Tanggapan Terhadap Zely Ariane
MEMBACA artikel yang ditulis Zely Ariane, berjudul “Mengapa Kiri Tidak Bersatu Saja” (di sini, kita seperti sedang terbuai dalam “petuah” dewa dari langit. Setiap kata menyiratkan keharusan, namun hampir seluruh pembacaan dalam analisis itu terlepas dari “bumi”—dunia kenyataan.
Namun, satu hal yang mungkin luput dari pengertian para pembaca artikel Zely, adalah soal bagaimana melekatkan analisis dan anjuran artikel itu dalam konteks Indonesia saat ini. Kita tidak menemukan “tangga” untuk menurunkan teori itu, dari langit ke bumi.
Setelah saya membaca artikel itu, barulah saya menyadari bahwa artikel itu seperti seorang buta yang sedang mendiskripsikan pemandangan di depannya. Kita begitu terpukau oleh kata-katanya yang indah dan menyentuh, tapi tak sadar kalau si pencerita hanya membuat ilustrasi persis dengan ide-ide di dalam kepalanya, namun tidak sesuai dengan kenyataannya.
Begitu asyik menghakimi praktik front luas di Eropa, sampai-sampai artikel ini lupa dengan pengalaman front luas di Indonesia seperti radicale concentratie pada tahun1918, konsep persatuan nasionalis-islamis-marxis-nya Soekarno, pengalaman front nasional, dsb. Pun, dalam mengadili front luas di Eropa, si penulis berlaku sangat tidak adil karena melupakan keberhasilan NPA-Perancis dan Left Block di Portugal.
Dan, ternyata, setelah saya mengutak-atik di mesin pencari google, sebagian besar tulisan Zely di IndoPROGRESS memang diadaptasi secara kasar dari tulisan Allen Myers, salah satu pimpinan Revolutionary Socialist Party (RSP), organisasi sempalan dari DSP. Tulisan itu berjudul “Why are there so many socialist groups?” berusaha menjelaskan hambatan persatuan kiri di Australia. Misalnya, Zely menulis; “gagasan agar setiap orang yang bersepaham terhadap cita-cita sosialisme seharusnya bersatu dalam satu organisasi, tampak masuk akal. Namun, bagaimana organisasi yang demikian dapat menyatukan tindakannya jika beberapa anggotanya berpikir bahwa sosialisme dapat tercapai hanya dengan memilih sebanyak-sebanyaknya kaum sosialis di parlemen; sementara yang lain berpikir bahwa kaum sosialis yang bertarung dalam pemilihan parlementer hanya untuk mempropagandakan gagasan-gagasannya demi revolusi sosialis?” Pernyataan Zely ini ternyata kita dapatkan di paragraph kedua tulisan Allen Myers.
Pada bagian praksis persatuan kiri, Zely kemudian menulis: “Jadi, “persatuan kiri”, jika ia demikian diinginkan, masih terlalu kabur dan tak berarti banyak. Yang lebih konkret dan berarti banyak adalah suatu persatuan kiri untuk mendukung pemogokan tertentu; persatuan kiri untuk mengorganisasikan suatu demonstrasi melawan kenaikan harga; membentuk konfederasi buruh progresif; persatuan kiri untuk pemilu demokratik, dst. Persatuan-persatuan demikian biasanya dapat tercapai dengan kesediaan berkompromi (karena akan ada perbedaan gagasan terkait tuntutan, metode/taktik, dan dimana demonstrasi seharusnya diselenggarakan, dll). Suatu organisasi (komite aksi) mungkin terbentuk sebagai alat atas persatuan semacam itu. Oleh karena itu, persatuan kiri haruslah spesifik.” Kutipan inipun sama persis, tanpa sedikit pengubahan, dari tulisan Allen Myers di paragraph ketiga.
Pendek kata, kendati ada kesamaan secara umum antara kita dan kawan-kawan di Australia dalam hambatan persatuan, namun adalah tidak bijak dan tidak ilmiah untuk mengcopy-paste suatu gagasan tanpa kritis. Bukankah ini pertanda bahwa Zely telah sembrono menerapkan pendapat Allen Myers dalam segala situasi?
Dari Mana Kita Memulai
Zely telah menawarkan kepada kita sebuah peta buta, di posisi mana kita berada dan kemana kita mau menuju. Dia tidak sedikitpun memberi penjelasan mengenai situasi konkret saat ini, namun sudah beranjak pada “penawaran”.
