dimusim semi nanti
pasti mekar kembali
simpan harum-wanginya
hingga di tahun mendatang.”-Mao Zedong-
KALAU saja Amir Sjarifuddin, tidak dipenjara balatentara pendudukan Jepang, tentunya sejarah Indonesia akan menjadi lain. Dalam rapat yang dihadiri kelompok pemuda radikal yang mewakili kelompok Sutan Sjahrir, Pendukung Tan Malaka, dan wakil Komunis Aidit-Wikana, beberapa hari sebelum proklamasi, diputuskan agar proklamasi segera dilakukan setelah berita kekalahan Jepang dalam perang tersiar. Dalam pertemuan tersebut, mereka juga menentukan siapa yang pantas menjadi proklamator dan otomatis presiden pertama Republik Indonesia. Wikana mengusulkan nama Amir Sjarifuddin sebagai orang yang paling pantas menjadi proklamator. Alasannya, karena konsistensi Amir melawan fasisme Jepang dan figur dirinya yang dapat diterima semua kelompok revolusioner saat itu.
Semua peserta rapat setuju dengan usulan tersebut. Tapi, setelah keputusan diambil peserta rapat baru sadar bahwa Amir ternyata sedang dipenjara oleh Jepang. Kuatir rencana itu membahayakan keselamatan Amir, lalu diusulkan agar Sjahrir yang menjadi prokalamtor. Sjahrir, yang ditemui usai bermain tenis, menyarankan agar Soekarno dan Hatta yang menjadi proklamator. Alasannya, karena keduanya dikenal luas oleh kalangan rakyat.
Kisah di atas dapat ditemui dalam memoar buku Soemarsono, Revolusi Agustus yang baru saja diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra. Fakta baru ini menunjukkan, Amir Sjarifuddin adalah sosok ‘aktivis’ yang mempunyai tempat khusus di antara berbagai kelompok revolusioner di jaman pergerakan nasional, suatu penempatan ‘politik’ yang membawa dia menjadi figur politik paling berpengaruh setelah Soekarno. Bahkan, dalam hal berorasi di hadapan massa, Soekarno hanya bisa ‘diimbangi’ oleh Amir Sjarifuddin.
Boleh dikatakan, sejarah politik Amir Sjarifuddin berkait langsung dengan perjuangan bangsanya untuk meluar dari penjajahan Belanda, menuju sebuah Republik Indonesia yang berdaulat dalam segala hal. Dan, dalam pergulatan dan perjuangan tersebut, Amir mengeluarkan beragam gagasan yang berpengaruh luas atas stategi gerakan dan memberikan pemikiran-pemikiran cerdas bagi bangsanya. Dan hebatnya Amir, hampir semua gagasan-gagasan tersebut, terkait langsung dengan praktek politiknya.
Sekilas Profil
Salah satu penanda untuk mengenali Amir di antara para tokoh pergerakan yang juga berpeci, adalah soal letak pecinya. Seperti diketahui, memakai peci di jaman pergerakan nasional adalah simbol nasionalisme dan menjadi ciri khas dari semua aktivis saat itu. Meskipun peci dan kepala sama hitam, Amir mempunyai gaya sendiri dalam memakai peci. “Letak pecinya selalu lebih miring ke kiri,” ujar Soemarsono.
Amir Sjarifuddin, lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 Mei 1907. Dalam banyak tulisan, sering dikatakan, tanggal kelahiran Amir adalah 27 April 1907. Data ini ternyata keliru. Salah satu tulisan yang banyak dirujuk adalah tulisan biografis Amir Sjarifuddin karya Jacques Leclerc. Menurut anak bungsu Amir, kekeliruan mungkin bisa terjadi karena saat itu pihak keluarga Amir (istri dan keluarga), ada kemungkinan belum sempat dikontak untuk konfirmasi karena keadaan yang tidak memungkinkan, meskipun Leclerc sudah berupaya menggali informasi dari pihak keluarga Amir di Medan.
Amir memulai jenjang pendidikannya di ELS atau sekolah dasar Belanda, di Medan, pada 1914 hingga selesai Agustus 1921. Kemudian, atas tawaran saudara sepupunya, T.S.G. Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad, Amir meneruskan sekolahnya di kota Leiden, Belanda.
Pada periode 1926-1927, Amir aktif sebagai anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem dan selama masa itu pula, Amir sering terlibat dalam diskusi-diskusi kelompok Kristen. Salah satunya di kelompok CSV-op Java, yang menjadi cikal bakal dari GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Namun, Amir tidak dapat menyelesaikan pendidikannya di Leiden, karena pada September 1927, setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir harus kembali ke Medan karena masalah keluarga, walaupun teman-teman dekatnya mendesak agar menyelesaikan pendidikannya di Leiden. Setelah itu Amir meneruskan kembali pendidikannya di Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106, bersama dengan senior satu sekolahnya, Mr. Muhammad Yamin.
