PADA DEKADE 1960an, tepatnya pada 1964, bertempat di universitas Birmingham, Inggris, Richard Hoggart mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama Centre for Contemporary Cultural Studies (CCCS). Lembaga ini dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah disiplin baru dalam ilmu sosial yang disebut Cultural Studies, dengan tokoh utamanya Stuart Hall, yang menggantikan Hoggart sebagai direktur CCCS.
Francis Mulhern[1] menulis, cultural studies menjadi sebuah disiplin baru karena memang direncanakan untuk menantang teori-teori lama yang telah mapan, baik secara teoritik maupun secara empirik. Gagasan utama di balik pembentukan disiplin baru ini adalah mencari terobosan baru dalam ilmu sosial yang mengalami kebuntuan setelah gagalnya proyek modernitas, baik yang diusung oleh kaum liberal dan terutama kaum Marxis yang didominasi oleh penafsiran resmi Moskow saat itu. Stalinisme, tampaknya telah menjadi hantu yang mengerikan bagi kalangan intelektual Marxist seperti Hoggart dan Hall. Selain itu, kegagalan gerakan mahasiswa 1968, restorasi kapitalisme model Gaullist di Prancis yang dilanjutkan dengan modernisasi a la Francois Mitterand dan kolapsnya eksperimen Revolusi Kebudayaan yang dicanangkan Mao Zedong di Cina, memberikan amunisi tambahan bagi perkembangan pesat disiplin cultural studies ini.
Setelah bangkrutnya Stalinisme dan runtuhnya Tembok Berlin, demikian Mulhern, CCCS kini telah menjadi departemen tersendiri di universitas Birmingham, dengan menyelenggarakan program sarjana dan pasca sarjana yang bergengsi, penelitian-penelitian akademik, konferensi-konferensi ilmiah, serta penerbitan jurnal dan buku-buku bermutu. Dalam waktu singkat, pengaruhnya melampaui gedung universitas yang megah itu. Apa yang 30 tahun lalu hanya merupakan intervensi akademik dari segelintir intelektual radikal, kini telah menjadi disiplin yang dominan di jurusan-jurusan yang menyebut dirinya ilmu sosial. Tidak pede rasanya menjadi pakar ilmu sosial kalau tidak mengutip teori-teori cultural studies.
Tesis utama cultural studies bahwa kegagalan proyek modernitas karena bertumpu pada rasionalisme sekuler, bersifat total dalam menjelaskan sebuah gejala sosial dan klaimnya yang berwatak universal. Sejarah menunjukkan bahwa rasionalisme sekuler ternyata tidak menyebabkan manusia menjadi semakin beradab, dan “tak ada seorang pun, bahkan tak ada kolektif profesional pun, yang bisa menstudi ‘apa saja’…”[2] Tidak ada itu ilmu pengetahuan yang bersifat universal, yang bisa menjelaskan segala hal melampaui dimensi ruang dan waktu. Sebab ilmu pengetahuan adalah sebuah kesepakatan kolektif yang terikat pada ruang dan waktu tertentu, dan karenanya tak ada pemilahan antara yang tradisional dan modern, atau lebih tegas lagi, tak benar klaim bahwa yang modern lebih baik dan maju dari yang tradisional, karena yang tradisional punya pengetahuan dan kebijaksanaannya sendiri seperti halnya yang modern. Barat tidak lebih unggul dari Timur, karena Timur juga punya pengetahuan dan kebijaksanaannya sendiri. Orientalisme, yang menjadi hantu sangat mengerikan bagi kalangan Islam politik, adalah bagian tak terpisahkan dari semangat “baru” kalangan akademik ini.
Selain itu, karena perkembangan awal disiplin ini di Inggris terpisah dari perjuangan kelas buruh, maka kemudian berkembang tesis bahwa tak ada satu kelompok pun yang memiliki keistimewaan untuk memanggul tugas sejarah. Semua kelompok, dari kalangan lingkungan, perempuan, LGBT, dan masyarakat adat punya posisi sejajar dalam membebaskan dirinya dari ketertindasan. Singkatnya, pengetahuan, pemahaman, dan penghargaan akan “the Others/yang Lain” adalah kata kunci dari disiplin cultural studies ini.
