Loke matan loro foun to’o iha o knuak
Loke matan loro foun iha ita raim
Hader kaer rasik kuda talin eh
Hader ukun rasik ita rain eh!
PENGGALAN LAGU Timor Leste itu dinyanyikan Hilmar Farid atau kerap disapa Fay, tepat di samping jenazah Ade Rostina Sitompul. Dua kali Fay memberi sambutan, di rumah duka Carolus dan di pemakaman. Sebagai kawan dekat, sekaligus kerap disebut anak, Fay paham benar jejak perjuangan Ade.
Pukul 09.30. Rumah Duka Carolus sudah mulai ramai. Orang-orang tak putus berdatangan hingga siang hari. Tokoh masyarakat, aktivis, korban pelanggaran HAM, aktivis gereja.
‘Seperti reuni,’ ujar seorang kawan.
Ade meninggal pada Jumat, 8 Juli 2011, pada usia 73. Rencananya, Agustus nanti, ia akan meluncurkan buku memoarnya. Hasil wawancara yang disunting oleh Fay dan dan Erlijna dari ISSI.
‘Ade bilang, dalam peluncuran bukunya nanti, ia ingin kami menyanyikan lagu We Shall Overcome….’ tutur Tien Djalil, salah satu kawan dekatnya.
Maka siang itu, di depan peti jenasah, serombongan ibu-ibu menyanyikannya dengan syahdu. We Shall Overcome adalah lagu yang kerap dinyanyikan dalam aksi di Amerika Serikat. Didedikasikan untuk Martin Luther King, pejuang kulit hitam Amerika yang tewas dibunuh pada 1968. Lagu ini dipopulerkan oleh Joan Baez, seorang penyanyi balada berwajah tirus asal Mexico.
We shall overcome
We shall overcome
We shall overcome someday
Oh deep in my heart
I do believe
We shall overcome someday
Dalam peti yang dihias bunga lily berwarna putih, wajah Ade terlihat begitu cantik. Senyumnya terpancar anggun. Mengenakan kebaya putih dan kain tais, kain khas Timor Leste, yang bercorak indah. Kain itu khusus dibawa dari Timor Leste, oleh rombongan Presiden Parlemen Timor Leste, Fernando Lasama de Araujo, yang segera terbang ke Jakarta, begitu mendengar kabar Ade mengalami stroke.
‘Mama pernah berpesan, kalau meninggal ingin memakai kain tais,’ ujar Ezky Suyanto, putri Ade yang duduk menyender di samping jenazah. Sejak dua hari di RSCM, airmatanya terus meleleh. Satu per satu tamu mendekat, menatap lekat-lekat wajah Ade dan memanjatkan doa. Ada yang menyingkap tirainya, sambil berbisik, ‘Selamat jalan ya Bu..’
‘Cantik sekali ya…’ saya bergumam.
‘Iya. Seperti mau berangkat ke Timor Leste….’ ucap Ezky perlahan.
‘Ada sesuatu yang mama katakan di saat terakhir?’
‘Tidak. Cuma saat-saat terakhir itu, memang ibu sering bercerita tentang masa lalu. Bagaimana dulu ketika mengurus anak-anak PRD (Partai Rakyat Demokratik) di penjara, bagaimana diuber-uber tentara di Timor Leste….”
Menjelang siang, Fay mengucap salam perpisahan, mewakili kawan-kawan. ‘Kami semua anaknya, yang kalau dikumpulkan bisa berbaris dari Megaria sampai Gunung Sahari. Anak, itulah yang tepat untuk menggambarkan kami. Ia pada dasarnya seorang ibu, yang kemudian memberi warna bagi penegakan HAM.’
Fay menghampiri Ezky dan merangkul bahunya erat. Airmata keduanya pun tumpah.
Jejak perjuangan dan kebaikan hati Ade terentang dalam kenangan banyak orang. Petrus Haryanto, mantan sekretaris jendral PRD yang pernah mendekam di Cipinang paska peristiwa 27 Juli 1996, mengaku sangat terpukul. Sejak semalam, ia tak berani menyalakan handphone. Tak berani mendengar kabar buruk ini.
