gagasan perjuangan Islamnya) bersumber dari sini.
Masalahnya – dan dengan menyebut Qutb saya ingin mengingatkan itu – sejak akhir abad ke-20 demikian banyak perjuangan emansipasi. Ada emansipasi buruh terhadap Partai Komunis yang mengatas-namakan kesadaran proletariat, seperti di Polandia. Ada emansipasi orang Hitam terhadap penindasan rezim-rezim apartheid di Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Ada emansipasi perempuan terhadap struktur sosial yang dibentuk oleh patriarki. Ada emansipasi ‘Islamis’ terhadap kekuasaan sekuler, ‘Barat’, khususnya Amerika. Ada emansipasi nasional (juga dalam derajat tertentu rasial) di kalangan orang Palestina di bawah penjajahan Israel. Ada gerakan pembebasan kaum homoseksual yang merupakan minoritas yang tertindas di mana-mana. Dan tentu saja belum berhenti usaha emansipasi terhadap eksploitasi kapitalis di berbagai negara – termasuk di RRC sekarang.
Dalam hal inilah datang kritik Laclau terhadap tesis Marxis tentang proletariat sebagai ‘kelas’ yang universal. Menurut Laclau, tak hanya ada satu emansipasi, melainkan banyak macam emansipasi. Laclau, tentu saja, seorang ‘post-Marxis’ dan pernah mengatakan, ‘Saya selalu mencampur Marx dengan yang lain.’ Tapi itu tak berarti tilikannya keliru. Banyaknya emansipasi yang disebutnya didukung oleh pengalaman kongkrit akhir abad ke-20. Maka, menurut hemat saya, kita perlu masuk sebentar ke dalam pemikiran ‘post-Marxis’ ini: beberapa segi dalam pandangan Laclau lebih membuka diri kepada perjuangan emansipasi ketimbang pandangan yang lazim diberi label ‘pasca-strukturalis.’
Sebenarnya pandangan ‘pasca-strukturalis’ sendiri, yang merayakan perbedaan, tak selamanya reaksioner. Ia bisa membantu pemikiran yang membebaskan manusia dari totalitarianisme yang hendak menyeragamkan hidup (dengan novel Orwell 1984 sebagai model, dan Naziisme, Fascisme, Stalinisme dan kini rezim-rezim syariat Islam, sebagai contoh). Pandangan ‘pasca-strukturalis,’ misalnya, membantu resistansi terhadap, yang oleh para pengikut Foucault, disebut ‘biopower’ di balik kapitalisme: kekuatan politik yang merancang investasi dalam tubuh manusia, dengan mendisiplinkan kesehatan, reproduksi, seksualitas dan kehidupan umumnya. Atau melawan pandangan ‘otoriter birokratik’ seperti terdapat dalam konsep ‘negara integralistik’ ala Orde Baru.
Ada masanya ‘pasca-strukturalisme’ mampu membangkitkan ‘politik identitas,’ dimulai dengan gerakan feminisme untuk memerdekaan kaum perempuan dari patriarki. Juga perjuangan melawan apartheid. Saya ingat Derrida yang pernah dikecam sebagai ‘a-politik’ itu. Dengan menulis, antara lain le Dernier Mot du Racisme (1983), ia menunjukkan ia bukanlah seperti disimpulkan oleh tafsir yang gampangan: ia bukan pembawa pandangan serba skeptis, serba relatif, apalagi nihilisme. ‘Dekonstruksi adalah keadilan,’ ungkapannya yang termashur. Dalam pembahasan tentang dekonstruksi dan pragmatisme di tahun 1996, ia bahkan lebih jelas: hanya dengan mengatakan ‘ya’ kepada emansipasi, sebuah keputusan bisa disebut ‘ethis-politis.’ ‘Saya harus mengatakan,’ katanya, ‘bahwa saya tak punya toleransi kepada mereka – baik kaum dekonstruksionis ataupun bukan — yang bersikap ironis terhadap wacana besar emansipasi.’