Pertama, kita harus memperhitungkan perkembangan-terbaru terbaru akibat imperialisme (neoliberalisme); perkembangan sistim produksi, relasi tenaga kerja dan kapital, krisis global yang permanen dan mendalam, dan lain sebagainya.
Kedua, kita seharusnya memeriksa situasi konkret dan kontradiksi pokoknya. Setidaknya, ketika kita sudah menemukan problem pokok, maka pintu kerjasama akan terbuka lebar. Diskusi ini akan merumuskan siapa kawan dan siapa lawan, serta rumusan mengenai sifat atau watak revolusi kita.
Ketiga, mendiskusikan perimbangan kekuatan antara kita dan musuh, bagaimana mengatasinya, dan seperti apa bentuk kerjasama yang bisa diputuskan.
Terkait hal ini, Fidel Castro pernah mengatakan, apa yang sangat membantu penyatuan kekuatan revolusioner adalah penerapan strategi yang terbukti paling benar dalam perjuangan melawan musuh utama. Jika hasilnya memuaskan, kekuatan revolusioner lainnya akan bergabung dalam perjuangan, di saat kemenangan, atau di bulan dan tahun berikutnya.
Hanya melalui perjuangan konkret untuk tujuan objektif, meminjam perkataan Marta Harnecker, sebuah kesatuan akan tercapai. Kita berbicara tentang strategi yang memperhitungkan transformasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi yang penting di seluruh dunia pada periode akhir-akhir ini. Tanpa itu, kita hanya akan membabi-buta untuk menganjurkan persatuan.
Jadi, ada dua hal yang sangat membantu dalam penyatuan kekuatan revolusioner; penerapan strategi-taktik yang benar dan perumusan tujuan yang paling objektif.
Perimbangan Kekuatan
Soal persatuan adalah soal strategi politik, yakni suatu jalan untuk memenangkan perimbangan kekuatan antara kita dan musuh. Ini pun, sebetulnya, hanya merupakan “jalan pembuka” untuk menaklukkan kekuasaan. Oleh karena itu, adalah sia-sia berbicara soal persatuan, jika hal itu tidak berhubungan dengan kebutuhan politik kekuasaan.
Tidak bisa dipungkiri, dalam pertentangan-pertentangan antara berbagai kekuatan sosial di dalam susunan suatu masyarakat, selalu ada yang mendominasi dan terdominasi, ada yang menghegemoni dan terhegemoni, dan lain sebagainya.
Badai neoliberal telah melanda dalam satu dekade terakhir, memengaruhi perimbangan kekuatan dalam masyarakat kita. Melalui deregulasi dan privatisasi, sebagian besar kekayaan publik telah ditransfer ke negara-negara maju, sedangkan rakyat kita dititipi kemiskinan. Selain itu, ketika liberalisasi dan pembukaan pasar sudah disetujui pemerintah kita, maka sebagian besar kekayaan nasional sudah diserahkan kepada asing.
Ini berjalan beriringan dengan proses reproduksi ide-ide sosial dan politik, bahwa kedaulatan pasar atas negara dan rakyat harus terus dijaga, tidak dapat diganggu gugat. Ide-ide kelas dominan, terutama yang berjubah individualisme dan konsumerisme, telah mendisintegrasi dan mengatomisasi masyarakat kita. Tidak terkecuali media massa, yang telah menjadi bala tentara paling terlatih dari imperialisme modern saat ini.
Ini menggambarkan suatu situasi; (1) Bangsa kita telah sangat menderita akibat penindasan negeri-negeri imperialis, dalam hal ini melalui proyek neoliberalisme; (2) Sektor yang dihancurkan atau dimiskinkan oleh neoliberalisme tidak hanya klas pekerja dan kaum tani, namun mencakup dan mengancam sektor yang sangat luas. Termasuk, dalam hal ini, 70 persen lebih pekerja sektor informal (pemilik alat produksi kecil, pedagang skala kecil, dan petani miskin); (3) Krisis permanen dan berkepanjangan dalam tubuh kapitalisme global; (4) Meski sudah muncul perlawanan terhadap agenda neoliberal, tapi perlawanan tersebut masih bersifat potensi; masih kecil dan berserakan.
