SELAMA ini, wacana perdebatan soal keistimewaan Yogyakarta terlalu terfokus pada penentuan siapa yang berhak menjadi Gubernur dan Wakilnya.
Wacana itu, menurut saya, terlalu sempit. Sebab yang lebih menentukan watak feodal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), adalah keberadaan jutaan hektar tanah-tanah kerajaan di provinsi ini, yang dikenal dengan sebutan Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG).
Bentangan SG dan PAG di DIY itu sangat luas, sebab berdasarkan Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan dan kadipaten.
Ribuan hektar SG di seluruh DIY, kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman) (Kabare, Juli 2007, hlm. 14-15). Selain SG, PAG masih luas juga, dan terkonsentrasi di Kulon Progo. Kedua jenis tanah keraton itu merupakan sumber pendapatan kedua keraton itu dari sahamnya di Hotel Ambarukmo, Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan padang golf Merapi.
Pengelolaan tanah-tanah keraton itu berada di bawah yurisdiksi kantor Paniti Kismo, yang dikepalai oleh GBPH Hadiwinoto, adik Sultan HB X, dengan gelar Penghageng Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo (Kabare, Juli 2006, hlm. 60-62).
Legalisasi SG dan PAG melalui UU Keistimewaan Yogyakarta, sudah berkali-kali ditekankan oleh Sultan Hamengkubuwono X (Kabare, Juli 2007, hlm. 13).
Aset Bisnis
Mirip keluarga raja-raja Eropa, persil-persil SG dan PAG menjadi modal bisnis – dan kegiatan sosial — bagi banyak anggota keluarga besar Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX. Di antara adik-adik Sultan yang paling menonjol adalah GBPH Prabukusumo. Ia direktur utama PT Karka Adisatya Mataram, salah satu perusahaan iklan luar ruang terbesar di Yogyakarta, dan Komisaris Utama Jogja TV (Kabare, Juli 2005, hlm. 25).
Puteri sulung Sri Sultan, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, paling aktif memanfaatkan tanah keraton warisan Perjanjian Giyanti 1755 itu. Selain memimpin pabrik gula Madukismo, ia mendirekturi pabrik rokok kretek berlabel Kraton Dalem yang punya kebun tembakau sendiri di Ganjuran, Bantul; budidaya ulat sutera PT Yarsilk Gora Mahottama di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Bantul; serta tambak udang PT Indokor Bangun Desa di pantai Kuwaru, Bantul (Kompas, 11/8/2003; Kabare, Juni 2006, hlm. 24; Agrina, 14/4/2008; Bernas Cyber News, 1/8/2008; Jawa Pos, 30/7/2009).
Namun “permata di mahkota” kerajaan bisnis keluarga keraton Yogyakarta adalah perusahaan tambang pasir besi PT Jogya Magasa Mining (JMM) di Kulonprogo. Di situ Gusti Pembayun dan pamannya, GBPH Joyokusumo, menjadi Komisaris, sedangkan Direktur Utama dijabat oleh BRM Hario Seno dari Puri Pakualaman (sumber: Akte Pendirian PT JMM, 6 Okt. 2005).
Perusahaan milik keluarga keraton Yogya ini kemudian berkongsi dengan Indo Mines Ltd. dari Perth, Australia Barat, menjadi PT Jogja Magasa Iron (JMI), yang berencana menambang pasir besi di pantai Kulon Progo sepanjang 22 Km, mengolahnya menjadi pig iron dan mengekspornya ke Australia. Tak lama setelah Sultan menyatakan siap jadi calon presiden, pemerintah dan PT JMI menandatangani kontrak karya pertambangan pasir besi di Pantai Bugel, Kulonprogo, selama 30 tahun (Koran Tempo, 12/11/2008).
Sejak saat itu, perlawanan rakyat pesisir Kulon Progo terhadap rencana pertambangan, yang terorganisir melalui Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo, semakin marak. Tanggal 21 Juni 2009, misalnya, sebanyak 38 truk mengangkut sekitar 5.000 petani pesisir Kulon Progo mendatangi Rektor Universita Gadjah Mada (UGM), Prof. Sudjarwadi, memrotes keberpihakan para peneliti UGM yang merekomendasi reklamasi lahan eks tambang pasir besi itu nantinya.
Alih-alih meneliti revolusi pertanian yang telah dilakukan para petani pesisir Kulon Progo, yang berhasil menyulap lahan pasir hitam menjadi tanah subur untuk menanam cabai, para peneliti UGM sudah menerima rencana tambang itu sebagai keniscayaan. Padahal proyek kongsi Indo-Australia itu bertentangan dengan hukum lingkungan dan tata ruang Kabupaten Kulon Progo.
Selain itu, rencana tambang di Kulon Progo itu juga menunjukkan, besarnya ketergantungan bisnis keluarga keraton Yogyakarta pada tanah-tanah feodal, yang sesungguhnya sudah harus dihapus apabila para bangsawan menghormati UUPA 1960, yang sudah diterima oleh Sultan Hamengku Buwono IX, ayah Sri Sultan sekarang, tanggal 24 September 1984. Bukannya menjalankan land reform yang diamanatkan oleh UUPA 1960, keberadaan SG dan PAG yang kontroversial justru dicoba dilegalisasi dengan membonceng pada RUU Keistimewaan Yogyakarta (lihat Pasal 12 Bab VIII).
Itu sebabnya, semua fraksi di DPR-RI yang sedang memperdebatkan RUUK pasal per pasal, hendaknya tidak hanya terfokus pada mekanisme pergantian Kepala Daerah dan wakilnya, tapi lebih memikirkan implikasi legalisasi jutaan hektar tanah-tanah swapraja ini.***
George Junus Aditjondro
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di harian sore Sinar Harapan, 31 Januari 2011. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.