Tapi semangat ‘merayakan perbedaan’ pada umumnya, memang mengandung kelemahan yang serius. Saya pernah tulis dalam salah satu Catatan Pinggir mengenang Revolusi Prancis Juli tahun ini: politik identitas – dan juga ‘multikulturalisme’ — sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang tak menghendaki transformasi. Yang tak diakui, selalu ada konflik dalam sejarah: dialektik itu niscaya. Perbedaan bukanlah semacam dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, dan tak akan betabrakan. Padahal, bahkan sebatang rel pun sebuah entitas yang tak permanen. Ia terdiri dari zat yang berubah. Dalam tiap perubahan terjadi konflik. Terutama ini berlaku pada manusia – yang tak dibentuk oleh kodrat yang tetap. Perbedaan antara identitas-identitas tak diingkari, tapi ‘identitas’ mengandung dialektika pelbagai anasir dalam dirinya. Pasca-strukturalisme kadang-kadang mengabaikan ini.
Itulah sebabnya, seperti saya sebut tadi, pemikiran Laclau – yang mengadopsi dekonstruksi Derrida — lebih membuka diri pada perjuangan emansipasi. Laclau dan Moufle memandang satu bangunan sosial tak mungkin tanpa dimensi politik; selalu ada yang retak dalam apa yang diidentifikasi sebagai satu itu (hingga ia seakan-akan punya identitas yang utuh), yang terbentuk dalam hubungan yang antagonistis.
Pada saat yang sama, ada berbagai subyektifitas (atau ‘posisi subyek’) dalam perjuangan mencapai kebebasan dan keadilan. Kebebasan dan keadilan itu ‘penanda kosong,’ yang proses pengisian maknanya dilakukan dari posisi subyek yang berbeda-beda itu – dalam proses yang saling asah, saling asuh, meskipun tidak saling asih. Dalam proses itu posisi subyek yang berbeda-beda tampil setara, a chain of equivalences. Di sini kita temukan, ada yang identik dalam perbedaan posisi itu, walau perbedaan tak bisa sepenuhnya bisa diabaikan. Pada suatu saat, proses itu ‘jeda,’ karena muncul satu hegemoni (Laclau menyadur pengertian Gramsci). Pemegang posisi hegemoni itulah yang sampai derajat tertentu menjaga ‘stabilitas’ dan proses itu seakan-akan berhenti, karena terpenuhi. Meskipun, dalam kenyataannya, tak pernah adekuat dan tak pernah final. Laclau melihat bahwa tak ada dasar yang menjamin di tangan siapa hegemoni akan jatuh; semuanya contingent, serba mungkin.
Dengan demikian teori Laclau & Moufle menunjukkan bahwa sebuah status quo hanyalah dusta bila mencoba menampilkan dirinya di atas politik. Artinya menampakkan dirinya sebagai yang niscaya, yang menurut kodrat, atau sesuai dengan ‘esensi’ bangunan sosialnya – seraya membangun wacana yang mengukuhkan itu. Laclau membongkar wacana itu, seraya menunjukkan, tiap gerak emansipasi langsung tak langsung akan membongkarnya juga. Di sini politik lahir: gerak perjuangan atau persaingan politik berlangsung sebelum status quo ditegakkan dan juga sesudahnya. Bagaimana pun, di sebuah masyarakat yang pluralitasnya sudah merupakan kenyataan sejarah, wacana tunggal yang distabilkan pemegang hegemoni itu akan guyah. Dustanya akan terungkap, pelan atau cepat.
Dengan menunjukkan bahwa dusta atau wacana status quo itu bisa [harus] dibongkar, Laclau menjadikan teori politiknya sekaligus deskriptif dan normatif (seperti halnya Marxisme), dengan demokrasi sebagai acuan normatifnya.