Kita berhadapan tidak saja dengan suatu aparatus politik koersif dari kelas dominan, melainkan juga suatu mekanisme dan institusionalisasi masyarakat sipil yang menghasilkan penerimaan populer di kalangan masyarakat kita. Artinya, kita tidak saja kalah dalam perimbangan kekuatan politik, tapi juga kalah sangat jauh dalam pengorganisasian ide dan gagasan dominan.
Itu mengapa saya mengatakan, propaganda sederhana mengenai masyarakat alternatif saja tidak cukup, namun juga harus ada penunjukkan praktek nyata terkait isi propaganda tersebut.
Kawan dan Lawan
Soekarno pernah berkata, “revolusi apapun mestilah punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan revolusi harus tahun siapa kawan dan siapa lawan”. Ini adalah salah satu hukum dari sebuah revolusi, yaitu adanya pertentangan.
Sayangnya, Zely Ariane tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai siapa kawan dan lawan revolusi Indonesia saat ini. Ya, di bagian akhir tulisannya dia memang sempat menuliskan, “musuh-musuh rakyat, yakni kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan”.
Sikap ini, ironisnya, sangat mengingatkan kita dengan sikap kebijakan George W. Bush, Presiden Imperialis AS, yang pernah menegaskan bahwa, “mereka yang tidak dengan kita adalah melawan kita”. Sikap semacam ini, jika tidak disertai cara pandang yang benar dalam mengelola kontradiksi pokok, akan menghambat proyek persatuan.
Kebutuhan untuk mendefenisikan siapa kawan dan lawan, untuk tahap histories tertentu, menjadi sangat penting karena beberapa hal; pertama, perjuangan antara kekuatan kami dan kekuatan musuh adalah asimetris. Artinya, jikalau kita dalam posisi lemah, maka musuh akan memperoleh keuntungan dan sangat kuat; kedua, kita perlu menghitung seberapa besar kekuatan kita dan musuh, sehingga dapat pula menentukan kapan melakukan perang defensif atau opensif terhadap posisi musuh.
Saya sendiri—dan termasuk kawan-kawan PRD—mendefenisikan problem pokok rakyat kita adalah adanya penjajahan kembali (re-kolonialisme), yaitu dalam bentuk eksploitasi bernama neoliberalisme. Rekolonialisme ini menjelaskan dirinya dalam bentuk eksploitasi dari eksternal, baik langsung atau tidak langsung, untuk menguasai bahan baku, pasar, mengeksploitasi tenaga kerja, memprivatisasi kekayaan publik, dsb.
Dapat disimpulkan, pertentangan pokok dalam perjuangan rakyat Indonesia saat ini, ialah pertentangan antara imperialisme dan nasion Indonesia, serta pertentangan antara lapisan elit borjuis pendukung imperialisme di dalam negeri melawan kepentingan seluruh rakyat. Dengan begitu, musuh-musuh rakyat Indonesia yang pokok adalah imperialisme dan kekuatan pendukungnya di dalam negeri, yaitu pemerintahan SBY-Budiono, partai politik pendukung pemerintah, kalangan intelektual dan politisi liberal, dan ormas-ormas bergaris liberal lainnya.
Itulah musuh kita, dari sanalah kita menarik garis demarkasi politik, termasuk dalam menyisir potensi-potensi sekutu untuk memperkuat barisan perlawanan kita. Namun, tidak semua kekuatan yang anti-neoliberal akan menjadi sekutu kita, sebab ada pula kekuatan yang tidak saja anti-neoliberal, tetapi juga anti kepentingan nasion, yaitu reaksioner fundamentalis.
Dekolonialisme
Kenapa harus ditekankan kepentingan nasional? Karena, ekspresi utama dari imperialisme saat ini adalah penindasan nasional, yaitu pelumatan kedaulatan sebuah nasion untuk mempermudah perampasan sumber daya alam, pasar, eksploitasi tenaga kerja, dan lain sebagainya. Kita butuh sebuah negara yang mandiri dan berdaulat, berani meninggalkan “ketergantungan terhadap penjajahnya”, serta mengkoordinasikan kemajuan tiga-segi ekonomi nasional: ekonomi berbasis keluarga, ekonomi mikro, dan industri modern.
