Aspek Demokratis Manifesto Komunis
MEREFLEKSIKAN perkembangan gerakan perlawanan atau pun pergerakan Kiri di Indonesia, baik pada periode Orde Baru maupun pada periode Reformasi, saya berpendapat, gerakan kiri belum dapat dianggap berhasil atau sukses dalam memperjuangkan sosialisme.
Adanya perlawanan-perlawanan yang berlangsung di berbagai daerah, yang dilahirkan oleh karena berbagai macam bentuk penindasan dan penghisapan kapitalisme, tidak otomatis bisa dianggap sebagai bagian dari perkembangan pergerakan Kiri di Indonesia. Benar bahwa perlawanan-perlawanan tersebut dipengaruhi oleh munculnya gelombang demonstrasi mahasiswa pada periode Orde Baru. Tetapi pada periode reformasi, gelombang perlawanan rakyat tidak cukup syarat untuk sekedar didaku (diklaim) sebagai bagian dari perkembangan Gerakan Kiri Indonesia.
Begitu pula dengan muncul dan meluasnya berbagai macam penerbitan buku maupun berkala, cetak maupun online, yang mengunggah tema Marxisme dan perkembangan gerakan kiri internasional. Tidak cukup syarat untuk mengatakan bahwa usaha-usaha penerbitan tersebut adalah yang berideologi Kiri, misalnya, mengingat pasar buku Kiri di Indonesia relatif laris. Sehingga pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, aksi-aksi massa, selebaran-selebaran, maupun organisasi-organisasi yang muncul sebagai representasi maupun manifestasi dari pemikiran Marxis pun belum selalu dapat menjawab dengan lugas pertanyaan: “Apakah benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, semua kerja politik yang sudah, sedang, dan yang akan dilakukan sebagai cara untuk memperjuangkan sosialisme?”
Silahkan saja menjawab bahwa “perjuangan kami adalah persis seperti yang diwahyukan oleh Marx dalam Manifesto Komunis.” Tetapi jawaban itu pula membuktikan ketidakilmiahan dari perjuangan itu sendiri.
Kebutuhan akan perspektif perjuangan
Tentunya, pertanyaan di muka tidak bermaksud menihilkan semua upaya ataupun semua kerja politik yang sudah dilakukan oleh berbagai aktivis yang tergabung dalam organisasi-organisasi perlawanan. Benar dan tidak mungkin dipungkiri bahwa kalangan Kiri Indonesia baik pada periode Orde Baru maupun pada periode Reformasi, tak henti-hentinya memperjuangkan rakyat tertindas. Pun sumbangannya sangat besar di dalam mendobrak ruang demokrasi di bawah otoritarianisme Orde Baru, sampai pada batas membuka ruang kebebasan relatif. Ini kemudian berlanjut dengan upaya menggulingkan Rejim Orde Baru di tahun 1998; itu berhasil dan membuka ruang demokrasi yang relatif juga sifatnya.
Tetapi pertanyaannya kemudian, sampai kapan yang relatif-relatif ini menjadi yang pasti, yang dapat dipertimbangkan sebagai syarat-syarat bagi perjuangan menuju sosialisme? Dengan kata lain, kebulatan dari arah perjuangan kalangan Kiri Indonesia, masih samar; entah merayap maju, entah tiarap, sekilas pandang seperti sekedar merayap-rayapkan demokrasi moralitas, demokrasi good governance, demokrasi citra etika publik, atau demokrasi prosedural.
Sudah pasti apa yang barusan tertulis di muka akan mengundang banyak tanggapan. Terutama bila kita membaca bagian akhir dari paragraf, yang muncul sebagai kritik terhadap gejala politik praktis yang berkembang di kalangan Kiri Indonesia. Tetapi, letak soalnya justru pada bagian awal paragraf, yang bisa dibahasakan ulang, diparafrasakan dalam pertanyaan: “Apa sebenarnya Kiri Indonesia itu?”