Pemikiran ‘post-marxis’ ini punya kelemahannya sendiri, satu hal yang akan saya kemukakan nanti. Tapi bagaimana pun juga, Laclau memberikan dua sumbangan penting bagi proyek emansipasi. Yang pertama, ia mengatasi pesimisme ala Mazhab Frankfurt (termasuk Adorno) dalam memandang ‘kemajuan’ sejarah. Pemikiran Adorno penting sebagai kritik terhadap pengagung-agungan (reifikasi) subyek, sebuah keangkuhan humanisme yang akhirnya melahirkan penderitaan modern. Apa yang saya sebut sebagai ‘ethika kedaifan’ mengembalikan imbuan ethis untuk mengakui gagalnya reifikasi itu, dan untuk menerima liyan tidak sebagai obyek yang ditaklukkan – satu dasar penting dalam emansipasi. Tapi dengan memandang sejarah sebagai kejatuhan, lantaran manusia modern dijebak oleh ‘akal instrumental’ seperti dipaparkan Mazhab Frankfurt, emansipasi pun dengan mudah kehilangan argumen untuk menjawab: buat apa?
Berbeda dari itu, Laclau memandang sejarah dengan ‘ujung’ yang terbuka dan tak satu; ‘ujung’ itu tak ditentukan oleh takdir – baik atau buruk. Manusia hidup dengan kehendak menggayuh apa yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, sesuatu yang universal yang sebenarnya mustahil, karena perjalanan sejarah selamanya tergantung dari ruang dan waktu yang fana, tapi sesuatu yang punya peran besar dalam menggerakkan kehidupan – khususnya kehidupan politik pada umumnya dan dorongan emansipasi khususnya.
Yang kedua, Laclau menegaskan kembali universalitas sebagai tesis penting dalam emansipasi. Ini sebuah koreksi atas pandangan pasca-strukturalis dan pasca-modernis yang menampik universalitas lantaran menganggapnya sebagai sesuatu yang palsu dan/atau represif terhadap perbedaan. Ini juga sebuah kritik terhadap mereka yang serta-merta menyiapkan tinju tiap mendengar kata ‘humanisme universal.’
Dalam pemikirannya sejak 1990-an, Laclau justru mengecam ‘politics of authenticity’ yang menuntut ‘keaslian’ identitas dan akibatnya yang memisah-misahkan manusia dalam benteng perbedaan. Bagi Laclau, itu posisi yang reaksioner. Ia akan menjauhkan kelompok yang tertindas dari agenda perjuangan untuk hak-hak manusia.
Tentu saja harus dicatat: Laclau cenderung melihat universalitas sebagai sesuatu yang sebenarnya mustahil –,seperti saya sebut tadi — meskipun tak bisa dihapuskan dari (dan sebagai) cakrawala tiap perjuangan pembebasan. Kritik yang ditujukan kepada Laclau ialah jika universalitas dianggap mustahil, maka perjuangan akan tak cukup punya alasan maju – dan Laclau akan mengulangi pesimisme Mazbah Frankfurt. Slavoj Zizek menawarkan pandangan lain: universalitas bukannya mustahil, melainkan ‘tak menetap’ (fleeting). Bagi saya, sebenarnya ia tak berbeda mendasar dari Laclau. Kedua mereka secara tak langsung menggemakan apa yang tersirat dari kata-kata Marx: manusia membuat sejarah, untuk merealisasikan sebuah cita-cita universal, misalnya keadilan bagi siapa saja, tapi proses itu dalam kondisi yang sudah ada dalam ruang dan waktu – yang membuat universalitas tak bisa menetap selama-lamanya. Atau, universalitas itu tak akan bisa lengkap diwujudkan di dunia yang bukan tabula rasa.
Menegaskan apa yang sudah dikemukakan tadi, universalitas punya dua wajah: ia mustahil tapi ia diperlukan. Betapa pun, dengan kembali menemukan universalitas manusia, gerakan politik emansipasi bukan saja bisa membangun pertalian antar subyektifitas, tapi juga mendapatkan dasar ethis yang memperkuat impetus pembebasan. Saya ingat contoh yang pernah dipakai Laclau seraya mengutip George Sorel tentang ‘pemogokan umum’: sang aktivis menjadi lebih militan ketika ia melepaskan diri dari tujuan pemogokan yang bersifat khusus, yang partikular, dan melibatkan diri dengan tujuan pemogokan yang mengatasi kepentingan partikular itu. Saya kira kritik Lenin atas ‘ekonomisme’ bisa dilihat validitasnya dari argumen ini juga.