‘Waktu menjalani masa persidangan dan ditahan di kepolisian daerah (polda) Jakarta, bu Ade lah yang pertama-tama menengok kami. Membawakan logistik, selimut, baju dan obat-obatan. Waktu itu, tak banyak orang berani membantu kami. Represinya luar biasa. Menjelang sidang, aku sakit. Bu Ade yang pontang-panting carikan dokter. Makanya setelah bebas dia menyebutku tahanan politik (tapol) PRD yang paling manja,“ kenang Petrus, yang bersama-sama saya menunggu pemberangkatan jenazah di depan rumah duka.
Begitu dipindahkan ke penjara Cipinang, barulah Petrus tahu bahwa Ade merawat semua tapol di sana. Dari tapol 1965, Aceh, Papua hingga Timor Leste. Tak hanya supply logistik, bantuan politik pun kerap dilakukan. Ade kerap menjadi kurir untuk surat-surat Xanana Gusmao ke luar tahanan. Sebuah pekerjaan dengan risiko sangat berat. Rumahnya di Kayu Manis, Jakarta Timur pun kerap menjadi tempat persembunyian aktivis, mulai korban 1965, PRD hingga aktivis Timor Leste.
‘Beberapa kali juga Bu Ade membawa surat-surat PRD ke luar penjara. Tidak sering sih, karena sudah ada kurir yang resmi,’ ujar Petrus.
Saya masih ingat, dulu para pengurus PRD di luar penjara, yang ketika itu terpaksa bergerak di bawah tanah, kerap mendapatkan kiriman majalah dari penjara Cipinang. Ada Tempo Interaktif, Forum Keadilan atau semacamnya. Majalah itu tampak biasa saja, tapi kalau diamati, di beberapa bagian tampak menggembung. Itulah surat – surat instruksi yang ditulis dari penjara. Petrus mengetiknya dengan mesin ketik di atas kertas yang sangat tipis, lantas diselipkan dalam dua halaman majalah, kemudian ujungnya direkatkan. Jadilah surat-surat instruksi PRD mengalir ke kantor pusat, untuk kemudian didistribusikan ke masing–masing cabang. Semua dilakukan secara klandestin.
Membawa surat-surat ke luar penjara, terlebih dari tokoh pro kemerdekaan Timor Leste seperti Xanana, tentu bukan aksi remeh. Terlebih rezim militer Soeharto saat itu begitu perkasa. Ade menghadang risiko itu. Tak hanya ketika di Cipinang, namun juga ketika di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Kerja kerasnya tanpa lelah mengurus para tapol, membuat Lembaga Yayasan Pusat Studi HAM (Yapusham) mengganjarnya Yap Thiam Hien Award pada 1995.
Mantan aktivis PRD Dhyta Caturani punya cerita lain. ‘Waktu aku dirawat di RS Carolus, bu Ade lah yang pertama-tama datang, bersama Ezky waktu itu. Ia bawakan celana dalam, sebuah benda yang sangat urgent, tapi gak banyak orang mikir sampai kesana!’
1 Juli 1999, aksi PRD menolak hasil pemilu 1999 di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) berakhir rusuh. Massa dipukul mundur dan ditembaki. Puluhan orang terluka parah. Dhyta, yang saat itu adalah ketua Departemen Hubungan Internasional KPP-PRD yang berada di baris depan terluka parah. Tubuhnya digebuk dan diinjak-injak. Sebutir peluru tajam pun menembus pinggangnya. Lebih sebulan ia dirawat di RS Carolus.
‘Dulu aku ditemani Bu Ade di masa-masa awal dirawat. Sekarang biarlah aku temani dia saat-saat terakhirnya,’ tutur Dhyta. Ia datang ke RSCM Jumat malam begitu mendengar kabar bahwa Ade mengalami koma. Usai menghadiri acara ulang tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang malam itu digelar di Galeri Nasional, mereka beramai-ramai datang ke RSCM.
Malam itu, Dhyta dan kawan-kawan menjadi saksi keteguhan seorang Ade. Dhyta menyaksikan detik-detik ketika alat monitor di High Care Unit tak lagi naik turun, pertanda usainya kehidupan. Dokter telah mencopoti alat bantu yang melekat di tubuh Ade. Seratusan orang, berbagai usia dan kalangan berjubel-jubel memadati ruang depan perawatan. Airmata berhamburan. Kabar meninggalnya Ade dengan cepat tersebar melalui lewat Facebook dan twitter.
‘Dokter sedang bersiap menulis surat kematian, tiba-tiba monitor itu bergerak lagi. Dokter menyatakan, detak jantung bu Ade muncul lagi!’ ujar Dhyta. Ia juga sibuk berkabar kepada kawan-kawan di Timor Leste.