Jawaban fenomenalnya pada tahun 1990-an adalah yang anti Soeharto. Pada periode Reformasi, mungkin jawabannya adalah yang anti-Neoliberal. Pada titik ini, pada titik penjelasan fenomenologis untuk menjawab problem-problem esensial; pada titik gejala yang anti-anti di muka sebagai penjelasan tentang Kiri indonesia, membuat gagasan Kiri –yang lebih luas daripada sekedar yang anti-anti– menjadi terlikudasi. Dengan kata lain, keterpahaman (intelligibility) terhadap gagasan Kiri lalu direduksi pada posisi-posisi politik yang belum selalu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Tidak salah kesimpulan bahwa pada periode Orde Baru, problem mendesak yang perlu diselesaikan di dalam banyak hal adalah pembebasan rakyat dari penindasan Rejim Orde Baru. Akan tetapi, sulit dipertanggungjawabkan pemahaman bahwa akar dari kesengsaraan rakyat adalah Rejim Orde Baru, dan lalu ekspresinya muncul dalam propaganda “yang penting Soeharto jatuh dulu.” Ia benar secara praktis fenomenologis, tetapi problematis ketika dihadapkan pada problem esensial, yaitu penghancuran kapitalisme. Sehingga ketika Jendral Soeharto mundur dari kursi kekuasaan, gerakan Kiri lalu bersorak-sorak kegirangan namun sekaligus muncul kebingungan yang tercermin dalam pertanyaan: “Apakah sudah saatnya memulai perjuangan menuju Sosialisme –dengan mereguk demokrasi yang diidam-idamkan melalui perjuangan parlementer, ataukah justru bersandar pada perjuangan ekstra parlementer yang berbasis pada upaya pengorganisasian basis basis perlawanan rakyat?” Kebingungan tersebut belum dapat dijawab dengan jelas, kecuali dengan menggabungkan kedua persoalan tersebut menjadi slogan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada pemilu 1999: “Boikot Pemilu atau Coblos PRD.”
Selain itu, muncul pertanyaan, apa pendasaran teoritik dari “penyebarluasan karya Lenin tentang Dua Taktik Sosial Demokrat“, yang sekiranya dapat memberikan perspektif penggabungan perjuangan parlementer dan ekstra parlementer kepada mereka yang berlawan pada periode reformasi? Dalam periode ini, sepertinya, realitas perlawanan hanya dibayangkan sebatas mereka yang berdemonstrasi dan belum dapat berpikir lebih jauh perihal konseptualisasi perlawanannya. Sehingga problemnya bukan lagi menjawab persoalan yang relatif-relatif di muka, tetapi sesuatu yang lebih mendasar.
Problematiknya justru terletak pada perspektif ataupun cara pandang dari upaya-upaya untuk memperjuangkan sosialisme itu sendiri. Sederhananya, mungkin perspektif dari perlawanan-perlawanan yang sedang, sudah, dan bahkan yang akan mungkin dilakukan. Problem perspektif ini dapat dirumuskan melalui presuposisi atau pra-anggapan bahwa Gerakan Kiri dapat dikembangkan apabila berdasar pada pada pemahaman akan politik sebagai cara berlawan dan bukan sebagai karakter perlawanan. Artinya, di sini politik dibangun berdasar kemampuan dari organisasi-organisasi Kiri di dalam menentukan capaian-capaian politiknya yang kongkret sifatnya dan realistis untuk dilaksanakan (institusi dan atau propaganda). Sedangkan politik sebagai karakter perlawanan lebih berdekatan dengan kemampuan organisasi-organisasi Kiri di dalam merespon perkembangan situasi politik, dengan capain perluasan pengaruh politik maupun keterlibatan di dalam pengembangan diskursus politik.
Berdasarkan pra-anggapan di muka, maka disusunlah sejumlah proposisi hipotetik. Proposisi pertama, dikembangkannya kepentingan memperjuangkan sosialisme belum selalu dipersepsi positif oleh rakyat. Karenanya, sebagai proposisi kedua, adanya perlawanan rakyat harus diperhatikan sebagai basis bagi propaganda sosialisme. Oleh sebab itu, sebagai proposisi ketiga, kepentingan untuk memperjuangkan sosialisme didasarkan atas problem-problem yang diakibatkan oleh kapitalisme, dan keberadaan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang gagal menciptakan masa depan bagi umat manusia. Ketiga proposisi ini bukanlah doktrin, tetapi pernyataan-pernyataan yang masing-masingnya, baik secara terpisah maupun terkait satu dengan yang lain, masih membutuhkan pembuktian demi pembuktian. Secara relasional ketiganya dibahasakan: Sosialisme memang tidak populer di tengah kesadaran umum masyarakat kapitalis, tetapi ketidakpopulerannya itu yang menjadi tempat berlindung utama bagi berbagai macam bentuk perlawanan rakyat, dan karenanya basis dari perjuangan sosialisme adalah pengorganisasian kesadaran yang berlawan. Nantinya ketiga proposisi hipotetik ini akan menjadi pasak-pasak utama bagi penyusunan kerangka perjuangan sosialisme dalam logika dialektika materialis. Oleh karenanya, menjadi penting untuk mulai memperhatikan persoalan-persoalan yang berkait dengan konseptualisasi perjuangan politik, dalam hal ini perjuangan menuju sosialisme.