Tapi justru di sinilah kita juga menemukan kelemahan teori Laclau. Ada dua titik dalam kritik saya kepada Laclau.
Pertama, ia benar ketika menyebut dewasa ini tak hanya satu emansipasi. Tapi agaknya ia kurang menekankan sebuah proses lain dalam perjuangan emansipasi: proses yang oleh Judith Butler disebut sebagai ‘politics of translation’ — yang justru berangkat dari penekanan kembali universalitas. Sebenarnya Laclau mengakui adanya proses itu ketika ia bicara tentang ‘representation’: bagaimana satu aktor (agency) pembebasan memproyeksikan diri sebagai pembawa suara universal menjelang (dan sesudah) berada dalam posisi hegemonik. Tapi saya tak melihat ia menaruh perhatian kepada proses ‘representasi’ ataupun ‘penerjemahan’ sebagai proses yang tak berlangsung dalam sebuah ruang abstrak.
Di masa kapitalisme global kini, ketika hampir tiap anasir sosial diubahnya, yang akan (atau telah) mengentara bukanlah hanya emancipations (dengan ‘s’, jamak), melainkan juga emancipation (tanpa ‘s’, tunggal). Memang perbedaan tetap nyata di antara anasir dan sektor masyarakat, tapi seperti pernah saya tulis dalam kesempatan lain, tidak berarti yang ‘bermacam-macam’ itu tak berkaitan sama sekali. Perempuan, kaum Hitam, pengungsi Palestina, buruh di daerah industri RRC, imigran Islam di Eropa, buruh Katolik dan Protestan di Irlandia, penganut Ahmadiyah di Pakistan dan Indonesia – mereka menanggungkan penindasan yang berbeda-beda, tapi semuanya tak bisa mengelak dari dampak modal. Mereka harus hidup di bawah rezim nilai-tukar, di tengah arus komodifikasi, di sebuah dunia yang meletakkan uang [nilai] dalam posisi sentral.
Pada saat yang bersamaan, teknologi baru dan ekspansi kapital membentuk jaringan komunikasi yang mempertautkan segmen yang berjauhan, yang juga berbeda, serta menumbuhkan kondisi produksi yang makin mirip di wilayah yang berlainan. Apa yang disebut Michael Hardt & Antonio Negri sebagai Empire (sesuatu yang tanpa tempat dan juga sebuah proses) pun terbentuk dengan ‘produksi biopolitik’-nya. Pada saat yang bersamaan pula, ‘kerja immaterial’ (atau lebih jelas: produksi immaterial dari kerja), misalnya informasi dan pengetahuan – yang juga menyangkut citra diri, gaya hidup, relasi antar manusia – mencapai posisi yang menentukan dalam produksi di masyarakat. ‘Informatisasi’ menghubungkan pelbagai sektor yang semula berjauhan. Dewasa ini antara bidang pertanian dan industri pertahanan, misalnya, sama-sama membutuhkan data dan prediksi tentang perubahan iklim; keruntuhan ekologi akan mengenai siapa saja.
Hardt & Negri menunjukkan satu perubahan lain dalam kerja yang baginya akan menumbuhkan the common, atau the making-multitude of singularity: sifat komunikatif, kolaboratif, dan kooperatif itu bukan datang dari luar, melainkan immanen dalam kerja itu sendiri. Di sini sebuah paradigma baru menggantikan analisa Marxisme klasik, yang menganggap komunikasi dan kolaborasi itu diarahkan oleh modal.
Dengan mengetengahkan pemikiran Hardt & Negri saya mencoba menunjukkan bahwa apa yang diuraikan Laclau tentang emancipations tak sepenuhnya bisa dipertahankan. Emansipasi bisa dilihat sebagai hanya satu, atau punya titik pertemuan yang satu, apabila semua anasir sosial punya musuh yang sama: modal dan negara yang melindungi/dilindungi modal itu. Apalagi jika antar anasir itu terdapat jaringan informasi yang cukup intens seperti di zaman ini.
