Studi Perayaan Hari Buruh 1946-1947*
5. Kegiatan Perayaan 1 Mei
Dari dua buku saku yang dibahas di atas kita memiliki jendela dalam melihat bagaimana 1 Mei dipersepsikan, disebarluaskan, dan dimaknai oleh gerakan buruh Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Yaitu, bahwa perayaan 1 Mei diterjemahkan sebagai perayaan kemenangan bagi buruh Indonesia di dalam perjuangannya bersama-sama dengan rekan buruh sedunia dalam melawan sistem kapitalisme. Selain itu juga, perayaan 1 Mei oleh SOBSI, organisasi buruh terbesar pada masa itu, dijadikan kerangka dasar bagi perjuangan buruh di dalam mendukung kemerdekaan penuh negara muda Indonesia dan juga mengajukan tuntutan akan kepentingan sosial-ekonomi buruh sebagai cermin keadilan sosial masyarakat Indonesia yang baru merdeka. Jika perayaan 1 Mei dimaknai sebagai hari kemenangan bagi buruh Indonesia, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana tuntutan-tuntutan buruh Indonesia dalam perjuangannya menuju kemakmuran dan melawan kapitalisme itu dirumuskan? Kegiatan-kegiatan apa yang diadakan/disusun dalam perayaan 1 Mei itu dalam menunjang pemenuhan tuntutan itu? Juga, bagaimana kegiatan-kegiatan itu diselenggarakan dalam situasi sosial-politik negara muda Indonesia yang masih menghadapi serbuan tentara Belanda?
Dalam bagian ini akan diulas singkat beberapa kegiatan buruh dalam perayaan 1 Mei pada masa revolusi Indonesia 1945-1949, khususnya 1946 dan 1947. Sedikitnya bahan-bahan sejarah yang terselamatkan, memberikan kesulitan tersendiri di dalam menyusun suatu kronologi yang lengkap akan kegiatan buruh. Walau demikian, ada gambaran yang dapat dijadikan masukan awal bagi penelitian lebih lanjut tentang hal ini: bahwa negara turut aktif di dalam perayaan 1 Mei, dan bahwa serikat buruh tidak segan-segan melintas-batas berpadu menggalang kekuatan di dalam perayaan 1 Mei. Ini semua dapat dimengerti dalam konteks sosial-politik masa itu yang memaksa semacam kerjasama antara negara dan masyarakat (dalam hal ini, kelompok buruh) dalam menghadapi tekanan tentara Belanda.
a. Perayaan 1 Mei 1946
Perayaan 1 Mei 1946 adalah perayaan pertama dalam alam kemerdekaan. Saat itu adalah masa Kabinet Sjahrir Kedua (Maret 1946 – Oktober 1946). Dengan membuka keran demokrasi parlementer, kabinet Sjahrir memastikan keleluasaan gerakan buruh. Sjahrir adalah seorang demokrat-sosialis yang mementingkan hak-hak buruh, setidaknya atas dua dasar: pembacaannya akan sistem negara Indonesia yang ia cita-citakan sebagai negara kesejahteraan, dan sokongannya terhadap gerakan buruh sebagai sumber mobilisasi massa. Karenanya, Kementerian Sosial yang dipimpin oleh Maria Ulfah, memberikan dukungan besar dalam pelaksanaan perayaan 1 Mei. Kementerian Sosial mengeluarkan satu Makloemat, yang isinya:
Kepada boeroeh harian jg. ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe.
Kepada kantor2 Djawatan2 dan peroesahaan2 tsb diatas diperkenankan mengibarkan Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih.[i]
Secara strategis, Makloemat Kementerian Sosial itu sesungguhnya disusun sebagai jawaban positif pemerintah atas tuntutan dari gerakan buruh sebelumnya. Beberapa minggu sebelum 1 Mei, Barisan Boeroeh Indonesia (BBI) telah mengajukan tuntutan terbuka kepada Presiden agar 1 Mei dijadikan hari raya (sebab hari 1 Mei 1946 memang jatuh pada hari Rabu), dan “sekolah2 dan kantor2 soepaja ditoetoep oentoek menghormati hari itoe dan kepada kaoem boeroeh seoemoemnja diberikan kesempatan seloeas2nja oentoek merajakan hari kemenangan.”[ii] Jadi, inisiatif perayaan 1 Mei datang dari gerakan buruh, dan oleh karenanya, mereka mengajukan tuntutan kepentingan kepada negara. Negara memberikan jawaban positif atas tuntutan tersebut, dan bahkan selangkah maju mendukung 1 Mei agar dirayakan secara besar-besaran oleh gerakan buruh, dengan memberikan jaminan ekonomis pembayaran upah bagi buruh yang ikut merayakannya dan memperkenankan pengibaran bendera merah (yaitu, bendera simbol perjuangan buruh).
Jawaban positif negara atas tuntutan dari gerakan buruh, bukanlah hal yang mengherankan. Dalam konteks negara yang baru merdeka, negara Indonesia hendak membangun citra yang membedakan dirinya dari negara kolonial yang dilawannya, yaitu dengan melindungi dan mendukung gerakan rakyat. Seperti yang terjadi juga di banyak tempat di Asia dan Afrika yang membebaskan dari cengkeraman kolonialisme Eropa, negara Indonesia yang akan dibangun bukanlah seperti negara kolonial yang menindas dan menyengsarakan rakyat (pribumi), melainkan berupaya mengakomodir sebisa mungkin segala kepentingan rakyatnya. Gerakan buruh, yang walaupun jumlahnya tidaklah besar di negara-negara yang baru merdeka ini, mempunyai peran sentral sebagai penggerak mobilisasi massa, sehingga dukungan sosial-politik gerakan buruh menjadi salah satu kunci utama bagaimana pondasi negara yang baru merdeka itu akan disusun. Dalam konteks demikian, Makloemat Kementerian Sosial dapat dipahami sebagai bentuk relasi simbiosis mutualis politik antara negara muda Indonesia dengan gerakan buruh.
