HAL-HAL yang rumit menjadi sederhana. Soal-soal pelik menjadi ringan. Perbedaan tak berujung menjadi kompromi. Hal-hal yang tak bisa diselesaikan dicairkan dengan tawa dalam gelas-gelas ’seribu bintang.’ Penampilannya selalu sederhana dan kasual. Kaos oblong dan jeans atau kemeja kotak-kotak dengan jeans. Penampilan, pemikiran, pakaian dan bahkan gaya hidupnya mencerminkan filosofi tentang kesederhanaan. ‘Hidup itu jangan dibikin rumit,’ adalah kredo Ayi Bunyamin.
Ayi Bunyamin, lahir pada 9 Januari 1963 sebagai anak ke-7 dari 8 bersaudara. Masa kecilnya dilalui di rumahnya yang menyempil di tengah pemukiman padat di tengah kota. Ayi tinggal sekamar di lantai dua dengan kakaknya Budi Rajab, yang kini menjadi seorang antropolog. Bersama kakaknya, Ayi menjadi pengemar musik rock’n roll macam Rolling Stones, Pink Floyd, Led Zeppelin, Deep Purple, Jimi Hendrix dan Jethro Tull. Hingga akhir hayatnya, penampilan khasnya dengan rambut gondrong ala rocker jadul tak pernah berubah.
Lulus SMA, Ayi memilih berkuliah di Jember dan mengambil studi teknologi pendidikan. ‘Karena kuliah di Jawa, Ayi ngak ada logat sunda-nya,’ ujar Rajab. Di kampus inilah dia tampaknya mulai berkenalan dengan pedagogi pembebasan a la Freire dan Ilich yang sedang ngetren jaman itu. Ayi juga mulai berintekasi dengan intelektual kritis yang menolak otoriterianisme orde baru.
Pembelajaran dan transformatif
Bagi saya ada dua kata yang melekat dalam wacana Ayi Bunyamin dan menjadi semacam kerangka berpikir dia yang paling konsisten dijalankan, yaitu pembelajaran dan transformatif.
Pembelajaran adalah kata yang kerap keluar dari mulut Ayi sebagai fasilitator. Pembelajaran adalah proses yang dialami oleh individu dan masyarakat untuk melakukan perubahan. Ada dua pondasi pembelajaran yang saling berdialektika, yaitu pembelajaran ’empiris’ sebagai pengalaman praxis dan pembelajaran ’teoritis” sebagai pengalaman melakukan analisa. Dalam kata yang ringkas, teori dan praktek adalah pondasi dari perubahan.
Dengan pembelajaran ’empiris” melalui praxis, Ayi melihat individu dan masyarakat yang menjadi ’aktor’ dan penggerak perubahan sosial, harus mengambil segi-segi positif dan kualitatif dari pengalaman praxis. Segi-segi positif dan kualitatif tersebut lalu di inovasi dengan kondisi obyektif dan jaman yang berubah. ‘Belajar dari praxis yang membuat kita berbeda dengan keledai,’ ujarnya setengah bercanda.
Namun, pengalaman saja tidaklah memadai untuk melakukan perubahan sosial. Ayi selalu menekankan pentingnya aspek teori sebagai alat ‘Analisa Sosial’ (Ansos). Karena itu, sepanjang hayatnya, Ayi selalu mengembangkan metode analisa sosial yang ’sederhana’ dan tidak rumit, agar gerakan sosial dan masyarakat dapat memahami problem yang membelit mereka; menemukan kekuatan-kekuatan untuk perubahan; potensi-potensi untuk bertransformasi dan strategi untuk melakukan perlawanan.
Bentuk dari pengalaman dan pembelajaran Ayi bersama jejaring sosial-politik di berbagai wilayah yang disentuh, dapat dilihat dalam pembentukan Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat (FBB-PR) di tahun 2004. Gagasan FBB-PR, yang idenya dari Ayi, sangat sederhana, menghimpun semua pengalaman berlawan di tingkat lokal dan sektoral menjadi ’pengalaman dan pembelajaran kolektif’ bagi semua unsur gerakan. Ini berarti pengalaman praksis dan analitis yang tadinya disekat oleh tembok lokalitas dan sektoral, bertransformasi menjadi praktek dan analisa bersama.
Seperti pegiat sosial ditahun 1980-an, Ayi juga salah satu yang menentang strategi developmentalisme orde baru yang dicangkokan oleh Bank Dunia dan IMF. Ia kemudian berkenalan dan berinteraksi dengan kalangan aktivis yang menentang developmentalisme dan menganjurkan strategi transformatif sebagai antitiesa. Ia lalu berkenalan dengan intelektual kritis seperi Mansour Faqih, Muslim Abdurahman, Wiladi Budiharga, Fauzi Abdulah, Wardah Hafidz, Roy Tjiong, Roem Topitimassang dan sahabat setianya hingga akhir hayat, Sylvia Tiwon. Beberapa dari intelektuil ini adalah generasi gerakan mahasiswa Angkatan 1974 yang terimbas peristiwa Malari. Dari segi usia, Ayi benar-benar sangat yunior.