Memang ada perbedaan besar antara Laclau dan Hardt & Negri. Bagi Laclau, agency pembebasan, yang biasanya mendapatkan ‘identitas politik’, menjadi satu ‘subyek’ bukan karena hakikatnya. ‘Subyek’ yang akan melakukan pembebasan terbentuk melalui pelbagai posisi yang dialami dalam perjalanan sejarah. Tiap kali identitas ia harus diartikulasikan kembali. Kata Laclau: ‘Political identities…are never immediately given. Political identities are always constructed on the basis of complex discursive practices.” Sebab itu, ‘subyek’ penggerak emansipasi tak pernah penuh dan selesai. Ia selalu hadir dalam kekurangan dan sebagai kekurangan. Di sini Laclau memasukkan psikoanalisa Lacan: subyek selamanya terbelah. Sebagian dirumuskan oleh wacana yang berlaku, sebagian tak tertangkap oleh wacana itu.
Pada Hardt & Negri, subyek penggerak emansipasi juga lahir bukan karena kodrat. Seperti pada Laclau, ada pengaruh materialisme sejarah di sini. Tapi berbeda dari Laclau, konsep ‘multitude’ tak ditandai oleh keterbelahan atau kekurangan. Justru sebaliknya: kesan saya Hardt & Negri jauh dari menggambarkannya sebagai ‘terbelah’ atau ‘kurang.’ Multitude, dalam citra yang dikemukakan Negri, demikian ‘melimpahnya’ sehingga ia tak bisa direpresentasikan. Ia ibarat monster. Negri bahkan membayangkannya sebagai Gargantua dan Pantagruel, tokoh raksasa yang liar dalam cerita Rabelais – kekuatan yang melawan ‘rasionalisme transendental dan teleologis’ dunia modern. Ia juga suatu ‘potensialitas yang murni, kekuatan hidup yang tak berbentuk,’ berorientasi kepada ‘penuhnya kehidupan.’
Tapi ada titik persamaan antara Laclau dan Negri: dalam perjuangan emansipasi, proletariat tak berada di posisi memimpin seperti yang didoktrinkan Marxisme-Leninisme. Ini tentu saja bisa diterima, bila kondisi sejarah menyebabkan kaum buruh industri tidak lagi berada dalam posisi terdepan dalam kontradiksi sosial dengan modal.
Tapi ada kritik saya pada Negri: gambarannya tentang ‘multitude’ sering memberi kesan kontradiktif; satu saat ia menyebutnya ‘tak berbentuk,’ di lain waktu ia menyebutnya juga sebagai ‘satu totalitas yang terbangun dari institusi-institusi.’ Saya tak mengerti bagaimana ‘institusi’ itu terwujud, bagaimana revolusi (seperti diakuinya sendiri akhirnya) membutuhkan organisasi, bila kita ikuti deskripsinya tentang ‘multitude’ sebagai ‘monster’ bak Gargantua & Pantagruel, juga bila kita ikuti gambarannya tentang the common. Ia kaitkan the common dengan munculnya kembali ‘nilai guna’ (sebagai antitesis terhadap hidup yang dikuasai ‘nilai tukar’): ‘a mixture, a communal, multitudinal, hybrid and mongrel construction, the overcoming of everything that was otherwise known as identity in the dark centuries that precede us.’
Ada optimisme di situ. Tapi dengan demikian, optimisme Negri juga mengandung kontradiksi. Memang ada benarnya bahwa sifat ‘kerja immaterial’ telah ‘mengguncang’ dasar Marxisme klasik. Seorang pendesain program komputer, seorang penulis skrip film, seorang pemain bola profesional, seorang pelobi yang bekerja untuk sebuah perusahaan, tak mudah diupah (diberi ‘nilai’) dengan menggunakan ukuran yang berlaku dalam pekerja industri. Pada buruh pabrik, ada waktu kerja yang tetap. Tapi pada ‘kerja immaterial’, menurut Hardt & Negri, kita bahkan tak bisa membedakan waktu kerja dan waktu senggang. Nilai itu ‘tak terukur.’ Teori nilai-lebih Marx, yang menggunakan perhitungan kuantitatif, tak berlaku lagi.