Tidak ada data sejarah yang menceritakan bagaimana pelaksanaan isi Makloemat Kementerian Sosial tersebut di dalam kenyataannya di lapangan. Apakah benar semua buruh yang “ikoet merajakan hari 1 Mei diberi gadjih teroes oentoek hari itoe”? Apakah sungguh terjadi diperkenankannya pengibaran “Bendera Merah disamping Sang Merah Poetih” di kantor-kantor pemerintah? Kita tidak dapat menjawab secara positif dua pertanyaan penting ini. Dengan demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran atas isi Makloemat itu. Walau begitu, penelusuran beberapa koran utama sepanjang tahun 1946, tidak menemukan adanya berita keluhan dari gerakan buruh atas perayaan 1 Mei 1946, sehingga kita cukup mengetahui bahwa perayaan 1 Mei 1946, sekalipun terjadi pelanggaran atas isi Makloemat, telah berjalan lancar.
Patut diketahui pula bahwa persiapan perayaan 1 Mei 1946 telah dimulai beberapa hari sebelumnya. Jauh hari sebelumnya, Barisan Boeroeh Indonesia sudah membentuk “Panita Peringatan hari 1 Mei”.[iii] Tugas Panitia ini lebih berupa “penerangan-penerangan” – atau dalam kosakata kekinian: kampanye – perihal sejarah dan arti penting perayaan 1 Mei bagi buruh dan masyarakat umumnya. Maka itu, dapatlah kita ketahui konteks sosial-politik penulisan buku saku “Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia” karangan Sandra – yang mencoba menerjemahkan perayaan 1 Mei bagi buruh dalam alam kemerdekaan yang baru dinikmati rakyat Indonesia. Jadi, “penerangan” ditempuh lewat terbitan buruh. Selain itu, “penerangan-penerangan” ini juga dilakukan dengan memanfaatkan media utama pada jaman itu, yaitu: radio. Radio adalah media massa terpenting pada masa 1940-an – 1950-an yang dapat menjangkau masyarakat luas, dan perayaan 1 Mei (dianggap) sebagai hal penting yang perlu disiarkan dan diketahui rakyat umum. Gerakan buruh memberikan “penerangan-penerangan” lewat radio dalam siaran berita Antara. Kegiatan apa yang disusun, juga jadwal acara perayaan 1 Mei disebarkan ke masyarakat umum lewat radio.
Menteri Sosial juga memberikan pidatonya lewat radio dalam perayaan 1 Mei 1946.[iv] Pidatonya berintikan dua hal, yaitu tentang “sedjarah sarekat kerdja di lain negeri”, dan juga harapan agar gerakan buruh “memberi bantoean dengan ikoet membangoenkan negara Indonesia jang merdeka.” Menariknya, Menteri Sosial juga menyebut program kerja Kementerian dalam menyusun satu “Oendang-oendang Sosial jang ditoejoekan kepada perbaikan nasib rakjat Indonesia seoemoemnja.” Oendang-oendang sosial ini dalam perkembangannya di kemudian hari menjadi UU No. 12/1948 tentang Kerdja.
Selain “penerangan-penerangan”, BBI juga mengadakan “pertemoean dimana kaoem boeroeh laki-laki dan perempoean djoega isteri boeroeh, ditoenggoe kedatangannja”. Pertemuan umum lebih berupa ajang sosialisasi di antara rekan-rekan aktivis buruh di tingkat nasional. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan lagu perjuangan buruh “Internasionale” diputar berturut-turut. Juga diperkenalkan lagu “Satoe Mei” sebagai lagu perjuangan buruh Indonesia dari kelompok progresif (Lihat: Gambar 4).
Sementara itu di tingkat lokal, perayaan 1 Mei 1946 mengambil bentuk lain. Sebagaimana diberitakan, gerakan buruh di Pati mengadakan “rapat raksasa” yang berupa upacara (yang dimulai pukul 7 pagi) dan dilanjutkan dengan “arak-arakan setjara demonstrasi dengan membawa sembojan-sembojan”. Juga diadakan “gerakan pengoempoelan bahan pakaian, obat-obatan dan lain-lain oentoek menolong fakir miskin dan bekas roomoesha.” Keprihatinan gerakan buruh terhadap fakir miskin dan bekas rõmusha merupakan bentuk solidaritas yang dipusatkan bagi kesejahteraan masyarakat umum. Gerakan buruh (sudah) menyadari bahwa kesejahteraan rakyat seluruhnya adalah bagian dari cita-cita perjuangannya juga. Sebagai kelompok masyarakat yang “cukup” beruntung memiliki pekerjaan dan memperoleh upah atas pekerjaannya itu, gerakan buruh melakukan kerja-kerja konkret tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi bagi kaum rendahan keseluruhan. Kerja konkret ini didasarkan pada fakta bahwa bahan makanan pada masa-masa awal kemerdekaan sangatlah sulit didapat – dan harga beras di tanah Jawa melonjak drastis dalam masa kurun 1946-1947, sehingga beberapa serikat buruh menuntut pembayaran upah berupa beras.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bagi gerakan buruh Indonesia perayaan 1 Mei bukan semata-mata merupakan euforia sukacita perayaan kemenangan kelompok buruh atas pencapaian-pencapaiannya secara eksklusif, namun ekspresi keprihatinan yang bertujuan mendorong keadilan sosial bagi masyarakat umum. Ini adalah salah butir penting perayaan 1 Mei 1946, yang bisa kita simpulkan.
