SEBENARNYA eksplorasi ini tidak berhubungan dengan Krisis Cicak vs Buaya. Akan tetapi, beberapa perbincangan dengan berbagai kawan lama, membuat saya ingin menempatkan Krisis Cicak vs Buaya (KCB) sebagai pintu masuk eksplorasi ini.
Ada dua hal dalam KCB yang saya amati. Pertama, cepatnya grup Facebook pendukung Bibit-Chandra yang didirikan Usman Yasin meraih 1.200.000 anggota. Angka ini, dengan jumlah hari sejak didirikan, mungkin termasuk grup Facebook yang terbesar dan tercepat dalam perekrutan. Lebih lagi, isu yang diangkat politis, menempatkan 500 orang pertama yang diundang bergabung untuk melakukan tindakan refleks: klik bergabung atau abaikan. Dan jangan lupa, mereka yang pertama bergabung, segera menjadi perekrut gerakan klik. Dalam satu minggu kemudian, setelah didukung pemberitaan media massa, jumlah pendukung grup Facebook ini melampaui satu juta.
Seorang kawan, Puthut EA (di sini), mencatat fenomena ini sebagai gerakan massa, yang, bahkan, lebih besar dari penolakan kenaikan BBM pada masa pemerintahan SBY-JK. Ia menanggapi berbagai rumor dan spekulasi mengenai kejatuhan SBY-Boediyono karena rangkaian skandal Bank Century, Bibit-Chandra, dan tentunya kasus Antasari Azhar. Puthut juga menutup catatannya dengan kesimpulan bahwa SBY-Boediyono tidak akan jatuh kecuali terdapat “terobosan gerakan.”
Hal kedua, saya melihat adanya kecenderungan, yang sebenarnya tidak luar biasa untuk menjadi catatan: perilaku kelembagaan yang mirip pada Kepolisian dan Kejaksaan dalam menghadapi kasus-kasus seperti Prita vs Omni Internasional ataupun Bibit-Chandra. Lembaga-lembaga negara tersebut tampak seperti menantang tekanan publik, yang lagi-lagi berawal dari dunia internet. Dalam kasus Prita vs Omni Internasional, meski terkuak bahwa Kejaksaan Negeri Tanggerang melakukan kesalahan dalam penyidikan dan penyusunan tuntutan, begitu terlihat determinasinya untuk mengadili Prita yang sebenarnya merupakan korban malpraktik yang kini menjadi terdakwa pencemaran nama baik. Perilaku yang sama juga ditunjukkan, kali ini Kejaksaan dan Kepolisian, dalam kasus tuduhan suap dan penyalahgunaan kekuasaan dua pimpinan KPK, Bibit dan Chandra. Mirip dengan Prita, keduanya kini dibebaskan dari sel tahanan akan tetapi kasus mereka tetap berlanjut ke pengadilan.
Eksplorasi ini tidak bermaksud menilai jatuh atau tidaknya pemerintahan sekarang. Pertanyaan tersebut tidak pernah menjadi penting, sebenarnya, karena secara kongkrit hanya bisa membedah sebagian kecil dinamika yang tengah dan akan terjadi, dan beresiko besar terperangkap oleh spekulasi-spekulasi yang sering fantastis. Sebaliknya, eksplorasi ini ingin mencari tahu tentang kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya dinamika politik belakangan ini.
Rejim dan Krisis
Berlanjutnya SBY ke pemerintahan kedua dengan mulus, memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, suara terbanyak dalam pemilihan presiden secara langsung, dan berlanjutnya lingkar kekuasaan yang setia di dalam kabinet kedua, menandakan setelah runtuhnya Rejim Orde Baru, Indonesia kini untuk pertama kalinya dihadiahi sebuah rejim baru. Jalan panjang reposisi dan rekonstitusi kekuasaan yang stabil kini dapat dikatakan relatif final. Berbeda dengan tiga kepresidenan sebelumnya, saat ini pola-pola dan aturan main baru dalam kekuasaan juga sudah mulai terlihat ajeg. Krisis-krisis kelembagaan yang menimpa berbagai segi negara, kini selintas sudah terlewati setelah reformasi aparatur negara cukup panjang. Rejim baru ini bukan saja selesai mencari bentuk, namun kini sudah mulai terlihat diskursus-diskursus yang dikembangkan dari para pendukung dan pegawainya untuk mempertahankan kekuasaan.
Sepintas, ia terlalu kokoh untuk dirobohkan anak-anak kemarin sore (baca: mahasiswa), seperti yang menimpa Soeharto dan Orde Barunya. Dan ini bukan berarti tidak ada upaya untuk melakukannya. Berbagai kelompok mahasiswa telah mencoba dan membangun ke arah ini. Namun, metode pembangunan gerakan, strategi dan taktik yang digunakan, hingga slogan-slogan dan nyanyian yang disuarakan, hampir semuanya bentuk-bentuk daur ulang dari pengalaman gerakan politik pro demokrasi tahun 1990an dan dari inspirasi tahun 1998.
Mirip Orde Baru, sedari awal retak-retak di tembok rejim baru ini sudah ada. Pada awal Orde Baru, retak-retak itu diplaster dengan penyederhanaan sistem perpolitikan untuk membredel ketidakstabilan akibat terlalu banyak pengelompokan elit dalam parlemen. Perlu diingat bahwa Orde Baru juga dimulai dengan pembasmian akar-akar penyebaran kekecewaan di masyarakat, dengan penghancuran organisasi perempuan, petani, buruh, pemuda, dan partai politik yang dicap ‘komunis’.
