ADA yang bilang, fungsi karya seni adalah untuk menghibur dan mendidik (baca: mencerahkan). Menurut saya, tidak cukup sampai disitu. Karya seni mesti memberikan pengharapan. Ia harus membagi optimisme dan semangat pantang menyerah kepada apresiannya (baca: massa). Mendidik massa dengan “cantik” untuk tetap teguh dalam pendirian dan garis politiknya. Garis politik rakyat pekerja yang miskin dan tertindas hingga saat ini.
Itulah sebabnya, meski terletak dalam medan pertempuran revolusioner karya seni tidaklah boleh kehilangan sentuhan artistiknya. Sesuatu yang kini mulai luput disadari para pekerja seni revolusioner. Aroma Widji Thukul-isme begitu kentara. Dan kita melupakan satu hal yang justru sangat penting dari Widji Thukul.
Seorang Thukul menemukan gaya bahasanya. Menemukan bentuk berkomunikasi dengan massa dalam cara yang khas. Namun itu tidak datang begitu saja. Prosesnya terjadi secara alami ketika Widji Thukul tetap dengan setia bersama gerakan rakyat. Belajar dan berkembang bersama rakyat, membuat ia mengerti bagaimana cara berbicara dengan mereka (rakyat miskin) dalam segala ketertindasannya secara ekonomi dan politik.
Widji Thukul berdialektika dalam naik turun gerakan rakyat. Thukul belajar memahami tidak hanya sekedar melihat. Ia hidup bersama massa, tidak hanya datang, singgah lalu pulang kembali. Hal itu yang membuat Thukul tak SLOGANISTIK. Sebaliknya, Thukul berhasil menyatukan bait-bait puisinya dalam kumandang derap perlawanan rakyat. Ia berhasil menemukan padanan kata untuk tiap-tiap jerit derita rakyat. Ia menerjemahkan bahasa massa rakyat miskin ke dalam barisan kalimat puisi.
Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Banyak orang kenal kalimat itu. Dan banyak kali pula kutemukan dalam berbagai puisi-puisi yang “mengaku revolusioner.” Dan itu adalah sebuah penghinaan bagi kerja keras seorang Widji Thukul. Kita melecehkan proses sengit sebuah karya dengan menjadikannya jargon dan slogan. Ironisnya, perkosaan itu dilakukan oleh mereka yang mengaku seniman revolusioner.
Kita meninggalkan spirit dan hanya mengambil bentuk. Memuja tubuh tapi melupakan roh. Akhirnya, kita hanya menjadi robot. Tanpa rasa, tanpa kecantikan, tanpa sentuhan yang “unik.” Kemudian, karya seni kita menjadi hambar. Tak berasa lagi. Tak bersisa di antara massa. Semuanya berlalu seperti angin. Karya-karya kita tak lagi mempunyai “magis” hingga mampu bekerja, makan, tidur bahkan bermimpi bersama massa rakyat miskin. Seniman revolusioner dan karyanya terasing dari geliat derita rakyat miskin itu sendiri. Aneh bukan?
Padahal, kita tak kekurangan puisi, cerpen, novelette, lukisan, naskah drama, lagu-lagu, dan karya instalasi. Kita juga tak kekurangan penyair, prosais, pelukis, peteater, perupa dan musisi. Lalu kenapa, kita tak mampu menghidupkan gerakan seni di tengah-tengah perjalanan menuju sosialisme yang kita idamkan? Alasannya simpel, ujar seorang teman.
“Gerakan demokratik kekurangan lagu. Lagu setiap aksi selalu sama. Kadang sebuah lagu bahkan harus dinyanyikan sampai berpuluh-puluh kali. Sementara organisasi gerakan rakyat terlalu enteng memandang persoalan ini. Tak pernah ada materi khusus yang mengajarkan anggota baru kita tentang lagu-lagu perjuangan. Tidak ada bedah lirik sehingga kita bisa mengerti apa maksud lagu tersebut dinyanyikan. Kita tidak bisa membedakan, mana hymne dan mana mars. Semuanya dinyanyikan dengan ketukan yang sama. Belum lagi jika ditambah dengan suara sumbang orang yang menyanyikannya. Semuanya dianggap biasa saja. Padahal, sebuah lagu akan terdengar asyik kalau dinyanyikan juga dengan benar. Sama seperti menjalankan taktik dengan benar untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Kadang, peran dinamisator lapangan (penanggung jawab lagu) diberikan kepada orang-orang yang bahkan dalam cara bernafasnya sumbang. Itu penghinaan namanya. Ketika semua posisi dan tugas dalam aksi diberikan kepada orang-orang terbaik, kesenian justru mendapatkan remah.”