Satoe Mei
Tanggal satoe Mei ini
Perajaan kita
Di seloeroeh doenia
Kaoem proletariers
Tanggal satoe Mei ini
Kemenangan kita
Di seloeroeh doenia
Kaoem komoenisten
Refrein (batja doea kali):
Komoenisten, Komoenisten,
Tak selaloe bersoesah
Komoenisten, Komoenisten,
Djoega moesti bersenang
b. Perayaan 1 Mei 1947 sebagai Kegiatan Bersama
Apabila selama 1946 banyak serikat buruh yang terpencar-pencar – karena juga baru mulai tumbuh di akhir tahun 1945 dan aktivitas BBI masih terpusat di Jakarta, maka pada 1947, gerakan buruh mulai menyusun langkah-langkah untuk menuju persatuan. Untuk memahami kerangka persatuan ini, perlu kiranya dijabarkan singkat tentang dinamika hubungan antar organisasi serikat pada masa 1945 – 1948. Menjelang deklarasi kemerdekaan Agustus 1945, buruh-buruh langsung membentuk serikat berdasarkan wilayah kerjanya. Buruh kereta api di stasiun Manggarai berkumpul menjadi satu, sementara rekannya di Solo juga demikian. Juga, buruh perkebunan di Jogja langsung membentuk serikat di kalangannya sendiri. Masing-masing memiliki independensinya, namun menyadari bahwa mereka perlu kerjasama, terlebih lagi pada masa itu apa yang dimengerti sebagai “kelas pengusaha” belum terbentuk. Sampai akhir 1945 masing-masing organisasi buruh masih berdiri sendiri. Namun sampai pertengahan 1946, mereka mulai menggabungkan diri berdasarkan industri: buruh kereta api bergabung membentuk SBKA, buruh perkebunan gula membentuk Serikat Boeroeh Goela (SBG), buruh di lapangan minyak membentuk Serikat Boeroeh Minjak (SBM), dan sebagainya. Masing-masing memiliki struktur organisasi mandiri dengan jumlah keanggotaan yang tersebar di banyak daerah di Jawa.
Bagi kita di antara pembaca yang sebelumnya menghadapi dominasi tunggal SPSI dalam rejim Orde Baru, dan kemudian mengalami keberagaman serikat buruh dalam alam Reformasi sekarang ini, mungkin bisa menafsirkan fenomena ini semua sebagai kelemahan gerakan buruh. Namun sesungguhnya, nilai penting dari kenyataan ini adalah kemandirian buruh. Buruh telah mampu menyusun organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Semangat ini pula yang mendasari organisasi buruh 1946-1947. Hanya saja, di mulai sejak awal 1946, negara muda Indonesia mulai menyusun sendi-sendi pemerintahannya. Bersamaan dengan itu, organisasi buruh telah lebih dulu menduduki beberapa institusi penting. Misalnya, SBKA telah menguasai jalur perkeretaapian se-Jawa, SBG menguasai produksi gula untuk kemudian hasilnya dibagi rata di antara semua buruh gula, dan SBM menghimpun buruh-buruh minyak – yang pada masa itu, minyak merupakan sumber energi baru di samping batubara. Mendahului pemerintah, serikat buruh ternyata telah menguasai dan juga mampu mengatur laju jalan sendi-sendi perekonomian yang dianggap penting bagi kelangsungan suatu negara. Padahal, pemerintahan sendiri belum stabil. Kabinet Sjahrir melihat bahwa kemandirian serikat buruh bisa menjadi alat bagi gerakan kemerdekaan Indonesia, tapi juga mesti diwaspadai. Sebab, jika serikat buruh menjadi (terlalu) kuat maka pemerintahan (menjadi) tidaklah diperlukan. Secara hati-hati, pemerintah mulai mendekati gerakan buruh, sekalian juga berupaya merebut institusi-institusi penting itu dari tangan penguasaan serikat buruh.
Namun serikat buruh tidaklah lengah. Beberapa serikat buruh utama, misalnya SBKA dan SBG, terbiasa membaca situasi sosial-politik keseluruhan dan menyadari langkah-langkah pemerintah. Mereka mengupayakan persatuan di kalangan serikat buruh di tanah Jawa. Beberapa aktivis buruh di tingkat pusat juga mendorong upaya ini.