Pada 1928, Amir terlibat dalam Kongres Pemuda ke-2 yang melahirkan ikrar terkenal Sumpah pemuda. Amir bahkan bersahabat karib dengan W.R Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, karena kegemaran keduanya akan musik dan biola. Pada 1931, Amir masuk dalam organisasi Partai Indonesia, sebuah partai kelanjutan dari PNI yg telah dibubarkan. Pada 1937, Amir Sjarifuddin dkk mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebagai wadah politik yang menyatukan berbagai unsur progresif gerakan nasional yang kehilangan alat politik setelah dilarangnya PKI oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dibubarkannya PNI. Menjelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berusaha menyatukan organisasi kaum pergerakan saat itu, mengikuti strategi front populer Komintern, untuk bersiap menghadang fasisme dengan mendirikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan menempuh taktik kooperatif. Amir berharap gerakan melawan fasisme menjadi alat konsolidasi untuk melawan kolonialisme Hindia Belanda sekaligus.
Pada Januari 1943, Amir tertangkap oleh fasis Jepang. Kejadian ini diartikan sebagai terbongkarnya jaringan organisasi anti fasisme Jepang, yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Melalui beberapa sidang pengadilan tahun 1944, hukuman terberat dijatuhkan pada para pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya. Amir yang menurut kabar hendak dihukum mati, berhasil dibatalkan berkat campur tangan Soekarno dan Hatta.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, nama Amir Sjarifuddin tercantum dalam kabinet presidensial sebagai Menteri Penerangan pertama. Dengan hanya bercelana pendek, Amir dijemput dari penjara dan dilantik menjadi anggota kabinet (19 Agustus 1945 – 14 November 1945). Setelah itu, ia menjabat sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Menteri Penerangan (ad interim) di bawah Kabinet I Perdana Menteri Sutan Sjahrir (14 November 1945–12 Maret 1946). Dalam kabinet II PM Sjahrir, ia diangkat menjadi Menteri Pertahanan (12 Maret 1946–2 Oktober 1946) dan kembali diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet III PM Sjahrir (2 Oktober 1946–27 Juni 1947). Pada Juli, akibat krisis politik kabinet, Perdana Menteri Sjahrir mengundurkan diri dan Amir terpilih menjadi Perdana Menteri (3 Juli 1947–29 Januari 1948). Akhir Januari, ia menyerahkan mandat Perdana Menteri kepada Soekarno akibat mundurnya PNI dan Masjumi dari pemerintahannya.
Peristiwa Madiun 1948
Ketika Hatta diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikannya, Amir Sjarifuddin lalu membentuk oposisi sayap kiri atas pemerintahan Hatta dan bergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pada 19 September 1948, pasukan Brigade 29 di Madiun menangkap pasukan gelap yang melakukan provokasi penculikan dan penangkapan di Madiun. Amir Sjariffuddin sendiri ketika kejadian itu berlangsung, sedang melakukan safari kampanye ‘Jalan Baru‘ di kota lain di Jawa Timur, bersama Musso. Wakil Bupati Madiun mengirim telegram kepada pemerintah pusat Soekarno-Hatta di Yogyakarta, untuk meminta petunjuk lebih lanjut. Namun, bukan jawaban instruksi dari pemerintah pusat, tapi dijawab dengan pidato berapi-api khas Soekarno, yang diawali dengan seruan ‘tindakan korektif’ tapi diakhiri dengan seruan ‘mari basmi bersama.’
Dengan cepat tentara di bawah pimpinan Abdul Haris Nasution dan Gatot Subroto, mengambil keuntungan politik di lapangan, dengan melakukan penangkapan dan pembasmian berdarah tanpa melalui dialog sedikitpun. Soeharto (mantan presiden RI kedua), yang dikirim oleh pihak militer untuk mengecek situasi ada kemungkinan tidak melaporkan kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam operasi militer tersebut, Amir Sjarifuddin dan 10 pimpinan FDR lainnya ditangkap dan dieksekusi oleh tentara bangsanya sendiri tanpa diadili sama sekali. Dengan menyanyikan lagu internasionale dan menggenggam Injil di tangannya, Amir minta agar ia menjdi orang pertama yang dieksekusi.
Dalam penelitiannya tentang Madiun, D.C. Anderson menyebutkan, partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan ‘aturan main’ di lapangan. Dari fakta di lapangan, tampak jelas bahwa pihak tentara di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto yang melakukan penangkapan, penahanan, dan eksekusi.
Hatta tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun, agar diakhiri dengan cara politik. Seperti yang ditulis D.C. Anderson, ‘perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan, keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto.’ Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer di lapangan, tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan.
