KALAU tidak salah menyimpulkan, perdebatan mengenai utopia (selanjutnya saya sebut sebagai “perdebatan utopia”) dalam media ini sudah mencapai 10 tulisan. Awalnya dimulai oleh tulisan Bung Airlangga Pribadi lalu ditanggapi dengan tulisan-tulisan lainnya yang menyeret perdebatan utopia ke bermacam tema. Sederet tema-tema tersebut memiliki dua kemungkinan: pertama, perdebatan utopia ternyata memang mencakup tema-tema seperti pemahaman filosofis utopia ataupun metodologi penerjemahan utopia dalam tradisi Marxisme. Kemungkinan kedua, luasnya tema perdebatan jangan-jangan justru merupakan pertanda bahwa perdebatan utopia telah keluar dari jalurnya yang menyebabkan “utopia” itu sendiri menjadi kabur.
Tidak ada obat yang mujarab untuk mengobati kemungkinan kedua ini, karena bukankah ragam perdebatan justru menambah kekayaan wacana? Namun untuk kepentingan strategis bagi gerakan kiri, sangat penting untuk berani memotong dan mengawal perdebatan yang keluar dari jalurnya. Pertanyaanya kemudian, jalur manakah yang dapat diikuti sebagai referensi perdebatan utopia? Di sini, dengan mengutip pendapat dari Erik Olin Wright (Wright, 2006), penulis mencoba memperlihatkan salah satu pilihan jalur perdebatan tersebut.
Latar belakang dari tulisan Wright adalah dekade awal 1990-an, masa dimana bangunan masyarakat komunis Uni Soviet runtuh. Dari kondisi tersebut, Wright mulai mengolah suatu pemikiran dengan berlandaskan pertanyaan bagaimana mewujudkan masyarakat yang bebas dari eksploitasi dalam konteks diadopsinya mode produksi kapitalis di berbagai belahan dunia? Jawaban itu akhirnya dituliskan dalam sebuah artikel di New Left Review tahun 2006 berjudul “Compass Points”.
Di dalam tulisan tersebut, Wright menekankan bahwa perumusan utopia paling tidak harus menjelaskan tiga hal: pertama, analisis terhadap kondisi objektif, kedua penjabaran terhadap opsi-opsi perubahan menuju utopia yang mungkin ditempuh dan ketiga, analisis mengenai dampak dan dilema dari opsi-opsi tersebut. Dalam pada itu, opsi-opsi perubahan perlu mempertimbangkan tiga hal sebelum dipilih. Pertama desirability, kedua viability dan ketiga achievability. Desirability mengacu pada apakah suatu opsi perubahan diinginkan dan mendapat dukungan luas dari publik. Aspek viability mempertanyakan apakah suatu opsi perubahan memang dapat dilaksanakan sesuai konteks sosial yang berlaku. Sementara itu, aspek achievability mempertanyakan kapasitas agen perubahan dengan pertimbangan terhadap kondisi struktural dan agen-agen lain yang menentang ide perubahan tersebut.
Dari perbincangan mengenai kriteria-kriteria opsi-opsi perubahan, Wright mengajukan tiga kemungkinan bentuk perubahan sosial dalam konteks masyarakat kapitalisme. Bentuk perubahan pertama bersifat mendobrak (ruptural transformations). Jenis perubahan ini bertujuan menghancurkan tatanan-tatanan masyarakat kapitalisme dan membangun tatanan sosial ekonomi baru (sosialisme). Bentuk kedua ialah perubahan yang memanfaatkan ceruk-ceruk kesempatan dalam masyarakat kapitalis (interstitial transformations). Perubahan jenis ini tidak merubah secara mendasar tata kerja sistem kapitalisme, tetapi berusaha membangun suatu ruang dimana logika kerja kapitalisme tidak diikutkan. Jika model institusi yang dibangun dalam ceruk-ceruk tersebut semakin banyak, maka semakin besar kesempatan yang dimiliki oleh model tersebut untuk berdampak pada masyarakat banyak. Sedangkan model perubahan ketiga ialah usaha memanfaatkan institusi-institusi yang tersedia dalam masyarakat kapitalis (symbiotic transformations). Arah perubahan yang dituju tidak hanya menguntungkan kelas marjinal, tetapi juga kelompok elite. Usaha mendemokratisasikan negara kapitalis masuk dalam kategori model perubahan ini.
