Di hari-hari ini, terkait respons pemerintah atas kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Rianto, sejumlah kalangan mulai menyebut-nyebut kembali soal people power. Apa dan bagaimana aksi politik ini sejatinya? Sepenjang sejarah, people power terus berulang. Gerakan mahasiswa (1968/1972) di Eropa Barat (saat itu), gerakan anti rezim militer Thailand (1973), EDSA revolution Filipina (1986), Velvet Revolution (1989) di Cekoslowakia saat itu, hingga runtuhnya Tembok Berlin (1989). Bahkan, sejak pergantian millennium, hampir saban tahun publik dunia menjadi saksi gerakan rakyat, mulai dari Bulldozer Revolution di Serbia (2000), EDSA II di Filipina (2001), Rose Revolution di Georgia (2003), Orange Revolution di Ukraina (2004), Tulip Revolution di Kyrgyzstan (2005), Cedar Revolution di Lebanon (2005), Jeans Revolution di Belarus (2006), PAD Movement di Thailand (2006 dan 2008), Saffron Revolution di Burma (2007) dan terakhir Green Revolution di Iran (2009).
People power juga sering disebut “color revolutions” merujuk pada identitas warna atau lambang (biasanya, bunga), yang dikenakan massa pendukung gerakan tersebut. Ciri utama terletak pada ruh dan pilihan instrumen “aksi damai” dan melibatkan “orang biasa” –bukan pelaku politik formal. Serta, menyertakan tuntutan ini: perubahan rezim.
McAdam, Tarrow, dan Tilly (2001) melabeli people power dengan istilah “trangressive contention”: “cases of contention in which at least some of the parties to the conflict are newly self-identified political actors employing innovative collective action or adopts means are either unprecedented or forbidden within the regime in question to making claims.” Merujuk formula McAdam dkk., catatan ini menyoroti secara khusus tiga faktor kunci dari beberapa episode people power.
Elemen Pendukung
People power merupakan proses dinamis yang meletup karena terimbas dari aktivitas maupun momentum yang terjadi sebelumnya. Mekanisme meretasnya people power dipengaruhi sejumlah elemen. Pertama, struktur mobilisasi. Keunggulan people power bertumpu pada kemampuan memobilisasi massa dengan tuntutan isu yang seragam dan dikemas dalam aksi damai pada rentang waktu tertentu. Penggunaan media high-tech tak sebatas membentuk opini dan solidaritas virtual, tapi sampai pada menghipnotis massa untuk tumpah ruah di jalanan. Saat EDSA I (1986), peran Radio Veritas sangat vital dalam menciptakan kanal mobilisasi. Siaran Radio Veritas tidak saja menjadi satu-satunya medium komunikasi yang menyiarkan langsung perkembangan aksi, tapi juga memberi informasi pada “kerumunan” atas pergerakan pasukan Marcos, permintaan logistik, dan yang terpenting memobilisasi hingga dua juta orang di sekitar camp Aquinaldo dan EDSA. Pada EDSA II, peran Radio Veritas digantikan pesan pendek via telepon genggam. Green Revolution di Iran menggunakan Internet, khususnya media Twitter.
Elemen kedua, brokerage dan boundary activation. People power semakin meluas bila terdiri dari beragam elemen kelompok maupun organisasi masyarakat. Galibnya, kelompok inti gerakan adalah organisasi mahasiswa maupun organisasi non-pemerintah. Tapi ini saja tidak cukup. Gerakan demonstrasi di Eropa pada 1968, semula hanya dilakoni mahasiswa yang menuntut perbaikan kondisi pekerja. Tanpa kemampuan merangkul dan menggerakkan kelompok buruh dan kelompok sosial lain, mustahil gerakan ini membesar dan memiliki efek domino di beberapa negara Eropa Barat.
Selanjutnya, elemen ketiga, adalah instrumen gerakan. Penggunaan instrumen aksi yang telah baku dan “ditoleransi” penguasa lazim digunakan. Tapi, selain mudah diantisipasi, menggunakan cara itu-itu saja cenderung tidak memikat orang untuk bergabung. Perlu dicatat, people power memiliki karakter sebagai “pesta rakyat” yang sanggup membuat orang biasa rela berpeluh dan meluangkan waktu. Cara-cara inovatif dan bahkan di luar kelaziman seperti dipertunjukkan gerakan PAD di Thailand dengan menduduki Bandara Don Muang dan Suvarnabhumi serta pendudukan kantor perdana menteri, membuat aktivitas pemerintahan lumpuh serta memacetkan sektor pariwisata sehingga menambah daya tekan terhadap rezim.