Pada rejim baru ini, jalan ceritanya sedikit berbeda. Pembentukkan kembali atau rekonstitusi kekuasaan dimulai dengan kondisi legitimasi negara yang begitu rendah. Impotensi struktur negara yang dibangun Orde Baru begitu terlihat dan klaim-klaim keberhasilan ekonomi yang menjadi legitimasi kekuasaannya meluruh dihantam Krisis Ekonomi 1997. Segala sesuatu yang sebelumnya dikontrol Orde Baru seperti bergerak di luar kendali rejim. Kondisi demikian menyebabkan penggunaan kekerasan sebagai metode bertahanpun tidak manjur karena mereka yang dijadikan sasaran kekerasan menolak patuh, meminjam judul salah satu puisi Wiji Tukul. Perjuangan untuk menundukkan pemberontakkan mental ini yang menyebabkan munculnya istilah “Reformasi Kebablasan” yang disuarakan mereka yang bekerja pada pemerintahan, atau merupakan bagian dari elit politik konservatif.
Sulitnya perjuangan untuk “mengendalikan” rakyat yang telah menjadi lebih artikulatif dari sebelumnya, setidaknya telah memungkinkan dua hal terjadi. Di satu sisi, peningkatan kemampuan rakyat untuk melakukan penuntutan kepada negara membuat rentannya pemerintahan dan kekuasaan terhadap kritik, bahkan belakangan muncul kritik yang datang dari sisi dalam pemerintahan. Inilah yang terjadi di masa pemerintahan Gus Dur dan kemudian pada pemerintahan Megawati. Praktek-praktek politik yang menelikung kepentingan rakyat (misal, penggelapan uang, kolusi untuk mempengaruhi kebijakan, skandal korupsi) yang sebelumnya “diterima” oleh kepasrahan rakyat, setelah 1998 menjadi kartu politik yang mematikan. Isu korupsi dan demonstrasi anti korupsi menjadi bagian dalam pertarungan, dan diserap oleh aturan permainan pada sistem pemerintahan dengan serangkaian reformasi hukum, di mana KPK adalah salah satu hasilnya.
Di lain sisi, berada dalam sorotan dan bekerja di tengah ancaman terperangkap dalam kasus korupsi tampaknya juga berhubungan dengan semacam kesadaran anti rakyat dan obsesi mengendalikan hidup rakyat secara fisik dan mental di kalangan pengurus negara, yang dimanifestasikan dalam berbagai pernyataan hingga tindakan politik hukum (undang-undang, peraturan daerah, baik yang sudah diberlakukan maupun yang masih berupa rancangan). Di level nasional, kita sudah melihat gatalnya aparatur hukum negara memberlakukan UU ITE dalam kasus Prita vs Omni Internasional, rancangan UU Rahasia Negara, pasal-pasal anti perempuan dan anti kebebasan berekspresi dalam UU Pornografi. Di level daerah, seiring dengan otonomi daerah, kita bisa melihat upaya-upaya mengontrol kebebasan rakyat melalui Perda-Perda bernuansa Syariah dan upaya-upaya penggunaan kekuatan-kekuatan koersif seperti yang kita saksikan dalam meningkatnya penggunaan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menghadapi upaya-upaya bertahan hidup kaum miskin kota.
Banyak komentator politik, terutama yang radikal, berpendapat bahwa relasi antara hal-hal di atas sebenarnya diwariskan Orde Baru. Argumennya mudah, para anggota elit ekonomi dan elit politik, baik di Jakarta maupun di provinsi-provinsi dan kabupaten-kota, dilahirkan oleh Orde Baru. Mereka sudah begitu terbiasanya dengan praktek-praktek kekuasaan Orde Baru, sehingga sulit untuk meninggalkannya. Buktinya juga cukup banyak, kita ambil contoh Keppres 80/2003 soal Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang berulangkali mengalami penambahan dan kini akan mengalami revisi, namun tidak kunjung menghentikan mencuatnya skandal-skandal korupsi setiap tahun.
Argumen lainnya, yang seharusnya memasukkan hitungan argumen pertama tadi, berlandas pada sebuah adagium “pemerintah boleh berganti, tetapi negara kapitalis tetap berdiri” yang merupakan konsep politik Marxis. Pisau analisa ini mengupas lapis demi lapis argumen-argumen yang mengutamakan perjuangan damai melalui Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden dan posisi-posisi publik lainnya. Ia dengan tepat menunjukkan dalam reformasi di Indonesia, pergantian hanya di Presiden, Kabinet dan staf terdekat, dan tentunya anggota parlemen dan perubahan tersebut tidak mengubah struktur dan sifat dasar Negara Orde Baru. TNI walau telah dipisah dengan Polisi, tetap memiliki struktur-struktur pendudukan dengan Komando Teritorial.
Namun, sangat terlihat mereka yang berkuasa saat ini, baik di pemerintah nasional maupun di pemerintah lokal, ingin segera menyatakan bahwa mereka sudah berubah, sudah “reformis”, dan kini melanjutkan “semangat reformasi.” Tentunya ini berhubungan dengan representasi kata “reformasi” di tingkat massa yang sering berarti pergantian pemegang kekuasaan. Dengan mengatakan bahwa aparatus negara saat ini sedang melakukan reformasi lanjutan, seperti spanduk-spanduk di kantor-kantor pemerintahan yang menyuarakan ”reformasi birokrasi”, maka tidak perlu ada lagi pergantian pemegang kekuasaan, pergantian rejim. Dengan kata lain, krisis politik berkepanjangan yang diwarnai dengan kesimpang-siuran aturan main, undang-undang dan peraturan daerah yang bertentangan, dan seterusnya dinyatakan sudah berakhir.
