Tanggapan terhadap Donny Gahral Adian
TULISAN Donny Gahral Adian, Kaum Miskin dan Kekayaan Sosial di harian Kompas (18 Juni 2010) cukup inspiratif. Menimba dari terobosan penting Antonio Negri dan Michael Hardt mengenai posisi pemikiran Kiri dalam kaitannya dengan kapitalisme global, Donny mengulas dengan cukup lengkap fenomena orang miskin yang seolah dibisukan dan dilupakan, hingga bagaimana Marx terkesan menafikan kaum miskin dalam bangunan pemikirannya. Sampai akhirnya menurut Donny, Negrilah yang melalui konsep multitude menyediakan pisau refleksi yang relevan mengenai bagaimana kaum miskin yang bukan buruh ini dapat mengonsolidasikan diri untuk melakukan perlawanan. Sayangnya, ada beberapa hal yang perlu ditilik lebih dalam sebelum kesalahpahaman yang lebih akut terjadi.
Tulisan ringkas ini akan berfokus pada pemikiran Marx mengenai orang miskin, konsep multitude yang dikembangkan Negri dan Hardt, dan bagaimana memikirkan ulang strategi gerakan kaum Kiri dalam kaitannya dengan kapitalisme global.
Marx dan Orang Miskin
Cukup mengejutkan ketika Marx dituduh abai terhadap orang miskin yang bukan buruh. Hemat saya, terjadi campur aduk antara pemikiran Marx dan Marxisme. Yang terakhir boleh jadi terkesan mengabaikan kaum miskin non buruh karena lebih berfokus kepada analisis struktural bagaimana antagonisme buruh dan majikan terjadi dan diatasi dalam sistem kapitalis. Namun apabila kita sudi membaca lebih dalam apa yang dipikirkan Marx sendiri, di artikel berjudul Proceeding of the Sixth Rhine Assembly. Debates on the Law on Theft of Wood (Collected Works, Vol. 1:1975 ) telah mengatakan sebagaimana menjadi keprihatinan Donny Gahral. Titik tolak Marx adalah pandangan Hegel mengenai orang miskin (die Standeslosen), yakni mereka yang tidak memiliki tanah dan tidak tergabung dalam korporasi. Mereka ini bukan anggota civil society maupun Korporasi. Hegel menyebutnya Pöbel (rakyat jelata) dan menjadi orang miskin adalah sebuah ketidakberuntungan, karena hanya dengan menjadi anggota civil society dan Korporasi individu dapat universalitas. Dari sinilah Marx bertolak dan sekaligus melampaui Hegel.
Dalam perdebatan untuk menjawab pertanyaan apakah orang miskin yang mengambil ranting kering yang jatuh dari pepohonan yang dimiliki secara pribadi dapat dipersalahkan dan dihukum, Marx member jawaban positif. Orang miskin adalah elemental class of human society – demikian Marx menyebut. Fakta bahwa mereka tidak memiliki status hukum dan eksistensinya tidak diakui adalah kritik imanen terhadap tatanan yang ada. Bagi Marx, aktivitas si miskin ini secara fundamental benar dan rasional, karena secara ontologis merefleksikan adanya objek kepemilikan yang secara kodrati tidak dapat memperoleh status ‘privat’. Kemudian Marx membuat sebuah analogi brilian, bahwa posisi si miskin di dalam civil society sama halnya dengan ranting kering yang jatuh dari pohon itu. Relasi itu sama artinya dengan hubungan antara kemakmuran dan kemelaratan di masyarakat.
Bagi Marx, orang miskin adalah mereka yang hanya memiliki dirinya namun berlimpah dalam hal kepemilikan hal-hal universal: kehidupan, kebebasan, kemanusiaan, dan etos kewargaan. Marx menyebut ini sebagai cara pandang objektif/ontologis, berkebalikan dengan cara pandang subjektif/psikologis yang merujuk pada hak kepemilikan pribadi atas materi. Kemalangan yang diderita bukanlah andil kaum miskin melainkan dari praktik pengejaran self-interest dalam civil society yang bertumpu pada kepemilikan pribadi. Mala yang timbul dalam civil society ini tidak sekedar objektif – yakni kemiskinan yang akut- tetapi sekaligus subjektif karena terkait dengan relasi-relasi sosial termasuk struktur kesadaran. Di sini Marx menunjukkan keuntungan sebagai bukan anggota civil society dan Korporasi. Pada titik ini kita tiba pada persoalan agensi yang dipikirkan Marx, di satu sisi status ontologis kaum miskin – yang kemudian disebut proletar – tetap dipertahankan dan di sisi lain transformasi sosial dimungkinkan ( Sherover:1979). Mengatasi tegangan ini hanya dapat dilakukan dengan menjadikan kaum proletar sebagai subjek revolusioner melalui pendidikan dan emansipasi kesadaran. Sederhananya, kaum miskin atau proletar dalam era kapitalisme manufaktur abad ke-19 di masa Marx hidup adalah kaum buruh dan merekalah yang dapat menjadi agen transformasi itu.
Multitude dan Persoalan Agensi
Cukup pasti Hardt dan Negri mengambil konsep multitude dari filsuf Belanda Benedict de Spinoza ( 1632-1677). Mereka menuangkannya dalam trilogi masyhur, Empire (2000), Multitude (2004), dan Commonwealth (2009). Dengan mengandaikan bahwa kapitalisme telah melewati fase imperialis dan kini disebut sebagai “empire” dan dicirikan dengan globalisasi dan perubahan corak kapitalisme, bukan industrial melainkan kognitif. Dalam logika mobilitas dalam globalisasi, Hardt dan Negri lantas menilai bahwa konsepsi jamak marxisme tentang buruh sebagai subjek revolusioner harus dipikir ulang. Kini bukan buruh melainkan mereka yang berserak, sangat cair dalam pergerakan, dan ini tercermin misalnya dalam fenomena imigran. Gejala cair, berserak, sekaligus kerumuman ini disebut multitude. Pilihan terhadap multitude adalah karena bersifat singular yang mengatasi dualisme oposisi biner aku/liyan yang dapat merengkuh seluruh manusia. Hardt dan Negri menyebut mereka ini digerakkan oleh biopower dari Empire namun selalu dapat berjarak. Kepada merekalah panji-panji transformasi dipercayakan.
Kita lalu berpaling ke Spinoza. Dalam karyanya A Theologico-Political Treatise ia memberikan pembatasan tegas. Gerombolan orang itu dapat disebut multitudo jika mendasarkan tindakannya pada rasionalitas dan tujuannya melakukan pembebasan, dan disebut vulgus apabila hanya digerakkan rasa takut dan tindakannya menebar teror dan kekerasan. Ada dua hal pokok sebagai kritik terhadap Hardt dan Negri ( Havercroft:2010 ). Pertama, singularitas. Meski singular, multitude digerakkan faktor eksternal yakni rasa takut akan kematian dan dua sumber yang disebutnya “musuh alamiah” yaitu Yang Berdaulat dan ancaman dari bangsa lain. Di sini mengandaikan oposisi biner yang berlawanan dengan tujuan Hardt dan Negri. Kedua, kekuasaan konstituen (constituent power). Jika Hardt dan Negri menyebut kapasitas entitas politik untuk mengkonstitusi diri bersifat agonistik, Spinoza sebaliknya membedakan kekuasaan menjadi dua, potestas yaitu otoritas, kontrol, atau kedaulatan, dan potentia yaitu kekuasaan, kekuatan, dan kemujaraban. Keduanya adalah dua bentuk pengorganisasian politik yang berbeda dari satu subjek. Yang membedakan adalah persoalan hak individul pasca transfer hak dan kekuasaan kepada kedaulatan. Yang terjadi pada potestas adalah alienasi dan ini terjadi dalam konsep kontrak sosial Hobbes, sedangkan dalam potentia, transfer hak dan kekuasaan individual yang membuahkan kebebasan terjadi dalam demokrasi. Hardt dan Negri mengambil ide potentia/potestas ini tetapi memberi arti yang berbeda. Potestas bercorak terpusat, dimediasi, dan merupakan daya transendental dari perintah, sedangkan potentia bersifat lokal, langsung, dan merupakan daya aktual yang konstitutif. Hardt dan Negri mengandaikan multitude dapat menjadi subjek transformasi yang bersifat langsung tanpa mediasi, sehingga tidak membutuhkan negara. Sebaliknya bagi Spinoza, negara demokratis dibutuhkan sebagai mediator bagi multitude untuk melakukan proses deliberasi yang rasional. Maka antagonisme dalam politik agonistik Hardt dan Negri adalah multitude vs negara, sedangkan bagi Spinoza, demokrasi deliberatif justru menjadi sebuah keharusan bagi multitude agar potentia dapat diaktualisasikan menuju kebebasan yang semakin penuh.