Kritik cultural studies terhadap kegagalan proyek modernisme, sebenarnya bukan hal yang baru. Carl Freedman dalam bukunya “The Incomplete Projects,” mengatakan bahwa kritik terhadap dampak buruk Modernisme (Modernism) dan Pencerahan (Enlightenment) sudah berlangsung sejak awal kemunculannya, yang dilakukan oleh mereka yang disebut kelompok Romanticism. Kelompok Romanticism ini memrotes apa yang disebut sebagai kalkulasi dan otonomisasi atas nama perasaan (feelings) dan kemenyeluruhan (wholeness) yang dibawa oleh tradisi Modernisme dan Pencerahan.[3]
Kritik terhadap proyek Modernitas juga dikemukakan oleh Oswald Spengler. Hidup pada masa Perang Dunia I, yang disebut sejarawan Eric Hobsbwan sebagai the Age of Extreme, Spengler dalam bukunya “The Decline of the West” memproklamasikan bahwa apa yang disebut peradaban Barat dan dominasi nilai-nilainya sedang menjemput ajalnya. Kata Oswald, “ikatan dan tradisi yang selama ini menyatukan masyarakat secara bersama-sama sedang mengalami pembusukkan, solidaritas hidup bersama telah hancur, bersamaan dengannya hancurnya budaya dan pemikiran. Seperti halnya setiap peradaban lainnya yang hancur seturut siklus alamiah, Barat tak terelakkan lagi telah melewati musim gugur (yakni kehancuran) “spiritual” dan “pencerahan” menuju musim dingin individualisme dan nihilisme.”[4]
Empat dekade setelah kritik Spengler, sosiolog Amerika terkemuka C. Wright Mills, menyuarakan hal senada dengan Spengler. Kata Mills, “kita berada pada akhir dari apa yang disebut Abad Modern. Abad ini kini telah digantikan oleh apa yang disebut ‘post-modern’ dimana seluruh perkiraan sejarah yang dikarakterisasikan oleh ‘budaya Barat’ tidak lagi relevan. Iman pencerahan dalam kesatuan kemajuan akal dan kebebasan bersama-sama dengan prinsip ideologi yang mendasari iman pencerahan tersebut – yakni liberalisme dan sosialisme – secara virtual gagal dalam menjelaskan dunia dan diri kita sendiri. J.S. Mill dan Karl Marx pada saat bersamaan telah menjadi usang.”[5]
Ilmuwan politik Marxis terkemuka saat ini, Ellen Meiksins Wood menjelaskan, di antara kedua figur yang memproklamasikan kematian proyek modernisme dan pencerahan itu, terbentang era dan semangat yang sangat berbeda. Spengler yang menerbitkan bukunya pada 1918 adalah figur yang secara sentimental anti-demokratik, karena ia berhadapan dengan lingkungan yang begitu ekstrim: perang, kemiskinan, dan revolusi Bolshevik di Rusia. Sementara Mills yang menerbitkan bukunya pada 1959 adalah seorang sarjana radikal yang hidup di masa ketika kapitalisme AS sedang mencapai puncak kejayaannya: tingkat hidup yang relatif makmur, situasi sosial yang relatif harmonis, dan merebaknya sikap politik yang apatis. Dengan demikian, pada Spengler, janji yang diumbar oleh modernisme dan pencerahan hanyalah omong-kosong belaka; sementara pada Mills, janji modernitas dan pencerahan telah terpenuhi, yang dibahasakan oleh Daniel Bell (karib Mills), sebagai “the end of ideology.”[6]
Tetapi, barangkali kritik paling serius terhadap gagasan modernisme dan pencerahan, datang dari kalangan posmodernis, seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, Jacques Lacan, dst, yang sangat terpengaruh oleh pemikiran filsuf eksistensial Friedrich Nietzche. Para pemikir posmodernis ini, yang lahir dari masa keemasan kapitalisme dekade 1950an dan akhir 1960an, tidak saja melakukan kritik sejarah tetapi juga melangkahi sejarah dengan menggeser fokus analisa dari ekonomi politik ke soal bahasa (language), budaya (culture), dan wacana (discourse).[7] Sedemikian dahsyatnya kritik posmodernis ini diakui oleh Tony Benn, politisi sayap kiri terkemuka partai buruh Inggris, yang juga menjadi kawan karib dari intelektual-cum aktivis kiri Ralph Miliband. Dalam pengantar untuk biografi Miliband, Benn menulis, “…pemikiran posmodernis, untuk hal-hal tertentu, telah mengikis kepercayaan diri kita dan menempatkan kita pada posisi yang sulit untuk mencari jalan keluar ke depan.”[8]
