Sumbangan Untuk Diskusi
LANDASAN yang saya kemukakan dalam artikel ini, pada mulanya, sesederhana memahami pergulatan hidup Ruyati. Beliau, perempuan Indonesia kebanyakan, yang terpaksa bekerja merantau, lantaran Negaranya hanya becus memberi janji palsu dan gagal memberikan kesejahteraan: menciptakan akses-akses jaminan sosial, keadilan ekonomi, dan perlindungan hak asasi semasa menjadi warga negara.
Setelah memyimak banyak artikel di Indoprogress, saya mencoba urun rembug dalam forum diskusi ini dengan berangkat dari realitas dan relasi sosial buruh migran dari tiga bahasan yang berbeda. Pertama, mendiskusikan relasi sosial antara majikan dan buruh migran; kedua, yang menurut hemat saya perlu diungkapkan di sini, mengulas peran Negara kapitalis maju, semisal Kanada, yang cukup mampu memberi sedikit perlindungan kepada buruh migran ketimbang kerajaan Saudi Arabia; dan terakhir, saya akan mengulas apakah Negara masih bisa menjadi ‘kawan’ buruh migran?
Si tuan dan sang pelayan
Wacana yang telah mengemuka semakin memperkaya wawasan, baik secara teroritis-akademis maupun yang berlandaskan fakta-fakta sejarah. Namun begitu, mudah-mudahan akan melengkapi diskusi yang telah berjalan, perlu kiranya kita memperbincangkan: ‘bagaimana bangunan hubungan sosial buruh migran dengan majikannya ditanah rantau.’ Faktor perbedaan etnik dan budaya antara si majikan dan buruh migran, kiranya penting untuk kita pahami. Hubungan ini yang mendasari keseharian lingkungan hidup dan bekerja buruh migran. Ditambah lagi, hubungan kerja si tuan dan pelayan ini masih ada kaitannya dengan bangunan sosial (meminjam istilah Semaoen) masyarakat kuno dan atau sebuah sisi buruk warisan bangsa-bangsa kolonial. Satu hal yang memang telah berubah: buruh migran kini menerima upah dari perbedaan nilai kurs mata uang (yang kemudian dikenal dengan dengan istilah remitansi, setelah milyaran upah tersebut dikirimkan ke tempat buruh migran berasal), namun bentuk pekerjaannya sendiri telah eksis selama berabad-abad lamanya.
Dalam konteks masyarakat modern, perbedaan latar belakang etnik antara si tuan dan pelayan sekarang ini menjadi permasalahan yang cukup fundamental. Misalkan saja, seorang lelaki Arab yang terbiasa (turun temurun sampai hari ini) mewarisi kesadaran memandang rendah kaum perempuan, seringkali, memotivasi mereka untuk memperkosa dan membunuh buruh-buruh perempun migran. Baginya, aneh, jika ia harus bersusah payah menghormati apalagi melindungi hak-hak asasi dan sisi kemanusiaan si pelayan. Begitupun, kesadaran para madame, yang merasa memberi upah atau bahkan merasa ‘membeli’ dan menyimpan buruh migran ini bersama barang-barang lainnya di dalam rumah; mampu berbuat semena-mena hingga menyiksa, menganiyaya, dan tak membayar upah selama berbulan-bulan. Sang pelayan yang datang dari etnik berbeda, misalkan saja, memang bukan keturunan Arab ataupun rumpun Melayu kerap memperuncing konflik meskipun si tuan dan pelayan sama-sama beragama Islam. Perbedaan etnik dan kelas sosial ini, juga merupakan penyebab lingkungan bekerja buruh migran rentan konflik yang kerap berujung pada kematian dikedua belah pihak.
Memperalat atau membinasakan Negara?
Beragam pandangan yang mencoba memisahkan, bahkan lebih jauh lagi, mengkategorikan Negara sebagai biang kerok yang memperparah eksploitasi buruh migran, untuk itu layak disamakan sebagai satu kesatuan mata rantai kuasa kapitalisme ada benarnya. Namun, dalam konteks Negara persemakmuran Kanada (secara konstitusi adalah monarki), kiranya adahal yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam menganalisa lebih jauh persoalan buruh migran. Yakni, bagaimana kelas pekerja di Kanada ‘memperalat’ kuasa Negara.