Namun, kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, ‘Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta, agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi Belanda kedua.’
Tentang posisi Soekarno sendiri dalam kejadian tersebut, sedikit dibahas dalam buku Soemarsono, Revolusi Agustus. Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata ‘mari kita basmi bersama’ untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut D.C. Anderson, ‘Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan.’
Soekarno sendiri dikabarkan menveto sidang kabinet, yang katanya menentukan nasib Amir dkk, meskipun rapat kabinet tersebut masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Namun, tampaknya, peristiwa tersebut telah menjadi ‘duka tersembunyi’ bung Karno. Dikisahkan, dalam suatu kesempatan, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Presiden Soekarno pada tahun 1960-an. Kita tahu, Presiden Soekarno adalah penggila seni dan terutama lukisan, karena itu istana merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tapi, saat itu bukan hanya soal lukisan yang menjadi pembicaraan di antara keduanya. Tiba-tiba S. Sudjojono bertanya.
“Bung Karno apa masih seorang marxist?”
Soekarno terhenyak dengan pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah S. Sudjojono.
“Tentu saja saya masih seorang marxist bung. Ada apa kok bung menanyakan itu?”
“Kalau bung seorang Marxis, kenapa bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun.”
Soekarno terdiam tak mengeluarkan sepatah katapun, dari kedua pelupuk matanya mengalir butiran-butiran airmata. Bung Karno hanya menangis, tak mampu menjawabnya.
Figur Pemersatu Pergerakan
Salah satu ciri politisi pergerakan nasional yang berwawasan negarawan, adalah kemampuanya untuk keluar dari sekat ‘fragmentasi gerakan’ dan ‘merekatkan’ berbagai pandangan yang berbeda untuk tujuan strategis bangsanya. Dalam sejarah politiknya, Amir adalah figur penting yang mampu keluar dari sekat kelompok dan fragmentasi di antara sesama organisasi gerakan yang menuntut kemerdekaan. Sama seperti Soekarno, Amir menjadi ‘faktor perekat’ di antara berbagai kelompok revolusioner yang berserakan paska pemberontakan PKI tahun 1926 yang gagal dan dibubarkannya PNI setelah Soekarno di penjara, lalu menjalani politik pembuangan panjang di Bengkulu.
Awalnya, figur Soekarno dan PNI menjadi perekat ‘gerakan revolusioner’ untuk kembali bangkit paska kehancuran akibat pemberontakan 1926 yang gagal. Namun, ketika Soekarno lebih sering di penjara dan berakhir dengan pembuangan panjang di Bengkulu hingga Jepang datang, kekosongan figur ‘perekat’ dan ‘pemersatu’ pergerakan nasional ditahun 1930-an mengerucut pada sosok Amir Sjarifuddin. Hatta dan Sjahrir, dua tokoh lebih senior seangkatan Soekarno, tidak dapat mengambil alih ‘peran Soekarno’ karena perseteruan dengan kelompok komunis dan ketidakcocokan dengan politik ‘garis massa’ dari PNI dan Partindo. Sementara, saat itu, kelompok komunis dan strategi ‘garis massa’ PNI lebih mendominasi pentas gerakan nasional.
Pendirian Gerindo pada Mei 1937, menandai peran Amir untuk menciptakan ‘wadah politik’ yang dapat menjadi ‘saluran politik bersama’ bagi seluruh kelompok, individu dan organisasi revolusioner yang kehilangan induknya dengan pelarangan PKI dan pembubaran PNI. Para pendukung Gerindo, bila diperhatikan, adalah tokoh-tokoh penting yang mewakili berbagai spektrum politik revolusioner. Di sini bisa kita temui para mantan aktivis PKI, PNI, PARI, Partindo dan serikat buruh, yang tadinya ‘berserakan’ dan beberapa di antaranya saling berseteru (misalnya antara pengikut Tan Malaka yg bergabung dalam PARI dan PKI, misalnya) berhasil membangun kompromi untuk ‘berjuang bersama’ dengan ‘program bersama’ untuk memajukan ‘tujuan strategis’ gerakan, yaitu INDONESIA MERDEKA.
Tidak hanya berhasil mengatasi fragmentasi di antara organisasi revolusioner, Amir dan Gerindo, lebih jauh lagi, berhasil mengatasi fragmentasi di antara gerakan kiri dengan dua kelompok politik utama yang moderat saat itu seperti, Parindra dan PSII. Dalam kerangka menghadapi fasisme, persatuan itu dirasa perlu sebab ada potensi untuk mendorong isu anti fasisme menjadi anti kolonialisme sekaligus. Selain itu, dengan mendorong ke arah isu anti fasisme, diharapkan tekanan represi dari rejim kolonial ‘akan berkurang’ sebab melihat sasaran gerakan menghadapi musuh bersama pemerintah Belanda saat itu. Tapi, tentu saja, apa yang ditafsirkan Amir dan kawan-kawan Gerindo, tidak seperti itu.
