Fauzi “OJI” Abdullah dalam kenangan
JUMAT, 27 November 2009. Jarum jam menunjuk pukul 19.55. Malam itu, malam yang kudus. Umat muslim tengah merayakan hari raya Idul Qurban. Tetapi bagi kaum buruh dan kelas pekerja Indonesia, malam yang kudus itu adalah juga malam yang diliputi kesedihan. Mereka kehilangan seorang pemikirnya yang paling konsisten.
Fauzi Abdullah, akrab dipanggil Oji oleh rekan sebaya atau abah atau bang Oji oleh yunior-yuniornya, pergi memenuhi panggilan sayang penciptaNYA. Tunai sudah seluruh kewajiban hidupnya, yang selalu dipenuhinya tanpa kenal lelah, tanpa kenal pamrih.
Oji pergi di tengah situasi yang sangat sulit bagi buruh dan kelas pekerja. Hantaman arus besar fleksibilitas kerja, membuat gerakan buruh dan gerakan kelas pekerja terpukul kekuatannya. Oji pergi, justru ketika pemikiran-pemikirannya sangat dibutuhkan untuk mencari cara bagaimana membangun kembali kekuatan buruh dan kelas pekerja dalam menghadapi arus besar tersebut.
Saya mengenal Oji sejak paruh 80an. Sama seperti yang lain yang mengenalnya, laku hidup sederhana, periang, senang bergurau, tetapi berpemikiran amat dalam mengenai persoalan perburuhan di Indonesia, adalah kesan pertama dan selamanya terhadapnya.
Melibati persoalan perburuhan sejak muda, melalui LBH Jakarta, Oji tak berhenti memikirkan dan membangun strategi memperkuat kelompok buruh di masa yang amat represif ketika itu. Rangkaian diskusi tentang hak-hak buruh dilakukannya dengan cara-cara yang amat efektif dan menghasilkan banyak sekali aktivis buruh yang kelak menjadi pimpinan-pimpinan buruh di masa Orde Baru. Capaiannya yang paling mengagumkan adalah keberhasilannya mencetak aktivis-aktivis pejuang nasib buruh justru dari SPSI, satu-satunya serikat pekerja di masa itu yang sangat tunduk pada Negara. Tak terbilang jumlah aktivis buruh yang lahir karena upayanya itu, langsung maupun tak langsung.
Selain bekerja melalui serikat, Oji juga bergerak melalui organisasi non pemerintah (ornop). Bersama para aktivis perburuhan lainnya, seperti Teten Masduki, Hemasari, Johnson Panjaitan, Arist Sirait, alm Bambang Harry, dan lain-lain, ia memobilisasi dan menularkan virus keperdulian terhadap kondisi buruh kepada aktivis-aktivis muda di berbagai kota di Jawa dan Sumatera Utara, di jantung pusat-pusat kegiatan industri. Tak kenal lelah, ia berupaya membangun konsolidasi kekuatan aktivis dan ornop untuk membela buruh melalui rangkaian pertemuan dan diskusi, dan berupaya mempertemukan aktivis buruh dengan aktivis ornop agar bahu-membahu dalam melakukan perjuangan.
Ketika di penghujung 90an para aktivis buruh satu-persatu mulai meninggalkan isu perburuhan dan memilih perjuangan di jalur-jalur masing-masing, Oji tetap teguh melibati dan memikirkan persoalan perburuhan. Digabungkan dengan profesinya sebagai konsultan perburuhan di REMDEC, sebuah konsultan manajemen dan pembangunan yang penting bagi komunitas ornop Indonesia, ia memiliki jaringan dan kesempatan yang luas untuk mempertajam analisisnya mengenai masalah perburuhan di Indonesia dan membagikan ilmunya kepada kaum buruh dan ornop di berbagai tempat di seluruh negeri.
Pemahaman dan analisisnya mengenai kondisi buruh di Indonesia, serta pengetahuannya tentang anatomi para aktor di lingkaran persoalan perburuhan, membuahkan sikap kritis dan penuh prinsip dalam menjalin kerjasama dengan pihak-pihak lain, baik itu para donor, serikat dan ornop. Kemampuannya membaca agenda tersembunyi dari para aktor perburuhan, membuatnya tak sembarang menjalin kerjasama atau tawaran kegiatan yang datang kepadanya. Bersandar teguh pada prinsip-prinsipnya, ia sangat selektif dalam memasuki sebuah kerjasama untuk mengangkat isu perburuhan. Baginya, persoalan buruh bukan barang dagangan yang mudah dibungkus sebagai proyek. Baginya, setiap kegiatan yang disebutkan untuk perbaikan kondisi buruh Indonesia, adalah sebenarnya untuk memperbaiki kondisi buruh. Tidak untuk yang lain.
Satu hal penting yang menjadi titik tolak sikap Oji dalam perjuangannya adalah kejelian dan kekritisannya dalam melihat berbagai konsep dan strategi gerakan buruh yang ditawarkan dari luar untuk gerakan buruh Indonesia. Oji sangat percaya, setiap konsep dan strategi itu mutlak harus dicocokkan dengan karakter dan lingkup kehidupan buruh dan gerakan buruh di Indonesia. Konsep itu tak dapat diterapkan begitu saja tanpa upaya verifikasi terlebih dahulu. Sebuah sikap yang langka kita miliki, ketika impor berbagai gagasan terkait dengan pembangunan, demokratisasi, ekonomi pasar, Labour Market Flexibility dan sebagainya, dianggap bisa diadopsi mentah-mentah tanpa melihat keseluruhan konteks, modal dan ciri bangsa Indonesia.
Perjalanannya mengamati dan melibati persoalan perburuhan di tingkat praksis, mengantarnya pada kesimpulan akan pentingnya kekuatan informasi sebagai basis dalam membangun strategi gerakan buruh. Untuk membangun kekuatan informasi, Oji kemudian mendirikan LIPS – Lembaga Informasi Perburuhan Sedane, di Bogor, yang dijalankannya bersama orang-orang muda yang tertular dedikasinya. Melalui lembaganya itu ia menyusun rangkaian agenda penelitian yang diyakininya sangat berguna untuk disumbangkan bagi upaya memperkuat gerakan buruh.
Di masa reformasi, seiring dengan iklim kebebasan berserikat di tengah praktek pasar Kerja Fleksibel yang menghasilkan fragmentasi dan pelemahan kolektivitas buruh, ia semakin meyakini pentingnya pemahaman yang lebih komprehensif mengenai arena baru tersebut agar dapat menyiasatinya dengan tepat. Dan pemahaman arena baru itu akan dapat dikuasai antara lain melalui kegiatan penelitian.
Ketika menengoknya di rumah sakit sebulan lalu, begitu bertemu dan di saat akan berpisah, Oji berpesan agar segera setelah dia sembuh, kami harus mulai bicara serius untuk memperdalam pengetahuan mengenai praktek Pasar Kerja Fleksibel dan dampaknya bagi buruh, melalui penelitian bersama. Oji, saya berjanji akan menunaik pesanmu dan semoga diberi kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakannya. Ijinkan kami melanjutkan perjuanganmu, dengan meniru konsistensi dan persistensi yang kau miliki.
Terimakasih banyak untuk semangat yang terus kau pancarkan bagi kehidupan buruh dan kelas pekerja Indonesia.***
Bandung, 28 November 2009
Indrasari Tjandraningsih, adalah Peneliti Perburuhan AKATIGA – Pusat Analisis Sosial, Bandung.