Ade memang petarung sejati. Ia pantang menyerah. Tepat pukul 23.32, tim dokter menyatakan ibunda dua bangsa itu benar-benar telah tiada.
***
Ade Rostina Sitompul, namanya lekat dalam sejarah demokrasi di Indonesia dan Timor Leste. Perempuan berusia 72 tahun, dengan rambut keperakan yang digelung rapi, selalu berpenampilan cantik dan penuh senyum. Sosoknya mudah dikenali di setiap acara-acara HAM. Kursi roda yang dipakainya beberapa saat ketika ia sakit, tak menghalangi kegigihannya. Penuh senyum dan gesit. Kehadirannya selalu menyemangati. Sosoknya lebih menonjol sebagai ibu bagi semua orang. Ia juga galak, dan tak segan mengingatkan jika kawan-kawan mudanya keliru. Tentu dengan spirit cinta seorang ibu.
‘Gak ada lagi yang seperti beliau ya?’
‘Susah….’ jawab Fay singkat.
‘Apa yang tepat untuk menggambarkan Bu Ade bagi orang-orang Timur Leste?”’
‘Apa ya, Ibu Theresa, semacam itulah….’
Ade lahir di Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat pada 12 Desember 1938. Ia bungsu dari tiga bersaudara pasangan Kasianus Sitompul dan Maartje Takapente. Ayahnya berdinas di sebuah perkebunan teh. Menikah dengan Yohanes Suyanto, seorang staf di Angkatan Laut, mereka dikaruniai lima anak. Titik terpenting hidupnya adalah ketika peristiwa 1965 meledak. Abangnya, Johny Sitompul, salah satu pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia, ditangkap dan ditahan selama sembilan tahun dengan tuduhan terlibat G30S. Peristiwa G30S adalah sebuah titik paling gelap dalam sejarah Indonesia modern, dimana ratusan ribu bahkan jutaan orang menjadi korban (dibunuh, dipenjara, dan diasingkan ke kamp kerja paksa pulau Buru) kebiadaban tentara dan organisasi-organisasi sipil yang berada di bawah pengaruhnya. Sebagian dari mereka yang dipenjarakan adalah juga teman Ade, seperti Sulami yang mantan Sekretaris II Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Sudjinah, anggota Gerwani dan juga wartawan koran Harian Rakyat. Situasi ini mendorong Ade untuk berkomitmen pada pembelaan dan pelayanan terhadap korban. Ia mengenali penderitaan mereka, yang terdiskriminasi dengan stigma komunis. Rasa kemanusiaannya tergugah. Tahun 1976, ia aktif di Yayasan Hidup Baru (YHB) yang didirikan oleh Jopie Lasut dan Jap Thiam Hien. Lembaga ini concern mengurus korban 1965, hingga meluas ke tapol Timor Leste.
Ketika masa reformasi 1998, Ade ambil bagian penting.
‘Waktu itu, bu Ade yang pontang-panting cari nasi bungkus….’ kata Ria Gembel. Ade yang mengajak Ria untuk bergabung dengan Suara Ibu Peduli, yang memobilisasi ibu-ibu untuk menyumbangkan nasi bungkus bagi mahasiswa dan rakyat yang berdemonstrasi di DPR RI.
‘Saban hari saya dan keluarga mengangkut 100 bungkus nasi untuk dibawa ke gedung DPR.’ Ria juga menyaksikan Ade dengan berani hilir mudik di antara kerumuman tentara. Situasi sangat chaos pada masa-masa menjelang jatuhnya Soeharto. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi setiap saat.
Pasca reformasi, Ade terus terlibat dalam advokasi dan kampanye penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM. Ia turut membidani sejumlah organisasi HAM, antara lain, Kontras, Imparsial, Pokastin, Setara dan lain-lain
***
Pukul 13.30, jenazah siap diberangkatkan ke TPU Pondok Kelapa. Ada tiga buah ambulans berjejer. Orang-orang yang tak membawa mobil pribadi berjalan menuju bis yang diparkir di pinggir jalan raya Salemba. Saya dan beberapa kawan memilih naik ambulans yang kebetulan masih kosong. Kami duduk berjubel-jubel sambil menggelar koran. Di bagian depan, duduk dokter Ribka Tjiptaning, ketua Komisi IX DPR-RI dan Suster Irene, suster yang sangat dekat dengan semua aktivis. Ambulans mulai bergerak. Kami tepat berada di belakang ambulans milik Yayasan Waluya Sejati, yang membawa peti jenazah Ade.