Bagi yang hidup dalam masa pasca-Reformasi mungkin agak sedikit kesulitan memahami makna persatuan buruh pada jaman itu. Yang perlu digarisbawahi, bahwa tiap serikat buruh memiliki identitasnya masing-masing. Sebagaimana digambarkan di atas, serikat buruh dibentuk dari “bawah” ketika buruh-buruh yang mengetahui usainya penjajahan Jepang, secara otonom dan solider menggabungkan diri dalam organisasi. Jadi, organisasi serikat buruh pada masa itu dibentuk atas dasar inisiatif sendiri tanpa instruksi dan tekanan dari atas. Identitas yang dibentuk lebih menonjolkan bidang lapangan pekerjaan (misal, serikat buruh listrik, serikat buruh gula, dll.) dan daerah tempat kerja (misal, serikat buruh kota Jakarta, serikat buruh Bandung, dll.). Sehingga pada masa itu, persatuan gerakan buruh lebih merupakan pilihan bagaimana menyusun organisasi induk: apakah berdasar lapangan pekerjaan (secara vertikal) atau berdasar wilayah tempat kerja (secara horizontal). Pilihan ini memang terbukti sulit, karena tiap lapangan pekerjaan dan juga tiap wilayah, punya tantangannya masing-masing. BBI mencoba mengatasi pilihan ini dengan mengadakan konferensi di tingkat pusat, pada 19 Maret 1946. Hasilnya, masih jauh dari terang. Konferensi kedua diadakan, pada 21 Mei 1946 di Madiun, untuk memecah kebuntuan. Namun, garis yang terbentuk secara vertikal dan secara horizontal, malah makin menguat, akibatnya malah perpecahan di kalangan buruh. Beberapa serikat buruh lapangan pekerjaan, seperti Serikat Boeroeh Minjak (SBM) dan Serikat Boeroeh Pegadaian yang memang telah memiliki banyak cabang di daerah-daerah berdasarkan kesamaan lapangan pekerjaan, langsung membentuk induk organisasi tersendiri, Gaboeangan Serikat Boeroeh Vertikal. Sementara serikat buruh yang disusun atas dasar wilayah, menjadi kewalahan.
Di dalam upaya menggalang persatuan itu, terbentuknya SOBSI di akhir 1946 merupakan peristiwa penting bagi gerakan buruh Indonesia. Usaha beberapa aktivis buruh, seperti Alimin dan Hardjono, dalam mempertemukan dua kelompok serikat buruh itu membuahkan beberapa hasil kemajuan. Serikat buruh di tingkat pusat maupun lokal, bergabung dalam SOBSI sebagai satu induk organisasi utama. Masing-masing serikat tetap independen sebagai organisasi anggota, memiliki AD/ART tersendiri dan program kerja yang disahkan Kongres buruh anggota, dan hubungan dengan serikat buruh lain didasarkan atas kesetaraan dalam satu induk organisasi SOBSI – bukan hubungan hirarkis. Jadi, SOBSI tumbuh dan dibentuk “dari bawah”, bukan merupakan pesanan ataupun desakan “dari atas”. Kebutuhan untuk bersatu di kalangan buruh adalah motif utamanya, di dalam menghadapi langkah-langkah pemerintah yang hendak mengatur gerakan buruh sesuai dengan kepentingan negara. Sandra (1961) mencatat bahwa “(L)ahirnja SOBSI bagi pergerakan buruh di Indonesia berarti satu langkah kemadjuan dalam usahanja mentjapai konsolidasi.” Dengan melakukan upaya persatuan “dari bawah,” gerakan buruh membuktikan dirinya sendiri independen, tidak bergantung dan tidak dapat dikendalikan begitu saja oleh pemerintah.
Oleh karena itu, di dalam Perayaan 1 Mei 1947, nuansa persatuan di dalam gerakan buruh terasa kental. Ada baiknya dikutip secara panjang di sini satu liputan berita surat kabar tentang perayaan 1 Mei 1947:
Pagi djam 9 Balai Pertemoean telah penoeh. Pekarangan, lapangan stasioen Gambir, pekarangan Hotel Shutte Raaf dan Willemkerk poen penoeh. Lapangan perajaan dipenoehi oleh poster2 dan bendera Merah Poetih jang dibawa oleh Barisan boeroeh dari masing2 kantor dan Djawatan. Setelah Nona Setiati, ketoea dari Panitia Perajaan tsb, memboeka perajaan, Pak Wirjo membentangkan dengan pandjang lebar akan perdjoeangan boeroeh Djakarta selama ini. … Kemoedian berganti-ganti berbitjara wakil dari progressieve-groep dari golongan Tionghoa, jaitoe toean Oh Bian Hong, kemoedian toean Mr. de Graaf dari golongan Belanda. Pidato terachir jaitoe toean Soepranoto, dengan soeara jang berkobar-kobar mengatakan bahwa boeroeh Djakarta sanggoep oentoek menjediakan tenaganja dalam perdjoeangan jg. akan datang. Rapat selesai djam 10.15 diachiri dengan lagoe “Internationale.” [v]
Dari berita liputan itu dapat kita ketahui bahwa SOBSI melakukan kerja koordinasi dalam perayaan 1 Mei. Nona Setiati adalah seorang aktivis perempuan dari SOBSI, yang di kemudian hari di 1960-an menjabat sebagai salah seorang Wakil Ketua Dewan Nasional SOBSI. “Panitia Perajaan” adalah kerja koordinasi SOBSI yang didukung oleh gerakan buruh dari berbagai golongan. Mulai saat itu, perayaan 1 Mei disusun secara bersama, dan tidak didominasi oleh satu kelompok tertentu saja.
Perayaan 1 Mei bukanlah semata-mata milik kelompok kiri saja (sebagaimana digambarkan dalam sejarah bikinan Orde Baru) sebab, sebagaimana tergambar di atas, tiap kelompok buruh memiliki perannya masing-masing. Memahami perayaan 1 Mei sebagai perayaan bersama gerakan buruh bukan berarti larut hilang identitas tiap serikat buruh. Masing-masing serikat buruh tetap memegang identitasnya – entah itu berdasarkan lapangan pekerjaan ataupun daerah wilayah. Jadi, polarisasi dan segregasi kelompok buruh bukanlah berdasarkan identitas kesukuan atau agama. Kebersamaan gerakan buruh dalam merayakan 1 Mei 1947 memiliki dua arti strategis: bagi perjuangan kemerdekaan negara muda Indonesia, dan bagi konsolidasi gerakan buruh sendiri. Dalam kerangka perjuangan kemerdekaan, gerakan buruh yang bersatu menjadi sumber mobilisasi massa. Terlebih dalam situasi politik akibat Perdjandjian Linggadjati. Sementara itu, bagi konsolidasi gerakan buruh, persatuan dengan berbagai serikat buruh memiliki arti ideologis dan kepentingan bersama bagi buruh anggota, sebab menguatkan daya tawar di hadapan penguasa di dalam mengajukan tuntutan kesejahteraan.