Dari dua hal mendasar yang berbeda antara Hardt-Negri dan Spinoza, kita dapat menguji apakah ekspektasi pada multitude sebagai agen/subjek transformasi memadai. Pertama, corak agonistik Hardt-Negri yang selalu mengandaikan liyan pada akhirnya sulit menjelaskan bagaimana membuang negara, jika sebagai musuh ia secara ontologis harus tetap diasumsikan terus ada. Di sini konsep Spinoza tentang penguatan kapasitas lembaga-lembaga negara agar semakin menjamin deliberasi multitude lebih rasional. Kedua, kapitalisme global dalam wajah Empire dan perang tak cukup menjadi daya pendorong bagi terciptanya kolektivitas bernama multitude. Terbukti hadirnya fear semisal bahaya nuklir, kerusakan ekologi, global warming, dan sebagainya tak cukup mampu menggerakkan global multitude. Di sini muncul pertanyaan teknis, bagaimana multitude mengkonstitusi dirinya?
Penutup
Tulisan ini diakhiri dengan beberapa buah catatan. Pertama, alih-alih menafikan posisi dan peran kaum miskin, Karl Marx justru memberikan status ontologis dan menjadikannya sebagai titik tolak perumusan teori dan praksis selanjutnya. Rasanya Marx tetap relevan sebagai rujukan dana mengadvokasi kaum miskin. Kedua, meski Hardt dan Negri memulai sebuah terobosan yang cukup unik, namun masih terdapat beberapa kelemahan mendasar untuk dapat dijadikan alternatif sebagaimana ditunjukkan oleh Spinoza sendiri. Ketiga, pembacaan terhadap Marx dan Spinoza masih menyisakan hal-hal yang relevan bahwa di tengah aneka gagasan brilian mengenai transformasi sosial dan segala kemungkinannya, pertanyaannya tetaplah sama, manakah agen yang paling memungkinkan? Tidak mudah menjawabnya. Satu hal yang pasti, baik Marx maupun Spinoza mengandaikan pendidikan yang baik.
Terry Eagleton (2000) menunjukkan dengan cermat, bahwa kapitalisme global adalah partikularitas yang diuniversalisasi, dan sebaliknya sosialisme adalah universalitas yang harus bergerak dalam hal-hal partikular. Maka membela dan berempati pada yang miskin tentu sebuah sikap yang baik, namun lebih dari itu diperlukan strategi gerakan yang kalkulatif dan dipandu nalar yang sehat, tidak dengan emoh negara melainkan masuk ke dalam proses penguatan institusi politik dan secara imanen menjalankan kritik-diri. Jika tidak, maka apa yang tampak baik dan bombastis itu hanya akan menjadi gincu bagi politik pencitraan, dan kolektivitas yang didamba menjadi agen perubahan itu sekali lagi akan menjadi vulgus, dan Spinoza sekali lagi akan memasang pamflet bertuliskan “ultimi barbarorum” mengingatkan peristiwa 19 Agustus 1672, ketika massa beringas menebar teror dan kekerasan.***
Justinus Prastowo
Mahasiswa pasca sarjana STF Drijarkara, Jakarta