Tanggapan untuk Airlangga Pribadi
DALAM dua artikelnya terakhir, guna membela gagasan politik utopia yang diusungnya, Airlangga memberikan kritik keras terhadap konsep dan praktek politik Lenin yang dianggapnya anti-demokrasi. Airlangga bahkan berani menyimpulkan bahwa kemunculan rejim Stalin yang totalitarian, harus dilacak genealoginya pada Leninisme. Dan bagi Airlangga, watak anti-demokrasi Lenin itu paling jelas bisa dilihat pada karyanya What Is To Be Done (WITBD).
Kritik Airlangga terhadap Lenin ini bermasalah dalam dua hal yang saling berinteraksi: pertama, Leninisme menurutnya berakar pada WITBD yang ditulis Lenin pada 1902. WITBD sendiri adalah sebuah proposal politik pembangunan partai yang ditawarkan Lenin kepada gerakan sosial-demokrat Rusia yang saat itu terserak-serak; kedua, cara Airlangga membaca WITBD sangat eksklusif, karena (1) ia mengritik WITBD dengan meminjam tangan kedua (dari Leszek Kolakowski dan Samuel Walter); dan (2) teks WITBD dibacanya tanpa memperhatikan dimensi ruang dan waktu dimana teks itu lahir.
Dengan demikian, jika kita bisa menggugurkan tesis pertama Airlangga, maka kritiknya tentang Lenin yang anti-demokrasi tentu saja buyar. Demikian juga, jika kita bisa menunjukkan bahwa WITBD itu ditulis dalam dimensi ruang dan waktu tertentu, maka kritik Airlangga juga keliru.
Tetapi, artikel ini tidak akan membahas secara khusus apa itu Leninisme, karena akan membawa perdebatan ini ke jurusan lain. Cukup saya kutipkan di sini, secara ringkas, kritik C.L.R. James, salah seorang aktivis Black Marxis Amerika paling terkemuka, tentang kekeliruan para Leninologi dalam menyimpulkan doktrin sentral dari Lenin. Dalam bab “Lenin and the Vanguard Party” dari buku The C.L.R. James Reader, James mengatakan, “teori dan praktek partai pelopor, negara satu partai, bukanlah (saya ulangi, bukanlah) doktrin sentral dari Leninisme. Itu bukanlah doktrin sentralnya, bahkan bukan juga doktrin yang khusus. Dan tidak akan pernah menjadi doktrin sentral Leninisme.” Pada bagian lain dari bab itu, James kembali mengatakan, “Partai tidak pernah menjadi perhatian utama Lenin. Jadi, guna memfasilitasi kontroversi, saya ingin mengulang, gagasan sentral Lenin bukanlah soal partai, bukan, bukan, dan bukan.”
WITBD pra 1905
Seperti yang saya sebutkan di atas, WITBD adalah sebuah proposal politik pembangunan partai yang diajukan Lenin kepada para anggota Partai Sosial Demokrat Rusia (PBSDR) yang terserak-serak, untuk membangun sebuah partai. Patut diketahui, Lenin pada 1898 telah mendirikan PBSDR, tetapi ini masih merupakan embrio partai, bukan partai dalam makna yang diusulkannya dalam WITBD. Apalagi, ketika itu, keberadaan partai politik dilarang oleh rejim Tsar, sehingga sebagian besar kalangan sosial-demokrat harus bergerak di bawah tanah. Dengan demikian, bukan partai yang menonjol sebagai mesin perjuangan, melainkan kolektif-kolektif, misalnya kolektif mahasiswa atau kolektif buruh Petrograd yang dikenal dengan nama stariki.