Di sinilah letak persoalan Cicak vs Buaya: di satu sisi, ada semacam diskursus yang berkembang, yang ingin menyatakan bahwa telah terjadi banyak perubahan positif di sektor-sektor pemerintahan. Walaupun begitu, kenyataan di tingkat lokal dapat terus-menerus dipakai sebagai landasan kritik yang mencuat untuk membuktikan kebalikan dari arah diskursus tersebut. Juga berhadapan dengannya, berbagai kritik berlandaskan pada kegagalan berbagai aspek dari proses pembangunan rejim baru dalam memenuhi tujuan-tujuan yang dijanjikan oleh apa yang dipersepsikan sebagai impian reformasi 1998.
Sampai di sini, terlihat analisa kita berjalan biasa saja. Namun, ketika melihat lebih dalam relasi antara klaim diskursus para pembangun rejim baru dengan apa yang dialami masyarakat ketika berhadapan dengan aparat negara, kebuntuan mulai terasa. Selain itu, mereka yang melaksanakan proyek-proyek demokratisasi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dihadapkan pada kenyataan bahwa klaim teoritik yang mengatakan bahwa semakin baik demokrasi akan menunjukkan semakin tinggi partisipasi politik, ternyata tidak terbukti. Meski Pemilu 2009 memiliki asumsi akses konstituensi yang lebih besar, kenyataan memperlihatkan angka golput yang tinggi.
Persoalannya kemudian, jawaban atas kontradiksi-kontradiksi tersebut hingga saat ini bersifat normatif. Jika kita tengok komentator-komentator politik, kita akan segera melihat pembahasan normatif, benar/salah, dengan kalimat-kalimat seperti “Masyarakat sipil Indonesia masih lemah… ” Atau, “Dibandingkan Indonesia, negeri A memiliki…” Selama 11 tahun terakhir, analisis normatif mewarnai media besar dan hingga kini, manifestasi ide politik terbaik adalah demonstrasi jalanan menyerukan penggulingan kekuasaan. Kenapa terbaik? Karena kelihatannya selalu diulang-ulang pada masa Habibie, Gus Dur (berhasil), Megawati, dan kini SBY.
Dari Pengamatan Menjadi Metode Analisa
Jika kita tarik ke belakang, sebutlah 20-30 tahun ke belakang, kita akan melihat letupan-letupan sosial yang terjadi, seperti perlawanan mahasiswa 1974, 1978, dan 1990an, peristiwa Tanjung Priok, Gerakan Mahasiswa 1998, gelombang pemogokkan buruh 1998-1999, Peristiwa Semanggi I dan II, dan seterusnya menampakkan sebuah benang merah. Hampir semua mobilisasi kekuatan rakyat tersebut bermula dari hal-hal yang berkarakter lokal. Perlu dicatat, karakter lokal ini tidak berlawanan makna dengan “nasional”. Artinya, gerakan tersebut sangat spesifik, baik dari tema/isu maupun dari segi tempat dan waktu. Selain itu, selalu nampak juga kegagalan kelompok-kelompok radikal untuk membawa gerakan massa yang termobilisasi tersebut untuk perubahan mendasar pada sistem sosial, ataupun bahkan ke arah sistem politik yang benar-benar baru yang diimpikan mereka.
Di sini kemudian terlihat, diskontinuitas atau keterputusan justru merupakan faktor utama, bahkan di dalam pergerakan perlawanan tersebut. Kita bisa lihat dari perlawanan massa terhadap kekuasaan yang berada dalam isu-isu berbeda, munculnya karakter-karakter lokal pergerakan seperti kedaerahan dan etnis, kelas dan sektor masyarakat. Dan kita bisa lihat juga keterputusan dalam makna, ditinggalkannya pengetahuan-pengetahuan yang diberikan oleh kekuasaan (Memasuki Era Tinggal Landas, Gemah Ripah Loh Jinawi, Stabilitas, Perempuan adalah Ibu Anak-anak Bangsa) dan diadopsinya pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya disensor kekuasaan (Pembantaian Rakyat di Aceh, Timor Leste dan Papua, “Peranan Wanita” lebih mirip dengan domestifikasi).
Banyak kalangan menganggap hal ini tidak spesial. Konotasi yang berkembang pada makna ”moderasi”, ”spontanitas massa”, ”ekonomisme”, atau bahkan ”sosial demokrat,” berawal dari perjuangan tanpa akhir kelompok radikal dalam menghindari apa yang diasumsikan sebagai kemunduran-kemunduran pergerakan dan juga jebakan-jebakan sifat lokal dari pergerakan massa. Dengan kata-kata tersebut, penggalian atas penjelasan mengapa dan bagaimana ”massa” menjadi ”spontan” lebih banyak dipenuhi oleh pandangan-pandangan asumtif dan teoritik yang tingkat validitasnya rendah. Media massa juga tak kurang sumbangsihnya, ”amuk massa” menjadi kata yang cukup mematikan diskusi mengenai dinamika yang mempengaruhi seseorang, sekelompok orang, ataupun bahkan sebuah kelas sosial, bergerak menantang bentuk-bentuk kekuasaan yang sebelumnya mereka terima ataupun mereka dukung.
