Catatan Redaksi:
Artikel ini adalah kata pengantar dalam buku Wilson, yang mencoba menggali perkembangan fasisme dalam masyarakat Indonesia.
DI MASA Orde Baru kalangan aktivis dan juga sebagian ilmuwan sosial – atau kombinasi keduanya – sering menjuluki penguasa dengan sebutan “fasis” atau “neo-fasis.” Walau ketepatan menggunakan istilah yang muncul dari pengalaman politik lain masih dapat diperdebatkan, kemiripan antara Hitler dan Soeharto memang tidak dapat dipungkiri.
Keduanya sama-sama menggunakan kekerasan untuk naik ke tampuk kekuasaan. Hitler menuduh kaum komunis membakar gedung parlemen Jerman (Reichstag) dan menjadikan peristiwa itu alasan untuk merangsak maju untuk berkuasa dan membasmi, bukan hanya orang Yahudi, tapi juga orang komunis, sosialis dan progresif lainnya, kaum gay dan lesbian, kaum difabel, orang Gypsy, dan banyak lainnya. Soeharto juga menuduh kaum komunis sebagai dalang pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober, dan menjadikan peristiwa itu alasan untuk mengambilalih kekuasaan dan mengorganisir pembunuhan massal yang berakibat jatuhnya setengah sampai satu juta korban jiwa.
Keduanya memimpin dengan ancaman pembunuhan, penangkapan dan penahanan tanpa batas, penyiksaan dan tindak kekerasan lain untuk “mendisiplinkan” masyarakat atau menyingkirkan mereka yang tidak diinginkan. Mereka juga sama-sama berdalih bahwa semua itu mereka lakukan untuk kebaikan rakyat: Hitler untuk das Deutsche Volk, Soeharto untuk rakyat Indonesia. Hitler menyebut tatanan yang dibangunnya Neue Ordnung. Di Italia Benito Mussolini memakai istilah Ordine Nuovo, sementara di Jepang Pangeran Konoe menyebutnya Shintesai. Pada 1966 Soeharto dengan para pendukungnya memakai terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Orde Baru. Baik Hitler maupun Soeharto mendapat dukungan – setidaknya di masa awal – dari kelompok pemuda yang militan. Di Jawa Timur, KH Yusuf Hasyim dalam berbagai wawancara mengakui bahwa ia dan pemimpin NU lainnya mendapat inspirasi dari buku Mein Kampf karya Hitler saat membentuk Barisan Serbaguna (Banser).
Perbedaannya, sementara semua pemerintahan “Orde Baru” di berbagai negara ini hanya berusia singkat – tidak lebih dari tujuh tahun – Soeharto berhasil bertahan selama tigapuluh dua tahun. Apa resep Soeharto sehingga bisa berkuasa begitu lama? Atau lebih tepatnya, apa yang membuat orang mau menerima dan membiarkannya berkuasa begitu lama? Kita tahu bahwa ideologi tidak mungkin ditanamkan begitu saja ke benak orang lain. Indoktrinasi yang paling brutal tidak mungkin bersandar hanya pada kekerasan dan paksaan. Harus ada penerimaan setidaknya secara kognitif terhadap nilai-nilai yang ingin ditanamkan. Pertanyaannya kemudian, apakah ide-ide yang dibawanya memang bergema dalam kesadaran sejarah orang? Apa sebenarnya akar “fasisme” Orde Baru, dan kenapa begitu memesona?
Sekitar limabelas tahun lalu Marsillam Simanjuntak menulis skripsi yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Negara Integralistik. Buku ini menelusuri kembali akar-akar otoritarianisme di Indonesia, dan menunjuk pemikiran Soepomo tentang negara integralistik sebagai sumber utamanya. Gagasan inilah yang dilihatnya paling dekat dengan gagasan dan praktek kenegaraan Orde Baru. Pramoedya Ananta Toer, yang seperti Marsillam, pernah jadi tahanan politik Soeharto, mengatakan fasisme Orde Baru berakar dalam kebudayaan Jawa: “Jawanisme adalah taat dan setia membabi buta pada atasan, yang pada akhirnya menjurus kepada fasisme.”[1] Seorang teman yang sekitar lima tahun lalu sedang menyusun tesis tentang pemikiran politik Indonesia pernah membuat pernyataan kontroversial, yaitu bahwa jejak fasisme terlihat jelas dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Dan masih ada banyak lagi penjelasan lain tentang asal-usul fasisme di Indonesia, tapi tidak ada di antaranya yang secara tekun mengikuti perkembangan sejarah ideologi itu dengan saksama.
Di sinilah peran studi singkat Wilson tentang asal-usul gerakan fasis – yang secara nyata dan terang-terangan menggunakan istilah itu – di masa kolonial. Wilson adalah sejarawan dengan kepekaan politik yang tinggi. Seperti diakuinya sendiri, ia bukan sejarawan yang betah duduk berjam-jam di gedung arsip atau perpustakaan untuk membongkar tumpukan berkas atau membaca koran tua yang dapat menerangi pemahamannya mengenai masa lalu. Perhatiannya terhadap sejarah senantiasa didorong oleh keinginannya untuk memahami dan mengubah masa kini. Ia aktif dalam gerakan mahasiswa, serikat buruh dan mengorganisir gerakan protes menentang Orde Baru. Ia bergabung dalam Partai Rakyat Demokratik yang merupakan salah satu tiang perlawanan terpenting di masa akhir kekuasaan Orde Baru. Saya kira keterlibatan politik inilah yang kemudian membuatnya memilih topik fasisme di Hindia Belanda.
Seperti anak muda lainnya yang besar di masa Orde Baru, Wilson besar dalam sistem sosial dan politik yang dibangun dengan teror. Universitas juga tidak lepas dari culture of fear yang ditanamkan penguasa. Jika orang awalnya tidak mau berbeda pendapat karena khawatir akan akibat-akibatnya, maka lama-lama sikap semacam ini membatu dan menjadi kebiasaan. Orang terbiasa hidup di bawah tekanan, lupa atau tidak pernah tahu suasana yang normal. Dan inilah sumber kekuatan fasisme: ketakutan. Almarhum Munir dengan tepat mengatakan, “musuh terbesar kita adalah ketakutan.” Sebagai aktivis Wilson tahu bahwa cara menaklukkan ketakutan adalah dengan mempelajari kekuatan yang memancarkan pesona dan menciptakan ketakutan itu. Ia tekun mempelajari apa yang dilawannya dan giat memerangi lawannya dengan bermacam kegiatan. Bukan itu saja, ia juga rajin mempelajari cara-cara perlawanan, terutama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang merupakan organisasi paling efektif untuk memerangi fasisme di masa kolonial.
Dalam usahanya melacak asal-usul dan perkembangan fasisme di Hindia Belanda, ia menemukan Notonindito, pemimpin Partai Fascist Indonesia (PFI). Saya ingat suatu hari ia datang dari Perpustakaan Nasional menemui saya dengan wajah berseri-seri dan menunjukkan catatan tentang gerakan fasis itu. Saat itu ia belum menyadari bahwa temuannya itu merupakan sumbangan penting bagi studi sejarah sendiri. Selama ini belum ada sejarawan yang menyebut keberadaan partai ini. Kebanyakan orang menduga bahwa imajinasi fasis itu ditularkan oleh tentara pendudukan Jepang – antara lain karena reinkarnasi tonarigumi dalam mekanisme RT/RW – dan bukan sesuatu yang ada dalam masyarakat Indonesia sendiri. Mereka tidak menduga bahwa imajinasi fasis itu dibangun langsung dengan rujukan pada pemikiran Hitler, dan bukan melalui versi Jepang.
Sebenarnya ini bukan gejala yang unik. Di Thailand, Phibun Songkhram melancarkan kudeta pada 24 Juni 1932. Ia sangat anti-komunis, mendukung Jepang dan seperti Hitler di Jerman, mulai mengobarkan nasionalisme yang berbasis ras. Ia juga kagum pada Jepang dan Jerman, dan melihat orang Cina sebagai “Yahudi-nya dunia Timur.” Pada 1925 di India hadir sebuah gerakan fasis, Rashtriya Swayamsevak Sangh (Organisasi Sukarelawan Nasional). Gerakan itu mempelajari dengan seksama strategi dan metode yang digunakan Hitler, baik untuk mengorganisir kelompok pemuda yang akan melakukan kekerasan maupun teknik propaganda untuk mempengaruhi massa. Ada hubungan langsung antara gerakan fasis Asia dengan sumbernya di Eropa.
Studi mengenai gerakan fasis sejauh ini memperlihatkan bahwa pemimpin dan pendukungnya berasal dari kalangan menengah dan terpelajar. Ideologi mereka adalah nasionalisme sempit dan reaksioner yang kadang bisa berbau populisme, seperti Hitler yang memesona rakyat pekerja melalui pidato-pidatonya bahwa Jerman akan menjadi makmur jika ditangani rakyat Jerman dan bukan orang asing. Gerakan ini biasanya tumbuh dalam suasana krisis, ketika rakyat memerlukan jawaban atau solusi yang nyata maupun khayali. Sosok Hitler yang memimpin barisan pemuda gagah adalah fantasi orang yang dilanda kesulitan. Gagasannya tentang bangsa yang besar, jaya dan agung rupanya cukup kuat bergema dalam kesadaran politik kalangan elite terpelajar. Dan terakhir yang terpenting, gerakan fasis bisa lahir karena gerakan kiri yang menjadi lawan utamanya, melemah.***
Jakarta, 16 Mei 2008.
Hilmar Farid
[1] André Vltchek dan Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian: Pramoedya Ananta Toer dalam Perbincangan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (2006), hlm. 45.