Jika kita bandingkan dengan rejim orde baru (orba), maka sistem politik di masa rejim otokrasi Tsar jauh lebih tertutup dan ganas. Pada rejim orba, masih ada pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen, masih ada kontestasi partai, masih ada organisasi massa, masih ada organisasi mahasiswa yang berpolitik, masih ada kelompok oposisi seperti Petisi 50 atau Forum Demokrasi (Fordem). Yang dilarang orba adalah mendirikan partai politik di luar Golkar, PDI, dan PPP, mengajarkan ilmu Marxisme di perguruan tinggi, serta menghujat Soeharto dan militer. Dengan kondisi seperti itu, aktivis pergerakan radikal terpaksa harus bergerak di bawah tanah dengan struktur organisasi yang ketat dan disiplin.
Nah, dalam kondisi yang lebih parah di bawah Tsar, dimana partai politik dilarang, tidak ada pemilu, tidak boleh ada organisasi massa buruh, tani, atau mahasiswa, tidak boleh ada pertemuan politik terbuka, dan yang melanggarnya diganjar penjara, hukuman mati, atau pembuangan di Siberia, bagaimana gerakan revolusioner bisa efektif? Ingin menjadi hero yang dengan secara lantang dan terbuka mendirikan sebuah partai politik? Itu jelas bunuh diri dan jelas pula bukan itu cara yang dipikirkan Lenin, karena ia pernah menyaksikan sendiri ketika kakaknya dihukum gantung rejim Tsar akibat praktek politik yang keliru.
Sampai sebelum WITBD ditulis, untuk menghindar dari represi Tsar kalangan revolusioner Rusia mengambil bentuk organisasi kolektif kecil-kecil tanpa struktur, tanpa aturan main, dan garis komando yang jelas. Kolektif-kolektif ini bergerak secara konspiratif dan dalam waktu tertentu berhasil membangun kontak-kontak di kalangan massa buruh, mahasiswa, dan petani. Kolektif ini juga, dalam beberap kasus, sanggup melindungi para aktivis revolusioner dari kejaran intel-intel Tsar yang luar biasa cerdik. Tapi, tetap saja sebagian besar pemimpin kolektif ini berhasil ditangkap dan diasingkan ke tanah Siberia yang ganas itu. Lenin, termasuk yang pernah mencicipi pembuangan itu.
Tetapi, Lenin kemudian berpendapat organ-organ kolektif ini tidak bisa dipertahankan selamanya. Pertama, kolektif ini terserak-serak, tidak ada garis kepemimpin ideologi, politik, dan organisasi yang jelas dan mengikat. Masing-masing bergerak sendiri-sendiri dan karena itu berpotensi untuk menjadi sektarian, oportunis, bahkan menjadi teroris; kedua, pada saat yang sama terjadi perkembangan ekonomi industrial yang pesat di Rusia, terutama di kota Petrograd dan Moscow. Muncul kelas baru yang lebih terorganisir, terdidik, independen dari feodalisme, serta memiliki jaringan komunikasi yang baik. Kelas baru yang tengah berkembang ini adalah kelas buruh, yang berhadapan langsung dengan kelas borjuasi di pabrik-pabrik.
Menurut Lenin, kedua hal di atas tidak akan bisa direspon oleh kolektif seberapapun radikal dan militannya mereka. Sehingga itu, harus dibentuk sebuah organisasi yang bisa memersatukan dan mensentralisasikan kerja-kerja kolektif yang terserak-serak itu, dan sekaligus bisa mewadahi kebangkitan kelas buruh. Dan organisasi yang dimaksud haruslah berbentuk partai politik. Tetapi, Lenin sadar bahwa tidak mungkin mendirikan partai politik yang dipahami di Eropa Barat, seperti di Jerman atau Italia. Karena di kedua negara itu, partai politik adalah sah secara konstitusional. Rusia adalah kekaisaran yang secara politik, ekonomi, dan hukum paling terbelakang di Eropa. Itulah sebabnya Tsar dijuluki sebagai benteng terakhir kaum reaksioner Eropa dalam menghadapi gempuran kaum revolusioner. Maka partai yang harus didirikan ini, haruslah partai yang bergerak di bawah tanah agar bisa menghindari represi Tsar.