Ada pula sebagian kalangan, terutama eks-aktivis mahasiswa 98, yang meyakini adagium “Di mana ada penindasan, di sana pasti ada perlawanan” (atau perumpamaan “Semut pasti melawan jika diinjak”). Repotnya, meskipun kadang terdengar heroik, kacamata seperti ini tidak banyak menolong dalam mencari penjelasan penurunan kualitas dan kuantitas Gerakan 98 secara drastis di akhir 1999 ataupun “pilihan” rakyat pada Pemilu 2004 dan 2009. Paling maksimum, kita cuma dapat pemberitahuan dari berbagai pihak bahwa rakyat masih belum terdidik alias “bodoh”.
Menariknya lagi, jika kita mencoba menggeret eksplorasi politik ini ke belakang, teori-teori politik dari penulis-penulis besar cukup mewarnai media dan buku-buku dalam satu dekade ini. Kebanyakan menawarkan penjelasan-penjelasan menyeluruh (holistik), jika tak ingin dibilang totaliter, atas krisis “multidimensi” yang melanda Indonesia. Mungkin karena kata “Multidimensi” inilah banyak orang tanpa sadar mencari jawaban puncak (ultimate answer) yang bisa menyelesaikan seluruh problematika “multidimensional” secara paralel di dalam teori-teori politik tadi. Ini bukan berarti bahwa teori-teori totaliter tadi tidak pernah memberikan arahan yang berguna dalam pengembangan metode analisa ataupun penyusunan strategi dan taktik politik. Marxisme, dengan segala aliran di dalamnya, adalah contoh yang baik untuk hal ini. Namun dalam situasi spesifik dan lokal, sering sekali teori-teori totaliter tersebut terpaksa harus dijungkirbalikkan, dikerdilkan oleh definisi-definisi, dilokalisasikan dan seterusnya, sehingga dapat bermanfaat dalam konteks spesifik dan lokal tadi. Perlu juga dilihat, bahwa teori-teori tersebut tidak berangkat dari pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan dari pengalaman-pengalaman setempat.
Artinya, kita memiliki dua jenis pengetahuan di sini. Pertama, sehubungan dengan absennya penjelasan soal “spontanitas”, kita bisa jadi menemukan banyak pengetahuan-pengetahuan di tingkat yang sangat lokal yang mungkin menjelaskan spontanitas, tetapi pengetahuan tersebut dikubur, disembunyikan, dibawa ke balik tabir oleh sistematisasi, organisasi. Belum tuntasnya nasib warga korban lumpur Lapindo, misalnya, dinyatakan tidak relevan dengan kesuksesan program-program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Grup Bakrie. Fakta bahwa 700 ribu pelajar SD putus sekolah setiap tahunnya tidaklah valid (meski masuk dalam iklan CSR Garuda Indonesia-Depdiknas), karena pemerintah telah membuat gratis Pendidikan Dasar dan Menengah Pertama. Statistik adalah salah satu contoh bagaimana bias kelembagaan dapat mengubur pengetahuan-pengetahuan seperti dampak kenaikan BBM yang lebih jauh dibandingkan dengan yang diperkirakan model matematis dan angka PHK yang lebih besar daripada data pemerintah. Contoh lainnya, studi komunikasi politik mengubur telanjangnya penggunaan koersi fisik di tengah kepercayaan bahwa rejim baru berkuasa ditopang oleh imaji.
Jenis pengetahuan yang kedua, adalah pengetahuan-pengetahuan yang sedari awal sudah didiskualifikasi sebagai sesuatu yang tidak penting, tidak ilmiah karena rendahnya tingkat sistematisasi penalarannya. Pengetahuan-pengetahuan ini menyeruak dalam pertarungan-pertarungan antara mereka yang ditundukkan dan mereka yang berkuasa. Kritik terhadap hubungan antara kekuasaan eksploitatif dan kemiskinan tidak akan muncul tanpa gerakan-gerakan perlawanan sektoral yang dilakukan bagian demi bagian buruh yang berserikat dan kaum miskin kota. Kritik atas hubungan ketidakadilan transaksi antara desa dan kota dengan tekanan untuk urbanisasi dan migrasi, tidak akan muncul tanpa mengikuti kisah-kisah orang pedesaaan yang mencari peruntungan di kota ataupun menjadi buruh migran.
Kedua jenis pengetahuan inilah yang disebut oleh Michel Foucault, dan kemudian dipinjam oleh Vandana Shiva, sebagai “subjugated knowledges”, atau pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan.
Pertanyaannya kemudian bagaimana memposisikan keberadaan pengetahuan-pengetahuan ini dalam sebuah metode analisa politik? Bagaimana mereka dapat digunakan dalam refleksi tentang kekuasaan?
Penelusuran keduanya, pengetahuan yang dikubur dan yang didiskualifikasi, dapat membuat kita mengetahui ingatan-ingatan akan pertarungan-pertarungan di waktu silam. Secara umum, kedua pengetahuan ini menjadi garis-garis besar agenda penelusuran asal-muasal (genealogi) bentuk-bentuk kekuasaan yang berlaku saat ini, untuk memperoleh kembali ingatan-ingatan dan pengetahuan-pengetahuan sejarah yang selama ini dikuburkan atau didiskualifikasi oleh kekuasaan dan sains (atau sains sebagai institusi?). Dan kemudian, pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan dalam taktik-taktik politik kontemporer.
Jika kita hubungkan dengan perkembangan dua dekade terakhir di Indonesia, tergalinya pengetahuan dan ingatan mengenai pertarungan politik pada masa kepresidenan Soekarno menjadi komponen penting dalam kembalinya aksi massa sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan, seperti dieksplorasi oleh Max Lane dalam bukunya “Bangsa Yang Belum Selesai”. Mengedepankan kisah-kisah represi yang terjadi pada periode 1980an juga berperan penting dalam menghancurkan legitimasi kekuasaan Soeharto.