Perspektif transformatif mempertanyakan paradigma pembangunan dominan dan ideologi yang tersembunyi di dalamnya; dan berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah basis struktural dan superstruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Rakyat harus mengontrol perubahan sosial dan menciptakan sejarah mereka sendiri dan menciptakan struktur yang memungkinkan bagi masyarakat menuju jalan demokratis dalam perubahan sosial, ekonomi, dan politik. ‘Terserah sebutan dan ideologinya, setiap gerakan yang memperjuangkan kedaulatan rakyat melawan kekuatan dominan yang menindas adalah transformatif,’ ujar Ayi.
Untuk menyebar dan menjalankan gagasan Transformatif, Ayi mendirikan Lembaga Pengembangan Inisiatif Strategis untuk Transformatif (LPIST), pada tahun 1980-an bersama kolega-koleganya. Ayi dan Sylvia Tiwon bahkan pernah memimpin lembaga ini. Ayi juga terlibat dalam pembentukan INSIST, suatu jaringan fasilitator yang giat melakukan pendidikan dan pemberdayaan sosial untuk menjalankan ’praksis’ transformatif dalam pikiran (ideologi) dan tindakan (praxis).
Apa yang Ayi kerjakan nampak jelas dalam rekam jejak banyak organisasi rakyat yang melibatkannya. Di Bengkulu, Ayi adalah ’guru’ yang memberikan dampak langsung pada penguatan gerakan rakyat di sana. Di Jombang, bersama kawan-kawan NU muda berhasil membangun gerakan sosial yang mampu mengintegrasikan pekerjaan reformasi ekonomi, ikatan kultural NU, dan gerakan politik lokal yang modern yang programatik. Ia membantu mengembangkan tradisi abangan dan membawanya menjadi tradisi perlawanan dan pengorganisiran yang modern dan progresif.
Ketika transisi demokrasi menjadi semakin bonyok, Ayi dan sahabatnya Sylvia Tiwon memrakarsai pembentukan Perkumpulan Praxis. Sylvia sebagai Ketua Perkumpulan dan Ayi menjadi Sekretaris Eksekutif. Bagi Ayi, Praxis adalah ’wadah reflektif’ bagi para fasilitator dan pegiat sosial yang berkait dengan Remdec dan Insist untuk kembali ’belajar’ dan berinteraksi dengan perkembangan perlawanan yang sedang terjadi. Ayi tampaknya cemas dengan rutinitas sebagai konsultan yang melibatkan para kolega ’transformatif-nya.’
‘Tapi tampaknya, gagasan awal dari pembentukan Praxis kurang berjalan,’ ujar Ayi lirih pada satu ketika.
Akhirnya Praxis justru lebih berkembang ’keluar’ perkumpulan, menjelma menjadi jaringan sosial-politik yang semakin berlari kencang. Pada awalnya, Ayi tampak ’berjalan sendirian’ meninggalkan para kolega lamanya, tapi dalam beberapa langkah kemudian, dia masuk dalam keriuhan gerakan. Suasana yang begitu ia nikmati secara personal dalam beberapa tahun terakhir sebelum akhir hayatnya. Untuk itu, saya tahu, ia mengorbankan frekuensinya untuk mencari fulus sebagai konsultan bahkan kesehatannya sendiri.
Di tahun-tahun terakhirnya, Ayi juga memberikan dukungan sepenuhnya pada berbagai upaya koalisi dan proyek dialog di antara berbagai unsur gerakan untuk mengatasi fragmentasi. Bersama Praxis ia mendukung diskusi lintas organisasi gerakan dan kerap terlibat langsung sebagai fasilitator. Buku terakhir Praxis yang diberi pengantar oleh Ayi ‘Bersatu Membangun Kuasa,’ menunjukkan harapan dan optimisme Ayi bahwa persoalan fragmentasi, betapapun rumitnya, pastilah akan menemukan jalan untuk mengatasinya.
Unsung hero
Bila anda mengetik nama Ayi Bunyamin di mesin pencari Google, hanya profil singkat dia di Remdec dan Praxis yang kerap muncul. Ayi bukan nama populer yang sering dikutip media dan muncul dalam talkshow televisi. Ia pun tidak banyak menulis di media atau menulis banyak buku. Tapi dalam dua dasawarsa terakhir, ia selalu bersentuhan dan ambil bagian secara aktif dalam berbagai pembangunan gerakan sosial dan penguatan di akar rumput. Ayi datang dan pergi dari satu kota ke kota lain. Seringkali dengan biaya pribadi. Dari Aceh hingga Papua, jejak rekamnya masih berbekas.