Sebagai gambaran, di provinsi Quebec, di tempat saya menetap sekarang, keberadaan buruh-buruh migran yang didatangkan dari berbagai negara—buruh murah dan outsourcing—telah berlangsung ratusan tahun lamanya. Misalkan saja, pembangunan rel kereta api yang menghubungkan provinsi Timur dan Barat Kanada (sepanjang 22.500 km), dibangun oleh buruh-buruh migran Cina. Terowongan bawah sungai, jembatan-jembatan besi dan kanal-kanal, yang membelah sungai-sungai besar dan mempercepat pola produksi kapitalis juga dibangun oleh buruh murah asal Irlandia, dan Italia pada tahun 1800an (Dickinson dan Young 1948).
Provinsi Quebec juga dikenal sebagai “bengkel” perawatan industri kapitalis Amerika utara; di samping wilayah pertempuran kelas pekerja dan kapitalis. Usaha perjuangan panjang serikat-serikat buruh lokal—maupun yang beraliansi dengan serikat-serikat buruh di Amerika Serikat—cukup berhasil. Salah satu kemenangan bersejarah itu lahir pada era depresi-berat ekonomi-kapitalis global tahun 1930an. Ketikaq itu. terjaadi ‘kompromi kelas’ borjuasi dengan kelas pekerja yang kemudian bersepakat menggunakan Negara sebagai perantara dalam mendamaikan konflik kepentingan kelas yang tak terdamaikan. Hubungan sosial-ekonomi ini meresmikan berdirinya Negara kesejahetraan (welfare state). Kompromi itu mewujud dalam bentuk jaminan hukum, undang-undang perburuhan, layanan kesehatan gratis, jaminan hari tua, subsidi pendidikan, dan kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan. Kemenangan ini kemudian mampu dipakai untuk melindungi buruh sebagai suatu bentuk solidaritas antar kelas pekerja lintas nasioal.
Nah, jika kita bandingkan dengan realitas masyarakat Saudi Arabia yang masih terbelakang itu, setidaknya kita bisa mengambil beberapa perbandingan. Misalnya di Kanada, tindakan menahan paspor buruh migran oleh majikan atau para penyalur jasa tenaga kerja, dapat dikategorikan sebagai usaha melawan aturan hukum perburuhan; sebaliknya, di Arab Saudi, hal ini menjadi salah satu syarat dalam butir kontrak kerja. Paspor buruh-buruh migran selama terikat kontrak dapat ditahan sepihak tanpa memiliki konsekuensi hukum selama mereka sepakat bekerja di Arab Saudi (workinginsaudiarabia.blogspot.com 2007). Contoh lainnya, program perekrutan skilled dan unskilled–temporary workers, bisa mendapatkan kesempatan untuk menetap menjadi imigran (kemudian berstatus permanent resident). Di Kanada, hal ini bisa terwujud jika pekerja migran mengikuti semua prosedur yang telah disyaratkan pemerintah, seperti menetap dan bekerja selama lima tahun di lokasi yang ditentukan.
Pada konteks kerajaan Saudi Arabia, hal semacam ini justru sebaliknya. Faktor keterbelakangan masyarakatnya tadi, ditambah keengganan meratifikasi konvensi internasional, dan di lain pihak faktor kekayaan sumber daya minyak, serta sebagai tempat tujuan beribadah (naik haji) dari berbagai negara yang akan terus mendatangkan devisa secara berkesinambungan, membuat masyarakat kelas menengah Arab dan pihak kerajaan Saudi memiliki posisi tawar lebih dalam peta ekonomi-global. Akibatnya, bentuk ‘suka-suka’ memperkerjakan para buruh migran dari mancanegara masih mendominasi kesadaran masyarakatnya. Situasi ini, nampaknya tetap terus dimanfaatkan, sebagaimana tampak pada kebijakan Kerajaan Saudi tertanggal 2 Juli 2011, yang tidak akan memberikan lagi working permit kepada TKI dan buruh migran asal Filiphina. Sebagai gantinya, pemerintah beralih memberikan working permit kepada buruh migran murah dimana pemerintahnya tidak begitu mensyaratkan perlindungan warga negaranya.