Yang menarik, ketakutan atas bangkitnya pengetahuan dari masa silam juga terlihat dari para pendukung Rejim baru yang saya utarakan di atas. Belum hilang ingatan kita peristiwa pembatalan Kurikulum Sejarah Nasional Indonesia 2004 oleh Mendiknas Bambang Soedibyo dan pembakaran buku-buku sejarah berdasarkan kurikulum tersebut yang dipelopori oleh pejabat-pejabat negara seperti Walikota Depok Nurmahmudi Ismail. Contoh paling baru adalah pelarangan tayang film Balibo oleh Lembaga Sensor Film dengan alasan sensitivitas atas “luka-luka lama”.
Mari kita kembali ke keberadaan 1.000.000 Facebookers pendukung Bibit-Chandra dan tekanan politik yang dihasilkannya. Sejuta suara yang sebenarnya belum terlihat jelas komitmen perjuangannya menunjukkan mereka melawan diskursus yang dikembangkan oleh para pembangun rejim bahwa reformasi telah terjadi. Dampaknya juga terlihat jelas, para pembangun rejim dengan cepat melangkah, namun seraya mencari justifikasi agar tidak terlihat mudah ditekan, untuk membalikkan situasi yang dialami Bibit dan Chandra. Tentunya, sambil juga mencari konsesi-konsesi yang bisa diperoleh.
Jika contoh-contoh yang saya sebutkan bisa digunakan untuk menguji validitas peran pengetahuan tertundukkan dalam melawan kekuasaan, tampaknya sebuah langkah menuju analisa politik, analisa mengenai pertarungan kekuasaan, telah terjadi. Penggalian atau pengungkapan pengetahuan yang tertundukkan di hadapan khalayak luas memiliki peranan yang sangat kuat dalam perlawanan terhadap kekuasaan, dalam semangat “Melawan Lupa” mengembalikan ingatan-ingatan pertempuran terakhir, garis-garis demarkasi dalam konfrontasi-konfrontasi masa silam yang dalam masa kini disembunyikan oleh pengaturan-pengaturan fungsional ataupun penataan-penataan sistematik yang di(re)produksi kekuasaan.
Lebih lanjut lagi, kita memperoleh semacam benang merah pertama dan sekaligus ekspresi yang bisa mewakili eksplorasi ini: pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan (insurrection of subjugated knowledges).
Tapi mengapa pengetahuan-pengetahuan ini harus memberontak untuk mendorong perlawanan terhadap kekuasaan? Apa yang sebenarnya menjadi pertaruhan, ketika kekuasaan mensistematisasikan pengetahuan ke dalam sains sambil menundukkan pengetahuan-pengetahuan yang bertentangan dengannya? Mengapa analisa-analisa tentang kekuasaan yang telah ada tidak mampu menciptakan agenda-agenda yang bisa membebaskan pengetahuan dari lembaga sensor dan lembaga sains dan pendidikan? Atau lebih luas lagi, karena kekuasaan merentangkan otot-ototnya juga ke dunia pengetahuan, apakah kita bisa menjabarkan aparatus-aparatus kekuasaan yang bekerja di berbagai tingkatan masyarakat, di dalam berbagai dunia kehidupan, dan dengan berbagai bentuk perpanjangan?
“Ekonomisme”
Hingga saat ini metode analisa atas kekuasaan yang mendominasi wacana politik berada dalam dua aliran besar. Pertama, aliran yang kini menjadi arus utama transisi demokratik di Indonesia. Kita tentu bisa melihat bahwa andalan utama para pembangun rejim dan juga kalangan “masyarakat sipil” yang mendorong reformasi adalah slogan “Penegakkan Hukum” atau “Rule of Law”. Kita melihat bahwa dengan semangat ini, pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan semua mengarah pada proses legislasi, penerbitan undang-undang. Sejak 1998, sudah ratusan undang-undang yang diterbitkan yang mengatur berbagai aspek kekuasaan.
Landasan berpikir aliran ini berada dalam kerangka hak dan kewajiban di mana hubungan ideal dari keduanya diatur oleh “kontrak sosial”. Masyarakat menyerahkan sebagian haknya kepada sebuah lembaga ataupun seseorang agar semua dapat diatur demi kepentingan bersama. Artinya, aliran berpikir ini mengasumsikan kekuasaan sebagai sesuatu yang dapat dimiliki seperti barang dagangan. Karena itu, kekuasaan dapat diserahterimakan atau dirampas, sebagian ataupun seluruhnya, melalui tindakan hukum ataupun tindakan yang dianggap sah, dengan penyerahan (pertukaran) sesuatu yang lain atapun berdasarkan sebuah kontrak. Itulah sebabnya dalam memandang proses pembentukkan kekuasan, “kontrak sosial” menjadi fokus pembahasan yang klasik. Melihat langgam perubahan yang dipengaruhi pemikiran ini, tidaklah salah jika saya meminjam kembali label yang diberikan Foucault kepada aliran pemikiran ini “liberal-yuridis”.
Aliran besar kedua berangkat dari konsepsi umum Marxisme tentang kekuasaan. Kritik Marxis atas Orde Baru sangat berpengaruh dalam proses panjang yang mengakhiri kekuasaan Soeharto. Meskipun dilarang oleh Orde Baru, didiskualifikasi oleh para intelektual liberal, komponen-komponen pengetahuan atas sistem kapitalisme dalam hubungannya dengan kekuasaan Orde Baru yang militeristik terserap dalam tema-tema yang diusung oleh gerakan sosial. Kritik Marxis juga sangat berpengaruh dalam gerakan anti-neoliberalisme mulai awal dekade 2000an. Pada saat itu, kritik ini berhadapan terbuka dengan konsepsi liberal-yuridis yang memfasilitasi berbagai undang-undang memberikan akses lebih besar kepada perusahaan-perusahaan besar dalam sumber daya alam, keuangan, kelembagaan dan seterusnya (baca: liberalisasi ekonomi).