Kesukuan dan agama bukanlah persoalan susunan struktur organisasi buruh pada masa itu. Pilihan susunan berdasar lapangan pekerjaan atau daerah wilayah kerja, yang menghantui benak aktivis buruh. Pula, identitas yang hendak dibangun bukanlah identitas kesukuan atau agama secara eksklusif, melainkan identitas kebersamaan sebagai kelas buruh. Selain itu juga, sesungguhnya ada kegagapan di antara kelompok pemuka agama (baik itu kaum ulama ataupun santri) dalam menjangkau kelompok buruh, karena mereka tidak punya kosakata yang pas untuk bisa terjun ke dunia buruh memahami kerasnya kehidupan urban kaum buruh. Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII), sebagai serikat buruh yang pertama kali bersendikan keagamaan, baru terbentuk di akhir 1948 – dan ia dilahirkan bukan sebagai hasil pengorganisasian buruh anggota dari tingkat basis, melainkan disusun dari tangan-tangan aktivis buruh di tingkat pusat sebagai reaksi ketakutan atas peristiwa Madiun dan tuduhan keterlibatan SOBSI di dalamnya. Dalam konteks demikian, perayaan 1 Mei adalah perayaan kebersamaan buruh yang sungguh dibentuk dari dorongan kuat dari bawah. Dan di dalam menyelenggarakan perayaan 1 Mei bersama itu, SOBSI mampu menggalang kekuatan buruh dari berbagai sektor lapangan pekerjaan dan daerah wilayah kerja, dan terlebih juga secara lintas batas – sebagaimana akan dibahas selanjutnya berikut ini.
c. Perayaan 1 Mei 1947 secara lintas batas
Secara khusus perlu kiranya disebut bahwa upaya persatuan gerakan buruh juga dilakukan secara lintas batas, dengan mengadakan perhubungan dengan serikat-serikat buruh di daerah pendudukan Belanda. Utamanya dengan kelompok buruh di kalangan masyarakat Tionghoa, yang pada saat itu kerap berkumpul di kantor Sin Ming Hui (SMH – “Perkumpulan Cahaya Baru” 新明會).
SMH adalah organisasi sosial di kalangan masyarakat Tionghoa yang terbentuk di awal 1946 di Kota Jakarta (sebagai bentuk keprihatinan atas peristiwa rasial Tangerang). Di samping melakukan kerja-kerja karitatif, di dalam perkembangannya SMH membuka kerja pembelaan hukum bagi golongan buruh (“afdeling kaum buruh”), dan ini menjadi satu kegiatan utama SMH. SOBSI membangun kontak-kontak awal dengan SMH afdeling kaum buruh. Pada 27 April 1947, berhasil diadakan “Pertemoean di antara wakil2 gerakan boeroeh Indonesia terdiri dari sdr.2 Boejoeng Saleh wakil SOBSI, Soepardjan wakil Serikat Boeroeh Minjak dan Soeparna wakil Sarboepri dengan Poesat Perserikatan Boeroeh Tionghoa Sin Ming Hui jang diwakili oleh sdr.2 Injo Beng Goat ketoea, Oh Bian Hong, Liem Hong Tjiang, dll.”, [vi] di kantor SMH di Jakarta. Dari pertemuan itu, diberitakan bahwa:
Sin Ming Hui sedang mendidik kader2 oentoek menjoesoen gerakan boeroeh di daerah2 pendoedoekan Belanda. …Selanjoetnja sdr. Soeparna atas nama Sentral Biro SOBSI menjerahkan beberapa boeah boekoe, antaranja tentang 1 Mei oentoek perpoestakaan Sin Ming Hui dan seboeah paloe rapat sebagai lambang persaudaraan dan kerdja. [vii]
Diketahui pula dalam pertemuan itu disepakati untuk mengadakan perayaan 1 Mei 1947 dengan parade bersama dan pertandingan olahraga (Lihat: Lampiran dan Gambar 5). Juga, SOBSI mengundang wakil SMH untuk hadir di dalam Kongres pendirian organisasi SOBSI di Malang pada 18 Mei 1947. Nampaknya, Oh Bian Hong, wakil SMH yang hadir dalam Kongres SOBSI, belajar banyak dari pengalaman organisasi SOBSI yang mampu menghimpun berbagai serikat buruh dari beragam lapangan industri di pulau Jawa. SMH afdeling kaum buruh di kemudian hari, pada 1 September 1947, berkembang menjadi serikat buruh tersendiri yang lepas dari organisasi sosial induk SMH, yaitu: Sin Ming Lao Kung Hui (Organisasi Buruh Cahaya Baru 新明勞工會). Sin Ming Lao Kung Hui kemudian di April 1948, juga berupaya menghimpun berbagai serikat buruh Tionghoa yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan juga Makassar dalam satu induk: Federasi Perkumpulan Buruh Seluruh Indonesia. Mereka bisa dengan bangga mencantumkan nama “Indonesia” dalam induk organisasi baru itu.