‘Gak menyangka, begini banyaknya orang antarkan kepergian Ade…’ tutur seorang ibu separuh baya, yang duduk di depan saya. Namanya Stien Djalil, ia mengaku dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI). Stien bercerita, Ade pernah berpesan untuk memakai ambulans Yayasan Waluya Sejati jika meninggal nanti. Waktu itu mereka sedang dalam perjalanan ke Bekasi dengan ambulans. Ade nyeletuk, ‘Nanti aku waktu meninggal, pakai mobil ini saja ya….’
Stien mengenal Ade lebih dari 40 tahun. Ia baru saja pulang dari sekolah di Eropa ketika peristiwa 1965 meletus. Seorang adiknya, Alex, yang aktif di Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) ditangkap tentara. Alex ditahan bareng Johny Sitompul, kakak Ade. Jadilah Stien dan Ade sering bertemu ketika bezoek di penjara. Mereka lantas akrab. Stien juga turut aktif dalam gerakan pembebasan Timor-Timor.
‘Saya dulu liason officer hubungan gereja dan PBB di Timor Leste, menjelang jajak pendapat. Bersama-sama dengan Ade berangkat ke sana,’ tuturnya.
Stien menjadi saksi keberanian Ade menembus perbatasan RI- Dili, menjadi kurir yang menyampaikan pesan-pesan penting dari penjara.
‘Saya masih ingat betul, saat kami dikejar-kejar milisi hingga ngumpet ke Katedral. Saya sampai sudah di batas ketakutan, sehingga sudah tak takut lagi. Ketegangan yang sungguh luar biasa….’
Stien menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya sedikit berkaca. Ia tak menyangka, telah kehilangan kawan yang dikenalnya selama 40 tahun itu.
Waktu itu kami janjian dengan Ade untuk menghadiri acara di Utan Kayu. Belum sampai sana, saya dengar Ade jatuh dan kakinya patah. Kami langsung ke rumahnya. Lihat dia pake kruk, kami ledek ‘De, habis main bola dimana?’ Stien mencoba tergelak. Mereka ibu-ibu yang terlihat optimis dan semangat.
Ade segera dilarikan ke rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dokter merekomendasikan untuk operasi kaki yang rencananya akan dilakukan Jumat, 8 Juli 2011. Kamis malam, Ade tak sadarkan diri.
‘Kamis siang kami ke RSCM, masih bercanda-canda. Dia bilang, doakan saya ya, besok saya operasi. Malah sempat bilang juga, ayo kita jalan-jalan ke Timor Leste. Kalau dulu kita dikejar-kejar milisi, sekarang kita pasti kita disambut seperti tamu agung,’ ujar Stien tertawa menirukan tuturan Ade. Sore pukul 14.30, Stien dan rombongan kawannya pulang. Malamnya, ia kaget bukan kepalang ketika mendengar kabar bahwa Ade mengalami pendarahan di kepala dan tak sadarkan diri.
‘Kami sempat berencana mau buka taman bacaan, playgroup di Utan Kayu. Kami sudah rapat segala macam…’ tutur Stien termangu.
Saya melongok ke luar jendela. Bis, belasan mobil dan puluhan motor berderet mengular. Di kelokan jalan, tampak jelas barisan mobil yang tak putus-tutus saking panjangnya. Hati saya merinding.
Apa makna kehilangan ini bagi kawan-kawan Timor Leste?
‘Sebuah kehilangan besar untuk Timor Leste dan Indonesia. Turut berduka cita sedalam-dalamnya untuk keluarga. Such a great women. We will miss you bu Ade..’ tulis Titi Supardi dalam status Facebook-nya. Titi adalah anggota perkumpulan (Asosasun) HAK, organisasi yang telah berdiri sejak 1996 dan menjadi elemen penting proses perjuangan kemerdekaan Timor Leste.
‘Kawan-kawan di sana berkumpul ketika mendapat kabar bu Ade kritis. Presiden Parlemen Timor Leste, Fernando Lasama de Araujo, yang kebetulan sudah punya agenda kerja ke Indonesia, juga akan sekalian melayat,’ tutur Dhyta, yang rajin berkontak dengan beberapa kawan di Timor Leste.