Konsepsi Marxisme mengenai kekuasaan bertitik berat pada teori negara yang merupakan fungsi dari kehidupan ekonomi (produksi-konsumsi sebuah masyarakat). Kekuasaan berperan baik untuk melanggengkan relasi-relasi produksi dan juga untuk mereproduksi sebuah dominasi kelas yang dimungkinkan oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan oleh cara-cara kekuatan-kekuatan tersebut dikuasai. Artinya, kekuasaan politik memiliki raison d’etre dan prinsip-prinsip atas bentuk konkrit dan cara kerjanya dalam kehidupan ekonomi.
Meski terdapat banyak perbedaan-perbedaan mendasar, ada kesamaan dalam dua aliran ini. Kedua-duanya menghubungkan erat gerak kekuasaan dengan ekonomi, dengan kata lain memiliki “ekonomisme”. Karena terlalu terkait ataupun dimodelkan dari kehidupan produksi-pertukaran-konsumsi, keduanya kehilangan makna “politis” di saat digunakan sebagai panduan analisa politik dalam dunia di mana teknologi kekuasaan telah berkembang jauh setelah Perang Dunia II. Di sinilah terletak benang merah kedua dari eksplorasi ini.
Keterbatasan-keterbatasan segera menyeruak ketika mencoba menganalisa pertarungan kekuasaan, seperti dalam menganalisa kemenangan Fasisme dan Stalinisme, pemikiran liberal-yuridis maupun Marxis dipaksa menerbitkan definisi-definisi baru yang mereduksi klaim-klaim koherensi yang mereka usung. Mengapa? Kemenangan Fasisme dan Stalinisme memperkenalkan pada dunia berbagai teknik dan teknologi kekuasaan yang lebih canggih. Sistem pendidikan universal dan nasional, media massa yang sudah lengkap teks, audio, dan visual, teknik sensus dan polling, penggunaan terror negara yang lebih sistematis, dan lain sebagainya, berkembang lebih cepat daripada ide-ide dan metode menganalisa kekuasaan.
Dan jika kita melihat perdebatan yang terjadi antara dua aliran pemikiran mengenai satu moment politik, seperti hubungan antara Krisis Cicak vs Buaya dan isu Bank Century, kita bisa lihat begitu banyak “blindspots”. Ambillah contoh soal Anggoro dan kawanan Makelar Kasus, imajinasi popular yang terbentuk oleh media dan juga manuver pejabat negara adalah adanya sekelompok predator yang menguasai sistem hukum. Sangat sedikit yang bertanya, jangan-jangan keseluruhan sistemnya memang lahir sebagai sistem para pemangsa. Puluhan tahun institusi hukum berdiri, dengan serangkaian perkembangan internal, bukankah mungkin saja bahwa mereka yang bekerja di dalam lembaga tersebut berkepentingan untuk membentuk sistem yang menguntungkan mereka, memudahkan mereka untuk “memangsa”, dan melanggengkan sistem “pemangsaan” ini? Tentunya ini bukan persoalan kebohongan atau kemunafikan, namun kelemahan metodologis.
Akibatnya, meskipun keduanya bermanfaat dalam batas-batas ekspresi perlawanan mereka, tanpa sadar perbedaan ideologis tidak menghalangi penggunaan kedua cara berpikir ini. Ketika kaum liberal berada di garis depan melawan tirani sistem monarki, kelompok-kelompok (neo)liberal masa kini menggunakan kekerasan negara sebagai alat melancarkan jalan mereka. Di masa revolusi, partai kiri meneriakkan “pembebasan rakyat”, namun pimpinan-pimpinan partai-partai Stalinis seperti memuja disiplin keras berdasarkan hukum atau AD/ART dan melarang pemogokkan buruh atas nama revolusi kelas pekerja. Dan bukan rahasia juga negara-negara yang mengusung kedua ideologi ini, melanggar kredo mereka yang seharusnya menjaga kehidupan manusia dan kemanusiaan.
Persoalannya kemudian, apakah bisa kita menganalisa kekuasaan selain dari pendekatan “ekonomis”? Mungkin kita perlu formulasikan lebih lanjut pertanyaan ini:
Pertama, apakah kekuasaan selalu nomor dua setelah ekonomi? Apakah tujuan akhirnya selalu ditentukan oleh ekonomi? Apakah tujuan keberadaannya (raison d’etre) dan peranannya pada intinya untuk mengabdi kepada ekonomi? Apakah ia dirancang untuk mendirikan, menguatkan, menjamin keberlangsungan, dan mereproduksi hubungan-hubungan yang menjadi bagian ekonomi dan merupakan esensi bekerjanya ekonomi?
Kedua, apakah kekuasaan dimodelkan dari komoditas? Apakah ia sesuatu yang dapat dimiliki ataupun diperoleh, yang dapat diserahkan melalui kontrak maupun dengan kekuatan paksa, yang dapat diasingkan maupun dibangkitkan kembali, yang beredar dan menyuburkan satu daerah tetapi juga dapat menghindari daerah lainnya?
