SAYA bukan seorang diktator. Akan tetapi, banyak kritik terhadap keberhasilan yang sudah dicapai, sebenarnya didasari ketidakmengertian bahwa saya adalah seorang penguasa. Logika saya sebagai penguasa, tentu saja berbeda dengan logika pengamat, apalagi tokoh-tokoh oposisi yang senantiasa mengintai kursi kekuasaan yang sekarang saya duduki.
Tentu saja sudut pandang saya pun berbeda dengan para pengritik itu. Sudut pandang itu saya dasari dan tujukan untuk kepentingan kekuasaan pemerintahan. Tentu tidak logis bila sudut pandang saya didasari dan ditujukan untuk kepentingan orang lain yang sebenarnya ingin berkuasa juga.
Contohnya, mereka mengkritik bahwa pertumbuhan ekonomi yang kini mencapai 6,1 persen sebagai tidak berkualitas. Mereka mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut terjadi tanpa kebijakan yang terarah dari pemerintah, sehingga seandainya pemerintah tidur pun angka tersebut akan tercapai.
Sebagai penguasa, adalah sangat penting untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi dengan cara yang tercepat. Tentu saja, tidak logis bila cara yang saya tempuh itu akan menuai hasilnya setelah satu dekade, sebab ketika itu saya tak lagi berkuasa.
Cara yang tercepat tentu saja mendongkrak pertumbuhan melalui sektor finansial, yaitu mendorong arus modal masuk sebanyak-banyaknya. Arus modal ini tak harus berkaitan dengan investasi yang jangka panjang, sebab upaya untuk itu tak gampang. Langkah-langkah mengkoneksikan arus modal dengan investasi jangka panjang akan potensial menurunkan derasnya arus modal masuk, sehingga pertumbuhan ekonomi tak mencapai angka 6 persen. Lalu, apa yang akan dikatakan oleh para pengkritik itu andaikan pertumbuhan ekonomi tak mencapai 6 persen?
Sektor finansial kini sedang menjadi primadona. Lembaga-lembaga keuangan internasional pun senantiasa merekomendasikan liberalisasi sektor finansial. Lantas, bila saya kemudian menjalankan rekomendasi itu dan lembaga-lembaga itu memujinya, apakah saya salah?
Strategi ini memang membawa konsekuensi kesenjangan ekonomi yang cenderung melebar. Para pengkritik mengatakan bahwa hampir 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dinikmati oleh segelintir orang yang sangat kaya, sementara yang 20 persen sisanya diperebutkan oleh 80 persen penduduk. Tentu, saya sadar itu.
Saya ingin menegaskan bahwa perebutan kekuasaan dan upaya mempertahankannya adalah selalu tentang pertarungan elit. Memang saya terpilih karena suara rakyat terbanyak, akan tetapi kekuasaan saya bisa dijatuhkan oleh segelintir elit. Keberlangsungan kekuasaan saya bukan ditentukan oleh 80 persen penduduk yang cenderung miskin itu, melainkan oleh segelintir oligarki yang sangat kaya. Karena itu, mau tak mau saya harus menyenangkan mereka. Ini adalah pilihan yang rasional dan saya tak bisa disalahkan untuk bertindak rasional.
Tentu saja saya sadar pula bahwa 107,8 juta penduduk masih hidup di bawah 2 Dollar AS per hari seperti dilansir oleh UNDP. Saya harus angkat topi atas kemauan dan kerja keras mereka yang tetap bisa bertahan hidup dengan pendapatan sekecil itu.
Akan tetapi, mengangkat derajat hidup 107,8 juta orang tentu sebuah kerja yang membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun, yaitu usia maksimal kekuasaan saya. Secara rasional, saya tak mungkin melakukan itu sebab yang akan menikmati hasilnya adalah penerus saya. Itulah sebabnya saya gunakan ukuran statistik yang berbeda, agar dapat memfokuskan kebijakan pada jumlah penduduk yang mungkin ditargetkan dan saya klaim keberhasilannya.
Satu lagi kritik mereka tentang kesenjangan. Katanya, Pulau Jawa menikmati 57,8 persen PDB triwulan IV-2010. DKI Jakarta berada di peringkat pertama (16,5 persen), lalu Jawa Timur (14,8 persen) dan Jawa Barat (14,3 persen). Saya juga sadar akan fenomena ini.
Akan tetapi, jangan lupa bahwa Jawa adalah kunci bagi kelanggengan kekuasaan. Sampit, Makassar, Ambon dan Papua pernah bergejolak hebat, bahkan berdarah-darah, dan penguasa tetap bertahan. Namun, kelompok mahasiswa yang menduduki DPR RI di Senayan bisa menjatuhkan seorang diktator.
Secara rasional tentu saja seorang penguasa akan sungguh-sungguh menjaga Pulau Jawa tetap menikmati sebanyak-banyaknya kue pendapatan nasional. Sebab, bila pergolakan hebat terjadi di pulau itu, kekuasaan akan mudah sekali dijatuhkan. Karena itu, saya yakin, siapapun penguasanya pasti tidak akan berani untuk menggeser secara radikal dominasi proporsi pertumbuhan ekonomi ke luar Pulau Jawa.
Untuk itu, mengatakan saya berbohong adalah kurang tepat. Saya hanyalah seorang manusia yang bekerja secara rasional, sesuai teori ekonomi, untuk mempertahankan kepentingan. Tak perlu berlelah-lelah mencari manusia yang ideal, sebab apabila mereka berkuasa seperti saya, niscaya akan bertindak serupa. Permasalahannya adalah sistem politik-ekonomi yang mendasari rasionalitas saya. Ubahlah itu, maka Anda akan mengubah saya.***
Martin Manurung