Modernitas dan pencerahan
Sosiolog Marxis John Bellamy Foster, menulis, bahwa sasaran utama dari klaim kaum posmodernis terhadap kegagalan proyek Modernisme sebenarnya ditujukan kepada Marxisme. Dengan memproklamasikan penolakan atas apa yang disebut “totalization”, “teleology” dan “utopianism”, Foster, merujuk pada Dick Hebdige, menyimpulkan bahwa proklamasi itu sekaligus merupakan “…serangan terhadap Marxisme sebagai sebuah sistem penjelas yang total…”[9]
Tak ada keraguan bahwa benar marxisme menawarkan sebuah penjelasan total atas apa yang disebut hubungan produksi sosial kapitalisme, sebuah bentuk hubungan produksi sosial tertentu dalam sejarah perkembangan manusia. Marx dan Engels tidak berpretensi untuk menjelaskan seluruh bentuk hubungan produksi sosial yang pernah ada dan akan ada dalam sejarah manusia. Bentuk-bentuk hubungan sosial sebelum kapitalisme, bagi Marx dan Engels, hanya menjadi sumber historis dalam menjelaskan bentuk dan cara kerja kapitalisme. Sementara bentuk hubungan sosial pasca kapitalisme, yang mereka sebut komunisme, adalah bentuk masyarakat yang dibayangkan.
Atas dasar itu, Marx dan Engels tidak percaya bahwa kapitalisme adalah bentuk hubungan sosial produksi yang telah ada sejak awal, sekaligus menolak bahwa hubungan sosial ini bersifat abadi. Bagi keduanya, karena kapitalisme adalah sebuah produk historis tertentu, dengan demikian bisa diubah dalam situasi dan kondisi historis tertentu pula. Kesimpulan ini tampak pada tesis kesebelas tentang Feurbach yang terkenal itu: “para filsuf hanya berusaha menafsirkan dunia padahal yang terpenting adalah mengubahnya.”
Lantas apa hubungannya dengan Modernisme dan juga Pencerahan? Sebelum lanjut, perlu diklarifikasi penyebutan antara Modernisme dan Pencerahan dalam satu tarikan nafas. Carl Freedmann, menulis, modernisme secara sederhana bisa diartikan sebagai era yang didominasi oleh corak produksi kapitalis.[10] Sementara filsuf kondang Jurgen Habermas, mengatakan bahwa proyek modernitas adalah produk para filsuf Pencerahan pada abad ke-18, yang yang tujuannya untuk mengembangkan kebenaran obyektif ilmu pengetahuan, moralitas dan hukum universal, serta otonomi seni menurut logika dalamnya sendiri. Pada saat yang sama proyek ini dimaksudkan untuk membebaskan potensi pengetahuan setiap orang pada setiap domainnya. Singkatnya, demikian Habermas, para filsuf pencerahan ingin mengakumulasi kekhususan budaya ini untuk memperkaya kehidupan sehari-hari, atau mengorganisasi kehidupan sehari-hari secara rasional.[11]
Lorraine Y Landry dalam bukunya Marx and the postmodernism debates: an agenda for critical theory,” menulis bahwa sejak awal modernisme telah dihubungkan dengan dua konsepsi tentang akal (reason): pertama, akal teknikal-instrumental yang secara visioner bisa ditemukan pada frase Descartes, “untuk menjadikan diri kita tuan dan pemilik alam; kedua, konsepsi tentang akal moral-praktikal, yang menekankan bahwa satu-satunya norma yang valid dan memadai adalah kesadaran otonomi individual dalam memilih jalan hidupnya.[12]
Berdasarkan pendapat ini, tampak bahwa Modernisme lebih merupakan ekspresi ekonomi sedangkan Pencerahan adalah ekspresi kulturalnya. Atau, dengan kata lain, modernisme identik dengan kapitalisme, dan pencerahan adalah aspek ideologisnya.