“Politik adalah kelanjutan dari perang”
Pada masa ide ini disebarluaskan (1975) belum terlalu banyak alat-alat yang dapat memeriksa kesahihannya. Namun, sebelum kita menelusuri perkembangannya lebih lanjut dalam rentang waktu 34 tahun, ada baiknya kita memulai dua jawaban langsung yang muncul pada saat itu.
Pertama, kekuasaan bukanlah sesuatu yang diberikan, dipertukarkan, ataupun diambil kembali. Ia adalah sesuatu yang dilakukan dan ia hanya berada atau eksis dalam tindakan. Kedua, kekuasaan juga bukan hanya keberlangsungan dan keterbaruan relasi-relasi ekonomi, tetapi paling utama ia adalah relasi-relasi kekuatan.
Ini memberikan pertanyaan lanjutan kepada kita. Apa yang dimaksud dengan penggunaan kekuasaan? Apa yang menjadi mekanismenya?
Kenyataan saat ini, melihat penggunaan kekuasaan yang nyata dirasakan rakyat, kita bisa berkesimpulan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang menindas. Namun tidak ada yang baru di sini. Hegel, Freud dan Reich telah menyatakannya di waktu silam. Apakah analisa “non-ekonomis” tentang kekuasaan bermakna sebagai analisa mengenai mekanisme-mekanisme penindasan?
Selanjutnya, jika kekuasaan adalah bentuk pelaksanaan dan penggunaan hubungan kekuatan, ataupun pemaksaan, daripada menganalisa kekuasaan dalam bentuk-bentuk kontrak, penyerahan, pengasingan, ataupun daripada dalam bentuk-bentuk fungsional seperti reproduksi hubungan-hubungan produksi, bukankah lebih baik kita menganalisanya, terutama dalam bentuk konflik, konfrontasi, dan perang? Setidaknya ini memberikan alternatif dari hipotesa pertama (kekuasaan adalah penindasan) dan menemukan hipotesa kedua: Kekuasaan adalah Perang. Jika Clausewitz dikenal dengan kalimat “Perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara-cara lain”, kita memulai analisa ini dengan perspektif “Politik adalah perang dengan cara-cara lain.”
Pembalikan Clausewitz ini memiliki tiga makna. Pertama, memang benar bahwa keputusan politik menghentikan perang, namun kekuasaan itu sendiri berdiri di dalam dan melalui perang. Politik menerbitkan dan mereproduksi ketidakseimbangan kekuatan yang muncul dalam perang.
Kedua, perjuangan politik haruslah ditafsirkan sebagai kelanjutan dari perang, di mana pihak-pihak yang menang dan kalah tetap berada dalam posisi saling menyerang, saling berupaya melemahkan dan menggeser kesetimbangan kekuatan demi keuntungan masing-masing.
Ketiga, keputusan akhir hanya dapat diperoleh dari perang. Perubahan-perubahan yang lebih permanen, yang tidak mudah dijungkirbalikkan, hanya didapat dari perang. Dalam hal ini, kita bisa lihat penegakkan kekuasaan, pendirian rejim baru hanya bisa didapat dan mengikuti hasil-hasil pertempuran terakhir dari perang. Dan ini juga bermakna, kenyataan politik sebagai kelanjutan dari perang, akan berakhir jika perang baru muncul.
Membuat Analisa Politik Menjadi Politis
Tantangannya kemudian bagaimana menantang teori-teori politik arus utama, menantang skema analisa politik yang menjadikan hukum sebagai landasan kekuasaan?
Sekarang, marilah kita mencoba menjabarkan beberapa kesimpulan sementara.
Pertama, sejarah perubahan dalam suatu masyarakat diwarnai oleh diskontinuitas. Dan dibandingkan pergeseran linear yang selalu dikatakan oleh historiografi yang diajarkan sistem pendidikan kita, yang sering terjadi adalah berantakannya sistem pengetahuan arus utama sebagai akibat pemutusan atau disrupsi oleh pengetahuan-pengetahuan baru yang sering kali memang tidak menjelaskan secara keseluruhan (totalitarian). Maknanya, bukanlah kerja teoritik yang mendorong perubahan sosial, namun pengetahuan-pengetahuan yang dibebaskan melalui kerja-kerja teoritik dan yang mencuat secara langsung dari pengalaman bersama lah yang membongkar sains yang menegakkan kekuasaan.
Kedua, karena kekuasaan memiliki efek-efek pada sains, teori-teori tentang kekuasaan yang disirkulasikan oleh sistem sosial memiliki bias kekuasaan. Artinya, untuk mempelajari kekuasaan juga membutuhkan pemberontakkan pengetahuan politik. Kita membutuhkan pengungkapan pengetahuan-pengetahuan yang kini disembunyikan oleh sistematisasi ilmu politik, ilmu hukum dan seterusnya.
Ketiga, ketika kita ingin keluar dari skema ekonomistis dalam menganalisa kekuasaan, dan beranjak ke pendekatan yang membahas kekuasaan sebagai pelaksanaan hubungan-hubungan kekuatan (atau pemaksaan), kita menemukan ada dua sistem yang mungkin dapat diaplikasikan. Yang pertama, penindasan merupakan mekanisme kekuasaan. Yang kedua, hubungan-hubungan kekuasaan berlandaskan pada benturan mirip peperangan antar kekuatan-kekuatan.
Sistem yang pertama, jika kita lihat, berangkat keyakinan para pemikir Eropa abad 17 yang disuarakan Lord Acton tahun 1887: “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutly.” Sumbernya tentu adalah pemikiran politik liberal-yuridis, yang berasumsi bahwa kekuasaan itu bisa diserahkan dengan kontrak sebagai kerangka kekuasaan politik. Ketika kekuasaan melanggar batas, pelanggaran itu disebut penindasan. Kekuasaan menjadi persoalan sah atau tidak sah (legitimate atau illegitimate).