Demikianlah, bahwa upaya konsolidasi lintas batas ini menumbuhkan rasa solidaritas dan persatuan di antara masing-masing serikat yang saat itu baru mulai tumbuh kembang dalam alam kemerdekaan menghadapi pemerintahan negara muda Indonesia. Serikat buruh melihat ada kepentingan jangka panjang yang mesti diperjuangkan, tidak hanya persoalan sesaat, dan ini memerlukan sinergi bersama dalam satu induk organisasi. Tanpa adanya persatuan gerakan buruh, perayaan 1 Mei menjadi kesia-siaan belaka. Karenanya, persatuan di kalangan buruh merupakan cita-cita dan juga langkah yang terus diupayakan kaum buruh Indonesia, tanpa mendahulukan identitas kesukuan ataupun agama. Persatuan di dalam SOBSI dipandang sebagai kekuatan kelas buruh. SOBSI pada masa itu dipandang cukup mampu menampung aspirasi kepentingan serikat buruh dalam membela kepentingan buruh anggota, di tingkat pusat. Dalam konteks ini, dapat dimengerti bahwa perkembangan SOBSI di kemudian hari di tahun 1948 dalam persetujuannya atas Perdjanjian Renville, yang menjadikannya sebagai identitas politik kelompok tertentu, adalah yang membuka keretakan persatuan buruh ini. Bahwa ketika kekuataan kelas buruh dicucuk oleh kepentingan politik kelompok tertentu, dengan sendiri persatuan gerakan buruh menjadi kemustahilan. Dalam terang sejarah kita tahu bahwa kebersamaan gerakan buruh ini memang berumur pendek. Namun demikian, perayaan 1 Mei 1947 membuktikan bahwa upaya-upaya persatuan telah berhasil ditanamkan. Dan SOBSI, sampai di akhir 1948, terbukti mampu menyusun kekuataan kaum buruh menjadi satu kekuatan sosial masyarakat yang diperhitungkan oleh pemerintah negara baru Indonesia.
d. Perayaan 1 Mei Dalam Rumusan Hukum UU No.12/1948
Upaya-upaya persatuan dari gerakan buruh memperoleh gaungnya di dalam perumusan UU no. 12/1948. Satu “Rancangan oendang-oendang sosial” seperti yang diungkapkan Maria Ulfah sudah berhasil disusun selama masa Kabinet Sjahrir kedua, dan hingga akhir 1946 telah terdapat satu naskah awal rancangan undang-undang. Namun rancangan undang-undang itu tidak pernah diajukan ke BP-KNIP untuk dibahas.
Pada saat itu, di awal 1947, Presiden Soekarno memperluas keanggotaan BP-KNIP dengan memberikan sejumlah kursi tambahan yang didominasi oleh Sayap Kiri agar dapat mendukung posisi pemerintah, sebagai bagian dari krisis politik akibat Perdjandjian Linggadjati. Dari sini, beberapa aktivis buruh memasuki ranah politik praktis, duduk sebagai “wakil golongan boeroeh” di dalam parlemen transisi negara muda Indonesia tersebut. Keterwakilan ini menjadi insentif tersendiri bagi upaya persatuan gerakan buruh di tingkat lokal. Mereka adalah: Asraroedin (aktivis serikat buruh PTT Bandung), Koesnan (aktivis Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal) dan K. Werdojo (Persatoean Goeroe Repoeblik Indonesia).
Sejak penunjukkannya sebagai wakil golongan buruh di dalam BP-KNIP di Maret 1947, Asraroedin mendesakkan pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” susunan Kementerian Sosial. Pada 26 April 1947, Asraroedin mengajukan mosi pembahasan “oendang-oendang sosial” di BP-KNIP yang didukung oleh 10 anggota lainnya – kesemuanya dari Sayap Kiri.[viii]
Menanggapi mosi tersebut, rancangan “oendang oendang sosial” tersebut baru diajukan oleh pemerintah pada 7 Mei 1947. Pembahasan di BP-KNIP cukup berlarut-larut seiring dengan memburuknya situasi politik yang menghantar kejatuhan kabinet Sjahrir kedua pada Juli 1947, dan digantikan oleh Amir Sjarifoeddin. Dalam kabinet Amir, Kementerian Perburuhan untuk pertama kalinya terbentuk, dengan dipimpin oleh seorang perempuan muda S.K. Trimoerti. Beliau melanjutkan program kerja Maria Ulfah, termasuk tentang soal pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” dalam rapat-rapat BP-KNIP. Tujuannya, agar rancangan “oendang-oendang sosial” ini bisa diterima, sebab ini dapat menjadi bukti penting sebagai klaim keberpihakan pemerintah atas kelas buruh.
Di dalam perjalanan rapat-rapat pembahasan “oendang-oendang sosial” ini, ternyata terjadi penambahan 4 pasal baru atas naskah awal: tentang penetapan batas usia 14 tahun anak-anak, tentang buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid, tentang hak istirahat 3 bulan bagi buruh yang telah bekerja 6 tahun berturut-turut, dan tentang hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajibannya bekerja. Penambahan 4 pasal baru ini dilakukan oleh panitia pembahas dari Sayap Kiri dalam rapat BP-KNIP pada 18-19 September 1947. Penambahan ini baru disepakati pemerintah enam bulan kemudian – dikarenakan jatuhnya kabinet Amir di awal 1948, yang kemudian digantikan oleh Hatta, sehingga pihak pemerintah agak terlambat mengambil sikap dalam rapat pembahasan yang kerap ditunda.