Perdebatan utopia dan capaiannya
Dari apa yang sudah sejauh ini diperbincangkan, perdebatan utopia dalam media ini telah mencapai kategori-kategori di atas dengan cara berbeda. Tahapan penyelidikan mengenai kondisi objektif sudah tercantum dalam artikel Airlangga Pribadi dan Bimo Semiarto. Bung Airlangga memberikan kontribusi penting dengan melihat proses marjinalisasi sebagai akibat implementasi ide-ide neo-liberalisme. Dalam pada itu, Bung Airlangga juga mengikutsertakan perlunya menengok kembali ke teks-teks Sumpah Pemuda dan konseptualisasi integrasi antara Nasionalisme, Marxisme dan Islam a la Soekarno. Setidaknya, teks-teks tersebut merupakan referensi sekaligus penanda bahwa utopia Indonesia sudah dimulai sedari sebelum kemerdekaan. Penjelasan ini tidak berbeda dengan yang Bung Bimo ungkapkan mengenai kondisi objektif dari nasionalisme Indonesia di masa lalu, meskipun Bung Bimo cenderung kepada pendekatan materialisme dibandingkan analisis diskursus yang digunakan oleh Bung Airlangga.
Lalu, bagaimana dengan opsi-opsi perubahan yang diajukan? Dalam hal ini, artikel bung Coen, Menegaskan Yang Ilmiah dari Yang Utopis, menjawabnya dengan mengajukan sosialisme ilmiah sebagai langkah awal menganalisis perubahan. Yang menarik, bung Coen menjelaskan pada akhir tulisan jika kelas buruh sudah berkuasa, maka diperlukan institusi baru, ideologi baru dan organisasi baru untuk menggantikan tatanan masyarakat lama. Sayangnya, bung Coen tidak menjelaskan seperti apakah institusi, ideologi dan organisasi baru itu berbentuk dan apakah opsi itu memang diinginkan dan mendapat dukungan luas publik (desirable), mampu untuk dilaksanakan sesuai konteks Indonesia (viable) dan dapat dicapai (achievable). Pertanyaan serupa penulis ajukan kepada artikel bung Ridha, dimana artikelnya Kenapa Utopia Harus Selalu Ditempatkan Sebagai Utopia?, yang melihat masyarakat komunisme masih tetap relevan diperjuangkan. Pertanyaan awalnya, apakah kehidupan masyarakat komunis memang diinginkan dan sanggup meraih dukungan publik? Kedua, apakah masyarakat komunis memang mungkin diwujudkan berdasarkan kondisi struktural masyarakat Indonesia terkini? Dan, apakah kapasitas agen-agen pengusung ide masyarakat komunis sudah mencukupi untuk merealisasikan ide tersebut? Kalau pertanyaan-pertanyaan itu sudah terjawab, perlu pula dipikirkan dampak langsung maupun tidak langsung dari peralihan masyarakat Indonesia terkini ke masyarakat komunis.
Artikel-artikel tersebut belum berbicara secara detail mengenai tahap penyelidikan dari dampak opsi perubahan. Argumen penulis, salah satu penyebabnya ialah lingkaran perdebatan yang meluas. Salah satu lingkaran itu adalah riak-riak perdebatan tentang partikularisme dan universalitas. Perdebatan ini disumbangkan oleh Airlangga Pribadi melalui artikelnya Meneruskan Utopia Indonesia, Sekali Lagi: Membela Utopia Indonesia dan Kembali Membela Utopia Indonesia dan Muhammad Ridha melalui artikelnya Memahami Utopia, danKenapa Utopia Harus Selalu Ditempakan Sebagai Utopia. Total hampir setengah perdebatan utopia menyinggung topik partikularitas dan universalitas. Apa yang dapat dicermati dari sub-topik ini ialah bahwa partikularitas dan universalitas baik sebagai referensi filosofis gerakan kelas buruh. Pertanyaannya kemudian, bagaimana rumusan strategi gerakan untuk mengubah partikularitas menjadi universalitas? Atau apa langkah-langkah yang harus diambil untuk menerima partikularitas sebagai universalitas dalam konteks perjuangan gerakan kiri di Indonesia? Apa saja hambatan dan kesempatan struktural untuk menerapkan strategi tersebut?