Pelajaran konseptualisasi tersebut dapat dimulai dengan pembacaan yang tekun dan cermat terhadap Manifesto Komunis. Alasannya bukan karena Manifesto Komunis itu adalah Kitab Suci gerakan Kiri, tapi karena di dalamnya terdapat metodologi pengkonsepsian gerakan perlawanan. Ini tampak dari penjelasan anak kalimat, “… telah menugaskan yang bertandatangan di bawah ini supaya menyusun suatu Program Partai, yang secara teori dan praktek terperinci, untuk diterbitkan”, –terutama yang bergaris bawah– di dalam Pendahuluan Manifesto Komunis Edisi Jerman tahun 1872.
Apabila hendak diperbincangkan lebih lanjut, maka makna Program di sini berbeda dengan rencana perjuangan, ataupun rencana kerja ke depan. Ini karena setelah frasa “menyusun program” terdapat karakter “yang secara teori dan praktek terperinci.” Artinya, program di sini bukan berarti konsep tentang masa depan, melainkan sebuah cara dan juga metodologi pembentukan pemikiran tentang perjuangan menuju sosialisme. Karenanya penting untuk memperhatikan pernyataan Marx di dalam Poverty of Philosophy, yang muncul setahun sebelum Manifesto Komunis:
“Sudah tentu… sejarah tidak berlangsung sebegitu kategoris. Jerman membutuhkan tiga abad penuh untuk menegakkan pembagian kerja pertama yang besar, yakni pemisahan kota-kota dari pedesaan”.
Pemaknaan atas kutipan di muka secara literer memang berkait dengan penjelasan ataupun kritik Marx terhadap konsepsi sejarah Proudhon. Tetapi sebelum bergerak lebih jauh, kutipan ini diambil karena Marx diminta untuk membuat Program yang teoritik, dan membuka kemungkinan praktek yang lebih luas. Ketika itu bersifat teoritik, maka sudah pasti landasannya adalah konsepsi materialisme historis. Sehingga jelas, Marx menolak gagasan sejarah kategoris, sejarah yang membeda-bedakan mana sejarah yang baik, dan mana sejarah yang buruk bagi pendasaran untuk adanya gagasan tentang perjuangan menuju sosialisme. Lebih-lebih tiga tahun sebelumnya, di dalam posisi teoritiknya yang dideklarasikan dalam The German Ideology, Marx menegaskan:
“Sejarah bukanlah apa-apa kecuali pergantian dari generasi-generasi yang terpisah, yang masing-masingnya menggunakan material, dana kapital, kekuatan kekuatan produktif. Semuanya hadir di tengah mereka setelah diserahkan oleh generasi yang sebelumnya. Sehingga, di satu sisi melanjutkan aktivitas tradisional dalam situasi yang sepenuhnya berubah, dan di sisi yang lain, mengubah situasi yang lama dengan aktivitas yang sepenuhnya berubah”.
Konsekuensinya kemudian, dalam kerangka yang dialektis Lenin lalu mengembangkan pemikiran Marx tersebut dalam tulisannya yang berjudul Our Programme di tahun 1899, yang menegaskan:
“Kita tidak menghargai teori Marx sebagai sesuatu yang sempurna dan tak dapat diganggu-gugat; sebaliknya, kita yakin bahwa teori Marx hanya meletakkan batu pondasi bagi pengetahuan yang harus dikembangkan oleh kaum sosialis di segala bidang, jika mereka berharap mengikuti jaman. Kami pikir bahwa sebuah elaborasi yang independen terhadap teori Marx adalah sesuatu yang mendasar khususnya bagi kaum sosialis Rusia; Jadi teori ini hanya memberikan prinsip-prinsip bimbingan umum, yang dalam kekhususannya, diterapkan secara berbeda di Inggris dari di Prancis, di Prancis berbeda dari di Jerman, di Jerman berbeda dari di Rusia.”