Sistem yang kedua, berangkat dari tanda-tanda dari pemberontakkan pengetahuan-pengetahuan yang ditundukkan, yang masih perlu diuji dan dieksplorasi lebih jauh. Posisinya adalah, represi bukanlah berhubungan dengan pelanggaran kontrak sosial, namun adalah implementasi hubungan kekuatan yang berkepanjangan. Karena itu, kekuasaan menjadi persoalan perlawanan dan penyerahan.
Sebenarnya agak menarik ketika melihat dua sistem ini ternyata bukan tidak terdamaikan. Malahan, memiliki semacam hubungan logis. Represi merupakan hasil politik dari perang, sedangkan penindasan adalah hasil dari penyalahgunaan kedaulatan dalam ranah hukum. Dan ketika kita mengamati pertarungan politik dengan segala dinamika dan eskalasi yang terjadi, kita bisa lihat bagaimana sah atau tidaknya suatu kebijakan, kursi politik, atau tindakan dijadikan sebagai landasan klaim untuk memulai pertarungan. Rasa keadilan/ketidakadilan menjadi obyek manipulasi mereka yang bertarung. Akan tetapi, begitu pertarungan dimulai, begitu sumber daya dimobilisasi untuk memenangkannya, isu sah atau tidak sah, ataupun rasa adil dan tidak adil tidak lagi menjadi perbincangan (selain untuk merekrut lebih luas sumber daya). Kita malah melihat bahwa strategi dan taktik menjadi diskusi yang dominan di masing-masing kekuatan yang bertarung. Kita melihat teknik dan teknologi berperan besar dalam kemenangan dan kekalahan.
Beberapa Catatan
Jika kita melihat kembali perkembangan politik Indonesia, khususnya dalam Krisis Cicak vs Buaya yang kini berkembang menjadi Krisis Century, dengan kacamata “politik adalah kelanjutan dari perang”, ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam eksplorasi ini.
– “Penyalahgunaan wewenang/kekuasaan” seperti korupsi dan kriminalisasi bukanlah masalah utama dalam krisis ini, tetapi adalah simptom atau keretakkan-keretakkan, tanda-tanda problem mendasar dalam rejim baru. Krisis politik ini berhubungan dengan baru berdirinya sebuah rejim, yang mendaurulang keluaran-keluaran Orde Baru. Peristiwa-peristiwa seperti yang dialami Prita, JJ Rizal (dianiaya Polres Depok), dan beberapa korban lainnya menunjukkan karakter sesungguhnya dan asal muasal rejim baru ini. Selain itu, seperti ada semacam keinginan untuk menyiangi perangkat-perangkat yang sebenarnya aksesoris demokrasi dan bukanlah barometer yang baik seperti KPK, selayaknya benalu yang mengganggu agenda-agenda yang menjadi kepentingan para pembangun rejim baru ini.
– Di sisi lain, kritik-kritik baru, dan menariknya di luar arus utama pergerakan politik, bermunculan dan mendorong tipe-tipe partisipasi politik baru, seperti Facebook dan pengumpulan koin untuk Prita. Kalau dilihat, kritik-kritik ini sama sekali tidak membutuhkan keabsahan dari teori-teori besar untuk menemukan dirinya dalam tindakan politik. Mereka juga tidak dibangun dari pola pergerakan politik yang membutuhkan pengorganisasian massa seperti partai politik ataupun gerakan mahasiswa. Kritik-kritik ini bersifat lokal, dari tempat maupun waktu, dan mendorong tindakan yang terbatas dan tidak membutuhkan komitmen partisipasi jangka panjang.
– Klaim-klaim demokratik yang diusung rejim baru kini dipatahkan oleh kritik-kritik lokal, spontanitas-spontanitas yang menyuarakan pengetahuan yang dialami berbagai bagian rakyat. Ini bermakna bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya tidak terlalu disadari oleh banyak pengamat politik yang mengedepankan kesimpulan bahwa kemenangan SBY disebabkan oleh pembangunan imaji yang kuat. Meski itu mungkin saja bagian dari strategi yang diambil oleh tim sukses SBY, namun munculnya kritik-kritik ini menunjukkan bahwa kesimpulan ini tidak sepenuhnya benar. Pengaruhnya cukup besar terhadap dinamika pertarungan politik seputar berdirinya rejim baru. Petinggi-petinggi dan para pembangun rejim merasa mendapatkan tekanan untuk bertindak, dan guliran dari fenomena-fenomena ini ternyata membuka lapangan-lapangan pertarungan politik baru. Perlu dicatat, pemerintah pertama rejim baru ini adalah pemerintah tercepat yang berada dalam posisi terkepung (embattled), dan pengepungan terjadi bukan berawal dari lawan-lawannya.
– Kerangka berpikir liberal-yuridis lebih banyak berperan untuk menghanyutkan mereka yang dilibatkan dalam pertarungan dibandingkan untuk melihat gambar yang lebih besar maupun melihat pengetahuan-pengetahuan yang bisa dibebaskan untuk menghantam kekuasaan yang berlangsung. Perlu diingat bahwa kerangka ini bukan hanya dianut oleh kelompok liberal, berbagai kelompok kiri juga malah mendasarkan narasi taktis yang mereka usung dari kerangka ini.***
Roysepta Abimanyu, adalah editor IndoPROGRESS.