Kerjanya yang berkelanjutan dalam pembangunan gerakan membuat Ayi menjadi figur yang dapat diterima luas, nyaris lintas generasi. Pembawaanya yang luwes, rendah hati dan tidak bisa mengatakan ’tidak’ bila dimintai tolong, membuat Ayi juga kerap harus mengeluarkan materi dari koceknya bagi kawan-kawan gerakannya. ‘Uang itu gampang dicari, seminggu gua fasilitasi bohir sudah ngumpul, tapi kawan itu lebih penting’ demikian ujarnya dengan enteng.
Ayi hampir tidak pernah mempunyai masalah berarti dengan berbagai organisasi dan lembaga yang berhubungan denganya. Akibatnya Ayi menjelma menjadi kepercayaan banyak orang. Sulit dicari bandingannya untuk menemukan figur yang dapat diterima luas seperti Ayi Bunyamin. Sekarang ini hampir tak mungkin menemukan sosok seperti Ayi Bunyamin, yang bekerja tanpa pamrih pribadi, dan tak ingin dikenal karena peran yang diambilnya. Ayi telah menjelma seperti payung yang siap menerima panas dan hujan, agar orang dapat berteduh di bawahnya.
Optimis Tak Berbatas
Tidak ada jalan buntu, tidak ada kata surut, tidak ada kata menyerah yang akan kita dengar dari mulut Ayi Bunyamin. Bila ada situasi deadlock dan membuat tegang, Ayi akan menjadi orang yang ditunggu kemunculannya. Ia akan mendengar suara dari semua pihak, menemukan sumber kebuntuan dan menggali solusi yang dapat diterima bersama. Akhirnya kecemasan akan berujung happy ending bagi semua pihak. Tentu saja untuk peran seperti ini, butuh orang yang sabar, telaten dan tidak larut dalam emosi suasana yang berkembang. ‘Semua orang itu stress kalau menemukan jalan buntu, betapapun sempitnya, pasti ada celah untuk disepakati bersama,’ ujar Ayi dengan santai.
‘Kalau jalan buntu tidak juga berhasil dikompromikan bagaimana Mas Ayi?’ tanya saya.
‘Itu artinya saat yang pas untuk minum bir,’ ujar Ayi santai.
Ketika diagnosa dokter menyatakan ia terkena kanker paru-paru stadiun empat, malamnya Ayi menikmati konser Iron Maiden bersama kawan-kawannya. Dengan santai ia mengatakan penyakitnya. Tidak ada cemas dimukanya. Kami yang mendengarnya panik dan kehilangan kata-kata. Ketika saya menelpon untuk memastikan kabar kanker tersebut, Ayi menjawab sambil tertawa di telpon. ‘Ngak usah kuatir Son, masa hidup kita diatur penyakit, semuanya kaya biasa kok, semalem aja gua masih menikmati Cockpit!’
Pada saat yang sama Ayi mendengar Muridan terkena kanker kelenjar getah bening stadium tiga. Dengan mengendarai mobil, ia mengunjungi Muridan di Cibinong. Kepada istrinya Riela, ia menunjukan optimisme bahwa Muridan pasti akan membaik, seolah dia sendiri tidak punya beban yang lebih berat.
Pada bulan April, saya berapa kali bertemu Ayi di Praxis. Kondisinya memang mencemaskan saya. Suaranya lirih dan mukanya pucat. Saya sudah mendengar dia mengikuti terapi balur dengan metode pengasapan dengan rokok yang diramu khusus. Bukan cerita tentang kesakitan yang keluar dari mulutnya, tapi optimisme akan pengobatan alternatif yang ia ceritakan. Dengan rinci ia menceritakan metode pengobatan yang ia jalani. Suaranya datar, tak ada keraguan bagaimana hasil akhir pengobatan itu nanti. Ia seolah menyatakan optimisme ‘tidak ada yang tak mungkin didunia ini.’
Pembebasan hakiki
Sebulan lalu, ketika kondisinya agak memburuk dan harus menginap tempat terapi di Otista-3 (Kampung Melayu), saya dan Fay (Hilmar Farid) membesuknya. Ayi berbaring di ruang perawatan dengan ranjang berlapis tembaga dan dinding dilapisi aluminium. Udara panas dan pengab. Namun Ayi tak tampak berkeringat setetespun. Selang pernafasan masih menempel. Kami sebetulnya tidak tega melihat orang yang selalu ceria ini kelihatan tak berdaya. Setelah mengobrol sebentar kami keluar ke ruang tunggu, tak mau mengganggunya.