Hardt & Negri benar. Tapi mereka terlampau jauh menyimpulkan bila dikatakan bahwa dalam kapitalisme zaman ini, apa yang ‘tak-terukur’ itu jadi corak semua yang disebut ‘kerja.’ Memang ‘kerja immaterial’ –contoh paling menonjol di bidang informatika– memegang posisi hegemonik dalam produksi kapitalisme. Tapi masih jadi persoalan: benarkah nilai kerja di situ ‘tak-terukur’? Bagaimana kapitalisme merencanakan laba dan meneruskan akumulasi modal tanpa nilai yang bisa diukur secara kuantitatif?
Hardt & Negri menganggap bahwa ketika kapitalisme secara riil (bukan hanya formal) menyedot penuh masyarakat, batas antara kerja dan tindakan biasa pun luruh. ‘Dunia adalah kerja,’ kata mereka.
Di satu pihak ini menggambarkan meluasnya cakar rezim nilai tukar ke seluruh sendi kehidupan. Tapi di lain pihak, dengan demikian ‘kerja’ tak punya lagi distingsi sendiri; ia tak terukur seperti halnya bukan-kerja (misalnya menulis sajak cinta untuk dibaca sendiri). Bila demikian, seperti ditunjukkan George Caffentzis dalam satu kritik yang paling kena terhadap pemikiran Hardt & Negri, bila kita mengatakan bahwa dewasa ini batas ‘kerja’ dan laku yang ‘bukan-kerja’ tak jelas lagi, kita tak mengacu kepada kenyataan bahwa di zaman ini pun ‘kerja’ masih punya perwujudannya sebagai kerja: di pabrik tekstil, tambang, industri pangan, buruh masih dikendalikan oleh mereka yang membeli tenaga pekerja — dan dengan itu kapitalisme masih jaya.
Salah satu jasa Marx ialah menunjukkan kontradiksi dalam diri modal dan memperjelas peran kerja dalam kehidupan produksi sosial. Peran itu dicoba ditutupi oleh kapitalisme. Tapi dengan pengungkapan analitis oleh Marxisme bahwa ada nilai-lebih (yang bisa diukur) yang menguntungkan modal, terbentuklah dasar untuk melawan penghisapan. Walhasil, tanpa menanggalkan semangat yang radikal, Negri sebenarnya telah melucuti satu senjata penting untuk perlawanan terhadap kapitalisme. Kini bagaimana proyek emansipasi akan dijalankan?
Menarik bahwa bagi Hardt & Negri, perjuangan kelas tak lenyap, malah ‘berubah ke dalam semua momen kehidupan sehari-hari.’ Dengan demikian, tampaknya, tak ada letusan, guncangan yang membuka proses kebenaran baru, tak ada sesuatu yang tak terduga. Dalam kata-kata Alain Badiou, dalam teori Negri, ‘tak ada keperluan untuk l’événement.‘
Negri mengatakan, dewasa ini komunisme lebih dekat kepada kita. Hal ini lantaran kerja-lebih yang disadap dari buruh, katanya, setelah berubah dengan ‘metaformosa kognitif,’ jadi sulit diterjemahkan dan diubah jadi nilai-lebih yang dikelola oleh para kapitalis sebagai laba. ‘Cognitive labour is terribly indigestible to capital,’ kata Negeri.
Maka perjuangan yang berlangsung adalah perjuangan ‘a multitude of singularities’ bukan melalui gerakan sebuah partai, melainkan ‘by virtue of its existence.’ Negri yakin, di hadapan Empire, dalam sistem itu, ada sumber-sumber yang baru dalam politik emansipasi. Dalam kata-kata Badiou, yang mengritik Negri sebagai ‘terlampau sistematik,’ Negri percaya bahwa kekuatan kapitalisme berarti juga kreativitas multitude. Keduanya dua wajah dari satu fenomena: wajah yang opresif dan di pihak sana, wajah pembebasan. Dalam arti tertentu mereka adalah gerak kehidupan yang satu. Bukan ‘satu’ melalui Aufhebung dialektiknya Hegel; Negri, yang dekat dengan pemikiran Deleuze, tak menganggap dialektik sebagai sesuatu yang sentral. ‘Hidup tak bisa dirangkum oleh dialektik,’ katanya.
