Tanggapan Terhadap Airlangga Pribadi
“as spirits, spirits in the material world”
(The police, 1981)
SETELAH menyimak tulisan-tulisan Airlangga Pribadi yang menggagas “Utopia Indonesia,” saya tergelitik untuk urun rembuk dalam polemik menarik ini, dengan membincangkan soal metodologi materialisme historis yang ada pada Marxisme. Dalam tulisan pertamanya, Airlangga menggambarkan bahwa spirit, kesadaran, dan sentimen nasionalisme dari para elite politik negeri ini berperan banyak dalam menyiapkan sebuah utopia Indonesia. Sedang pada tulisannya yang terakhir, dipaparkan bahwa ideologi neoliberalisme (suprastruktur) pada kapitalisme sangat berpengaruh terhadap jalannya sejarah. Bahkan, ideologi neoliberalisme digadang-gadang telah membawa perubahan radikal terhadap jalannya sejarah kapitalisme, yang berarti perubahan terhadap proses produksi dan reproduksi kapital. Posisi pemikiran seperti ini adalah khas Post-Marxian, yang mementingkan bangunan atas dari struktur sosial-ekonomi kapitalisme.
Melalui tulisan ini, saya ingin menunjukkan kelemahan pemikiran pos-Marxist dalam kaitannya dengan gagasan politik utopia yang diusung Airlangga. Yang sangat menarik, Airlangga sebenarnya juga mengritik post-Marxism, namun gagasannya dan juga literatur utama yang menjadi rujukannya kental dipengaruhi pemikiran ini.
Untuk itu, saya ingin mengajak sidang pembaca mundur sejenak ke belakang menemui Karl Marx, si jenius yang melontarkan dasar filsafat materialisme historis mengenai kesadaran manusia: “bukan kesadaran yang menentukan kehidupan, melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran.”
Dengan kata-kata ini Marx melontarkan reaksi terhadap interpretasi idealisme Hegel mengenai sejarah, dimana, menurut Hegel, evolusi dari ide-ide yang progresif adalah yang utama. Menurut Marx, idealisme Hegel mengabaikan kenyataan bahwa ide-ide tidak lepas dari lingkungan sosial dan materialnya yang riil. Ide-ide adalah produk kesadaran subjektif yang selalu terkait dengan lingkungan sosial dan material. Selalu berupa kesadaran akan lingkungannya.
Marx dan Engels kemudian mengatakan, kondisi material dan hubungan sosial yang muncul akibat adanya kondisi material tersebut, merupakan dasar dari perkembangan intelektual yang akan mendorong perubahan sejarah. Sekalipun ide-ide kelihatannya merupakan faktor untuk memahami dan mendorong perubahan suatu masyarakat, tetapi ia bersifat epifenomenal: merupakan cermin dari kondisi kehidupan sosial dan material (struktur sosial-ekonomi) di mana manusia beradaptasi dengannya.
Dari proposisi ini, suatu masyarakat dengan demikian memiliki tahapan dan corak produksi yang berbeda dalam periode waktu tertentu. Corak produksi tersebut meliputi kekuatan produktif (the productive forces) dan hubungan produksi (the relation of production). Kekuatan produktif terdiri bahan-bahan mentah, alat-alat dan teknik produksi, dan buruh yang menjual tenaga kerjanya. Sementara hubungan produksi berkaitan dengan hubungan kepemilikan. Kekuatan produktif bersifat progresif-revolusioner karena berkaitan dengan perkembangan dinamis, sedang hubungan produksi lebih bersifat konservatif karena berurusan dengan subjektivitas kepentingan borjuasi. Keduanya kemudian terlibat dalam dialektika, dimana yang progresif mendapatkan reaksi dari yang konservatif secara terus-menerus, sehingga lahirlah corak produksi dan hubungan sosial yang baru sama sekali.
Disinilah Karl Marx menemukan Utopia lahirnya sebuah masyarakat Sosialis, yang merupakan hasil dari konflik antara kekuatan produktif dan hubungan produksi yang ada.
Sedikit tentang kapitalisme dan utopia
Menakjubkan bahwa kapitalisme yang dikritik Karl Marx sampai detik ini masih berkibar. Bahkan melalui konflik dan pertentangan, pertumpahan darah, dan bermacam sejarah ekspansi kolonial serta imperiaisme, kapitalisme tidak berujung pada keruntuhannya. Malahan semakin mencari bentuk yang paling efisien dan produktivitas yang tinggi.
Kapitalisme sebagai moda produksi, jelas sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sehingga, menurut saya, studi terhadap kapitalisme menjadi sangat urgen. Dalam konteks debat ini, saya ingin menekankan bahwa apa yang terjadi dengan era kebangkitan nasional dimana Boedi Oetomo dan Sumpah Pemuda mengada, adalah wujud dari sentimen persatuan dan rasa kebangsaan yang merupakan kepanjangan dari spirit republikanisme para elite politik Pra-Indonesia. Nilai-nilai, kesadaran, dan perjuangan yang dilakukan tersebut, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kepentingan untuk berorganisasi yang partikular, meleburkan diri dalam satu wadah universal, yang akhirnya ditujukan sebagai wahana mencapai utopia sebuah negara bernama Indonesia, adalah semata-mata membangun aspek bangunan atas dari sebuah struktur sosial-ekonomi.
Dengan kata lain, perjuangan anak bangsa di awal abad ini hingga masa kemerdekaan tiba, masih berkutat pada wilayah suprastruktur kapitalisme. Sekalipun ada kritik terhadap kapitalisme, sebagaimana yang dilakukan Soekarno, namun hampir semuanya berbicara mengenai penghisapan, keterasingan, ketidakadilan, dan penindasan yang disebabkan oleh kapitalisme dan tangannya imperialisme dari kaca mata kritisisme idealis. Itu sebabnya, solusi yang ditawarkan Soekarno, adalah nasionalisme. Bagi Soekarno, nasionalisme merupakan senjata ideologis dan politik untuk mencapai Indonesia merdeka. Dengan kata lain, ada pembicaraan mengenai struktur sosial ekonomi, namun dilakukan dengan cara seorang humanis yang cenderung subjektif dan spekulatif, karena tidak sampai membongkar aspek bangunan bawah dari kapitalisme yang berkembang saat itu.
Padahal, seperti diketahui, kapitalisme yang berkembang ketika itu adalah kapitalisme dagang, dimana pemerintah kolonial Belanda secara sengaja menciptakan sebuah struktur sosial-ekonomi yang tidak kondusif bagi lahirnya negara Indonesia yang berdaulat. Kita menyaksikan bahwa produksi bahan mentah yang dikeruk dari bumi pertiwi dilakukan di Belanda atau Eropa Barat, bukan di sini. Artinya surplus dilarikan ke luar, sedang di sini tidak dilakukan kapitalisasi atau akumulasi kapital yang progresif. Pusat perkembangan ada di Belanda, Indonesia hanyalah periferi, pinggiran yang ditarik sumber dayanya ke Pusat. kalau toh terjadi produksi, maka itu meliputi produksi pengolahan hasil alam, tekstil, kerajinan, dan perkebunan bukan produksi barang-barang yang memerlukan buruh yang terampil dan punya skill. Ini berarti kelas buruh yang diciptakan sesuai dengan kualifikasinya, buruh tidak terdidik baik secara intelektual maupun politik.
Begitupun dengan borjuasi yang ada, sebagian besar tidak berasal dari industri padat modal yang menghasilkan barang industri, namun dari sektor kerajinan, perkebunan, dan perdagangan yang banyak menciptakan buruh padat karya. Selain itu, terintegrasinya Indonesia ke dalam perdagangan internasional, telah menciptakan sebuah sistem sosial-ekonomi yang gampang terpengaruh oleh guncangan yang terjadi di pusat perkembangan kapitalisme. Terbukti pada era 1930an, saat dunia diguncang resesi ekonomi, Indonesia mengalami kemiskinan yang sangat menyengsarakan.