Aspek-aspek mendesak dalam dekolonialisme sangat dekat dengan istilah klasik, revolusi demokratik-borjuis atau revolusi nasional. Di mata Soekarno, revolusi nasional di Indonesia telah dibedakan dengan revolusi borjuis demokratis seperti di Perancis dan negeri-negeri Eropa lainnya, yang mana kekuasaan diletakkan di tangan kelas borjuis, sementara rakyat masih tertindas. Untuk itu, Soekarno telah menganjurkan agar setelah Indonesia merdeka nanti, kekuasaan ditempatkan di tangan kaum marhaen. Dan, Indonesia merdeka hanya merupakan jembatan emas menuju masyarakat tanpa kapitalisme dan imperialisme.
Karena, terhadap posisi saya, tugas mendesak kita adalah menuntaskan revolusi nasional atau revolusi demokratis-borjuis, suatu tahap untuk menuju sosialisme Indonesia. Dua tingkat revolusi, demikian Nyoto berkata, adalah dua proses revolusioner yang berbeda dalam watak, tetapi yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan.
Fase revolusi nasional saat ini, saya meminjam istilah Bung Karno, akan ditujukan untuk menghantam, meremuk-remukkan rantai-rantai politik, belenggu-belenggu ekonomi, hukum-hukum berbau neokolonialis. Tahap ini akan menciptakan basis untuk perjuangan menuju sosialisme, misalnya kemajuan teknik, kemajuan kesadaran revolusioner, perkembangan pengetahuan, dan lain sebagainya.
Persatuan Kiri atau Luas?
Persatuan seperti apa yang dibutuhkan? Itu, dalam pandangan saya, sangat tergantung kepada tugas historis kita saat ini, yaitu de-kolonialisme. Sejak tahun 1926, ketika Soekarno merampungkan tulisan berjudul “nasionalisme, islamisme, dan marxisme”, bentuk persatuan politik sangat identik dengan penyatuan tiga kekuatan utama dalam perjuangan nasional ini, yakni nasionalis, islamis, dan sosialis.
Ini jelas suatu hal yang luput dari pengamatan Zely Ariane, yakni memeriksa pengalaman persatuan dalam konteks Indonesia. Tetapi, sebaliknya, dia justru menggunakan justifikasi kegagalan SSP di Skotlandia dan Rifondazione Comunista di Italia, sebagai dalil umum untuk menghakimi kesalahan front luas secara umum, padahal konteks dan situasinya sangat berbeda.
Di negara seperti Indonesia, dimana perjuangan rakyat masih harus mengambil bentuk perjuangan nasional melawan imperialisme, sangat “mustahil” untuk menjadikan front sempit sebagai kunci utama untuk mencapai kemenangan. Di tempat lain, misalnya di Amerika Latin, ada tiga platform utama dalam perjuangannya; perjuangan untuk keadilan sosial, demokrasi politik, dan kedaulatan nasional.
Dalam situasi di negara-negara tersebut, sektor yang terlibat dalam perjuangan sangatlah luas dan beragam, mulai dari teologi pembebasan, nasionalis progressif, Marxist, masyarakat adat, hingga kaum anarkis. Ini menjadi ciri umum di negeri-negeri dunia ketiga, dan terutama sekali akibat neoliberalisme. Di Indonesia, tiga kekuatan yang sudah disebutkan di atas, selalu menjadi komposisi utama front-front anti-kolonialisme, misalnya Radicale Consentracie, GAPI, Nasakom, dan lain sebagainya.
Dengan begitu, tindakan memaksakan front kiri bukan saja suatu kesalahan, tetapi juga adalah suatu bentuk sabotase terhadap kemenangan revolusi nasional (cetak tebal oleh Penulis).
Lantas, ada yang mengungkapkan, persatuan di kalangan kiri harus ditempatkan sebagai prioritas sebelum mendorong persatuan lebar (broad alliance). Menurut saya, kita tidak perlu mekanis dalam menerapkan anjuran ini, namun harus diletakkan dalam tuntutan objektif.
Fidel Castro, sebagai contoh, memang berusaha menempatkan persatuan di kalangan revolusioner sebagai langkah pertama, dan hanya setelah itu barulah ia mengarahkan untuk menyerukan persatuan luas. Namun, ini penting untuk dicatat di sini, bahwa kegagalan untuk mencapai persatuan di kalangan revousioner tidak menghentikannya untuk mendorong persatuan luas.