Tanpa dialektik, tanpa l’événement, dan dengan optimisme bahwa multitude akan jadi pembebas dari persekutuan modal, bagaimana Hardt & Negri menghadapi demokrasi liberal yang dianggap bentuk yang paling pas menampung kehidupan politik abad ini? Dalam eseinya yang terbit tahun 2010 (dalam The Idea of Communism, ed. Costas Douzinas & Slavoj Zizek) Negri hanya menyebut tiga unsur dalam ‘ethika komunis’: ‘pembrontakan kepada Negara, militansi bersama, dan produksi lembaga-lembaga.’ Saya tak menemukan penjelasan lebih lanjut.
Dalam hal ini, posisi Laclau lebih jelas. ‘Demokrasi radikal’-nya tak hendak menampik sistem demokrasi liberal; tapi konstelasi kekuasaan dalam demokrasi itu tak hendak didiamkan. ‘Demokrasi radikal’ merupakan kritik yang susbtansial terhadap ‘demokrasi deliberatif’ ala Habermas. Pertama, konsensus yang dicapai dalam demokrasi seperti itu niscaya menyisihkan atau merepresi apa dan siapa yang tak bisa pas di dalamnya. Kedua, asumsi bahwa rasionalitas akan bekerja dan memenangkan ‘argumen yang lebih baik’ mengabaikan adanya perbedaan posisi kekuasaan di balik ‘rasionalitas’ itu; kekuasaan itulah yang bisa menentukan apa yang dimaksudkan dengan ‘rasionalitas.’
Maka ‘demokrasi radikal’ adalah perjuangan memper-‘dalam’ sistem demokrasi liberal, dengan terus menerus menggedornya agar ruang politik terbuka bagi mereka yang disisihkan. Ia berbeda dari demokrasi partisipatif sebelumnya. Yang disebut terakhir ini juga bermaksud memperluas cakupan partisipannya, tapi dengan asumsi mereka yang masih di luar sistem itu adalah mereka yang berbagi kesadaran mengenai apa yang dikatakan ‘baik’ dengan mereka yang di dalam. Dalam ‘demokrasi radikal,’ justru apa yang ‘baik’ tak bisa ditentukan lebih dahulu. ‘Demokrasi radikal’ mengisyaratkan bahwa apa yang ‘baik’ ditentukan oleh pemegang posisi hegemonik. Perluasan partisipasi adalah perjuangan politik.
Dalam hal ini, ada kesejajaran antara emansipasi Laclau dan Rancière – yang juga menangkis ‘demokrasi’ ala Habermas. Bagi Rancière, perjuangan politik bukanlah sebuah debat rasional antara pelbagai kepentingan, melainkan perjuangan untuk membuat satu suara didengar dan diakui sebagai partner yang sah.
Laclau, sebagimana Rancière, tak berangkat dari apa yang di luar sejarah. Atau dari sebuah ide yang sama sekali belum pernah dicoba seperti gagasan Badiou yang menampik total bangunan demokrasi yang sekarang beroperasi: partai, parlemen dan insitusi Negara yang lain. Tapi di sinilah kita bisa mengajukan kritik yang kedua kepada Laclau: ia tak memperhitungkan bahwa dengan demokrasi liberal yang ada, dengan sistem parlemen dan kepartaian yang dikenal sejauh ini, penggedoran yang jadi semangat ‘demokrasi radikal’ itu tak jarang macet dalam mengubah status quo.
Usaha kecil-kecilan dari kalangan progresif di AS (di sana, kita tahu, ‘progresif’ disebut ‘liberal’), yang berharap dari kebijakan Presiden Obama untuk memberi kesempatan lebih baik bagi kaum miskin, segera dicegat kaum ‘kanan’ pendukung Partai Republik. Kaum ‘kanan’ ini pula, yang ditandai oleh ke-bakhil-an mereka, oleh sikap mereka yang enggan berbagi, yang makin terdengar di Eropa. Kini kaum imigran yang tanpa surat-surat, kaum imigran umumnya yang datang dari dunia yang melarat, dimustahilkan untuk masuk.