Konsekuensinya, partai politik yang harus didirikan oleh kaum sosial demokrat Rusia, haruslah partai politik yang ketat dan disiplin, baik secara organisasi, politik, maupun ideologi. Sentralisme secara organisasi dibutuhkan untuk menjamin tegaknya kepemimpinan partai dari atas ke bawah, serta untuk menjamin kerahasiaan dan keselamatan para anggota partai dari kejaran intel-intel Tsar; ketat secara politik untuk menghancurkan tradisi oportunisme, blanguisme, dan sektarianisme yang selama ini melekat pada kolektif; dan ketat secara ideologi agar para anggota partai menyadari hanya dengan menghancurkan kapitalisme maka sosialisme bisa ditegakkan. Di hadapan kebangkitan kelas buruh, persoalan ideologi ini penting, karena Lenin percaya bahwa kaum buruh karena pengalaman perjuangannya akan tiba pada kesadaran serikat buruhisme. Namun kesadaran model ini tidaklah mencukupi untuk menghancurkan kapitalisme, melainkan harus melangkah menuju kesadaran kelas/kesadaran sosial demokrasi, yang mana itu hanya bisa diinjeksikan dari luar melalui apa yang disebut agen perantara. Konsepsi agen perantara, dalam hal ini kaum intelektual, juga sering disalahpahami sebagai gagasan orisinal Lenin. Padahal, Karl Marx dan terutama Karl Kautsky, adalah sosok yang pertama kali secara serius membicarakan peran agen perantara. Rumusan Kautsky inilah yang dirujuk Lenin dalam WITBD.
Jadi, inilah kondisi yang melatari lahirnya WITBD. Jika latar belakang ini dicabut dari pembacaan kita atas WITBD, maka benar bahwa Lenin adalah sosok yang otoriter dan tidak demokratis dalam membangun gerakan sosial demokratik Rusia. Dan celakalah cara membaca seperti itu.
Pasca 1905
Pada 22 Januari 1905, pendeta Gapon, yang mengorganisir serikat buruh pro pemerintah, mengajukan surat petisi kepada Tsar Nicholas II. Petisi ini ditandatangani oleh 135 ribu orang, yang isinya menuntut agar anggota Parlemen (Duma) dipilih, ada jaminan kebebasan berpendapat dan berorganisasi, pengadilan yang adil, dan pembebasan seluruh tahanan politik. Bersama dengan sekitar 150 ribu massa pendukung, tuntutan liberal pendeta Gapon yang dilakukan di depan istana Musim Dingin tersebut semula berlangsung damai. Pendeta Gapon juga percaya bahwa Tsar pasti mengabulkan tuntutan tersebut, karena dilakukan oleh massa pendukungnya. Mendadak pasukan pengawal istana memborbardir kerumunan massa dengan peluru tajam. Ratusan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Akibat tindakan brutal Tsar, kemudian meledak pemberontakan massa di kota-kota Rusia, terutama Petrograd dan Moscow. Rupanya pemberontakan ini, berhasil memaksa rejim otokrasi Tsar untuk memberikan konsesi politik lebih besar, yang intinya memenuhi tuntutan pendeta Gapon. Ruang politik, dengan demikian relatif terbuka, ada sedikit kebebasan berpendapat, kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan memiliki perwakilan yang dipilih lewat pemilu di parlemen. Tetapi, rejim Tsar tetap masih kuat bercokol.
Dihadapkan pada kondisi politik baru ini, apakah Lenin masih berpegang pada proposal WITBD? Kalau kita baca tulisan Airlangga, maka jawabannya adalah ya. Tetapi, kalau kita baca Lenin sedikit cermat, sejak meletusnya aksi massa besar-besaran pada Januari 1905, ia tidak pernah lagi mengungkit-ungkit WITBD. Sebagai contoh, pada Februari 1905, ia menulis draft resolusi untuk Kongres PBSDR III, yang isinya, “di bawah kondisi kebebasan politik, partai kita harus dibangun sepenuhnya melalui prinsip pemilihan. Di bawah otokrasi, hal ini jelas tidak mungkin dipraktekkan untuk ribuan kolektif yang membentuk partai kita.”
