Pengalaman Mogok Kerja Buruh PT. Onamba Indonesia, Karawang
Irman Nur dan Iwan Ridwan
Aktivis Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
Kami satu: buruh
Kami punya tenaga
Tempat pertemuan kami sangat sempit tanpa buah
Cuma kacang dan air putih
Tapi makin terang bagi kami
Kesadaran kami tumbuh menyirami
Kami satu: Buruh
Kami punya tenaga
Jika kami satu hati
Kami tahu mesin berhenti
Sebab kami adalah nyawa
Yang menggerakannya
(Dari puisi Wiji Thukul, Makin terang bagi kami, Bandung, 21 Mei 1992).
BAGI para buruh PT. Onamba Indonesia, bait-bait puisi Wiji Thukul adalah sumber inspirasi besar, ketika mereka memutuskan mogok kerja pada 30 September 2010. PT. Onamba Indonesia terletak di Kawasan Industri Karawang – sebuah kawasan industri besar di Karawang, dimana investornya 90 persen datang dari Jepang. PT Onamba Indonesia sebagai perusahaan pemasok terbesar untuk kebutuhan kabel/wireless cabel bagi perusahaan elektronika seperti Epson, Kiyokuni, KAI, Sanken, Bando, Toshiba dan JVC, modalnya 100 persen dikuasai investor Jepang. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari Onamba, Co. Ltd yang berkantor pusat di 3-1-27, Fukae-Kita, Higashinari-ku, Osaka-shi, Osaka, Jepang. Mereka mempekerjakan sekitar 450 buruh dimana 90 persennya adalah buruh perempuan, dengan tingkat pendidikan mayoritas buruh adalah lulusan SLTA.
Sejak beroperasi di Indonesia, sekitar 14 tahun lalu, Onamba Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai market leader bagi produk tersebut. Rinciannya, pangsa pasar 65 persen untuk suplai bagi pelanggan internasional dan 35 persen produksi untuk suplai pelanggan lokal seperti EPSON dan JVC. Untuk pelanggan internasional, melalui sister company di beberapa negara mereka mensuplai kebutuhan pasar untuk negara Thailand, Cheko, Hongkong, Vietnam dan beberapa Negara di Amerika Latin. Posisi Onamba Indonesia yang strategis tersebut, menyebabkan pasar internasionalnya tergantung pada produksi Onama Indonesia. Artinya, order yang berasal dari negara-negara lain (melalui sister company) dikerjakan di pabrik Indonesia.
Sebagai contoh, salah satu anak perusahaan Onamba, ASLE (suplai untuk Cina), tidak mungkin menampung order Onamba Indonesia (yang mengerjakan order negara lain), karena mereka overload mengerjakan produksi untuk Cina dan standar kualitas produksinya di bawah standar Onamba Indonesia
Kenapa Buruh Harus Mogok?
Dalam berbagai kesempatan, perusahaan selalu mengatakan kalau para buruh tidak perlu mogok. Alasannya, apa yang menjadi tuntutan buruh sebenarnya bisa diselesaikan melalui pembicaraan dan perundingan secara baik-baik. Pernyataan kosong ini, disampaikan berulang-ulang dalam berbagai kesempatan, baik melalui media lokal ataupun di forum-forum. Alasan ini sebenarnya merupakan upaya perusahaan untuk menghindari kenyataan bahwa merekalah biang keladi aksi mogok kerja ini: Menolak perundingan secara bermartabat dan tidak mau menghormati posisi Serikat!
”Pembicaraan secara baik-baik” yang selalu dijadikan alasan perusahaan ketika buruh mogok, sebenarnya sudah dilaksanakan sejak beberapa bulan sebelumnya. Tapi perusahaan tidak pernah menunjukkan itikad baik untuk mewujudkan hal itu. Perusahaan baru bereaksi ketika akhirnya buruh memutuskan mogok karena dipicu faktor lain, dimana PT Onamba Indonesia telah melakukan tindakan kejahatan Union Busting kepada Serikat Buruh yang ada di perusahaan, yaitu SPA FSPEK-KASBI PT. Onamba, sebuah serikat buruh yang berafiliasi secara nasional dengan KASBI. Tindakan Perusahaan itu adalah memecat Iwan Ridwan, ketua Serikat pengganti ketua sebelumnya Eman Suherman, yang sudah dipecat setahun sebelumnya. Dalam analisa pengurus Serikat, kondisi ini sudah tidak bisa ditolerir karena perusahaan telah berupaya secara sistematis dengan memecat dua ketua serikat dalam waktu yang beruntun, disamping upaya perusahaan memfasilitasi terbentuknya serikat buruh baru sebagai tandingan, sebagai upaya melemahkan posisi tawar serikat, mirip kelakuan penjajah dulu: devide et empera, pecah belah dan Beranguslah!
Ketika pemogokan buruh terjadi, mereka kembali menyuarakan tuntutan agar perusahaan memenuhi hak-hak mereka. Isi tuntutan ini sebenarnya sederhana, yakni menuntut dipenuhinya hak buruh yang sudah ditulis dalam perjanjian kerja bersama (PKB) antara buruh dan majikan. PKB inilah yang dipelintir perusahaan sedemikian rupa sehingga mereka beroleh alasan untuk tidak memenuhinya. Adapun PKB yang dituntut itu terdiri tiga hal:
Pertama, penyediaan mobil jemputan untuk semua rute bagi para buruh sesuai dengan ketentuan yang ada dalam PKB. Ini permintaan yang wajar, karena setahun sebelumnya, bupati Karawang telah menerbitkan SK perubahan rute kendaraan di jalan-jalan Kota Karawang, sehingga tidak memungkinkan bus jemputan masuk dalam jalan kota. Perubahan ini mengakibatkan para buruh yang berdomisili di dalam kota tak lagi bisa naik bus jemputan menuju pabrik, atau harus mengeluarkan biaya tambahan untuk sampai pada shelter bus terdekat. Dibutuhkan ongkos tambahan minimal Rp. 4.000 atau sebesar Rp. 100-200 ribu selama sebulan. Dalam kondisi upah buruh yang sangat murah, uang sebesar itu tentu saja sangat berat bagi buruh. Belum lagi jika cuaca hujan dan kerja malam hari, tentu tak mudah bagi buruh untuk berangkat bekerja.