Dari dua keadaan yang berbeda di atas, kita bisa menyimpulkan lebih jauh bahwa pada suatu Negara, ternyata ada hasil perjuangan kelas pekerja, yang bisa menggunakan Negara, sebagai alat perlindungan kawan-kawan sekerjanya, meskipun berbeda etnik dan nasionalisme. Dan di lain wilayah, sebuah Negara atau institusi pemerintah justru menjadi bagian dari permasalahan perlindungan bagi buruh-buruh migran.
Memperalat Republik Indonesia, masihkan ada harapan?
Posisi buruh migran di hadapan majikan adalah unik. Maksud saya, mereka tidak punya daya tawar kolektif seperti buruh pabrik, sehingga andaikan mogok bekerja posisinya sendirian berhadapan langsung dengan majikan di rumah. Dengan posisinya yang unik itu, menurut Eni Lestari, ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) dan International Migrant Alliance (IMA) yang berbasis di Hongkong, sasaran advokasi buruh migran adalah pada kebijakan dan perlindungan hukum dari pemerintah, baik negara asal maupun tempat bekerja.
Seperti yang sudah saya kemukakan di atas dan kita pertanyakan lagi di sini: apakah Negara masih bisa menjadi ‘kawan’ buruh migran? Menjawab pertanyaan itu, mengambil perbandingan perlindugan buruh migran di Kanada, Negara ternyata masih bisa diandalkan. Namun, dalam konteks Negara kesatuan RI, mau tidak mau, terlebih dahulu kita harus memeriksa dan melihat kebijakan-kebijakan yang sudah dilahirkan oleh pemerintah.
Salah satu tuntutan perjuangan ATKI-Hongkong, yakni mencabut UU No. 39 Tahun 2004 tentang PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI. Tentu saja aturan semacam ini masih dibutuhkan, namun substansi kebijakan ini, lagi-lagi, seperti jauh panggang dari api. ATKI menilai, UU ini hanya mengatur tatacara jasa penyalur TKI ketimbang perlindungan. Sebagai contoh, kejanggalan pada pasal 72 ayat 2, yang menyebutkan Negara dapat mendelegasikan upaya perlindungan kepada jasa penyalur swasta, sehingga berpotensi memicu permasalahan akuntabilitas Negara: siapakah yang sesungguhnya harus melindungi buruh migran di negara orang? Apakah pemerintah RI? atau para penyalur jasa TKI? Untuk itu, kebijakan semacam ini harus segera diperbaiki dengan melibatkan partisipasi buruh migran.
Klaim keberhasilan misi diplomasi pemerintah RI di Geneva baru-baru ini, patut diakui sebagai sebuah kemajuan. Sebuah penanda upaya global untuk mengakui dan melindungi hak-hak buruh migran. Meskipun, ironisnya, RUU PRT masih tak memiliki kejelasan nasib (mandek sebatas draft). Namun begitu diplomasi basa-basi RI cukup berhasil memotivasi negara-negara lain dalam sidang ke-100 organisasi buruh internasional (ILO), untuk menyetujui konvensi 189 tentang kerja layak bagi Pekerja Rumah Tangga (“New Landmark Treaty to Protect Domestic Workers”).
Melihat ‘kemajuan’ yang dicapai pemerintah, ada baiknya kita tidak menihilkannya begitu saja ‘usaha’ dan ‘kebijakan’ yang telah ada. Kiranya, tantangan terberat untuk mengubah ketidakberdayaan pemerintah dan segala kebijakan yang tidak efektif dan anti buruh migran, harus diperjuangkan oleh serikat-serikat pekerja di tanah air dengan berkoordinasi lebih jauh lagi dengan serikat-aliansi-organisasi-TKI. Usaha ini, akan lebih maju jika turut didukung kaum intelektual progresif, para dosen, serta kaum profesional lainnya. Bentuk solidaritas bisa dimulai dengan mengoordinasikan beragam bentuk usaha pengorganisiran dan perlawanan yang sudah dan sedang berlangsung, misalnya, dengan membangun sebuah perserikatan buruh nasional dengan BMI, yang mampu berperan melampaui batas-batas Negara dalam memperjuangkan dan membangun dukungan internasional untuk melindungi hak-hak buruh migran.***
Andri Cahyadi, Mahasiswa Studi Kebijakan Publik dan Komunitas, Universitas Concordia, Montreal-Kanada