Hasil dari keterbukaan ini, maka setelah Kongres PBSDR III, partai terbelah dalam dua faksi: Bolshevik dan Menshevik. Dan Lenin, sebagai pemimpin faksi Bolshevik (mayoritas), sama sekali tidak pernah berproganda di dalam partai untuk mengeliminasi faksi Menshevik dengan cara-cara kekerasan. Tidak juga ia mengintimidasi faksi Menshevik yang minoritas untuk mengundurkan diri dari partai. Sebagai pemimpin faksi mayoritas, ia tidak pernah mengeluarkan surat pemecatan terhadap anggota faksi Menshevik. Tetapi, sebagai faksi mayoritas, ia tidak mau sedikitpun mundur untuk memperjuangkan program-program politiknya dan kemudian tunduk pada tuntutan faksi Menshevik yang minoritas, atas nama keutuhan partai, sekalipun. Bagi saya, ini merupakan bukti betapa Lenin sungguh-sungguh ingin membangun tradisi demokrasi dalam PBSDR.
Pada November 1905, Lenin kemudian menulis sebuah esai yang sangat penting yang berjudul The Reorganization of the Party. Di sana ia menulis, “kondisi dimana partai kita berfungsi telah berubah secara radikal. Kebebasan berorganisasi, berkumpul dan kebebasan pers telah tersedia. Karena itu, yang harus kita lakukan adalah mengorganisir dengan cara baru, metode baru dan garis baru.” Lenin selanjutnya mengatakan,
“Kita, para perwakilan sosial-demokrasi revolusioner, pendukung ‘mayoritas’ [Bolsheviks], telah berulangkali mengatakan bahwa demokratisasi partai secara menyeluruh adalah mustahil dalam kondisi bekerja secara rahasia, dan dalam kondisi ‘prinsip pemilihan’ yang hanya melulu omongan. Dan pengalaman telah mengonfirmasi kata-kata kita. Tetapi kita, kaum Bolsheviks, selalu diingatkan bahwa dalam kondisi-kondisi yang baru, ketika kebebasan politik telah tersedia adalah sesuatu yang esensial untuk mengadopsi prinsip pemilihan.”
Dari kutipan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa bagi Lenin, ketika kondisi sosial politik menjadi lebih terbuka, maka partai pun harus segera membuka dirinya lebih luas kepada massa. Semakin demokratis sistem politik, maka partai pun harus pula semakin demokratis. Kerja bawah tanah adalah masa lalu. Katanya, “keputusan Komite Sentral … Adalah sebuah keputusan yang diambil setelah melalui tahap penerapan prinsip demokratisasi sepenuh-penuhnya di dalam partai.”
Prinsip ini juga mengajarkan bahwa kelas buruh akan lebih terlatih secara politik dan organisasi di bawah sistem politik yang demokratis ketimbang di bawah Tsar yang otokratis. Bagi Lenin, dalam kondisi dimana partai bergerak di bawah tanah, maka inisiatif-inisiatif dari kelas buruh otomatis menjadi tersumbat.
“Partai kita, telah menjadi stagnan ketika bekerja di bawah tanah ….’Bawah tanah’ kini telah hancur. Kini kita harus maju …. perluas basis-basis kalian … bentuklah rapat-rapat umum di kalangan seluruh lingkaran pekerja sosial-demokrat, inkorporasikan mereka ke dalam seluruh tingkatan organisasi partai sehingga menjadi ratusan dan ribuan.”***
Coen Husain Pontoh, Mahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY)