BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Seperti diketahui, pemilu legislatif yang lalu baru saja memberikan jalan bagi kelanjutan rejim neoliberal di Indonesia. Sehingga, untuk sekarang, kaum pergerakan punya tanggung jawab menentukan sikap dan posisi dalam perjuangan anti imperialisme di Indonesia. Untuk mengetahui bagaimana seharusnya kaum pergerakan menentukan sikap dan posisinya, redaksi Berdikari online berkesempatan melakukan wawancara khusus dengan ketua umum Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS), Agus “Jabo” Priyono.
Berikut petikan wawancaranya yang disarikan oleh kawan Ulfa Ilyas dari redaksi Berdikari Online:
Ulfa Ilyas (BO) : Pemilu Legislatif sudah selesai. Perolehan suara partai sudah bisa ditebak. Bagaimana anda memprediksi polarisasi dalam politik nasional?
Agus “Jabo” Priyono : Sejak awal kita sudah memprediksi Partai mana yang bakal menang, apalagi quick count beberapa saat setelah pencotrengan sudah mengumumkan sepuluh besar Partai pemenang Pemilu 2009, yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat.
Di sisi lain penghitungan suara manual yang dilakukan KPU banyak kendala dan banyak masalah. Maka terjadi keributan di mana-mana, dari PPK sampai ke KPU. Boleh dikatakan bahwa Pemenang Pemilu Legeslatif tahun 2009 adalah Partai status quo, Partai pro modal Asing, pro-Neoliberal.
Rakyat sangat berharap Pemilu 2009 bisa memberikan perubahan fundamental terhadap bangsa, terhadap nasib mereka, terutama di bidang ekonomi, tapi dengan hasil pemilu seperti ini, harapan itu kandas di tengah-tengah kemiskinan dan pengangguran.
Melihat perkembangan politik saat ini, polarisasi ideologi dan politik tidaklah muncul dan memberikan ruang politik bagi rakyat untuk menentukan pilihan di Pilpres, kecuali kesibukan para tokoh partai melakukan pendekatan politik untuk membangun kerjasama. Kerjasama bukan berdasarkan platform program akan tetapi kerjasama berdasarkan performa subyektif tokoh, hitungan matematis kekuatan, dan logistic dari masing-masing Partai.
Mestinya saat sekarang ini momentum yang tepat bagi siapapun yang mau maju di Pilpres untuk berbicara akar persoalan yang dihadapi oleh rakyat dan bangsa Indonesia beserta program-program jalan keluarnya.
Ulfa ILyas (BO) : Ada kecenderungan bahwa pemilihan presiden masih akan diwarnai oleh isu nasionalisme, misalnya, soal nasionalisme ekonomi. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Agus Jabo Priyono : Isu nasionalisme dalam kacamata sejarah perkembangan bangsa Indonesia adalah sikap politik rakyat untuk bebas dari penjajahan Asing, keinginan yang kuat untuk merdeka, berdaulat secara ekonomi maupun politik dari dominasi kepentingan Asing di dalam negeri agar bisa mengatur rumah tangganya sendiri.
Isu nasionalisme sekarang ini muncul karena dua hal, pertama karena negara-negara miskin semakin miskin ditengah-tengah kekayaan sumber daya alamnya yang diambil habis oleh modal asing, maka muncullah sentiment serta perlawanan rakyat di mana-mana, seperti rakyat dan Partai Politik di negara-negara Amerika Selatan yang terus menerus melakukan perjuangan Pembebasan Nasional dari dominasi negara Asing yang merampas sumber daya alam mereka. Kedua krisis global telah menyebabkan setiap negara manapun untuk bersikap mengamankan negaranya masing-masing dari kebangkrutran, termasuk negara-negara penjajah sekalipun.
Jadi, nasionalisme yang kita harapkan muncul adalah nasionalisme yang berbasiskan kemerdekaan dan kedaulatan, seperti semangat proklamasi 17 agustus 1945, Trisakti, berdikari, bebas dari dominasi kepentingan Asing di dalam negeri serta terlibat aktif dalam perdamain dunia.
Itu nasionalisme yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia, yang merupakan keharusan obyektif bagi bangsa Indonesia, agar bisa bangkit, berdiri, menjadi bangsa besar, yang mampu mengelola keuangannya sendiri untuk membangun ekonomi nasional, mampu mengelola sumber daya alam dan energinya untuk kemakmuran kehidupan rakyat, mampu memiliki industri dasar yang kuat dan mandiri, sehingga ekonomi nasional bisa berdiri, tenaga produktif bisa terserap, bergerak serta memiliki landasan yang kuat, dan ada hasil produksi yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri, membiayai kebutuhan sosial di dalam negeri seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, maupun menyediakan komoditi eksport.
Tidak seperti sekarang ini, negara kita hanya menjadi pengeksport bahan mentah dan penyedia tenaga kerja yang murah seperti yang sudah dilakukan sejak jaman Hindia Belanda.
Nasionalisme yang semangatnya atas dasar kemandirian bangsa dan untuk kepentingan bangsa sesuai dengan Proklamasi, Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945.
Ulfa Ilyas (BO) : Kecenderungan dari koalisi yang ada adalah meminggirkan perlunya platform politik dan aspek program. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Agus Jabo Priyono : Itulah masalah pokoknya, karena kepemimpinan nasional kita sekarang ini cenderung kehilangan akar sejarah bangsanya, tidak memahami semangat para pendiri bangsanya, dan mengkhianati cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945. Berbeda dengan semangat sebelum tahun 1959, terlepas carut marut kondisi politik pada waktu itu, aspek positif dalam membangun demokrasi, kepemimpinan nasional, pengelompokan politik atau koalisi berdasarkan kesamaan program yang diperjuangkan oleh masing-masing partai politik, mestinya dijadikan landasan untuk membangun demokrasi yang sehat sebagai landasan untuk membangun Indonesia secara menyeluruh.
Kita akan terus melakukan perlawanan, tekanan politik serta melakukan propaganda ke rakyat, agar rakyat tidak memberikan dukungan kepada Capres yang menjadi agen modal Asing. Karena jika Partai status quo yang kembali memenangkan Pemilu Pilpres,
bangsa kita lima tahun ke depan makin terpuruk dan tidak ada jalan keluarnya, dan kemungkinan besar akan mengalami kebangkrutan total semakin besar, itu yang menjadi kekhawatiran kita semua pemuda Indonesia dan kaum pergerakan Indonesia.
Ulfa Ilyas (BO): Seberapa besar peluang bagi kalangan gerakan dalam memanfaatkan arena pemilihan presiden?
Agus Jabo Priyono: Pemilu adalah mekanisme formal demokrasi untuk membangun kepemimpinan nasional yang akan melaksanakan program-program nasional selama lima tahun.
Maka penting bagi kaum pergerakan untuk mengintervensi dan terlibat aktif dalam Pilpres dengan kemampuan subyektif yang dimiliki. Baik mengintervensi dan terlibat aktif sebagai peserta pemilu maupun melakukan tekanan dengan gerakan massa. Ini penting supaya kaum pergerakan mampu mengkampanyekan program-programnya secara terbuka dan massif, mengukur kekuatannya, mengkritik sistem pemilu yang tidak adil secara terbuka, mengkritik didepan rakyat luas tentang watak serta program partai-partai politik yang anti rakyat dan mengkoreksi total terhadap sistem ekonomi maupun politik neoliberal yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat maupun kepentingan bangsa.
Kaum pergerakan tidak boleh diam dalam situasi apapun, tapi harus memiliki posisi yang tepat, mengambil peluang-peluang politik yang menguntungkan dan tidak tenggelam dalam gemuruh serta hiruk pikuk electoral.
Ulfa Ilyas (BO) : Bagaimana peran yang harus diambil gerakan rakyat dalam menghadapi pemilihan presiden?
Agus Jabo Priyono: Tugas gerakan itu setiap momentum politik, harus punya sikap yang jelas dan tegas yang bisa dilihat oleh rakyat.
Menurut kami, Pemilu 2009 sebagai momentum politik yang penting yang harus disikapi dan diintervensi menggunakan alat politik persatuan. Maka sejak awal kita mengajak semua elemen gerakan untuk terlibat aktif dalam mengintervensi Pemilu 2009 dengan membentuk persatuan politik. Tapi karena masing-masing gerakan menyimpulkan situasi objektif ini berbeda-beda dan menganggap pemilu ini tidak penting untuk diintervensi maka persatuan gerakan ini gagal.
Jadi saya berfikir bahwa tugas gerakan sekarang ini, pertama menyimpulkan situasi yang terjadi secara objektif, kedua harus memiliki sikap yang jelas dan tegas ketiga, mengintervensi pemilu dengan kemampuan subyektif yang dimiliki, keempat, terus mendorong agar terbentuk persatuan gerakan, kelima, harus kembali melakukan gerakan-gerakan massa untuk menekan proses politik dalam pemilu agar ada perubahan serta melakukan kampanye politik di tengah-tengah massa rakyat.
Kaum pergerakan tidak boleh berdiam diri, menutup diri didalam merespon situasi politik yang terjadi dan mengubur diri dalam hiruk pikuk politik yang terjadi.
Editor: AJ SUSMANA
Wawancaran ini sebelumnya dimuat di http://berdikari.org, Jumat, 8 Mei 2009 | 14.00 WIB