Elemen terakhir adalah “sertifikasi.” Mendapatkan legitimasi atas gerakan merupakan hal penting – bahwa gerakan tersebut sah dan “direstui.” Penggunaan atribut warna kuning yang merupakan simbol kerajaan Thailand atau keikutsertaan Kardinal Sin di Filipina, memberi sinyal kepada “penonton” bahwa gerakan ini direstui raja dan otoritas gereja sehingga menyemangati khalayak ramai untuk bergabung.
Bingkai Gerakan
Mengemas people power menjadi tuntutan bersama demi terwujudnya perubahan rezim menjadi poin krusial bagi gerakan. Sepanjang dua dasawarsa terakhir, landasan moral yang menjadi tuntutan politik dari beragam people power adalah melawan rezim otoriter dan korup. Meramu alasan yang dikemas dalam isu-isu populer menjadi penting guna membentuk identitas, solidaritas, serta tuntutan politik.
Keberadaan solidarity maker juga krusial untuk membentuk solidaritas dan asosiasi massa terhadap tokoh atau organisasi sebagai pengikat gerakan. Pentolan gerakan seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr, Vaclav Havel, Cory Aquino, dan Lech Wałęsa, menjadi personifikasi dari people power tersebut. Warna, simbol, serta logo merupakan atribut yang membentuk identitas gerakan. Atribut lain, misalnya, slogan dibutuhkan pula. Sebagai contoh, aktivis people power di Filipina memakai slogan LABAN (Lawan!).
Tak kalah penting adalah tuntutan. Meramu tuntutan bukan perkara mudah, karena ada beragam kelompok dan individu dalam gerakan people power dengan kepentingan dan “tingkat kepuasan” capaian berbeda. Aktivis PAD di Thailand menetaskan tuntutan “New Politics,” di Filipina (2001) dengan RIO-nya (Resignation-Impeachement-Ousted), sedangkan di Serbia “Gotov je” (Dia – Milosevic – Tamat!), sebagai ungkapan sekaligus tuntutan terhadap rezim.
Memudarnya lintas negara dan kemajuan teknologi komunikasi membuat para pemrakarsa people power dapat saling bertukar jurus. Hal yang terjadi di Filipina dapat dimodifikasi di Ukraina atau kegagalan di Burma dan Iran dapat menjadi pelajaran penting bagi pegiat di belahan dunia lain. Bahkan, “bantuan teknis” pun kerap dilakukan seperti yang dilakukan Otpor (gerakan mahasiswa dari Belgrade University di Serbia,) yang menularkan kisah sukses mereka, di antaranya, ke Georgia, Ukraina, Kyrgistan, dan Belarus.
Tipe Rezim
Tipologi rezim sangat menentukan corak dan proses gerakan. Tarrow dan Tilly (2007) membagi empat kuadran tipe rezim: rezim otoriter atau demokratis serta rezim dengan kapasitas rendah atau tinggi. Kapasitas rezim merujuk pada kemampuan mengontrol teritori dan tingkat soliditas rezim. Rezim otoriter dan berkapasitas tinggi mampu meredam gerakan rakyat dengan cara represif dan cenderung brutal. Kegagalan saffron revolution yang melibatkan para biksu di Burma, menjadi bukti betapa rezim otoriter dengan kemampuan represif mampu mematahkan people power. Rezim ini juga yang mengudeta Aung San Suu Kyi dan menumpas “protes 8888” (aksi penolakan kudeta junta militer pada 8 Agustus 1988).
Cerita sukses people power umumnya terjadi pada rezim otoriter dengan kapasitas rendah. Skandal, baik korupsi atau pemilu, membuka peluang gerakan massa menyeruak karena kemampuan rezim dalam mengendalikan teritori dan menggunakan instrumen kekerasan terbatas. Belum lagi jika secara internal timbul keretakan di kalangan elit. Dengan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka, perubahan rezim menjadi niscaya.
Untuk Asia Tenggara, “berlaku” siklus people power dalam merontokkan rezim predator–dimulai dari Filipina merambat ke Thailand dan singgah di Indonesia. Dengan dimotori para veteran people power sebelumnya, Filipina berhasil menggulingkan Joseph Estrada dan Thailand mengusir Thaksin Sinawatra. Dengan tipologi rezim hybrid, berkapasitas rendah, serta cenderung lamban dalam mengambil keputusan, tentunya membuka peluang bagi gerakan people power di Indonesia. Akankah siklus ini berputar sempurna?
Luky Djani, mahasiswa doktoral di universitas Murdoch, Australia.
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di: http://pemilu.liputan6.com. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.