Tetapi, argumentasi ini kurang bisa mengklirkan kesembronoan selama ini yang mengidentikkan Modernisme dengan Pencerahan dan juga dengan Kapitalisme. Karena itu penting melihat apa yang dikemukakan Wood berkaitan dengan kedua hal ini. Wood berpendapat, Modernisme adalah sebuah produk historis tertentu, yang pertama kali berkembang di Inggris ketika hubungan produksi sosial kapitalisme tengah dalam proses perkembangannya setelah terbebas dari kungkungan hubungan produksi sosial feudal.[13] Pada masa itu (abad 18), Inggris diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana kapitalisme pertanian sedang di puncak perkembangannya serta pertumbuhan pesat penduduk perkotaan. Karena itu, gagasan yang berkembang di Inggris bukan “rasionalisme Cartesian dan perencanaan rasional tetapi tangan gaib dari ekonomi politik klasik dan empirisisme Inggris.”[14] Lebih jelasnya, menurut Wood, karakteristik ideologi yang berkembang di Inggris.
“…di atas segalanya adalah ideologi tentang “perkembangan/improvement” bukan gagasan pencerahan tentang perkembangan kemanusiaan/humanity tetapi perkembangan kepemilikan/property, etika dan tentu saja ilmu pengetahuan tentang produktivitas/productivity dan keuntungan, komitmennya pada peningkatan produktivitas kerja, etika tentang pengambilalihan paksa (enclosure) tanah milik petani dan pengusiran paksa (dispossession) petani dari tanahnya.”[15]
Sebaliknya Pencerahan adalah produk tanah Prancis yang didominasi oleh masyarakat agraris (85 – 95 persen dari total populasi), dengan pasar yang terbatas dan terpencar-pencar, yang beroperasi di luar prinsip-prinsip kapitalis, tidak menciptakan nilai dalam produksi tetapi pada praktek-praktek perdagangan kuno – seperti membeli semurah-murahnya untuk dijual semahal-mahalnya, barang yang diperdagangkan umumnya barang-barang mewah atau mensuplai peralatan untuk kantor-kantor pemerintah. Singkatnya, borjuasi yang muncul di Prancis – jika dibandingkan dengan Inggris – bukanlah kelas kapitalis melainkan para professional, pekerja kantoran, dan intelektual.[16]
Dengan kondisi material seperti itu, maka gagasan yang dikumandangkan oleh borjuasi Prancis adalah persamaan sipil dan tuntutuan untuk “karir” yang terbuka bagi mereka yang berbakat.” Tuntutan ini, tujuannya untuk menyerang hak-hak istimewa kaum aristokrat. Contohnya, demikian Wood, “akses yang sama pada jabatan tinggi negara yang selama itu didominasi oleh aristokrasi, serta kesetaraan dalam sistem perpajakan yang selama itu sangat membebani the third estate dan sebaliknya sangat menguntungkan aristokrat. Selain itu, target utama dari protes ini tidak saja aristokrasi tetapi juga gereja.”[17]
Secara ideologis, karakteristik utama ideologi yang diusung oleh borjuasi Prancis adalah universalisme, yakni penerapan prinsip-prinsip kemanusiaan (persamaan, keadilan, dan persaudaraan) dalam makna yang umum dan melampaui batas ruang dan waktu. Universalisme sendiri, dalam periode sejarah Barat, sebenarnya bukan hal yang baru, tapi di tangan borjuasi Prancis term ini punya makna yang khusus, yakni sebagai perlawanan terhadap hak-hak istimewa yang dimiliki oleh aristokrasi dan gereja.