Hal kedua, dari kutipan Poverty of Philosophy di muka, adalah persoalan pembagian kerja. Ini satu hal yang sentral dalam pemikiran Marx dan selalu berjalan seiring dengan konsep relasi/hubungan sosial produksi, kekuatan-kekuatan produksi, yang seluruhnya secara historis lalu membentuk kelas-kelas sosial dan atau struktur sosial masyarakat. Apabila kedua hal tersebut, sejarah dan pembagian kerja lantas ditempatkan dalam kerangka Program Politik, di dalam perspektif perjuangan menuju sosialisme, maka adanya konsep “Perjuangan” menjadi logis di sini. Logis dalam artian, bahwa “Perjuangan” merupakan sesuatu yang tak terhindarkan; ‘perlawanan terhadap problem-problem yang diakibatkan oleh kapitalisme dan terhadap sistem kapitalisme’ bukannya tidak masuk akal lantaran begitu hebatnya sistem kapitalisme beroperasi. Tetapi kecenderungan berlawan terhadap kapitalisme, setidak-tidaknya dalam bentuk pemikiran ataupun caci maki dan sumpah serapah, adalah bagian dari realitas kontradiksi pokok kapitalisme, dan juga embrio bagi bertumbuhkembangnya kesadaran politik.
Akan tetapi, soalnya kemudian, kesadaran politik semacam apa yang diperlukan bagi perjuangan menuju Sosialisme?
Menurut buku manual “beribadah sukses a la Marxis” yang tak ubahnya buku “kiat memilih gadget unggulan”: Kesadaran Politik Proletariat. Baiklah, tapi itu barang dari dunia durjana yang mana lagi setelah segala macam produk kapitalisme –mulai dari air minum sampai pengajian–, tiba tiba menerpa benak rakyat negeri ini? Itu kan konsep akademis tentang kategori kesadaran yang perlu dijelaskan lebih lanjut, secara lebih sederhana, kongkret dan realistis sebagai realisasi dari perkembangan kesadaran itu sendiri?
Di dalam isi Manifesto Komunis, Marx tidak segera menjawab tentang kesadaran semacam apa yang diperlukan bagi perjuangan menuju Sosialisme. Tetapi dia paparkan terlebih dahulu kesadaran dominan semacam apa yang berkembang di dalam konteks masyarakat kapitalis Eropa pada abad ke 19. Frase “hantu Komunisme” secara spesifik digunakan Marx untuk menunjukkan pandangan borjuasi tentang gerakan komunis yang berkembang. Mereka melihatnya dalam kaca mata Romantik, yakni melihat Komunisme sebagai dongeng pengantar tidur (nursery tale) yang tak terbahasakan dalam kacamata borjuasi. Tepatnya sebagai sesuatu yang belum dapat dimengerti sebagai akibat langsung dari kontradiksi kapitalisme, yang belum jelas asal-usulnya, sehingga pantas dikeramatkan sebagai pengganggu hidup romantik yang tak terbahasakan, tak terpuisikan, bahkan, sepanjang dawai dan bilah piano Mozart, Beethoven, Chopin, dan Liszt membuai jiwa-jiwa mereka di alam ketakutan. Plus konsekuensinya kemudian sebagai cara berpolitik di antara kekuatan-kekuatan borjuasi.
Selanjutnya Marx kemudian, ketat dengan tuntutan teoritik penyusunan Program Partai, mulai membeberkan realitas sejarah masyarakat sebagai hasil dari perjuangan kelas, yang merupakan manifestasi politik dari kontradiksi di antara relasi produksi dan tenaga produktif. Tendensi perjuangan kelas dalam sejarah adalah menuju pada simplifikasi antagonisme kelas. Dalam modus produksi kapitalis yang maju, seluruh masyarakat terpolarisasi dalam antagonisme borjuis-proletar. Artinya, perkembangan sejarah―apabila dilihat dari banyak-sedikitnya agen yang bermain―cenderung mengarah pada semakin sedikitnya kelas sosial yang berjalan sebanding dengan semakin menguatnya kesadaran akan kepentingan kelasnya. Karena borjuasi tak bisa selamat tanpa secara terus-menerus merevolusionerkan tenaga produktifnya, dan sebagai akibat darinya juga relasi produksi dalam masyarakat, maka borjuasi melahirkan proletariat sebagai kesatuan sosial yang padu, terpisah dari kelompok sosial lain dalam masyarakat dan mewujud dalam sebuah kelas tersendiri.
