BU ADE, begitu ia akrab disapa, telah berpulang pada 9 Juli 2011 di usia 72 tahun. Seorang perempuan hebat, ibu dan sahabat semua aktivis dan kalangan manapun. Saya mengenalnya mungkin lebih belakangan ketimbang banyak kawan-kawan –termasuk seorang yang kemudian menjadi teman hidup saya– yang lebih dulu dekat dengannya.
Saya ingat sosok ini saat pengurus Yapusham (yayasan pusat studi hak asasi manusia), memasukkannya dalam nominasi Anugerah Yap Thiam Hien. Tak ada debat ketika Dewan Juri, yang terdiri dari beberapa di antaranya alm. Romo Mangunwijaya dan alm. Gus Dur, memutus bulat menetapkannya sebagai penerima penghargaan tersebut tahun 1995, bersama-sama dengan para petani Jenggawah.
Salah satu dasar terkuat ketika memberikan penghargaan itu padanya, karena bu Ade adalah sedikit dan lebih sekedar seorang pekerja sosial, yang bertahun-tahun malang-melintang keluar masuk penjara untuk mengurusi para tahanan politik rezim kediktatoran militer Soeharto. Masa di mana tidak mudah dan sangat beresiko untuk berani melakukannya. Ia dengan tulus dan riang gembira mengunjungi, berbincang, serta memfasilitasi kebutuhan para tahanan dan narapidana politik: di Cipinang maupun penjara lainnya, mulai dari tahanan politik (tapol) 65/66, Aceh, Papua, Xanana Gusmao hingga kawan-kawan Partai Rakyat Demokratik (PRD) kemudian setelah peristiwa 27 Juli 1996. Semuanya ia lakukan dengan riang gembira, tanpa pilih kasih, tanpa membedakan agama, etnis, apalagi keyakinan politik.
Menanggapi Peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991, bersama sahabat karibnya alm. Asmara Nababan dan para aktivis HaM dan lintas agama lainnya, ia membentuk Joint Committee for East Timorese untuk melakukan penyelidikan dan advokasi peristiwa penembakan serampangan terhadap para demonstran Timor Lester itu.
Sejak saat itu aktivitasnya tak pernah lepas dari lingkaran gerakan masyarakat sipil, mantan tapol/napol dan banyak organisasi non-pemerintah di mana ia menjadi pendiri atau angggota kehormatan: Fortilos, TRUK, KontraS, Imparsial, Setara Institute, untuk menyebut beberapa di antaranya. Seorang ibu cantik dengan asesoris dan rambut disanggul rapi, yang selalu hadir dalam setiap momen penting: mencurahkan tenaga, perhatian, pikiran serta pandangan dan saran-sarannya yang unik.
Seorang kawan berkisah, bu Ade dengan gagah berani berjibaku menembus keluar masuk ke Jakarta-Dili, menjadi kurir barang berharga dan pesan-pesan penting dari penjara. Kadang atas prakarsanya sendiri. Clandestine. 10 tahun setelah Timor Timur merdeka, 2009, ia menerima penghargaan kenegaraan dari Republik Demokratik Timor Leste. Suatu nilai yang sangat pantas baginya, dari suatu bangsa yang berdaulat, yang telah berjuang untuk pembebasan nasional dan tahu menghargai perjuangan manusia.
Dengan segala aktivitasnya yang tanpa pamrih dan beresiko kehilangan kebebasan diri dan nyawa tersebut, saya berani mengatakan bahwa andilnya pada gerakan reformasi hanya konsekuensi saja dari integritas dan pengabdiannya kepada mereka yang tertindas, mereka yang diabaikan, kepada para korban/survivor hak-hak manusia, pada jantung kemanusiaan.
Setahun yang lalu, saya acap berjumpa dengannya, hampir setiap minggu, saat mengantar bapak mertua menjalani terapi akupunktur di klinik pak Putu Oka, di bilangan Rawamangun. Kami sering mengobrol ke sana kemari, berdiksusi sambil menilai perkembangan situasi politik mutakhir, tanpa nuansa nostalgik seperti layaknya ngobrol dengan para sepuh. Ia tak pernah mengeluh berlebihan atau geram tentang situasi politik terkini. Meski ia sangat kecewa tapi tetap kritis, terutama pada soal yang menjadi keprihatinannya akhir-akhir ini: persekusi berdasarkan agama/keyakinan terhadap kalangan minoritas.
Sering saya baru tersadar, sedang berbincang dengan seorang perempuan lansia, lebih 70 tahun usianya. Bu Ade tak pernah menunjukkan kelelahan itu; tetap riang, keibuaan dan cantik, bersemangat. Itu sebabnya saya selalu dengan senang hati mengantarnya pulang ke panti jompo, di bilangan Kramat V, rumah bersama teman-teman sebayanya agar merasa tetap mandiri, begitu ungkapnya suatu ketika, dan selalu gaul.
Saya selalu mencium pipinya jika lama kami tak jumpa. Dan ia selalu menitip salam pada istri dan bapak mertua saya saat berpisah. Kehangatan, kasih sayang dan perhatian yang sama bagi siapapun yang mengenal kiprahnya. Kini ia telah berpulang, juga dengan gigih di akhir hayatnya, hingga jalan tenang menghampirinya. Kami kehilangan kehangatan, keprihatinan dan perjuangannya yang tulus selama ini. Tapi kami tak akan pernah kehilangan semangat juang, dan kegigihannya pada kemanusiaan. Kami bangga menjadi anak-anak dan sahabatmu, tapi sekaligus sangsi: siapa yang mampu menggantikanmu?
Selamat jalan Bu Ade. Beristirahatlah dengan tenang di sisiNya.***
Harry Wibowo, pegiat Hak Asasi Manusia