Dengan demikian, bagi Wood ketika kita bicara tentang aspek destruktif dari modernitas, seperti degradasi lingkungan, kemiskinan, kolonialisme dan perang, maka kita mesti bicara tentang dampak dari ideologi “perkembangan produktivitas” Modernisme, bukan ideologi “perkembangan kemanusiaan” dari Pencerahan.[18]
Manifesto dan Modernitas
Marx dan Engels, seperti yang telah saya sebut sebelumnya, memfokuskan studinya pada kapitalisme sebagai hubungan produksi sosial tertentu. Keduanya tidak berbicara tentang Modernisme secara khusus atau memandang modernisme sebagai sebuah hubungan produksi sosial tertentu. Bagi keduanya, modernisme adalah sesuatu yang inheren dalam sistem kapitalisme yang dalam Manifesto muncul dalam kalimat:
“Borjuasi tidak dapat hidup tanpa senantiasa merevolusionerkan alat-alat produksi dan karenanya merevolusionerkan hubungan-hubungan produksi, dan dengannya merevolusionerkan segenap hubungan dalam masyarakat. Sebaliknya, mempertahankan cara-cara produksi lama dalam bentuknya yang tidak berubah adalah syarat pertama untuk hidup bagi segala kelas industri yang terdahulu. Senantiasa merevolusionerkan produksi, kekacauan tiada putus-putusnya dalam segala syarat sosial, ketiadaan kepastian serta kegelisahan yang abadi itu membedakan jaman borjuasi dengan jaman-jaman sebelumnya. Segala yang tetap, hubungan yang cepat membeku, dengan rentetannya berupa prasangka-prasangka serta pendapat-pendapat kuno yang disegani, disapu bersih, segala bentuk-baru menjadi usang sebelum membatu. Segala yang padat hilang larut dalam udara, segala yang suci menjadi ternoda, dan pada akhirnya manusia terpaksa menghadapi dengan hati yang tenang syarat-syarat hidupnya yang sebenarnya, dan hubungan-hubungannya dengan sesamanya.
Kebutuhan akan perluasan pasar bagi produk-produknya, mendorong borjuasi untuk menempati seluruh wilayah dunia. Ia harus ada di mana-mana, bertempat di mana-mana, dan membangun hubungan di mana-mana.[19]
Kutipan ini telah menjadi dasar dari banyak sekali studi bahwa Marx adalah salah satu “Bapak” Modernisme, yang percaya bahwa Modernisme bersifat universal, progresif dan liberatif.[20] Sesuatu yang kemudian disangkal oleh banyak kalangan saat ini. Tetapi apa yang disajikan Marx dan Engels melalui kutipan di atas hanyalah satu sisi dari watak kapitalisme, yakni wataknya yang progresif. Sisi lain yang juga disoroti Manifesto adalah watak kapitalisme yang bersifat destruktif. Ekonom John E. Elliott mengatakan elemen kreatif dan progresif dari kapitalisme mencakup: revolusionarisasi, universalisasi, dan industrialisasi;[21] sedangkan elemen destruktifnya meliputi keterasingan, penindasan, krisis siklikal, depresi, dan pengangguran.[22]
Dengan memaparkan dua wajah kapitalisme ini, Manifesto tidak sedang mengakomodasi watak progresif (modernisme) dari kapitalisme dan menolak watak destruktifnya. Bagi Manifesto kedua watak itu adalah dua sisi dari koin kapitalisme yang saling berhubungan secara dialektis. Ketika kapitalisme datang dengan gagasan progresif, misalnya, pada saat yang bersamaan ia membawa mesin penghancurnya. Inilah yang oleh geografer David Harvey sebut sebagai watak Creative Destruction.[23] Untuk membangun sesuatu yang baru yang lebih maju, maka yang tradisional harus dihancurkan.[24] Agar roda kapitalisme bisa berjalan lurus, maka rejim orde baru harus menghancurkan (dalam makna yang vulgar maupun simbolik) semua onak dan duri yang merintanginya: aturan-aturan lama yang kaku dan kekuatan sosial politik yang menentangnya. Lebih konkret lagi, untuk membangun sistem transportasi yang canggih maka dibutuhkan lahan yang cukup, yang itu berarti penggusuran terhadap penduduk yang menetap di atas tanah tersebut.