Baru beberapa menit duduk, tiba-tiba Ayi keluar dan duduk bergabung. Kami yang menatap cemas dijawab oleh Ayi. ‘Gua udah segeran,’ katanya lirih. Padahal menurut Harry yang menjaganya, baru beberapa jam lalu Ayi mengalami situasi kritis. ‘Hayo itu dimakan,’ ujar Ayi sambil menyorong kue dan buah-buahan yang dibawa untuknya. ‘Ayo ini anggur sama jeruk diambil.’
Kondisi Ayi kemudiam memang agak membaik, tapi tetap tidak stabil. Vivien yang dengan tekun menemani Ayi selama pengobatan mengirim pesan pendek (sms), ‘Masih naik turun coy. Seger beberapa hari, drop beberapa hari. Sekarang lagi drop. Tapi semangat tetap tinggi meski badan lagi susah diajak kerjasama.’ Saya yang kelewat cemas mengirim sms kepada Ayi dan mendapat jawaban. ‘… rada kacau sekarang ini. Tapi semoga tidak lama lagi ada perubahan membaik.’ Setelah itu saya hanya memantau kondisi Ayi dengan mengirim sms ke Vivien atau Harry yang selalu mendampinginya.
Sehari sebelum Ayi wafat, saya mendengar dia di bawa ke rumah Sylvia Tiwon di Bogor. Saya merasa optimis sekali mendengar kabar itu. Ayi sepertinya semakin membaik. Pada hari sabtu, 18 Juni saya mengabari Sylvia akan berkunjung ke Bogor melihat Ayi. Kebetulan saya dan Mugiyanto sedang merencanakan akan bersepeda ke arah Bogor Sabtu sore itu. Sylvia dengan senang hati menerima kami untuk berteduh. Tapi kemudian ia mengabari Ayi harus ke rumah sakit Sabtu sore itu juga. Jadilah kami membatalkan kunjungan, tak mau merepotkan. Tapi suasana hati saya tetap optimis. Kedatangan Sylvia saya anggap mujizat yang akan mempercepat kesembuhan Ayi. Persahabatan sejati keduanya pastilah membawa energi positif yang akan menekuk sang penyakit.
Minggu malam, 19 Juni, saya mengikuti launching buku sejarawan Andi Achdian di tempat Dolorosa Sinaga. Sekitar jam satu malam saya pulang. Baru saja saya tertidur, sekitar pukul 03.43 WIB sms dari Sylvia Tiwon, Vivien dan kemudian Andi Yuwono mengabarkan bahwa Ayi Bunyamin sudah wafat dengan tenang pada pukul 03.07 WIB di rumah sakit Persahabatan, Rawamangun.
Saya shock. Tak bisa membedakan, apakah ini mimpi atau kenyataan. Tangan saya bahkan tak bisa memencet tompol hape. Hampir lima menit saya tetap tak bisa percaya. Saya ke kamar mandi mencuci muka dan minum segelas air dingin. Berharap, ini hanyalah mimpi buruk belaka. Sampai sekarang saya masih belum bisa menerima bahwa Ayi sudah pergi untuk selamanya.
Senin, 20 Juni bersama Fay, Abduh, Lasja, Mugi dan Irwan, kami menghadiri pemakaman Ayi di Tasikmalaya. Sepanjang jalan, kami mencoba mengurangi tekanan psikologis dengan gurauan. Semakin mendekati rumah duka, saya sudah gugup. Ternyata Ayi sudah dimakamkan sekitar jam dua siang. Setelah mengucapkan dukacita pada sanak famili Ayi, kami diantar Budi Rajab ke makam Ayi yang masih merah dengan kembang warna-warni bertaburan di atasnya. Sebuah nisan kayu tertancap di ujungnya. Abduh mengucapkan doa. Kawan-kawan lainnya hanya hening. Dytha dan Pheo terisak menangis sambil menggenggam tanah merah. Saya mencoba menahan gumpal panas di sudut mata, menahannya dalam suara terisak. Usai menyanyikan ‘Darah Juang’ untuk melepas Ayi, saya mencium nisan kayu Ayi Bunyamin. Di pojok makam, di sebelah Andi saya pun menangis. Saya tak ingin Ayi tahu saya berduka di depannya.
Selamat jalan Ayi Bunyamin, selamat menikmati istirahat panjang dan kebebasan paling hakiki.***
Citayem, 22 Juni 2011
Wilson, aktivis dan sejarawan
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di http://www.prakarsa-rakyat.org/. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.