DI BANTAENG, Sulawesi Selatan, seorang bayi perempuan berusia 8 bulan diculik dan diperkosa! NF, si bocah malang itu, diculik tengah malam pada 28 Mei 2011. Setelah 13 jam kemudian, ia ditemukan oleh seorang nelayan dalam kondisi terikat di sebuah perahu kosong. Darah mengucur dari alat vitalnya.
Berita tersebut pertama kali dilansir oleh Metrotvnews.com pada akhir Mei 2011. Membaca judulnya saja sudah membuat gemetar. Tak kuasa membayangkan bagaimana remuknya hati sang ibu, Sulastri, saat bayi yang sedang terlelap di sisinya itu tiba-tiba raib, dan esok harinya ditemukan dalam kondisi demikian mengenaskan.
Peristiwa keji ini sontak memicu amarah warga Kabupaten Bantaeng. Lebih dari 3.000 orang menggelar aksi mendesak polisi segera menuntaskan kasus penculikan sekaligus pemerkosaan anak yang marak terjadi di kabupaten tersebut (Metrotvnews.com, 6 Juni). Sebagai informasi, dalam beberapa bulan terakhir, terjadi beberapa kasus penculikan anak di daerah tersebut. Namun kasus terakhir yang menimpa bayi inilah yang paling menghebohkan lantaran disertai indikasi pemerkosaan.
Sayang, kejadian miris ini tak terlalu bergaung di media massa, hanya koran-koran lokal dan sebuah televisi nasional yang memberitakan. Media lainnya lebih riuh oleh berita tentang M. Nazaruddin dan Nunun Nurbaetie, dua tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri. Media juga lebih tertarik membombardir publik dengan sakit radang payudara Malinda Dee, karyawan Citibank yang membobol Rp 17 miliar uang nasabahnya.
Berita di luar nalar manusia ini sayup-sayup menerobos relung nurani lewat ruang jejaring sosial. Semua orang mendidih hatinya. Tak sanggup menalar, bagaimana seorang manusia dapat melakukan tindak biadab seperti itu. Sebagai bentuk simpati, beberapa ibu memelopori menggalang dukungan melalui Twitter dengan hashtag #charity4Nurfadilah. Beberapa dari mereka juga datang langsung ke Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, tempat si bayi dirawat dan mengupayakan penanganan yang lebih memadai.
Peristiwa ini sekaligus menjungkirbalikkan bermacam stigma diskriminatif yang kadung melekat di masyarakat bahwa dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan, perempuanlah yang kerap dipersalahkan. ‘Oh, pantas, dia berbaju seksi,’ atau ‘Dianya sih yang menggoda!’ Saat korban melaporkan ke kepolisian pun serta-merta akan diberondong dengan pertanyaan yang tak kalah menyakitkan dibanding pemerkosaan itu sendiri. Belum lagi berhadapan dengan “kejam”-nya pemberitaan media, yang acap kali tidak sensitif terhadap perempuan korban. Kini, masih berlakukah stigma ‘perempuan penggoda,’ ketika seorang bayi tanpa daya pun diperkosa?
Kuasa dan perkosa
Memerkosa berarti menundukkan, berkehendak menguasai. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya berhulu pada adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki, yang kemudian dilanggengkan oleh budaya, stereotipe, ataupun kebijakan negara yang tidak berpihak kepada perempuan.
Dalam alam patriarki, pemerkosaan menjadi alat teror paling efektif untuk menghancurkan perempuan. Sejarah Indonesia sendiri merekam banyak jejak hitam kekerasan pada perempuan. Tengoklah kisah-kisah getir para jugun ianfu, perempuan yang menjadi budak seks pada masa penjajahan Jepang.
Zaman Orde Baru, jejak kekerasan terhadap perempuan dengan latar politik membentang, terutama di daerah-daerah konflik. Di Aceh, Timor Leste, hingga Papua, berderet kisah menyesakkan para perempuan yang dilecehkan, diperkosa tentara, dan ditinggalkan begitu saja. Tak terhitung pula yang akhirnya dibunuh guna menutup rapat bau anyir kekejaman ini.
Laporan akhir Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) pada 2005 merekam ratusan kesaksian perempuan yang diperkosa di instalasi resmi militer. Belum kering dari ingatan kita, perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, sebagaimana hasil penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta, yakni tim penyelidik yang dibentuk untuk mengusut kasus Kerusuhan Mei 1998. Para korban ini harus memikul luka batin yang begitu dahsyat sepanjang hidupnya. Atau, bagaimana Marsinah, seorang buruh perempuan dari Sidoarjo yang gigih memprotes ketidakadilan di pabriknya, diculik dan dihajar hingga tewas pada 1993. Pangkal pahanya hancur akibat hantaman benda keras berkali-kali.
Tak terbayangkan pula goresan luka yang dialami para aktivis Gerakan Wanita Indonesia yang dituding oleh rezim Orde Baru terlibat dalam Gerakan 30 September yang membunuhi para jenderal. Mereka disiksa, dilecehkan, dan diperkosa. Salah seorang yang berkukuh menolak fitnah tersebut dihajar habis-habisan. Rahimnya disiksa hingga remuk dan berdarah-darah.
Kenapa pemerkosaan dijadikan modus? Kenapa vagina, organ reproduksi dan seksual perempuan, harus diserbu demikian ganasnya? Negara memerkosa tubuh dan pikiran perempuan dengan berbagai cara. Politik seksualitas negara telah menempatkan tubuh perempuan sebagai yang patut dipersalahkan. Karena itu, ia harus dijadikan sasaran berbagai macam aturan.
Perempuan ditata mulai cara berpakaian hingga bertingkah laku. Komisi Nasional Perempuan mencatat, hingga 2009 terdapat 154 kebijakan yang diskriminatif, dan 63 di antaranya mendiskriminasikan perempuan. Aturan-aturan yang meletakkan moralitas dan simbol agama sebagai hukum itu terus-menerus diproduksi untuk menertibkan perempuan, memasung pikiran-pikiran perempuan. Tapi kita lupa akar sebenarnya, pikiran laki-laki yang tak sanggup membenahi diri.
Kini kita mesti bersiaga lagi dengan kondisi yang semakin gawat. Fundamentalisme agama merasuk hingga ruang-ruang privat, yang telah mengikis nalar dan memaksa manusia menanggalkan perasaannya, sehingga kemudian menjadi kebas menyaksikan kekejian demi kekejian berseliweran di depan mata.
Anak-anak kita seharusnya dapat menikmati masa kanak-kanak mereka dengan riang gembira, bermain, bersekolah, dan belajar dari kehidupan secara aman, tanpa didera rasa takut dan waswas. Namun, di sudut negeri ini, di Bantaeng, ternyata seorang bayi bisa terenggut di rumahnya sendiri, diculik, diperkosa, dan dirusak kehidupannya. Kita diburu oleh teror seksual hingga ke bilik pribadi kita sendiri. Kita benar-benar sedang berada di tubir petaka kemanusiaan yang sebenarnya.***
Lilik Hs, Â Anggota Klub Feminis-Queer Menulis, Jakarta
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Koran Tempo, Sabtu 9 Juli 2011. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.