Rudi Hartono
KITA tidak sedang berbicara soal peristiwa tiga daerah semasa revolusi sosial, yaitu di Pemalang, Tegal, dan Brebes, semuanya di wilayah karasidenan Pekalongan. Dalam tulisan ini, kita akan berdiskusi soal perlawanan rakyat di tiga daerah di pulau Sulawesi, yaitu Buton, Buol, dan Banggai, atau saya sering menyebutnya perlawanan-3B.
Memang, perlawanan rakyat di ketiga daerah tersebut belum berhasil menjatuhkan kekuasaan lokal yang korup dan menindas. Tapi gerakan perlawanan sedang memperlihatkan sebuah kesimpulan bahwa keresahan sosial dan ketidakpuasan sedang meluas di daerah-daerah. Ini sangat penting untuk dipelajari lebih jauh dan mendalam, tapi tidak dalam tulisan ini.
Rejim-rejim Lokal Di Tiga Daerah
Satu hal yang perlu disimpulkan, perjuangan menjatuhkan rejim Soeharto tidak mengakhiri karakter birokrasi korup, kolutif, dan nepotism di daerah-daerah. Pemain-pemain utama dalam perpolitikan lokal masih dipegang oleh oligarkhi politik lama, terutama Partai Golkar dan tentara, dan sedikit tambahan dari kekuatan politik baru seperti PKS, Demokrat, dsb.
Di Buol, kekuasaan lokal diperintah oleh seorang kader Partai Golar, Amran Batalipu. Sejak memulai kekuasaannya hingga sekarang, Sang Bupati telah menggunakan kekuasaannya secara efektif untuk mengonsentrasikan semua sumber-sumber ekonomi ke tangan keluarganya. Selain terlibat berbagai praktik korupsi dan penggelapan uang pajak, Amran dan keluarganya juga memonopoli bisnis di tingkat lokal, mulai dari pengadaan baju dinas pegawai hingga bisnis tomat.
Di kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, kekuasaan lokal telah menjadi sekutu dan sekaligus tameng paling penting bagi perusahaan tambang untuk menindas rakyat. Pada saat warga dari Telaga Raya mempertanyakan ganti rugi lahan dan pohon milik mereka, pihak perusahaan mengaku sudah melakukan pembayaran. Untuk dugaan sementara, birokrasi daerah (bupati hingga kades) telah menggelapkan uang ganti-rugi tersebut.
Ironisnya lagi, saat warga menggelar aksi massa untuk mempertanyakan ganti-rugi dimaksud, Bupati malah menyodorkan solusi tidak masuk akal; ganti-rugi lahan dan pohon diganti dengan raskin (beras miskin) dan pembebasan pajak selama setahun.
Di Toili, Banggai, Sulawesi Tengah, perlawanan petani melawan perusahaan bernama PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS), justru menubruk tembok bernama Korem, struktur militer yang selama 32 tahun dipergunakan oleh rejim Soeharto untuk menindas gerakan rakyat. Anehnya, TNI menggunakan alasan latihan militer padahal kenyataannya mereka menjadi alat utama untuk melakukan penggusuran paksa terhadap petani.
Dari tiga derah di atas, semuanya berkaitan dengan struktur politik lama; golkar, penguasa lokal, dan tentara. Triumvirat ini merupakan sekutu penting bagi pemodal, baik pemodal pribumi maupun asing, dan sanggup menciptakan situasi kondusif bagi keberlangsungan mereka.
Kelahiran Perlawanan
Desentralisasi, dalam salah satu aspeknya, seolah menjadi “durian runtuh” bagi pemain politik di tingkat lokal, terutama yang memiliki kemapanan politik secara tradisional dan mengusai sumber daya ekonomi. Tidak terhindarkan pula, sebagian pertarungan politik di level nasional telah berpindah ke pertarungan politik lokal. Atau sebaliknya, tak jarang pertarungan politik lokal disorot secara nasional.
Namun, harus diakui, pemain-pemain politik paling siap dalam pertarungan politik elektoral ini adalah kekuatan politik lama dan kelompok elit baru. Elit lama mengacu pada warisan politik jaman Soeharto, sedangkan elit baru meliputi kelompok pengusaha baru, pedagang, pemuka agama, hingga kelompok professional.
Karena konturnya begitu, maka pertarungan politik lokal pun didominasi oleh elit yang sekedar haus kekuasaan, tanpa keberpihakan kepada rakyat. Mereka begitu mudah disuap oleh klik kepentingan, terutama kepentingan bisnis. Inilah, menurut hemat saya, yang menyebabkan lahirnya perlawanan atau amuk di beberapa daerah, termasuk di Buol, Buton, dan Banggai.