Trisula Gerindo-Parindra-PSII lalu mendeklarasikan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang kemudian memprakarsai Kongres Rakyat Indonesia, yang dihadiri ratusan organisasi sosial-politik dari berbagai penjuru Hindia Belanda. Ini adalah sebuah koalisi politik terbesar dan terluas yang pernah diciptakan dalam sejarah perlawanan menghadapi kolonialisme Belanda. Jadi, jelas sudah apa keuntungan politik dari taktik moderat Gerindo, yaitu ‘mencari pangung politik seluas-luasnya di kalangan gerakan dan rakyat dalam suatu propaganda dan pekerjaan politik bersama.’ GAPI dan Gerindo tidak meletakan ‘tuntutan revolusioner’ sebagai ujung tombak, karena mudah membuat rejim kolonial bersikap reaksioner dan melakukan penangkapan-penangkapan atas pimpinan gerakan.
Gerindo dalam ‘penampilan’ seolah kooperatif dan berhaluan ‘politik moderat’ untuk ‘mengelabui musuh yang kuat’. Tapi taktik kooperatif dan moderat Gerindo, tidaklah sama dengan apa yang dilakukan oleh Parindra, yang juga menggunakan taktik yang sama tapi kemudian menikmatinya. Taktik moderat Gerindo, dimaksudkan untuk mencari ruang dan panggung politik agar bisa berpropaganda kepada rakyat seluas mungkin. Dengan mendorong kesadaran politik rakyat melalui mobilisasi dan propaganda yang meluas, gerindo sebetulnya juga disiapkan untuk situasi revolusioner ketika momentumnya tiba, ketika krisis kekuasaan kolonial di negeri jajahan melemah akibat didudukinya induk kolonial oleh Naziisme. Tuntutan Milisi Bumipuera Gerindo, agar rakyat jajahan dipersenjatai menghadapi fasisme, adalah sebuah penanda lain bahwa Gerindo juga bersiap melakukan ‘cara kekerasan bila diperlukan’ untuk menghadapi fasisme dan sekaligus menghancurkan kolonialisme.
Dalam periode awal Revolusi, Amir juga mencoba untuk menjaga keseimbangan di pemerintahan dengan tetap menjaga keterlibatan PNI dan Masjumi dalam pemerintahannya. Bahkan, ia rela mendapatkan kritik pedas dari kekuatan kiri akibat politik diplomasi yang menerima perjanjian Renville. Namun, tampaknya, keterlibatan Amir di dalam perjanjian Renville bukanlah karena secara ‘ideologi’ dia mendukungnya. Amir paham, mau tidak mau, suka tidak suka, proses kemerdekaan Indonesia harus mendapatkan ‘penerimaan’ dan ‘legitimasi’ dari negara-negara Barat pemenang perang dunia ke-2. Dalam proses ‘perjuangan diplomasi‘ tersebut, dia tidak dapat ‘menyerahkan sepenuhnya’ kepada figur-figur yang kelewat ‘toleran’ dengan agenda politik pihak Barat pemenang PD II tersebut. Amir masuk dan ‘mengorbankan’ legitimasinya dengan harapan, dapat ‘ikut berperan’ dalam perjuangan diplomasi tersebut. Selain itu, keputusannya untuk mengikuti taktik politik diplomasi ditujukan untuk tetap mejaga ‘persatuan’ di kabinetnya sambil tetap memberikan ‘ruang oposisi seluas mungkin’ bagi mereka yang menentang perjanjian Renville. Karena itu, di masa pemerintahannya, ia menganjurkan apa yang ia sebut dengan tindakan ‘korektif dan konstruktif.'(Dan kita tahu dalam peristiwa Madiun, Soekarno menggunakan kata-kata ‘tindakan korektif’ yang tampaknya ditujukan kepada Amir Sjarifudin).
Sejarah kemudian mencatat, politik persatuan yang dijaga Amir itu kemudian dihancurkan oleh provokasi PNI dan Masjumi, dengan menarik diri dari kabinetnya. Amir, yang kecewa dengan ‘telikungan politik’ tersebut, mencoba menggertak Soekarno, dengan meletakan jabatannya. Dan kita tahu, bukan Soekarno yang diuntungkan dengan kejadian tersebut, tapi Hatta yang kemudian diangkat menjadi PM sekaligus Menteri Pertahanan, dua jabatan yang sebelumnya dirangkap oleh Amir Sjarifuddin.
bersambung ke bagian 2
Wilson