Berangkat dari pemahaman teoritik seperti ini maka perjuangan menuju sosialisme bukan sesuatu yang terpisah dari massa, dan itu artinya harus demokratik. Tidak bisa tidak. Artinya, perjuangan tersebut dibasiskan pada kondisi perjuangan kelas yang actual, bertumpu pada kontingensi situasi. Maka itu diperoleh tesis tentang penghapusan kepemilikan privat yang khas borjuis dan bersamaan dengannya, juga penghapusan seluruh manifestasi kultural yang mendukungnya (individualitas, model keluarga, kebebasan, hukum dan model nasion borjuis). Dengan kerangka itulah, Marx merumuskan program kerja komunis untuk negara-negara yang modus produksinya telah maju. Dalam konteks modus produksi itu, yang mesti diupayakan proletariat adalah “memenangkan perang demokrasi.” (Bagi Kautsky ini bermakna perang elektoral, bagi Lenin ini bermakna kebebasan untuk mempersenjatai diri).
Apapun bentuknya kemudian, dalam kerangka perjuangan menuju sosialisme, Marx sepertinya tak mengolah ide negara, dan lebih menyarankan terbentuknya model asosiasi sosial komunis, dan atau asosiasi bebas produsen. Bagian akhir dari manifesto digelar oleh Marx tentang macam macam bentuk Sosialisme, yang sebenarnya lebih detil dan rinci dijelaskan dalm German Ideology.
Penutup
Dari ringkasan isi Manifesto di muka, kelihatan jelas bagaimana aspek demokratis dari Manifesto Komunis: penekanan pada upaya memperjuangkan sosialisme dengan berbasis pada kepentingan massa rakyat tertindas. Artinya, siapapun, apapun kelompok politiknya, sepanjang ia berlawan terhadap kapitalisme, dengan kepentingan memperbaiki kehidupan masyarakat yang terhantam oleh kapitalisme, berkemungkinan menjadi bagian dari perjuangan sosialisme. Dalam situasi di mana batas-batas kelas semakin kabur, yang terpolarisasi sekadar si kaya dan si miskin, maka perjuangan menuju sosialisme menjadi niscaya, baik secara spasialitas (teritorial), sektoral, maupun temporal.
Sekarang jika dikembalikan pada konteks Indonesia, apakah sebenarnya yang disebut dengan Kiri Indonesia, dan apakah kebulatan dari arah perjuangannya sudah dapat disingkap dari kesamar-samarannya? Problematiknya, menurut saya, bukan pada definisi dan arah perjuangan seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya. Tetapi lebih pada bangunan konsepsi perjuangannya, yang seperti tidak mampu membaca tanda-tanda jaman. Perjuangan yang berorientasi ke alam parlementer, misalnya, belum mampu merumuskan ke-parlementerannya, sedang yang berorientasi ekstra-parlementer belum mampu berpikir lebih jauh daripada jurus selaksa moral membasuh dosa dunia. Dalam artian, yang berorientasi parlementer belum mampu menghasilkan lingkaran-lingkaran politik strategis untuk membuka kemungkinan dibukanya wacana tema-tema sosialisme. Sementara yang ekstra parlementer seperti tak henti-hentinya berduka menawan politik dalam lingkup propaganda “sosialisme sekarang juga.”
Apa sebabnya, sederhana, karena proses perkembangan gerakan Kiri pada periode reformasi lebih banyak didominasi pada aktivitas merespon isu-isu politik, sementara sebagai sebuah cara berlawan, sebagai upaya untuk membangun basis-basis perlawanan rakyat, itu yang kian lama kian bersemai di ruang pemikiran, tetapi berdiam di taman makam pahlawan.***
I Gusti Agung Anom Astika, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drijarkara, Jakarta