Dari situ tampak, ‘demokrasi radikal’ Laclau terbentur jalan buntu ke arah emansipasi – jalan buntu yang dibangun oleh demokrasi liberal yang tidak ditampiknya.
III
Pertanyaannya kemudian adalah pertanyaan yang merundung kaum progresif kini: bisakah status quo ini, perkawinan Negara dan modal, pembentukan Empire dalam kapitalisme global, diruntuhkan? Bisakah kita melakukannya di Indonesia, di mana oligarki makin mengentara dan belum ada partai ‘kiri’ yang muncul setelah Orde Baru tak ada lagi? Bisakah ‘politik’ hidup dan menggusur apa yang disebut Rancière sebagai ‘Polisi?’ Dan apa alternatifnya?
Saya sendiri belum tahu jawabnya. Saya juga belum mendengar adakah tawaran datang lagi dari kaum Marxis di antara kita, baik yang lama maupun yang ‘born again Marxists’ — setelah gagalnya Partai Sosialis dan Partai Komunis, setelah model-model sosialisme dan komunisme yang berhasil tak bertahan lama.
Jangan-jangan kita – juga kita yang bukan Marxis atau belum khatam Marxisme — perlu meniru Marx dalam kata pengantar Kapital I edisi kedua: kita tak perlu tergoda ‘menulis resep untuk kedai masa depan.’ Tak ada teori yang ‘ready-for-use’, kata Bung Karno.
Jangan-jangan kita perlu kembali kepada pengalaman, kepada laku, kepada praxis. Kamar studi penting. Tapi mereka yang hanya sibuk berdebat teori — dan tak pernah sehari pun terlibat dalam aksi-aksi politik demokrasi — akan membuat aspirasi pembebasan dan teori, juga Marxisme, berkutat dalam kata, kata, kata.
Aksi-aksi politik demokrasi dewasa ini memang sering diragukan (atau malah dicemooh), karena tampaknya terbatas dan terpisah-pisah: pembelaan terhadap penindasan kaum Ahmadiyah, pembelaan kebebasan untuk pembuat film gay, oposisi terhadap undang-undang pornografi, aksi mendampingi rakyat korban lumpur Lappindo, membantu mempertahankan gerakan Hijau (termasuk Greenpeace), membela KPK dari para koruptor, berkampanye untuk calon independen bagi Gubernur Jakarta, mencoba membentuk aliansi politik lain di pusat dan daerah, dan lain-lain. Sistem politik dan kapital yang ada, oligarki itu, memang bisa mengakomodasikan masing-masing tuntutan itu tanpa mengubah posisi dasar. Tapi itu bukan takdir. Itu sebuah kemungkinan.
Lagi pula saya ingat apa yang tersirat dalam argumen Sorel tentang ‘pemogokan umum’: tiap aksi perlawanan yang lokal dan partikular akan mendapat makna baru, dasar yang lebih kukuh serta motivasi yang lebih kuat bila dikaitkan dengan pembangkangan yang melihat persengkongkolan kekuatan status quo – oligarki itu — yang wajahnya tampak berbeda-beda.
Ngelmu kuwi kalakone kanti laku, kata sebuah puisi Jawa terkenal. Keasadaran emansipasi terbentuk dan terjadi karena laku emansipasi. Ada kata-kata Rancière yang saya ingat selalu: kita yang hidup dalam keadaan (negara) dengan hukum oligarki perlu menyadari bahwa kemerdekaan dimenangkan melalui aksi demokratik: They [our freedoms] were won through democratic action and are only ever guaranteed through such action. The ‘rights of man’ and of the citizen’ are the rights of those who make them a reality.
Siapa tahu, melalui laku, setapak demi setapak, sebuah teori emansipasi baru akan lahir.
Demikianlah jawaban saya, dengan harapan bahwa debat yang saya ikuti ini bisa produktif – dalam arti tak hanya mendaur-ulang argumentasi dan kesimpulan lama. Sebab itu di sini saya berusaha mendorong percakapan ke arah yang siapa tahu mengandung janji yang berharga.***
Jakarta — sambil menunggu Lebaran, 30 Agustus 2011.