Dengan latar belakang semacam inilah pada akhirnya Indonesia merdeka. Ideologi nasionalisme dan spirit republikanisme yang berkobar untuk memerdekakan diri, pada akhirnya mesti berhadapan dengan kenyataan bahwa bangunan atas kapitalisme yang telah dibangun tidaklah mencukupi untuk sebuah utopia bernama Indonesia. Sumpah Pemuda saja lantas hanya menjadi jargon, slogan yang memang diperlukan, tetapi jauh dari memadai untuk menghadapi corak produksi kapitalis. Sebab yang rill adalah bangsa ini mewarisi sebuah struktur sosial-ekonomi yang bonyok, dimana kelas borjuasi yang diwariskan adalah yang nantinya hanya mengandalkan otonomi relatif dari negara, bukan sebuah kelas borjuasi yang progresif.
Tetapi agar kapitalisme bisa berkembang, maka negara baru ini akhirnya harus memfasilitasi perkembangan kelas borjuasi domestik yang lemah segalanya itu. Program Benteng 1957 adalah salah satunya. Di sinilah titik mula munculnya pengertian bahwa kelas borjuasi lahir dari dalam negara. Dan kondisi ini tidak berubah hingga kini, dimana proses rekruitmen, hubungan patron-klien, erzats capitalism muncul. Pejabat-pejabat birokrasi yang sebagian adalah militer aktif atau mantan militer akhirnya turut berbisnis dengan memberi konsesi dan lisensi kepada partnernya di luar birokrasi atau bermain sendiri sebagai kelas borjuasi, yang kadang berhubungan dengan modal asing sebagai komprador.
Dengan penjelasan ini, tampak bahwa kritik ideologi semata sangat tidak memadai dalam menghadapi corak produksi kapitalisme. Sebab, sebagaimana yang saya kemukakan di atas, bagunan atas berupa ideologi, politik, dan budaya beserta varian-variannya, hanyalah cermin dari bangunan bawah struktur sosial-ekonomi kapitalisme. Bagaimana yang dicerminkan bisa menentukan seberapa jauh perubahan di bangunan bawah? Kita telah lihat, bahwa akibat penindasan kolonial dibutuhkan sebuah ideologi nasionalisme untuk memerdekakan bangsa; tetapi setelah Indonesia merdeka, ideologi nasionalisme ini tidak mencukupi, karena ia berhadapan dengan struktur sosial-ekonomi kapitalis warisan kolonial.
Airlangga Pribadi benar saat merumuskan bangunan atas kapitalisme ini, namun luput memaparkan pentingnya bangunan bawah yang ada. Bagaimanapun kesadaran bukan datang dari langit, selalu berupa kesadaran akan sesuatu, yakni lingkungannya dan lingkungan tersebut bernama kapitalisme.
Penutup
“Ada hantu berkeliaran di Indonesia, hantu sosialisme.” Plesetan kalimat yang dituliskan Marx-Engels pada Communist Manifesto itu, kini menjadi utopia bersama kita. Bagaimana mewujudkan sebuah negara Indonesia yang berpaham sosialisme yang berkeadilan dan demokratis seperti digagas Marx-Engels, adalah tugas kelas buruh dibantu para intelektual, mahasiswa radikal, professional, yang tergabung dalam kelas borjuasi kecil.
Sayangnya, apa yang datang dari Post-Marxis, mereka mengabaikan analisis materialisme historis karena menekankan bangunan atas sebagai yang menentukan bangunan bawah. Akibatnya, ideologi neoliberalisme dijelaskan sebagai suatu kesadaran dan kepentingan politik yang menentukan jalannya masyarakat, bukan sebagai sesuatu yang lahir dari keharusan dan kebutuhan struktur kapitalisme yang sedang mengalami krisis. Padahal, seperti dengan jelas dikemukakan Marx dalam German Ideology, “The driving force of history is not criticism, but revolution”. Atau dalam Theses on Feurbach, “The philosophers have only interpreted the world in various ways; the point however, is to change it”.
Sebagai kesimpulan, saya ingat drama Perampok dari Schiller yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa cara sama pentingnya dengan tujuan. Apabila caranya salah, maka tujuan yang didapat akan ternodai. Sebaliknya, jika caranya benar namun tujuannya tidak tepat, akan membuat pengorbanan. Menuju utopia pun harus dilakukan dengan pemikiran yang tepat serta analisis yang tajam mengenai faktor-faktor yang menentukan perubahan.***
Bimo Semiarto
Pembaca IndoPROGRESS, tinggal di Yogyakarta