Sementara itu, memburuknya situasi sosial-ekonomi negara muda Indonesia (salah satunya disebabkan oleh blokade Belanda), dan juga naiknya harga beras dan bahan pakaian sepanjang 1947, menimbulkan kegelisahan di kalangan buruh anggota. Persoalan kesejahteraan menjadi titik perhatian utama Serikat Buruh. Untuk meredam gejolak tuntutan dari gerakan buruh, kabinet Hatta tanpa ragu sedikitpun menyetujui penambahan 4 pasal baru usulan Sayap Kiri. Hatta menyadari perlunya dukungan politik dari gerakan buruh, karena minim mendapatkan sokongan dari partai politik lain. Namun, Hatta juga mengambil sikap hati-hati menghadapi potensi gerakan buruh sebagai kekuatan sosial. Menteri Perburuhan yang ditunjuknya adalah Koesnan, seorang aktivis moderat yang sebelumnya duduk di dalam BP-KNIP dan mengetahui proses pembahasan rancangan “oendang-oendang sosial” itu. Ini memberinya sedikit kekuatan tawar untuk dapat mengalihkan tuntutan buruh akan kesejahteraan dengan pencapaian dalam rumusan hukum. Kurang dari dua bulan sejak terbentuknya kabinet Hatta, Koesnan langsung menyetujui penambahan 4 pasal baru tersebut dan mengirim nota persetujuannya pada 10 Maret 1948.[ix] Sebulan kemudian, rancangan “oendang oendang sosial” itu disetujui dan disahkan sebagai “oendang oendang kerdja” pada 20 April 1948. Undang-undang ini kemudian dikenal sebagai pencapaian tertinggi bagi gerakan buruh – walau sesungguhnya, beberapa pasal di dalamnya belum sempat dilaksanakan penuh, bahkan sampai hari dihapuskan keberlakuannya oleh UU Ketenagakerjaan No. 13/2003.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masuknya perumusan jaminan hukum bagi buruh untuk “dibebaskan dari kewajiban bekerja untuk merayakan hari kemenangannya” bukanlah semata-mata hadiah cuma-cuma dari pemerintah negara muda Indonesia, yang berbaik hati tanpa pamrih mendukung gerakan buruh. Ada pertautan antara kepentingan negara (yang memerlukan dukungan gerakan buruh bagi perjuangan kemerdekaan dan dukungan politik bagi stabilitas pemerintahan) dengan perjuangan tuntutan gerakan buruh (baik di dalam parlemen maupun di tingkatan basis anggota). Dinamika pertautan kepentingan negara dengan tuntutan kesejahteraan buruh ini dipengaruhi konteks sosial-politik-ekonomi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerakan buruh memang mendukung kemerdekaan Indonesia, sebagaimana merupakan cita-cita umum sebagai bangsa yang terjajah dan memandang kemerdekaan itu sebagai alat bagi perjuangannya. Namun, gerakan buruh tidak serta-merta tunduk akan segala keputusan pemerintah. Gerakan buruh berani mengajukan inisiatif perayaan 1 Mei dan juga tuntutan kepentingan buruh anggota, terhadap pemerintah. Bagi pemerintah sendiri, gerakan buruh memiliki potensi kekuatan sosial yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Walau tidak semua tuntutan buruh dapat dipenuhi, pemerintah juga melakukan manuver-manuver politik dalam upaya meredam gejolak gerakan buruh.
6. Penutup
Catatan awal ini telah memberikan gambaran tentang bagaimana hari 1 Mei dipersepsikan, dimaknai dan dirayakan serikat buruh pada masa-masa awal kemerdekaan 1946-1947, hingga pada pengakuannya oleh negara dalam aturan hukum di tahun 1948. Terbitan-terbitan serikat buruh dari masa itu memberikan petunjuk-petunjuk dasar dalam rekaman sejarah buruh tentang perjuangan buruh dalam pemaknaan perayaan 1 Mei sebagai hari kemenangan dan juga ekspresi keprihatinan gerakan buruh akan keadilan sosial. Jaminan hukum bagi buruh dalam merayakan hari kemenangannya merupakan satu bentuk kemenangan kecil gerakan buruh dari masa 1946-1947. Kemenangan ini dapat dinikmati tanpa kendala ancaman negara sepanjang tahun 1948-1950 hingga di tahun 1952. Ini juga merupakan masa bagi perkembangan gerakan buruh Indonesia menjadi satu kekuatan sosial di dalam masyarakat. Demonstrasi dan pemogokan yang dilancarkan serikat buruh sepanjang 1948 hingga 1950 menyingkap tuntutan akan pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat luas.
Sayangnya, perjuangan buruh ini dipandang sebagai ancaman serius oleh pihak militer yang mulai menyusun kekuatan internal. Gubernur Militer Jawa Tengah, Gatot Soebroto, menetapkan pada 25 Februari 1950 larangan pemogokan di perusahaan-perusahaan vital negara dengan ancaman pidana 3 tahun penjara. Perjuangan gerakan buruh akan kesejahteraan, terutama diorganisir serikat buruh perusahaan negara, yang dilancarkan lewat pemogokan, dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas politik. Setahun kemudian, pada 13 Februari 1951, Perdana Menteri yang juga Menteri Pertahanan ad-interim, Mohammad Natsir, menetapkan Peraturan Kekuasaan Militer Pusat nomor 1 yang melarang segala bentuk pemogokan di perusahaan-perusahaan vital, kantor-kantor jawatan dan lembaga negara. Walau sepanjang 1952 sampai 1957 tidak ada hambatan bagi gerakan buruh dalam merayakan 1 Mei, namun bayang-bayang ancaman pidana dari berbagai peraturan pelarangan pemogokan itu menghantui kerja-kerja pengorganisasian serikat buruh di tingkat basis. Peraturan pelarangan pemogokan itu menjadi keprihatinan utama serikat buruh dalam perayaan 1 Mei 1951, dan ramai diperdebatkan sepanjang 1952, sampai akhirnya dicabut di tahun 1957.