Secara garis besar, kita dapat menjelaskan beberapa hal yang memungkinkan perlawanan itu hadir: pertama, kelahiran pemerintahan lokal yang tidak peka dengan persoalan rakyat, sibuk mengejar pemuasan pribadi dan golongannya, dan begitu mudah disuap oleh kekuatan uang (pemodal). Ini sangat kontras dengan kehidupan rakyat secara luas, yang mengalami kesulitan ekonomi, terdiskriminasi, dan lain sebagainya.
Kedua, absennya kontrol publik atau mekanisme kontrol publik terhadap kekuasaan politik di lokal. Paska pemberangusan organisasi massa di bawah rejim Soeharto, saluran kontrol publik seperti dihapuskan. Memang ada LSM/ornop yang berusaha mengisi ruang-ruang itu, namun terkadang menghindar dari mobilisasi politik ataupun menjembatani massa dalam medan politik. Karena kekosongan itulah, maka perlawanan spontan atau amuk merupakan ekspresi paling mungkin bagi massa untuk mengoreksi kesalahan pemerintah.
Ketiga, medan elektoral seperti pilkades (pemilihan kepada desa) dan pilkada (pemilihan kepala daerah), sebagai mekanisme demokratis bagi massa untuk menyeleksi pemimpin, masih diwarnai aksi-aksi politik yang tidak demokratis. Ini sangat nampak dalam hal berkembangnya politik uang, politik patron-klien, dsb.
Apa Yang Bisa Dipetik?
Perlawanan rakyat di tiga daerah tersebut laksana letusan gunung Merapi yang sudah lama menyimpan magma. Hanya saja, harus diakui, letusan itu masih sebatas gemuruh yang hebat, belum sampai memperlihatkan getaran dan kehancuran terhadap segala sesuatu di sekitarnya.
Ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai pelajaran penting dari perjuangan di tiga daerah ini: pertama, perlawanan di sana, khususnya Buol, melibatkan sektor yang begitu luas, meliputi mahasiswa, LSM, petani, warga biasa, hingga Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Di Buton, dukungan sektor luas memang masih sangat kecil, masih sekitar masyarakat di Kecamatan Telaga Raya dan segelintir gerakan mahasiswa. Demikian juga di Banggai, keterlibatan sektor luas masyarakat memang belum signifikan, tetapi tekanan dari solidaritas bisa berkembang hingga ke Palu dan Jakarta.
Kedua, dari segi pilihan metode perjuangan, maka perjuangan rakyat di Buton mungkin menunjukkan segi maju dibanding yang lain, misalnya penggunaan metode pemboikotan. Dalam menjalankan perlawanan, aliansi Komite Perjuangan Rakyat (KOMPAK-Talaga Raya) tidak hanya melakukan pemboikotan terhadap rejim lokal, tapi juga pemboikotan terhadap aktivitas perusahaan PT. Argo Morini Indah (AMI).
Ketiga, meluasnya ketidakpercayaan terhadap rejim lokal yang korup dan pro-pengusaha seperti di Buton dan Buol. Di Buton, dalam suatu pertemuan dengan Bupati Butong pada tanggal 19 April, warga meninggalkan ruang pertemuan dan mengusir paksa sang bupati dan koleganya keluar dari desa. Demikian pula dengan Buol, massa juga mengabaikan sang Bupati yang sedang memberikan penjelasan “kosong” di hadapan sebuah aksi massa.
Keempat, dari segi konsistensi perjuangan, ini terkadang sangat penting, perlawanan rakyat di tiga daerah ini patut diacungi jempol. Di Buton dan Buol, misalnya, ketika para aktivis mendapat represi dan dipenjara, mereka melanjutkan perjuangan berupa aksi mogok makan di dalam penjara. Tidak sedikit perjuangan mogok makan ini berakhir dengan bertumbangannya para peserta dan dilarikan ke rumah sakit. Di luar penjara, perjuangan dan solidaritas juga berlangsung berbarengan, tanpa sedikitpun meninggalkan atau menggeser tuntutan pokok.
Kejadian di tiga daerah ini, tentu bagi sebagian pembaca, dianggap bukan hal baru dari dinamika perjuangan di tingkat lokal. Itu memang benar adanya, tapi harus dipertimbangkan pula, bahwa sangat sedikit catatan yang merekam dinamika perjuangan lokal semacam ini. Saya sangat berharap, bahwa sirkulasi catatan seperti ini akan memperkaya pengetahuan dan strategi-taktik perjuangan pelaku gerakan di mana saja.***
Rudi Hartono, adalah deputi Kajian dan Bacaan KPP-PRD dan Pimred Berdikari Online.