Kadang kita sering menyepelekan masalah-masalah “kecil” di atas. Dalam beberapa kondisi, kenyataan bahwa gerakan seni tidak mendapatkan prioritas adalah benar adanya. Dan penindasan itu, justru dilakukan oleh kita sendiri. Individu-individu yang tergabung dalam organisasi kerakyatan.
“Seni masih jadi alas kaki revolusi. Itu yang membuat seni tak bisa mencapai puncak, tapi justru terus terjerembab di bawah kubangan dan bayang-bayang gerakan politik, karena mereka masih percaya politik adalah panglima.”
Kutipan diatas yang kuambil dari salah satu bagian novelette Kawan-Kawan Budak. Mungkin itu bisa jadi jawaban kecil yang belum tentu benar, namun belum tentu juga salah.
Namun fakta seperti kutipan di atas masih sering terlihat. Banyak kali, gerakan kebudayaan hanya menjadi ìprioritas nomor limaî di bawah gerakan politik dan ekonomi, lingkungan, dan perempuan. Padahal seharusnya, semua sendi isu gerakan ini saling mengisi tanpa harus saling mendelegitimasi satu dengan yang lain.Jika bisa gerakan politik bisa di ibaratkan seperti penari, gerakan kebudayaan adalah pemain musiknya. Mereka tidak terletak dibelakang panggung, tapi bersama-sama diatas sebuah panggung. Meski pasti sorot lampu menyorot sang penari, tapi itu tak berarti diskriminasi bagi sang pemain musik. Asalkan si penari tetap peka dan mau mendengar dan menari bersama alunan musik yang dimainkan para musisi. Tepukan tangan penonton juga dinikmati bersama.
Gerakan seni kebudayaan adalah tangan dari gerakan politik. Tangan yang menggenggam tongkat estafet untuk melanjutkan perjuangan kebudayaan dari kemarin untuk esok hari. Tapi dia bukan alas kaki. Dia bukan gerakan yang selalu harus di tulis pada urutan terakhir.
Gerakan kebudayaan revolusioner adalah kebutuhan mendesak perjuangan demokratik rakyat miskin saat ini. Tidak bisa tidak. Kemendesakan itu mendorong kita untuk sesegera mungkin mendorong lahirnya sebuah wadah gerakan kebudayaan kerakyatan yang demokratis. Organisasi yang dalam kerja-kerjanya, tidaklah lagi mengulang kesalahan LEKRA yang homogenistik dalam penulisan sejarahnya. Tidak lagi menjiplak Widji Thukul, tapi mendorong setiap penyairnya untuk menemukan bahasa perjuangannya sendiri. Setiap penyair dengan ciri khasnya. Mendorong agar kreativitas di teater terus berkembang sehingga street theatre benar-benar baru dalam setiap pementasannya. Tidak dengan gaya yang itu-itu terus. Setiap perupa harus terus berinovasi dalam penciptaannya. Setiap pelukis juga demikian.
Seluruh dimensi kerja seni budaya kita seharusnya adalah PENCIPTAAN bukan PENJIPLAKAN. Bukan lagi melap-lap kebudayaan lama, tetapi menciptakan kebudayaan baru. Bukan dengan kemalasan, langsung saja mengunyah sejarah penguasa yang di sodorkan kepada kita. Tapi dengan kerendahan hati dan kritis terus melakukan studi kultura, demi melanjutkan jalan menuju pencarian sejarah rakyat.
Semangat kebudayaan kita seharusnya adalah kebudayaan rakyat miskin. Kebudayaan yang demokratis. Bukan kebudayaan yang homogen. Apalagi dilandasi dengan semangat mistik NASIONALISME Indonesia. Tetapi seharusnya dilandaskan pada semangat NASIONALISME tiap-tiap bangsa. Semangat kebudayaan kita adalah kebudayaan yang memberi ruang hidup seluas-luasnya kepada setiap bangsa. Semangat internasionalisme.***
Andre GB, seniman tinggal di Manado, Sulawesi Utara.