PRD dan Strategi Elektoral (2004 dan 2009)
Dalam artikelnya, Zely Ariane berusaha menjawab faktor kegagalan PRD dalam membangun partai persatuan untuk strategi elektoral. Di situ, dia mengatakan; “bahwa salah satu penyebab penting kegagalan PRD membuat alat persatuan yang riil untuk Pemilu (2004 dan 2009), karena persatuan tersebut bukanlah hasil dari hidupnya atmosfer perlawanan dan mobilisasi radikal melawan hambatan-hambatan pemilu yang tidak demokratik; melawan negara penindas dan penyebab kemiskinan rakyat.”
Baiklah, saya akan menanggapi pendapat ini dari logika “pemilu sebagai taktik atau pemilu sebagai tujuan.” Latar-belakang PRD untuk mengintervensi pemilu, baik pemilu 2004 maupun 2009, adalah karena belum memadainya gerakan massa yang berkesadaran revolusioner, di satu sisi, dan ketiadaan situasi revolusioner, pada sisi lainnya.
Sehingga, karena persoalan itu, PRD sangat berharap menjadikan ajang pemilu sebagai ruang politik untuk mendorong maju kesadaran rakyat dan sekaligus menawarkan tradisi berpolitik baru kepada rakyat. Tujuan PRD bukan persaingan pemilu untuk mendulamng suara, melainkan untuk menjalankan aksi politik yang permanen, yakni menawarkan tradisi dan bentuk politik baru kepada rakyat.
Justru, pendapat Zely di atas dapat dianggap berbahaya, karena berusaha mengkanalkan kebangkitan dan radikalisme politik rakyat kepada jalan elektoral. Ini jelas sebuah bentuk oportunisme yang nyata. Terlepas dari berkuasanya sejumlah pemerintahan kiri melalui pintu elektoral, kita tidak dapat menyandarkan masa depan politik kita pada mesin elektoral yang sengaja dirancang oleh kelas berkuasa.
Soal kemudian, bahwa PRD tidak memperoleh dukungan signifikan, itu soal lain. Karena, ini seringkali menjadi kesalahan fundamental di kalangan kiri, bahwa ketika kiri menampilkan dirinya di hadapan rakyat, maka mereka akan menjadi alternatif. Ini cara pandang mekanis dan deterministik.
Pada kenyataannya, krisis dan ketidakpercayaan terhadap elit tidak serta merta menjadi perlawanan aktif terhadap politik borjuis, malah bisa mengambil jalan pasif (golput) atau malah fundamentalisme. Untuk mengolah dukungan rakyat, perjuangan kiri dalam panggung elektoral juga tidak ringan, penuh dengan rintangan dan hambatan, serta membutuhkan keuletan dan kesabaran.
Tantangan dan Hambatan
Di masa sekarang, kaum kiri harus bertemu dengan tantangan baru dalam lapangan perjuangan. Pertama, perjuangan anti-neoliberalisme di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, seringkali mengambil bentuk perjuangan nasional. Ini menjadi persoalan bagi gerakan kiri yang menolak bentuk perjuangan nasional, namun lebih mendahulukan proposal revolusi sosialis. Kedua, sektor yang terlibat dalam perjuangan ini sangat beragam, tidak saja berdasarkan spektrum politik dan organisasi-organisasi, tapi juga mencakup gerakan sosial dan individu. Ketiga, gerakan kiri, atau tepatnya sosialis, masih merupakan minoritas kecil di tengah-tengah kumpulan kaum moderat.
Disamping itu, gerakan kiri juga berhadapan dengan sejumlah hambatan, misalnya; (1) fragmentasi dan disintegrasi sosial yang sangat parah; (2) kaum kiri menemukan dirinya dalam ruang politik yang sangat sempit dan terbatas, sehingga sangat sulit untuk bermanuver; (3) kehancuran basis ekonomi produktif, yang membawa dampak pada kesulitan pengorganisasian rakyat bersifat jangka panjang.
Menghadapi hambatan dan tantangan sekaligus, gerakan kiri jelas membutuhkan sebuah solusi berupa blok sosial politik yang lebar, sanggup menerima keragaman sektor yang terlibat, dan dapat dipergunakan di berbagai medan politik.***
Rudi Hartono, Deputi Kajian dan Bacaan KPP-PRD