Timor Leste, ibarat tanah air kedua Ade. Setelah terjadi peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991 yang menewaskan hampir 200 orang, beberapa aktivis dari lembaga gereja dan LSM berkoalisi membentuk Joint Committee for East Timorese untuk melakukan penyelidikan dan advokasi peristiwa itu. Bersama Asmara Nababan dan Hendardi, Ade berangkat ke Timor Leste. Mereka menelusuri kesaksian korban di desa-desa. Mendengar cerita-cerita kekejaman luar biasa yang dilakukan milisi dan tentara Indonesia. Hati Ade meradang. Mereka temukan angka 200 orang terbunuh secara sadis, jauh lebih besar dari versi pemerintah Indonesia. Ade juga menyaksikan mereka yang masih hidup, dicekam ketakutan luar biasa. Demi menyelamatkan diri dari kejaran tentara, kalau siang mereka turun ke kota, dan malam kembali ke hutan. Banyak pula di antara mereka yang terserang malaria.
Pewristiwa Santa Cruz itu kian memperteguh keyakinan politik Ade, bahwa Timor Leste harus merdeka. Namun, keterlibatan Ade dalam persoalan Timor Leste sudah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya. Ceritanya, pada Juni 1980, sejumlah aktivis Perlawanan Timor-Leste (termasuk David Dias Ximenes, sekarang anggota Parlemen Nasional), yang merencanakan dan melakukan penyerangan bersenjata terhadap TNI di Marabia (satu bukit di pinggiran selatan Dili) dan di Becora, ditangkap dan dihukum oleh pengadilan, dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta pada 1984. Ade memberikan dukungan kepada para narapidana ini dan membantu mereka membangun jaringan bawah tanah antara mereka dengan orang-orang Timor-Leste yang berada di luar penjara di Jakarta (untuk belajar di perguruan tinggi) maupun yang berada di Timor-Leste. Sesungguhnya sejak saat itu Ade telah menjadi bagian integral dari jaringan bawah tanah (Clandestina) Perlawanan Timor-Leste. Ia tak hanya membantu logistik, menjadi penghubung antara para tahanan politik pendukung kemerdekaan Timor Leste dan keluarganya, tapi juga membantu aksi-aksi demonstrasi massa yang dilakukan oleh para aktivis pro-kemerdekaan. ‘Nasionalisme adalah (bagaimana) kita bisa menjaga imej, bukan diri kita saja, tapi bangsa kita, negara kita, rakyat kita. Bukan nasionalisme sempit, yang seolah-olah orang itu, atau bangsa itu adalah musuh kita,’ tandas Ade, dalam sebuah wawancara dengan media beberapa tahun lalu.
Atas komitmen, simpati, dan solidaritasnya pada pembebasan Timor Leste dari kolonialisme Jakarta, Ade diganjar penghargaan dari pemerintah Timor Leste pada September 2009. Perdana Menteri Xanana Gusmao sendiri yang menyematkan penghargaan padanya, bersama Presiden Ramos Horta. Ade menerima penghargaan dengan duduk di kursi roda.
***
Tepat pukul 14.00, rombongan tiba di Tempat Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Komplek makam itu tampak segar. Bunga plastik warna-warni bertengger di atas nisan.
Peti yang tertutup kain tais berwarna kehitaman itu diturunkan dari ambulans. Puluhan karangan bunga digotong. Orang-orang berjalan tertib, menuju tenda yang dipasang di sisi liang lahat. Beberapa lagu perjuangan dinyanyikan. Pendeta mengucapkan sebaris doa indah: ‘Kematian dalam Kritus adalah kebahagiaan. Karena tak ada lagi hal-hal yang menyulitkan…’
Vicky Aria Muda, mewakili keluarga mengucapkan terimakasih sekaligus permintaan maaf atas nama almarhumah. Beberapa kawan kembali memberikan kesan-kesannya. Hendardi dari Setara Institute, Adnan Buyung Nasution, Rusdi Marpaung, Budiman Sudjatmiko bergantian berkisah tentang pejuangan seorang Ade Rostina Sitompul.