Daftar Pustaka
Adisoemarta. (ed.) Revoloesi Nasional dan 1 Mei. Jogjakarta: Badan Penerbitan – Oesaha Kaoem Boeroeh, 1947.
Anderson, Benedict. Java in A Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946. Ithaca: Cornell University Press, 1972.
Hadiz, Vedi. Workers and the State in New Order Indonesia. London/ New York: Routledge, 1997.
Sandra. Satoe Mei: Hari Kemenangan Boeroeh Sedoenia. Djokja: Pendidikan Boeroeh, 1947.
___. Sedjarah Pergerakan Boeroeh Indonesia. Djakarta: PT Pustaka rakjat, 1961.
Suprapti, I.N. Djedjak Dynamica Masjarakat. Poestaka Boeroeh. Djakarta: Barisan Boeroeh Wanita. 1946 (?)
Suryomenggolo, Jafar. “Sejengkal menjadi Sehasta: THR dalam Dinamika Hukum dan Gerakan Buruh Indonesia,” dalam Sulistyowati Irianto (ed.), Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum, hal. 197-218. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Trimurti, S.K. ABC Perdjoangan Boeroeh. Jogjakarta: Poesat Pimpinan Partai Boeroeh Indonesia, 1948.
Lampiran
Tabel 1. Rencana Kegiatan Olahraga Perayaan 1 Mei 1947 antara SOBSI dan Poesat Perserikatan Boeroeh Tionghoa Sin Ming Hui
Sumber: Merdeka, 29 April 1947
Atjara hari boeroeh 1 Mei
Rapat Oemoem
Tempat: di Balai Pertemoean Gambir
Waktoe: djam 9.00 pagi (tepat)
Atjara: Pidato pemboekan oleh Ketoea Panitia
Pidato samboetan oleh:
- Pak Wirjo
- Wakil Partai Sosialis
- Wakil Sin Ming Hui
- Wakil Progressieve Groep
- Wakil SOBSI
Ditoetoep (selesai) kira-kira djam 11.00
Olah Raga:
- Bola Krandjang:
Tanggal: 2 Mei 1947
Tempat: di lapangan Deca Park
Waktoe: dari djam 16.00 – 17.05 sore
Antara: kedoea belasan Chung Hua – P.O.R.I.
Adapoen soesoenannja sbb:
CHUNG HUA: | P.O.R.I. : |
1. Kwee Hwat Gie | 1. Nj. Satir |
2. Ong Sioe Tjiang | 2. Nn. Titi Rasaul |
3. Kwa Hok Liong | 3. Nn. Sriwati |
4. Pong Lay Kim | 4. Nn. N. Kawilarang |
5. Oh Thion Hok | 5. Nj. Haroen |
6. Tan Siauw Tjong | 6. Nj. Soemadji |
7. Nn. Martha Tjie | 7. Aljon |
8. Nn. Lie Tjien Koem | 8. Parmo |
9. Nn. Tan | 9. Soeleiman |
10. Nn. Tan Sioe Loan | 10. Haroen |
11. Nn. Kho Lip Hiang | 11. J. Siregar |
12. Nj. Lie Tjwan Sie | 12. Soebagio |
- Sepak Bola:
Tanggal: 2 Mei 1947
Tempat: lapangan Deca Park
Waktoe: dari djam 17.10 – 18.25
Antara: Kesebelasan Tionghoa – P.O.R.I.
Adapoen soesoenannja sbb:
Zakaria, Moh. Salim, Boeang, Abdullah, H. Fatoellah, Daoed, Agoes, Oscar, Mat dongker, Soebari, Moegeni
Kesebelasan Tionghoa: beloem dapat dioemoemkan
- Badminton:
Tanggal: 2 Mei 1947
Tempat: dekat “Korra” (sebelah Departemen Economische Zaken, Molenvliet
Waktoe: dari djam 19.00 – habis (selesai)
Antara: Chung Hua – P.O.R.I.
Single:
|
Single:
|
Double:
|
Double:
|
- Tennis:
Tanggal: 4 Mei 1947
Tempat: Pegangsaan Barat (belakang Kementerian Kemakmoeran)
Waktoe: a. pagi, dari djam 7.30 – 12.00
b. sore, dari djam 16.00 – habis (selesai)
Adapoen soesoenannja sbb:
- Double: Kho See Kiat, Liem Keng Kiem, Nn. Soepandi
- Single: Ketje, Katilli
- Mixed: W. Latumeten, Nj. Tinangon, Liem Yoe djiem, Nj. Soenarjo
Oleh: Jafar Suryomenggolo
* Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fahmi Panimbang yang bersedia membaca dan memberikan komentar dan kritik atas naskah awal tulisan ini. Segala kesalahan adalah tanggung jawab penulis.
Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kajian Perburuhan Sedane, Vol. 8 No. 2 2009. Bogor. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane.
[i] Boeroeh, 29 April 1946
[ii] Boeroeh, 13 April 1946
[iii] Lihat: Merdeka, 27 April 1946
[iv] Merdeka, 2 Mei 1946
[v] Merdeka, 2 Mei 1947; Lihat juga: Lampiran
[vi] Merdeka, 29 April 1947
[vii] Ibid..
[viii] Lihat: Arsip no. 103, Inventaris Arsip Badan Pekerdja Komite Nasional Indonesia Poesat 1945-1950. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
[ix] Lihat: Arsip no. 194, Inventaris Arsip Sekretariat Negara Republik Indonesia 1945-1949. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.