Kedua, perubahan kartu asuransi kesehatan untuk buruh dari Blue inhealth (untuk regional saja) menjadi Silver inhealth (untuk nasional). Perusahaan, dengan alasan kondisi keuangan yang memburuk, menetapkan bahwa buruh hanya memperoleh kartu asuransi tipa Blue inhealth. Kebijakan ini dirasakan buruh sangat berat, karena berakibat menyempitnya area pelayanan kesehatan yang pada awalnya (Silver) adalah Nasional menjadi hanya regional Jawa Barat pada kartu Blue Inhealth. Secara geografis, Karawang adalah kota yang sangat dekat dengan Jakarta, dengan mobilitas sangat tinggi ke Jakarta. Tetapi, Jakarta (meski hanya 1 jam perjalanan dari Karawang) lokasinya berada di luar regional Jawa Barat. Selain itu, perubahan kartu menyebabkan kualitas pelayanan kesehatan juga menurun.
Ketiga, pembayaran sumbangan bagi pekerja yang meninggal dunia sesuai dengan PKB. Dalam perundingan PKB, filosofinya adalah memberikan penghargaan kepada buruh yang meninggal dengan cara memberikan santunan kepada keluarganya dengan uang yang besarnya disamakan dengan besarnya santunan dari Jamsostek. Sebagai contoh, apabila Jamsostek memberikan santunan sesuai haknya sebesar Rp. 10 juta maka dalam kesempatan yang sama perusahaan wajib memberikan jumlah yang sama kepada keluarga buruh. Pasal ini dilanggar atau bisa dikatakan tidak dijalankan oleh pengusaha.
Jadi pernyataan bahwa buruh tidak perlu mogok terbantahkan sudah, karena inilah cara buruh menunjukkan kekuatan dirinya. Mogok dilaksanakan pada 30 September 2010 dengan pertimbangan, hari itu bertepatan dengan hari Kamis, dimana perusahaan sedang dikejar deadline untuk ekspor. Tapi dengan dangkal, perusahaan membuat pengumuman dan diteriak-teriakkan melalui mikropon, selayaknya pengumunan di bandara atau stasiun kereta api: hati-hati, ada apa dengan 30 September dan mari kita bersiap merayakan kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2010….. Rupanya, perusahaan kehabisan akal untuk memberikan argumen. Ide dan kelakuan rezim militer Soeharto, yang menstigma aksi buruh dengan tuduhan Komunis masih digunakan. Cara ini juga yang kemudian digunakan oleh serikat gadungan dalam pernyataannya di sebuah jaringan surat elektronik.
Setelah buruh mogok?
215 anggota Serikat yang mogok kerja adalah buruh yang memegang semua posisi utama dalam produksi, meliputi operator (baik mesin/manual) dan setter yang berfungsi menyiapkan mesin sebelum berproduksi. System produksi di Onamba Indonesia yang rumit, memerlukan keterampilan sangat tinggi untuk para pekerjanya, sehingga tidak mungkin posisi buruh yang mogok digantikan oleh buruh baru.
Ketika 95 persen buruh tetap melakukan mogok, maka tindakan standar yang dilakukan perusahaan adalah mengganti buruh yang mogok dengan buruh baru, diantaranya buruh kontrak dan juga siswa SMK 2 Karawang, yang direkrut dengan dalih Praktek kerja Lapangan (PKL). Tetapi buruh yang bekerja di dalam dengan kontrak baru atau buruh lain yang masih memiliki sisa masa kerja 2-3 bulan dan buruh pengganti lainnya tersebut, yang juga berasal dari buruh anak di bawah umur yang didapatkan dari sub kontraktor, tetap saja gagal menggantikan peran buruh yang sedang mogok.
Sebagai ilustrasi, kalau dalam sehari mereka memproduksi 10 ribu pcs kabel untuk suplai ke pelanggan, maka barang-barang tersebut di produksi dengan terburu-buru karena mengejar tenggat waktu pengiriman, tanpa pengecekan dan mengabaikan standar produksi dan SOP yang ada. Akibatnya 80 persen hasil produksi dikembalikan pelanggan karena di luar standar alias dinyatakan reject. Sumber terpercaya dari dalam pabrik mengatakan, pelanggan lokal terbesar dari JVC dan Epson telah menyatakan menghentikan order. Dan ini membuat tim marketing kehabisan akal untuk merayu mereka agar kembali membeli barang dari Onamba.
Bagaimana dengan pasar Internasional? Kalau produksi untuk lokal yang sebesar 35 persen saja tak terjangkau, bagaimana mereka mampu memenuhi permaintaan export yang deadline dan standarnya lebih tinggi? Tak perlu riset mendalam untuk bisa menjawabnya.
Pemogokan ini membenarkan pernyataan sahabat kita Wiji Thukul: “Mogoklah maka kalian akan menemukan dunia baru.” Jika kami satu hati, kami tahu mesin berhenti sebab kami adalah nyawa yang menggerakannya. Dan kini, Onamba menjadi rumah hantu karena nyawa yang menggerakannya berhenti!***