‘Bu Ade adalah ibunda kami semua. Saya sedih atas kepergiannya, ini bukan semata kepergian, tapi alangkah susah mencari pengganti. Bagi saya, kehilangan bu Ade adalah hal yang memukul kami. Semua rekan di sini pernah ditolong bu Ade. Pernah dipayungi. Diuluri tangan, ditegur tapi juga pernah diberi semangat bahwa perjuangan masih jauh…’ tutur Budiman, mantan Ketua Umum PRD yang sempat mendekam di Cipinang, dan kini duduk di Komisi III DPR.
Fay, mengalunkan Foho Ramelau¸ sebuah lagu perjuangan Timor Leste yang liriknya ditulis oleh Frascisco Borja da Costa, seorang aktivis Fretilin dan digubah oleh Abilio de Araujo. Foho Ramelau artinya Gunung Ramelau, sebuah gunung tertinggi di Timor Leste, dengan hamparan sawah hijau di bawahnya. Dhyta membantu saya mencarikan informasi lagu itu. Terjemahan liriknya yang sangat indah dikerjakan oleh Nug Katjasungkana dengan bantuan Cmda. Fátima Calçona (seorang aktivis OPMT – sayap perempuan FRETILIN – sejak awal awal hingga sekarang).
Mula-mula suara Fay tampak bertenaga. Bait berikut, ia tak sanggup melanjutkan. Mukanya memerah. Dengan suara tersendat, Fay mencoba melanjutkan hingga usai. Keharuan menusuk-nusuk sore itu.
Pukul 14.30, jenazah dimasukkan ke liang lahat, diiringi nyanyian Di Timur Matahari, lagu perjuangan ciptaan W.R. Supratman, yang dinyanyikan lirih oleh beberapa perempuan. Tanah diuruk. Satu per satu, anggota keluarga silih berganti menaburkan bunga, diikuti kawan-kawan. Karangan bunga diatur berjejer di sekeliling pemakaman. Karangan bunga dari Xanana Gusmao tampak bertengger kukuh di sisi makam. Berderet di sampingnya karangan bunga dari berbagai lembaga HAM, kantor media, maupun pribadi.
Ade Rostina Sitompul, bukan tokoh yang kerap tampil di media dan layar kaca. Sosoknya jauh dari publikasi. Namun kematiannya, yang diantar beratus-ratus orang, hingga ke liang lahat, cukup jelas untuk menggambarkan siapa dirinya.
Kepergiannya adalah duka cita mendalam bagi dua bangsa, Indonesia dan Timor Leste. Ade tak butuh panggung megah untuk mengukir namanya. Setiap aktivis demokrasi, para korban pelanggaran HAM, punya potongan kisah sendiri tentangnya. Jika semua dikumpulkan, hampir dipastikan berhulu ke muara yang sama, tentang gambaran seorang ibu, yang dilimpahi rasa cinta mendalam pada keadilan dan kemanusiaan.
Ada cerita menarik sekaligus memberi teladan. Ketika sakit menderanya, Ade masuk ke RSCM dengan memakai fasilitas surat miskin. Padahal, dengan namanya besarnya, tak mustahil dia akan mudah mendapatkan segala akses.
‘Bu Ade yang membantuku untuk mendapatkan pengobatan terbaik. Bu Ade menelepon orang-orang, mengabarkan Petrus sakit. Begitu juga dia lakukan pada semua orang, tapi dia sendiri masuk rumah sakit dengan surat miskin…” tutur Petrus dengan suara tertahan.
Hari beranjak sore. Usai berpamitan pada keluarga almarhumah, kami beranjak pulang. Melewati makam yang berjejer, saya membayangkan perempuan itu mengenakan tais terbaiknya, tersenyum kepada kami, anak-anaknya, di antara hijaunya pepohonan di Gunung Ramelau.
Hai Gunung Ramelau, Gunung Ramelau hai!
Apa yang lebih tinggi daripada puncakmu
Apa yang lebih besar daripada badanmu!
Mengapa orang Timor (Leste) selalu tunduk?
Mengapa orang Timor (Leste) selalu diperbudak?
Mengapa orang Timor (Leste) selalu patuh?
Mengapa orang Timor (Leste) selalu diperbudak?
Buka mata, matahari baru tiba di desamu
Buka mata, matahari baru di negeri kita
Bangun, tanah sudah memutih!
Bangun, matahari baru sudah terbit!
Bangkit, pegang sendiri tali kekang kudamu
Bangkit, kita sendiri memerintah negeri kita!***
Lilik H.S., Aktivis-cum anggota Klub Feminis-Queer Menulis, Jakarta