Penutup
Berdasarkan uraian ini, tuduhan dan kritik bahwa Marx dan Engels telah mempromosikan modernitas adalah keliru. Bahkan konsekuensi lebih jauh dari Manifesto – tidak seperti kaum Romanticism yang menolak Modernitas dan Pencerahan dengan mengusung jargon kembali kepada nilai-nilai lama atau kaum sosialis utopia yang menganjurkan perdamaian kelas atau kaum posmodernis yang merayakan tradisi, partikularitas dan politik etnis – maka Manifesto datang dengan proposal “untuk mengakhiri watak destruktif kapitalisme satu-satunya jalan adalah dengan menghancurkan sistem produksi sosial kapitalisme itu sendiri.
Menuduh bahwa Marxisme adalah reductionism, foundationalism atau essentialism, hanya menunjukkan bahwa kaum posmodernis menolak wajah modernitas dari kapitalisme tanpa harus menolak kapitalisme itu sendiri. Karena itu ketika mereka (cultural studies, posmodernis, dan atau posmarxis) mempromosikan politik identitas sebagai penolakan terhadap politik kelas, hal itu merupakan konsekuensi logis dari apa yang disebut Wood sebagai “a deep epistemological skepticism and a profound political defeatism.”[25] Dengan demikian bagi Wood, kritik posmodernis terhadap Marxisme tidak lebih sebagai lelucon. Selanjutnya Wood menulis:
“Apakah kita tidak mengerti bahwa kapitalisme terus melakukan restrukturisasi dan kini bahkan semakin mengglobal dan makin tersegmentasi dibanding sebelumnya? Dan karena restrukturisasi itu, siapa yang tak peduli bahwa telah terjadi perubahan struktural yang mentransformasi watak kelas pekerja itu sendiri? Dan siapa kaum sosialis yang tidak serius menyadari adanya pembagian rasial dan seksual di dalam kelas pekerja? Dan siapa yang ingin melekatkan dirinya pada budaya dan ideologi imperialisme yang menindas keberagaman nilai-nilai kemanusiaan dan budaya atau penghinaan terhadap “pengetahuan” tertentu dari kelompok kebanyakan dengan kekayaan pengalaman dan keahlian mereka? Dan bagaimana mungkin kita menyangkal pentingnya bahasa budaya politik dalam dunia yang didominasi oleh simbol, citra dan “konsumsi massa,” untuk tidak mengatakan “informasi bebas hambatan?” Siapa yang menolak hal-hal itu dalam dunia kapitalisme global yang begitu tergantung pada manipulasi simbol dan citra dalam kultur iklan, ketika media memerantarai pengalaman personal kita, kadang-kadang secara langsung kita menganggap apa yang kita lihat di televisi tampak lebih nyata ketimbang hidup kita sendiri, dan ketika pengertian debat politik dirancang dan secara sempit dibatasi – didikte oleh kapital secara langsung sebagai pengetahuan dan komunikasi terus meningkat di tangan para korporat raksasa?[26]
Bagi Wood, dan saya sangat sependapat dengannya, kita tidak perlu menjadi seorang posmodernis atau cultural studies untuk mengerti hal-hal di atas. Bahkan fakta-fakta itu hanya menguatkan apa yang selama ini menjadi fokus perhatian dari penjelasan materialis atas sejarah.***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)
[1] Francis Mulhern, “The politics of cultural studies,” in Ellen Meiksins Wood and John Bellamy Foster, “In Defense of History Marxism and the Postmodern Agenda,” Monthly Review Press, 1997, p. 43.