Menggeser arah perdebatan utopia
Kalau memang tujuan dari perdebatan utopia ialah untuk mencari proposal perubahan bagi masyarakat Indonesia, paling tidak perlu dipertimbangkan menggeser perdebatan utopia dalam tiga bagian perdebatan. Pertama, perdebatan mengenai kondisi objektif masyarakat Indonesia saat ini dengan mempertimbangkan segmen masyarakat mana sajakah yang menderita opresi sistem kapitalisme yang bekerja di bawah bimbingan logika neo-liberalisme? Bagaimana opresi tersebut bekerja melibatkan institusi-institusi di masyarakat? Bagaimana komparasi opresi yang terjadi di Indonesia berdasarkan pembelahan geografis, kultural dan tentu saja, kelas? Apakah opresi ini dibarengi dengan kapasitas institusi negara untuk mengatasi ketimpangan tersebut atau justru memperburuknya? Contoh pertanyaan-pertanyaan tersebut berguna untuk membimbing gerakan kiri untuk mendefinisikan arena perjuangannya di Indonesia dengan mempertimbangkan, mengutip sub-perdebatan partikularitas-universalitas, suara-suara gerakan di tingkat lokal.
Kedua, bagian perdebatan yang menginterogasi pilihan-pilihan perubahan apakah yang tersedia sehubungan dengan perdebatan pertama? Apakah suatu skenario transformasi, misalnya ke arah masyarakat sosialis, memang diinginkan oleh mayoritas segmen masyarakat? Apakah hal itu dapat dilakukan berdasarkan kapasitas gerakan kiri Indonesia saat ini? Kalau tidak, apa pilihan lain yang tersedia atau, jika terdapat resistensi, bagaimana meyakinkan segmen masyarakat lain untuk mendukung skenario tersebut? Dan cara apakah yang akan digunakan untuk mencapai masyarakat ideal itu? Apakah masih melalui cara revolusi atau perjuangan parlementarian?
Bagian ketiga perdebatan berkisar pada penajaman proposal skenario perubahan ke masyarakat sosialis di Indonesia. Apa dampak yang dihasilkan dari skenario tersebut? Institusi-institusi apakah yang dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi ekonomi-politik masyarakat Indonesia yang sesuai dengan garis sosialisme? Apa akibat tidak langsung dari konsolidasi tersebut untuk mengantisipasi korban manusia seperti dalam konsolidasi ekonomi Uni Soviet dengan Gulag-nya?
Pertanyaan-pertanyaan dalam tiga bagian perdebatan di atas bukanlah satu-satunya acuan untuk mempertajam perdebatan utopia. Sangat terbuka munculnya pertanyaan-pertanyaan lain yang memiliki tujuan menspesifikkan utopia Indonesia. Bung Bimo menuliskan di akhir tulisannya kalimat menarik “Apabila caranya salah, maka tujuan yang didapat akan ternodai. Sebaliknya, jika caranya benar namun tujuannya tidak tepat, akan membuat pengorbanan.” Penulis memahaminya berbeda. Penggunaan cara yang salah tentu akan menodai tujuan, itu tidak diragukan. Tapi, jika cara benar namun tujuannya tidak tepat, bukankah hal itu dapat dikarenakan kurang spesifik dan konkritnya kita mendefinisikan dan mengolah setiap skenario perubahan menuju utopia? Walaupun ruang untuk kesalahan selalu terbuka, perencanaan strategi yang kontekstual akan mempersempit ruang kesalahan itu.***
M. Fajar
Peminat kajian kiri