[2] Ibid., p. 45.
[3] Carl Freedman, “The Incomplete Projects Marxism, Modernity, And The Politics of Culture,” Wesleyan University Press, p. 24.
[4] Dikutip dari Ellen Meiksins Wood, “What is The ‘postmodern’ Agenda,” in Ellen Meiksins Wood and John Bellamy Foster, “In Defense of History Marxism and the Postmodern Agenda,” Monthly Review Press, 1997, p. 1.
[5] Loc.cit
[6] Ibid., p. 2
[7] Francois Lyotard, salah satu dedengkot posmodernis mengatakan, “I will use the term modern to designate any science that legitimate itself with reference to a metadiscourse …making an explicit appeal to some grand narrative, such as the dialectic of spirit, the hermeunetics of meaning, the emancipation of the rational or working subject, or the creation of wealth…. I define postmodernism as incredulity toward metanarratives.” Dikutip dari John Bellamy Foster, “Indefense of History,” in Ellen Meiksins Wood and John Bellamy Foster, “In Defense of History Marxism and the Postmodern Agenda,” Monthly Review Press, 1997, p. 184.
[8] Tony Benn, “Foreword” in Michael Newman, “Ralph Miliband and The Politics of the New Left,” the Merlin Press, 2010, p. ix.
[9] Op.cit, p.186.
[10] Ibid., p. 17.
[11] Lihat Freedman, Op.cit, p. 18
[12] Lorraine Y Landry, “Marx and the postmodernism debates: an agenda for critical theory,” Praeger Publishers, 2000, p. 1
[13] Op.cit., p. 37
[14] Ibid., p. 37
[15] Ibid., p.38
[16] Ibid., p.34
[17] Ibid., p.35
[18] Ibid., p.38
[19] Karl Marx and Frederick Engels, “The Communist Manifesto,” A Road Map to History’s Most Important Political Document, edited br Phil Gasper, Haymarket Books, 2005, p. 44. Phil Gasper memberikan komentarnya terhadap dua kalimat ini sbb: “This is one of the most rethorically brilliant passage in a work filled rethorically brilliant passages. The instrument of production are the tools and technology used at a particular time. The relations of production are the complex ways in which individuals and groups are interconnected in economic activity, crucially including those who own or control the instruments (or means) of production. Market competition is the underlying cause for continual technological innovation under capitalism, but these rapid changes affect not just the economy and class relations, but the entire fabric of society – from culture, customs, and morals to the structure of the family. Such changes can be exhilarating and liberating, but they can also be profoundly disorienting and alienating, as life becomes more of a rat race, and more dominated by economic imperatives.”
Sementara untuk paragraph selanjutnya, Gasper berkomentar: “The search for new markets, raw materials, and cheap labor drives capitalists around the world. Marx and Engels were the first to notice the process that today is called ‘globalization.’”
[20] Lihat, sebagai contoh, Derek Sayer, “Capitalism and Modernity: an excursus on Marx and Weber,” Routledge, 1991.
[21] John E. Elliott, “Marx and Engels On Economics, Politics, and Society Essential Readings With Editorial Commentary,” Goodyear Publshing Company, 1981, p.109.
[22] Ibid., p. 120
[23] Untuk diskusi lebih detil, lihat David Harvey, “Paris, Capital Of Modernity,” Routledge, 2006.
[24] Dalam kalimat Harvey, “Tradition has to be overthrown, violently if necessary, in order to grapple with the present and create the future,” ibid., p. 15.
[25] Op.cit, p. 7
[26] Ibid., p. 11